NovelToon NovelToon

Susuk Berdarah: Kutukan Pocong PSK

Prolog

Malam itu mencekam. Angin dingin berhembus perlahan, membawa aroma tanah basah dan daun-daun yang membusuk.

Desa kecil di kaki Gunung Jawa Barat tampak hening, seolah seluruh kehidupan sehari-hari membeku dalam kesunyian yang menyesakkan.

Lampu-lampu rumah berkelap-kelip, namun bayangan gelap di setiap sudut seakan menunggu, mengintai setiap langkah yang berani melintas di lorong-lorong sempit.

Suara ranting patah di kejauhan terdengar seperti jeritan yang tercekat, menambah kengerian malam yang sudah menebal.

Sekelebat kain putih lusuh, bekas tanah kuburan, melayang di udara pekat malam.

Ia menembus kegelapan, bergerak dari rumah ke rumah, mengetuk pintu dengan ketukan lembut yang membuat bulu roma meremang.

Warga desa, yang biasanya terbiasa dengan angin malam, mulai merasakan keganjilan yang tak bisa dijelaskan.

Getaran dingin dari ketukan itu menembus ke tulang, menimbulkan rasa takut yang menjerat dada.

Biasanya, malam di desa adalah saat hangat. Anak-anak bermain petak umpet di gang-gang sempit, tawa mereka mengisi lorong-lorong dengan riang.

Para ibu menyiapkan teh hangat sambil mengawasi cucu-cucu mereka, menggerakkan sendok perlahan di cangkir berasap.

Lelaki dewasa duduk di beranda, bercanda tentang panen, harga sayur, dan gosip pasar. Aroma dapur, kayu bakar, dan rasa aman menyelimuti malam itu.

Namun malam ini berbeda. Ada keganjilan yang sulit dijelaskan. Angin yang biasanya berdesir lembut tiba-tiba terhenti ketika Dania melewati gang sempit.

Suara jangkrik terdengar terlalu sunyi, seakan ditekan oleh kesunyian yang menekan.

Dania merasakan sesuatu mengawasinya dari kegelapan—sesuatu yang tidak wajar, yang membuat jantungnya berdegup kencang.

Dania Anindita Rejaya, gadis berusia enam belas tahun yang baru pindah ke desa bersama keluarganya, berjalan santai menuju warung Ce Kinah.

Sambil menenteng kantong plastik, ia bicara tanpa henti tentang sekolah baru, teman-teman yang ditemui, dan hal-hal kecil yang membuatnya tersenyum.

Namun langkahnya malam itu terasa berat, seolah setiap tarikan napas membawa rasa takut yang sulit dijelaskan. Desa itu belum pulih dari kabar kematian seorang PSK yang mengenakan susuk.

Kematian wanita itu meninggalkan aura gelap dan misteri. Konon, sakaratul mautnya menyiksa luar biasa.

Tubuhnya memancarkan aura hitam sebelum nyawanya lepas, dan desas-desus tentang kemunculan pocong bersusuk mulai beredar di antara warga.

Di gang sempit menuju rumah Ce Kinah, udara terasa semakin dingin. Napas Dania memburu meski ia berusaha menenangkan diri.

Sekelebat kain putih lusuh melintas di ujung gang, bergerak tanpa suara, menempel di bayangan tembok, lalu menghilang. Hanya bulu roma yang berdiri dan rasa dingin menusuk tulang yang tersisa.

Di rumah-rumah tetangga, lampu-lampu berkelap-kelip akibat angin malam. Warga yang biasanya merasa aman kini menahan napas, saling melempar pandang curiga.

“Itu pasti pocong susuk,” bisik seorang ibu sambil memeluk anaknya erat. “Jangan keluar malam-malam. Jangan berani menatapnya!”

Kegelisahan itu menular. Anak-anak berhenti bermain, tawa terhenti, dan para lelaki dewasa duduk terpaku, mendengar ketukan yang makin dekat.

Dari kejauhan terdengar ketukan pintu pelan, diikuti bunyi seperti ludah menempel di kayu. Konon, siapa saja yang terkena ludah pocong akan merasakan kulit melepuh dan sakit yang tak tertahankan.

