Pedang Langit adalah sebuah pedang yang ditempah dari logam terkuat yang diambil dari tujuh semesta.
Pedang itu dibuat oleh Sin Sai sebelum menjadi penguasa langit dan pedang itu pulalah yang ia gunakan untuk mengalahkan Raja Naga Merah.
Sin Sai Sang Penakluk Tujuh Semesta sejatinya hanyalah seorang manusia biasa yang memiliki kesaktian yang amat dahsyat.
Namun karena kekuatan besar yang dimiliki oleh Sin Sai, Dewan Langit kemudian bersepakat untuk mengangkatnya menjadi Raja Langit demi melindungi Negeri Langit dari serangan Raja Naga Merah yang hendak menghancurkan Negeri Langit dan menguasai alam semesta kala itu.
Dewan Langit tidak sia-sia mengangkat Sin Sai menjadi raja di Negeri Langit.
Sin Sai berhasil menghancurkan pasukan Raja Naga Merah dan memaksanya mundur dan kembali ke Semesta Naga.
Dunia terbagi atas tujuh semesta. Semesta yang berada pada posisi paling tinggi adalah Semesta Langit yang juga disebut Negeri Langit, kemudian di bawahnya adalah Semesta Bumi, Semesta Naga dan Semesta Orbis yang berada pada jajaran yang sama.
Semesta terendah adalah Semesta Gion, Semesta Aljin dan Semesta Satan yang juga pada jajaran yang sama.
Walaupun Sin Sai berhasil melindungi Negeri Langit dari kehancuran, Keluarga Yong yang telah ribuan tahun menjadi penguasa Negeri Langit tidak rela jika terus-menerus menjadi bawahan Sin Sai yang hanya seorang manusia. Mereka kemudian berusaha menyingkirkan Sin Sai dengan melakukan berbagai tipu muslihat, hingga pada akhirnya tahta kerajaan berhasil direbut oleh keluarga Yong.
**
Ribuan tahun setelah runtuhnya kekuasaan Sin Sai di Negeri Langit, di suatu sore, di tepi Danau Teratai, terlihat seorang kakek tua bersama seorang pemuda sedang asyik memandangi danau.
“Sebentar lagi semua keindahan ini bakal sirna. Hanya dia satu-satunya harapan umat manusia,” gumam Sin Toga.
Kakek tua itu kemudian menoleh ke arah cucunya yang sedang asyik melemparkan batu-batu kecil ke arah air.
Terlihat batu-batu kecil yang dilemparkan oleh pemuda itu menggelinding di atas air beberapa kali hingga akhirnya tenggelam ke dasar danau.
Sin Toga kemudian memanggil cucunya yang sedang membungkuk memungut batu-batu kecil itu, “Firon, ayo kemari!”
Pemuda itu pun bergegas menghampiri kakeknya. Dengan senyum lembut pemuda itu kemudian bertanya, “Ada apa, Kek?”
“Aku ingin memberitahu kamu sesuatu yang amat penting. Kamu duduk di sini!” Sin Toga mengarahkan jari telunjuknya kearah batu seukuran kursi yang berada di hadapannya.
Firon kemudian duduk di tempat yang telah ditunjukkan oleh kakeknya itu.
“Firon, waktu kakek sudah hampir habis. Kakek tidak dapat lagi menemanimu, besok kakek bakal menghilang." Sin Toga mengusap kepala Firon dengan lembut.
Firon begitu kaget mendengar perkataan kakeknya. Raut wajahnya tampak sangat kebingungan, “Apa maksud Kakek?”
“Sebelum Kakek menghilang, Kakek akan menceritakan banyak hal padamu, mudah-mudahan cerita ini berguna untukmu dalam menjalani kehidupanmu selanjutnya."
Sin Toga kemudian berdiri dan melangkahkan ke tepi danau membelakangi Firon.
Firon juga ikut berdiri dan melangkah menghampiri kakeknya dan berdiri tepat disampingnya.
“Apa maksud kakek akan menghilang?" tanya Firon penasaran.
“Nak, dahulu bumi tempat kita berpijak ini hanyalah sebuah daratan yang tak bertepi, tidak ada lautan, yang ada hanya ratusan danau besar dan ribuan danau kecil, serta puluhan sungai besar dan ribuan sungai kecil. Danau yang ada di depan kita ini hanyalah sebuah danau yang dianggap kecil kala itu. namun banyak warga yang suka tinggal di sekitar pinggiran danau ini karena keindahannya dan juga karena letaknya yang berada di dataran tinggi, dan juga udaranya yang sejuk.” Sin Toga mengacungkan jari telunjuknya ke arah danau.
Sin Toga kemudian melanjutkan ceritanya bahwa sebuah peristiwa naas terjadi sekitar dua puluh tahun yang lalu.
Di wilayah utara bumi tiba-tiba muncul jutaan makhluk bersayap, bersisik dan mampu menyemburkan api dari mulutnya.
Makhluk itu adalah Naga yang datang dari Semesta Naga.
Jutaan ekor Naga itu kemudian membumi hanguskan seluruh permukaan bumi.
Hanya dalam tempo satu hari, hampir seluruh permukaan bumi berubah menjadi padang tandus. Tumbuh-tumbuhan nyaris tak tersisa. Yang ada hanyalah gumpalan asap yang menyelimuti bumi.
Seluruh umat manusia berada dalam keputusasaan.
Mengetahui hal itu, Raja Langit kemudian memerintahkan Sin Rara untuk menangani masalah yang sedang melanda bumi itu.
Sin Rara yang tidak tahu apa-apa tentang peristiwa yang sedang melanda bumi hanya bisa pasrah dan menerima misi sulit yang diberikan oleh Raja Langit.
Sebelum Sin Rara Meninggalkan Langit, Raja Langit memberinya tujuh buah mutiara yang bernama Tujuh Mutiara Kehidupan.
Sin Rara menerima ketujuh mutiara itu tanpa tahu apa tujuan dan bagaimana cara menggunakannya.
Setelah menyerahkan Tujuh Mutiara Kehidupan kepada Sin Rara, Raja Langit kemudian berpesan, "Sin Rara, waktumu hanya satu purnama... Kamu harus menyelesaikan misi ini dan kembali ke langit sebelum purnama menampakkan sinarnya... Jika kamu terlambat sedetik saja, maka kamu akan tinggal di bumi selamanya dan menjadi makhluk fana seperti layaknya manusia biasa."
"Terima kasih sudah mengingatkan Yang Mulia," jawab Sin Rara.
"Kekuatanmu sebagai seorang Dewi juga akan sirna. Hanya kekuatan dari Tujuh Mutiara Kehidupan dan kekuatan pedang ini yang akan tetap bertahan.” Raja Langit kemudian menyodorkan sebilah pedang panjang kepada Sin Rara.
Sin Rara meraih pedang yang diberikan oleh Raja Langit itu, 'Kelihatannya misi ini bakal sulit... Apalagi aku hanya punya waktu satu purnama.' Sin Rara menghela nafas panjang.
Sin Rara kemudian pamit dan bergegas meninggalkan Istana Langit.
Setelah dirinya sudah berada di luar istana, barulah Sin Rara melesat dengan kecepatan tinggi ke arah Gerbang Bumi.
Setibanya di gerbang yang menghubungkan antara langit dan bumi itu, Sin Rara kemudian menghampiri salah seorang penjaga gerbang yang sedang berdiri seperti patung.
"Izinkan aku melewati gerbang!" ucap Sin Rara dengan nada memerintah.
Mendengar Sin Rara memintanya agar membuka gerbang, penjaga itu kemudian bergegas membuka gerbang dan mempersilahkan Sin Rara untuk melewatinya.
Begitu melihat gerbang sudah terbuka, Sin Rara melesat ke antara dua pilar gerbang dan seketika itu juga Sin Rara menghilang dari pandangan para penjaga gerbang.
Hanya dalam hitungan detik, Sin Rara sudah tiba di langit bumi. Ia melayang di udara pada ketinggian ribuan meter dari permukaan bumi.
“Apa yang terjadi?” Sin Rara hanya bisa mengerutkan dahi melihat apa yang terjadi di depan matanya.
Bumi sudah menjadi tanah tandus yang tak bertepi. Makhluk hidup yang terlihat hanya ribuan, bahkan jutaan ekor naga yang sedang terbang kesana kemari.
Jutaan ekor naga itu sesekali menyemburkan api dari mulutnya.