Dania akhirnya tiba di warung Ce Kinah. Pijar lampu minyak membuat wajahnya pucat. Ce Kinah menyambutnya dengan senyum tegang.

“Dania… malam ini jangan banyak bicara,” ujarnya pelan, matanya menelisik gelap di luar. “Ada yang… salah.”

Tapi rasa penasaran Dania terlalu besar. Ia bicara banyak, tentang tugas sekolah, teman baru, dan hal-hal sepele lainnya. Tanpa sadar, matanya menangkap sesuatu bergerak di ujung gang—sekelebat kain putih lusuh.

Ia menahan napas. Kain itu mengetuk dinding warung, bergerak perlahan seperti sedang mencari sesuatu. Suara bisikan terdengar di telinganya, dingin dan serak:

“Dania… kau juga bisa menjadi korban…”

Dania terkejut dan mundur, hampir menjatuhkan kantong belanjaannya. Ce Kinah segera meraih tangannya.

“Tenang… jangan menoleh!” bisik wanita tua itu sambil menunduk. “Itu bukan manusia… itu pocong bersusuk. Ia datang karena kematian wanita itu… karena susuk yang masih menempel pada tubuhnya.”

Dania menelan ludah. Tubuhnya gemetar. Di luar, kain putih lusuh bergerak semakin dekat, mengetuk pintu demi pintu, meninggalkan aroma tanah basah dan darah yang samar.

Warga desa yang menatap dari jendela mulai menjerit ketika melihat kulit tetangga yang terkena ludah pocong melepuh. Tangis dan teriakan menggema di malam sunyi.

Tak lama kemudian, Kapten Satria Arjuna Rejaya tiba di desa. Sebagai anggota TNI dari Batalyon Siliwangi, ia dikenal tangguh dan berani.

Namun malam itu, bahkan seorang prajurit sekelas Satria merasakan aura gelap yang menekan; udara sekeliling menjadi berat, setiap tarikan napas membawa ketakutan yang sulit dijelaskan.

Dania berjalan di belakang Satria, menatap kain putih lusuh yang menari di udara malam.

“Bang… apa itu benar-benar… pocong?” suaranya gemetar.

Satria menoleh sejenak, wajah serius.

“Ya, Dania. Ini bukan pocong biasa. Ini pocong bersusuk… kutukan dari susuk yang menempel pada tubuh wanita itu. Kita harus berhati-hati. Jangan lengah sedikit pun.”

Malam itu terasa panjang. Desa yang biasanya hidup dengan tawa kini dibungkam ketakutan. Setiap ketukan pintu, setiap bisikan angin, membuat jantung warga berdegup kencang. Mereka tahu, hidup mereka tergantung pada keberanian Kapten Satria dan sedikit keberuntungan.

Dania menggenggam tangan kakaknya erat, merasakan ketegangan yang mengalir di tubuhnya. Kain putih lusuh bergerak di antara bayangan rumah-rumah, mengetuk pintu demi pintu, mencari korban baru.

Dania menutup mata sejenak, berharap malam itu cepat berlalu. Tapi di hatinya, ia tahu—ini baru permulaan… permulaan teror yang tak akan mudah dihentikan.

Pemasangan Susuk

Suasana di rumah dukun itu mencekam. Lilin-lilin kecil berkelap-kelip, menebarkan bayangan menari liar di dinding, sementara aroma dupa dan rempah menusuk hidung dengan tajam.

Di tengah ruangan, Atna Lestari duduk tegang. Wajahnya berkerut, kulitnya mulai kendur, dan sorot matanya mencerminkan ketakutan yang bercampur harap.

“Di mana mau dipasang susuknya?” tanya sang dukun, suaranya serak, dingin, menembus keheningan malam.

Atna menunduk, bibir bergetar.

“Di beberapa tempat… di wajah, di tubuh… agar tetap menarik bagi pelanggan… dan agar tetap berdaya,” jawabnya, lembut namun tegas.

Kerut di wajahnya menambah urgensi permintaan itu; usia yang bertambah membuatnya khawatir kehilangan daya tarik, sementara pelanggan mulai mencari yang lebih muda.

Dukun menatap Atna dengan mata tajam, lalu mengeluarkan beberapa jarum kecil yang berkilau di cahaya lilin.