“Apa yang harus aku lakukan sekarang. Bagaimana aku akan menghadapi semua naga itu,” gumam Sin Rara sambil memalingkan pandangannya ke arah pedang pemberian Raja Langit dan bungkusan yang terbuat dari kain sutra emas yang berisi Tujuh Mutiara Kehidupan.
Sejenak kemudian, Sin Rara mengalihkan pandangannya ke arah para naga yang berada tidak jauh di bawahnya.
Sin Rara tersenyum, ia memikirkan sebuah rencana.
“Sepertinya mereka berkelompok-kelompok... Aku mungkin akan mampu menghadapi mereka kalau hanya satu kelompok,” pikir Sin Rara.
Sin Rara kemudian mengarahkan pandangannya jauh mencari wilayah yang tidak ada naga disana. Ia berniat memancing sekelompok naga ke tempat yang lebih sepi, lalu menghabisinya disana.
“Oww..." Sin Rara tersenyum. Ia menemukan sebuah gurun pasir dan tak terlihat seekor naga pun berkeliaran disana.
Sin Rara kemudian terbang rendah ke arah sekelompok naga dan menyerang salah seekor naga yang paling besar dengan sebuah tendangan.
“Praakkk.”
Naga itu terpental jatuh ke tanah, perutnya yang terkena tendangan, hancur dan terlihat usus-ususnya keluar meninggalkan tempatnya.
Naga yang terkena tendangan tadi tak bangkit lagi karena sudah tak bernyawa.
“Hemm, ternyata sekuat ini kekuatanku ketika berada di bumi... Padahal aku hanya menedangnya pelan-pelan.”
Sin Rara tersenyum melihat kekuatan yang dimilikinya.
Tiba-tiba salah seekor naga yang melihat kejadian itu meraung dengan suara yang amat dahsyat.
“khkhkwaaaaaaaukhkh...”
Ribuan ekor naga lainnya kemudian membalas raungan naga itu dengan raungan yang sama.
“Waduh... Bagaimana ini?” gumam Sin Rara. Ia kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Pedang Langit yang ada di pinggangnya.
Melihat ribuan ekor naga terbang ke arahnya, Sin Rara kemudian mencabut Pedang Langit dari sarungnya.
"Shaaapp."
Tiba-tiba, ribuan naga yang berada di radius ratusan meter dari Dewi Rara hancur lebur tak berbekas.
Dewi Rara terperangah dan berdecak kagum menyaksikan kekuatan Pedang Langit yang ada di tangannya.
"Pantas hanya aku yang diutus oleh Raja Langit dalam misi besar ini.”
Kini semua keraguan dan kegelisahan yang ada di benak Sin Rara menghilang seketika, namun ia tidak berniat menggunakan pedang itu seterusnya. Ia khawatir jika mahluk bumi yang masih hidup akan terkena imbas dari kekuatan Pedang Langit.
Sin Rara kemudian menyarungkan kembali Pedang Langit dan melesat dengan kecepatan tinggi ke arah gerombolan naga yang dilihatnya.
“Saatnya bermain-main.”
Melihat ratusan ekor naga melesat dengan kecepatan tinggi ke arahnya, tanpa ragu-ragu sedikitpun, Sin Rara kembali mengayungkan tendangannya tepat di kepala naga yang mencoba menyerangnya satu persatu.
Hanya dengan hitungan detik, ratusan ekor naga jatuh ke tanah tanpa kepala. Kekuatan tendangan dan pukulan Sin Rara membuat kepala naga-naga itu hancur berkeping-keping.
Para naga yang malang itu tidak mampu berbuat apa-apa sedikitpun. Kecepatan Sin Rara bahkan tak bisa dilihat dengan mata kepala. Kemampuannya benar-benar menjadi petaka bagi musuh-musuhnya.
Sin Rara melesat kesana-kemari seperti seekor monster yang begitu menikmati pembantaian yang dilakukannya.
Tendangan demi tendangan, pukulan demi pukulan tak henti-hentinya dia lancarkan tepat di kepala para naga yang dijumpainya.
Bak salju yang turun di musim dingin, ribuan naga itu jatuh berguguran menghantam bumi tanpa kepala.
"Ternyata sangat menyenangkan bisa membantai para naga yang tak berguna ini," ucap Sin Rara sambil tersenyum puas.
Pembantaian itu berlanjut hingga malam hari.
Permukaan bumi di area pembantaian itu kini berubah menjadi lautan jasad naga tanpa kepala.
Jumlah naga yang dilihatnya seolah tidak berkurang sama sekali, benar-benar mengganggu pikirannya.
“Dari mana datangnya semua naga ini...? Kenapa tidak ada habisnya...? Kalau saya hanya mengandalkan tendangan dan pukulan, misi ini pasti akan berjalan lama,” gumam Sin Rara dalam hatinya sambil menghabisi naga-naga itu satu persatu.
Setelah menghabisi para naga yang berada di sekitarnya, Sin Rara kemudian berpikir sejenak sebelum memutuskan untuk terbang rendah mencari tempat yang bisa ia gunakannya untuk berpikir dan mengatur rencana.
Setelah terbang beberapa saat mengitari wilayah sungai yang tidak jauh dari area pembantaiannya tadi, akhirnya dia menemukan sebuah gua kecil yang kalau dilihat dari ukurannya hanya bisa memuat dua atau tiga orang saja.
Gua kecil itu terletak di sebuah tebing batu yang cukup tinggi. Pemandangan dari mulut gua kecil itu cukup indah karena sekitar belasan meter di sebelah kirinya, terdapat air terjun yang cukup lebar dan ada sungai di bawahnya yang memiliki air yang sangat jernih.
Sin Rara kemudian duduk bersila di mulut gua kecil itu. Pedang Langit yg berada di pinggangnya kemudian dia letakkan tepat di hadapannya.
“Aku harus bisa mengendalikan kekuatan pedang ini,” ucap Sin Rara sembil memandangi Pedang Langit dengan seksama.
Sin Rara kemudian meraih bungkusan yang terikat di pundaknya kemudian membukanya. Terlihat tujuh buah mutiara yang berkilauan di balik bungkusan itu.
Cahaya yang keluar dari mutiara-mutiara itu benar-benar menyilaukan sehingga memaksa Sin Rara menutup kembali bungkusan itu.
Sin Rara menatap Pedang Langit dan bungkusan Tujuh Mutiara Kehidupan bergantian. Ia bingung bagaimana menggunakan kedua benda pemberian Raja Langit itu.
"Ah... Mungkin lebih baik besok aku menggunakan pedang ini. lagi pula tak ada lagi makhluk hidup di muka bumi ini selain para naga tak berguna itu yang harus dikhawatirkan akan terluka atau tewas oleh kekuatan pedang ini," batin Sin Rara.
Sin Rara kemudian tenggelam dalam pikirannya. Ia merasa aneh kenapa Raja Langit memilih dirinya dalam misi ini, padahal ada begitu banyak Dewa-dewi di langit yang jauh lebih kuat dan lebih berpengalaman dari dirinya.
Sin Rara merasakan ada sesuatu yang disembunyikan oleh Raja langit terkait pemilihan dirinya mengembang misi di bumi padahal ia belum pernah menginjakkan kaki sebelumnya di bumi.
"Apakah ini sebuah latihan... Ah, tidak... Tidak mungkin ini sebuah latihan... Ini adalah misi yang cukup berbahaya... Tapi, kenapa Raja Langit mau menempatkan aku dalam bahaya," batin Sin Rara terus tertanya-tanya.
Seorang pria tampan tiba-tiba terlintas di benaknya. Lelaki tampan yang tak lain adalah tunangannya itu hanya tersenyum hambar ketika melepas kepergiannya meninggalkan istana.
"Kenapa sikap pangeran Yong jadi aneh begitu ya...? Jangan-jangan ada sesuatu yang ia sembunyikan." Sin Rara menggaruk-garuk keningnya, "Ah, sudahlah... Bukankah ini menyenangkan?" Sin Rara tersenyum dan memilih membuang jauh-jauh pikiran yang tidak-tidak yang terus mengganggunya.
Selanjutnya Sin Rara memejamkan mata, kemudian menarik nafas dari hidungnya dalam-dalam lalu menghembuskannya dari mulutnya pelan-pelan. Hal itu dia lakukan berulang-ulang sembari memejamkan matanya dengan kedua tangannya dalam posisi di atas paha seperti posisi orang yang sedang bersemedi.
Sin Rara larut dalam keheningannya. beberapa saat kemudian pendengarannya terusik oleh suara manusia yang sedang melakukan percakapan. Ia kemudian memusatkan pendengarannya dan mencari sumber suara yang didengarnya itu.