Tangannya bergerak hati-hati, menempatkan jarum dengan presisi aneh. Angin malam dari jendela yang terbuka berdesir, seolah membawa bisikan gelap.

Setiap tusukan jarum menimbulkan panas yang menusuk kulit Atna. Tapi rasa sakit itu bukan sekadar fisik—ada aura menekan, kekuatan gaib meresap ke dalam tubuhnya.

Lilin-lilin berkelip liar, bayangan menari di dinding, dan desahan halus terdengar di sudut ruangan, entah dari manusia atau sesuatu yang lain.

“Jangan takut… kekuatan ini akan melindungimu… tapi juga menuntut sesuatu,” ucap dukun itu, menambah rasa ngeri yang tak terlihat tapi dirasakan hingga ke tulang.

Atna menelan ludah, merasakan hawa dingin merayap dari ujung kaki hingga kepala.

Malam itu, ia sadar, ritual ini bukan sekadar menambah pesona—ia membuka pintu ke sesuatu yang lebih gelap, yang mungkin akan menghantuinya selamanya.

Dukun menunduk, tangan bergerak cepat tapi terukur, menancapkan jarum ke titik-titik yang diminta Atna. Setiap tusukan disertai mantra lirih, terdengar seperti desahan angin di malam pekat.

Ruangan terasa berat, udara terselimuti kabut tak terlihat, lilin-lilin berkelip liar seolah menolak cahaya mereka sendiri.

Atna menahan napas, menatap tangan dukun yang menari di tubuhnya. Rasa panas menyebar, tapi itu bukan hanya rasa sakit fisik.

Ada kekuatan yang merayap di bawah kulitnya, membuat jantung berdegup cepat dan napas tersengal. Sesekali, bayangan di sudut ruangan tampak bergerak sendiri, suara bisikan samar memenuhi keheningan.

“Ini… aman, kan?” gumam Atna, suaranya bergetar.

Dukun menatapnya, mata tajam berkilau di cahaya lilin. “Aman… tapi setiap kekuatan punya harga. Jangan salahgunakan. Jangan sampai ada yang melihat ritual ini… atau efeknya akan lebih dari yang kau bayangkan.” Suaranya serak, menembus tulang Atna.

Tiba-tiba, lilin berkedip lebih cepat. Bayangan menari liar di dinding, membentuk wajah-wajah samar yang menatapnya.

Rasa dingin menusuk dari kaki hingga kepala. Atna merasa tubuhnya terpisah dari dirinya sendiri. Bisikan lembut tapi menakutkan terdengar di telinganya:

“Kau telah membuka pintu… dan aku akan menunggumu.”

Tubuh Atna menggigil. Kulitnya panas sekaligus dingin, seolah dua kekuatan bertarung di dalam dirinya. Dukun menyelesaikan ritual, menutup titik-titik susuk dengan mantra terakhir.

Efeknya segera terasa: bayangan lebih pekat, angin berdesir membawa aroma tanah basah dan sesuatu yang busuk. Di luar jendela, sekelebat kain putih tampak menunggu, menari di kegelapan.

Atna menunduk, merasakan aura gelap menempel di tubuhnya. Wajahnya tampak lebih segar, matanya bersinar, tubuhnya lebih hidup. Tapi di balik semua itu, ada energi gelap haus korban, menunggu kesempatan untuk bebas.

Ia sadar bahwa dirinya bukan lagi manusia biasa. Ia telah mengikat diri pada sesuatu yang tak bisa dikendalikan—sesuatu yang akan kembali, menuntut darah, menebarkan teror.

Malam itu, rumah dukun kembali sunyi, namun udara masih bergetar oleh energi yang baru dilepaskan. Sekelebat kain putih bergerak di antara bayangan pohon dan rumah, tanpa suara, menunggu saat yang tepat.

Atna duduk terpaku, tubuh bergetar, sadar hidupnya tak akan pernah sama lagi. Di dalam kegelapan, sebuah janji gelap terbentuk: pocong bersusuk akan muncul, membawa teror yang tak terbayangkan bagi desa yang damai itu.

Napasnya tersengal, kulit panas sekaligus dingin. Aura susuk memancar samar di sekeliling tubuhnya, seolah memperingatkan: kekuatan ini melindungi, tapi menuntut harga.

Di luar jendela, bayangan kain putih bergerak semakin dekat, menembus gelap malam. Atna menelan ludah, sadar pocong bersusuk kini siap mengintai, menunggu kesempatan pertama untuk menegakkan terornya.

Setiap langkahnya, setiap gerakan kecil, terasa diawasi oleh energi gelap yang baru saja ia panggil. Tubuhnya lebih hidup, wajahnya tampak segar, tetapi ketegangan di dalam hatinya tak pernah hilang.

Susuk yang menempel bukan sekadar perhiasan magis—ia telah mengikat dirinya pada kekuatan gaib haus korban, yang tak akan pernah benar-benar bisa dikendalikan.

Lilin-lilin yang masih berkedip menebarkan bayangan liar, seolah menyampaikan pesan samar: malam ini baru permulaan.

Atna sadar, hidupnya tak akan pernah sama lagi. Pocong bersusuk akan muncul, dan desa yang damai akan menjadi saksi teror yang tak terbayangkan.

Cibiran, Maksiat dan Sesajen

Atna duduk di sudut ruang maksiat yang remang. Lampu neon temaram memantul di wajahnya yang kini tampak segar dan memikat.

Lipstik merah menyala kontras dengan kulit halusnya, sementara asap rokok mengepul pelan, menari di udara malam yang pengap dan berat.

Aura gelap dari ritual susuk terasa kian kuat; setiap gerakan Atna memancarkan daya tarik yang tak sekadar memikat, tapi juga menebarkan ketegangan dingin yang merayap ke setiap sudut ruangan.

Beberapa pria mulai mendekat, tak bisa menahan pesonanya.

Suara tawa, desahan, dan dentuman musik keras memenuhi ruangan, namun di balik hingar-bingar itu ada sesuatu yang lebih gelap—energi tak kasat mata yang menekan, membuat udara sesak dan menegangkan.

Pandangan Atna menusuk, seolah bisa membaca keinginan paling tersembunyi, menandai siapa yang akan menjadi sumber energi berikutnya.

Efek susuk nyata dan menakutkan. Semakin banyak orang terpikat, semakin banyak energi gelap tersedot dari setiap interaksi.

Atna tersenyum tipis, senyum yang memikat namun menebarkan getaran dingin bukan dari dunia manusia.

Tubuhnya bergetar halus; aura hitam semakin tebal, membungkus setiap gerakan dengan kekuatan gaib yang menuntut pengorbanan—meski ia sendiri belum sepenuhnya memahami konsekuensinya.

Malam itu, Atna menjadi pusat perhatian, magnet bagi keinginan duniawi sekaligus kegelapan mistis.

Semakin banyak energi yang ia tarik, semakin dekat bayangan gelap yang mengintai, bersiap melepaskan teror.

Sesuatu yang kelak akan menjerat desa dalam malam-malam penuh ketakutan, di mana setiap ketukan pintu pocong bersusuk menandai awal penderitaan tak terelakkan.

“Bang, sabar yaa,” bisik Atna sambil memeluk salah satu pelanggannya, suaranya manja tapi ada nada aneh yang menggigil. Ia menatap cermin di depannya—dan seketika menjerit.

Wajahnya—atau yang tampak seperti wajahnya—perlahan berubah. Kulit pucat, kain putih lusuh menutupi tubuhnya, mata kosong menatap balik. Pocong.

Pelanggan itu terkejut, menatap bingung. “Kamu… kenapa, sayang?”

Atna menutupi ketakutannya dengan senyum tipis. “Ah… nggak sayang, tadi cuma ada cicak,” ujarnya manja, suara kembali normal, namun getaran dingin tetap tersisa, meninggalkan rasa ngeri samar di udara malam itu.

Di balik senyum manisnya, bayangan gelap mulai bergerak lebih dekat, menunggu saat tepat untuk menebarkan teror.

Malam itu hanyalah awal dari kengerian yang akan datang—kengerian yang akan membuat desa kecil di kaki gunung terjerat kutukan pocong bersusuk, di mana setiap tawa dan bisik manja bisa menjadi panggilan bagi kegelapan.