Walaupun suara air terjun di dekatnya cukup keras, Sin Rara masih bisa dengan jelas mendengarkan percakapan orang-orang itu. Kekuatan pendengarannya sebagai seorang dewi dari langit benar-benar sangat peka menangkap suara yang ada di bumi.
"Kita tidak akan bisa bertahan hidup lebih lama di gua ini. Tidak ada apa-apa yang bisa kita makan disini," ucap salah seorang lelaki yang berusia tiga puluhan.
"Benar ketua, hewan-hewan ternak milik warga juga tidak akan bisa bertahan tanpa memakan rerumputan atau dedaunan," ucap seorang lelaki lainnya yang memiliki suara yang agak serak.
"Untuk sementara kita harus memakan daging mentah dari hewan ternak kita yang sudah kelihatan lemah. Kita terpaksa harus melakukan hal itu jika masih ingin hidup," ucap seorang lelaki yang dipanggil ketua oleh rekannya tadi.
"Kita tidak boleh menyalakan api yang asapnya nanti akan dilihat oleh naga-naga itu. Menyalakan api di dalam gua ini sama saja dengan bunuh diri," sambung lelaki itu.
**
Sin Rara akhirnya berhasil menemukan sumber suara itu.
"Pantas mereka masih bisa selamat dari para naga itu, rupanya mereka bersembunyi di sana." Sin Rara tersenyum gembira mengetahui masih ada manusia yang selamat.
"Lebih baik aku menemui mereka untuk mencari informasi."
Sin Rara kemudian bangkit dari duduknya. Ia kemudian terbang kearah sumber suara yang didengarnya tadi.
"Hemmm, ternyata ada gua di balik air terjun ini."
Tanpa berpikir lebih lama, Sin Rara langsung melesat masuk ke dalam gua menembus air terjun.
"Ketua, kita kedatangan tamu," ucap salah seorang di antara penghuni gua itu.
"Tenang!" Balas lelaki yang dipanggil ketua oleh rekannya itu.
Mereka semua yang tadinya bersikap santai kini berubah menjadi siaga.
"Aku sama sekali tidak merasakan adanya aura makhluk yang masuk kesini. Tetapi saya mendengar ada sesuatu yg menerobos air terjun. Lebih baik kalian semua bersiap-siap!" seru lelaki yang dipanggil ketua itu dengan suara pelan.
"Mungkinkah seekor naga, ketua Jo?" tanya salah seorang lelaki yang berumur dua puluhan dengan nada santai.
"Bukan...! Gua ini telah saya lindungi menggunakan Jurus Ilusi. Seharusnya tak ada seorangpun yg menyadari keberadaan kita di sini," ucap lelaki yang dipanggil Ketua Jo. Ia mengerutkan dahi.
Jurus Ilusi adalah jurus yang bisa digunakan untuk memanipulasi ruang dan waktu. Pengguna Jurus Ilusi ini mampu membuat sebuah rumah atau bahkan kastil yg cukup besar ukurannya berpindah ke dimensi lain. Yakni, dimensi yang diciptakan oleh jurus itu sendiri.
Pengaruh Jurus Ilusi ini hanya bersifat sementara. Jurus ini akan terus aktif, selagi penggunanya masih terus mengalirkan tenaga dalam.
Pada tahap puncak, Jurus Ilusi bahkan mampu memindahkan sebuah benua ke dimensi lain secara permanen.
Semua orang yang ada di ruangan itu tidak mampu menyembunyikan ekspresi kebingungannya ketika tiba-tiba berdiri sesosok perempuan cantik tepat di tengah-tengah mereka.
"Maaf mengganggu. Aku tidak punya niat jahat. Aku kesini hanya ingin mencari informasi. Jadi mohon kerjasamanya!" Sin Rara tersenyum ramah ke arah orang-orang yang ada di sekelilingnya.
"Anda siapa? Bagaimana anda bisa mengetahui tempat ini?" ucap seorang perempuan yang berada diruangan itu.
"Perkenalkan, namaku Sin Rara" Sin Rara memperkenalkan diri sambil menghiasi bibirnya dengan senyuman indah. Para lelaki yang ada diruangan itu tak dapat menahan diri untuk tidak menelan ludah melihat kecantikannya yang tidak dapat dijumpai di muka bumi.