Atna selesai melayani pelanggannya. Tangannya masih gemetar, tapi kantongnya penuh uang. Mata pria itu menyorotinya dengan nafsu, senyum licik menghiasi wajahnya.

“Bagus… lain kali aku bisa manggil kamu ke rumah, dong,” ujarnya sambil menatap Atna, peluh menetes di wajahnya.

Atna menarik napas dalam, menatapnya dengan dingin. “Tergantung, AA. Kalau ada uangnya baru mau. Kalau segini, mah… mending di sini aja,” jawabnya datar, suaranya tak berubah, tapi tubuhnya sudah diselimuti aura gelap yang menebal.

Pria itu tersenyum, tak menyadari sesuatu yang lebih gelap mengintai dari balik bayangan. Ia menikmati suasana tanpa tahu, energi yang terpancar dari tubuh Atna bukan sekadar daya tarik—melainkan kekuatan gaib yang menakutkan.

Suara musik DJ berdengung keras, berbaur dengan tawa dan desahan.

Tempat itu menjadi saksi malam ini—bukan hanya atas dosa manusia, tapi juga atas aura gelap yang menempel pada Atna.

Susuk yang menjerat tubuh dan jiwanya perlahan mulai menguasai, menebarkan energi yang menekan, siap memicu teror yang lebih besar di malam-malam berikutnya.

*

Atna pulang menjelang subuh. Langkahnya ringan, senyum tipis menghiasi wajahnya. Kantong penuh uang membuat hatinya melonjak, tapi bisikan dan cibiran ibu-ibu di warung tak bisa dihindari.

“Dasar ibu-ibu kampung yang bisanya cuma ngurus hidup orang,” gumamnya pelan, nada dingin tapi penuh kebanggaan terselubung. Tak ada yang berani membalas, hanya tatapan iri dari balik punggung mereka.

Sesampainya di rumah, Atna menutup pintu dan menguncinya perlahan. Suasana dalam rumah seketika sunyi, hanya napasnya yang terdengar.

Aura gelap dari ritual susuk semakin menebal di udara. Ia tersenyum tipis di depan cermin, menyadari kekuatan yang mengalir dalam dirinya kini semakin kuat—mengintai, menunggu, siap memicu teror di desa.

Tak lama, di depan cermin, Atna melihat sesuatu yang membekukan tubuhnya: sosok pocong muncul—wajah mengerikan, mata kosong menatap lurus, bibir terkatup kaku, kain kafan kusut dan mengelupas.

Aura dingin dan gelap yang keluar membuat udara menusuk kulit.

Atna teringat pesan dukun yang ia abaikan: sesajen harus diberikan setiap selesai ritual. Panik menyelimuti dirinya. Mengabaikan peringatan itu bukan kesalahan kecil; itu panggilan bagi kekuatan gelap untuk muncul, memburu, menuntut pengorbanan.

Tubuhnya gemetar hebat, keringat dingin menetes di pelipis.

“Ini… ini salahku…” bisiknya, hampir tenggelam di desahan angin malam yang seolah menertawakan pocong itu.

Bayangan tetap menatap, diam, namun ancamannya nyata. Atna tahu: malam itu adalah awal teror yang tak bisa dihindari, teror yang mengancam dirinya dan seluruh desa.

Ia menyiapkan sesajen di ruangan khusus, tempat dipenuhi aroma dupa dan lilin. Meja kayu tua ditata rapi dengan kemenyan mengepul, bunga segar, air suci, dan koin kuno yang berkilau di cahaya lilin temaram.

Tangannya gemetar saat menata sesajen, mata tetap fokus, menyadari pentingnya setiap langkah. Aura gelap dari susuk menekan, seolah ada mata yang terus mengawasi dari balik bayangan.

“Semoga ini cukup… semoga dia puas,” bisik Atna, suaranya hampir tenggelam oleh desiran angin malam. Ia menyalakan kemenyan terakhir, asap putih naik melayang, berbaur dengan bayangan gelap di sudut ruangan.

Hati Atna berdetak kencang. Ritual ini bukan sekadar formalitas; ini pengikat yang menahan teror yang menunggu di luar.

Satu langkah keliru, dan kekuatan pocong bersusuk yang mengintai bisa lepas, membawa malapetaka tak hanya untuk dirinya, tapi juga seluruh desa.

*

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!