"Aku berasal dari Negeri Langit. Raja Langit mengutusku ke bumi untuk menyelamatkan bumi dari serangan naga-naga itu."
Semua orang yang berada di tempat itu hanya terdiam mendengarkan penjelasan Sin Rara. Beberapa dari mereka bernafas lega. Namun ada beberapa orang yang tetap waspada karena mereka masih belum terlalu yakin dengan apa yang dikatakan Sin Rara.
"Kelihatannya aku agak terlambat. Kondisi bumi kini sudah menjadi tempat yang tandus." Terlihat kesedihan di wajah Sin Rara.
"Aku mengira tidak ada lagi manusia yang tersisa. Sekarang aku sangat lega mengetahui bahwa ternyata masih banyak manusia yang selamat," ucap Sin Rara sambil tersenyum.
"Maafkan atas sikap kami tadi yang kurang ramah. Perkenalkan, namaku Dangun Jo. Aku adalah ketua dari Klan Gojo," ucap Ketua Jo memperkenalkan diri.
"Mereka semua adalah anggota Klan Gojo," sambung Ketua jo sambil mengacungkan telunjuknya ke arah orang-orang yang berada di ruangan itu.
"Ketua Jo, aku tidak ingin berlama-lama disini. Untuk itu aku berharap anda bisa memberikan informasi yang berguna terkait naga-naga itu!" ucap Sin Rara tegas.
Ketua Jo beserta rekan-rekannya kemudian menceritakan segala yang mereka tahu kepada Sin Rara.
"Dewi Sin, jika Aron anakku masih hidup, kemungkinan besar anda akan menemuinya di sana," ucap Ketua Jo. Terlukis sedikit kesedihan di wajahnya.
Setelah mendengar penjelasan semua orang di gua itu, Sin Rara kemudian keluar dari gua itu dan kembali ke tempatnya semula.
Dalam posisi duduk bersila, Sin Rara menyambut mentari pagi dengan senyum indah di bibirnya. Dia menjadi sangat antusias setelah mengetahui ternyata masih banyak orang yang selamat dan perlu diselamatkan.
Sin Rara kemudian bangkit lalu melesat dengan kecepatan tinggi ke arah yg diberitahukan oleh ketua Jo semalam.
Dalam perjalanan, Sin Rara sengaja membuat dirinya tak kasat mata agar tidak ada seekorpun naga yg menyadari keberadaannya. Sin Rara hanya ingin segera menemukan Gerbang Naga.
Gerbang Naga adalah gerbang yang menghubungkan antara dunia manusia dan dunia naga. menurut isu yang beredar, gerbang tersebut berhasil diaktifkan oleh salah seorang pendekar tingkat tinggi dari Klan Serigala Putih yang berada di bagian utara bumi.
Pendekar itu kecewa terhadap keputusan Dewan Perserikatan Bumi yang tidak menerima Klannya masuk anggota perserikatan. Klan Serigala Putih berniat menghancurkan semua makhluk hidup di bumi ini meskipun mereka juga harus menjadi mangsa. Setidaknya, itulah informasi yang didapatkan Sin Rara dari Ketua Jo dan anggotanya.
Dengan kemampuannya sebagai seorang dewi dari Negeri Langit, Sin Rara melesat secepat kilat. Hanya dalam hitungan menit, Dewi Rara sudah tiba di bagian sebelah utara bumi.
Sebuah pemandangan yang sangat menakjubkan namun juga mengerikan terpampang jelas di hadapannya. Sebuah gerbang yang berdiri kokoh dengan dua pilar raksasa di sisi kanan dan kirinya menjulang tinggi ke angkasa.
Pusaran awan hitam yang disertai petir yang menyambar-nyambar berputar-putar tepat di atas gerbang itu. Aura kematian yang sangat pekat membuat tempat itu sangat mencekam. Ribuan ekor naga keluar masuk melalui gerbang itu. Dari kejauhan, Naga-naga itu terlihat seperti segerombolan lebah yang memenuhi langit dan permukaan bumi.
"Hai, Sin Rara, bagaimana menurutmu?"
Sin Rara terperanjat mendengar suara lelaki tua yang sangat dikenalnya dari arah belakang. Ia sama sekali tidak menyangka akan ada orang lain yang berani mendekati tempat itu.
"Aku sudah menunggumu dari tadi," ucap lelaki tua itu lagi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!