NovelToon NovelToon

Young Money

Part 1

"Kak, gue dah mau nikah loh sama si aldo! Lu kapan mau nikah? Itu papa gak boleh in gue nikah kalo lo belum nikah? Masa lo tega bikin gue sama Aldo nunggu elo, mau berapa taun lagi coba? Mana lo gak deket sama cewek mana-mana lagi! " Omel Silvia pada Bimo, kakaknya yang tak kunjung menikah di ruang kerjanya.

Bimo hanya menatap adiknya lalu menghela nafas dan kembali menatap cerita yang tengah di tulisnya. "Yaudah bilang aja sama papa, kalo dah ku ijinin. Lagian kamu yang mau nikah kenapa aku kena juga sih? " Silvia hanya menghela nafas dengan berat dan matanya yang mulai berkaca-kaca.

"Kak, serius kak. Aku harus nikah sama Aldo kak. Aku gak bisa nunggu Aldo lebih lama lagi! " Silvia mulai menangis memohon pada kakaknya agar cepat mencari pasangan. "Aku gak mau nunggu lebih lama, apa kata orang-orang kalo perutku makin besar dan aku gak punya suami?! "

Bimo langsung menghentikan aktifitas menulisnya, laptop pun langsung di tutupnya. Matanya membelalak, tak percaya dengan ucapan adiknya barusan. "Maksudmu apa?!" Bentak Bimo tak percaya.

Silvia langsung pergi keluar dari ruangan Bimo dengan langkah lebarnya. Bimo ikut mengejar adiknya, sampai masuk ke kamarnya dan melihat betapa banyak test pack yang sudah di kencingi Silvia. Belum lagi USG dan hasil pemeriksaan yang semuanya positif.

"Kok bisa?! " Bimo langsung  menutup pintu kamar Silvia agar orang tuanya tidak curiga. "Gila ya kamu! Kamu ngapain aja sama Aldo?! " Bimo marah bukan main pada Silvia yang sudah begitu sembrono.

"Makannya kakak buruan nikah! Biar aku bisa cepet nikah juga kak! "

"Jawab! Lo apa gak mikir jauh sih? Lo tu masih kecil! Gila ya! Berapa kali ML lo sampe bunting begini?! "

"Itu gak penting kak! Sekarang tu yang penting lo cepet kawin! Nikah! Biar gue sama Aldo bisa cepet nikah juga! "

Bimo hanya bisa memejamkan mata dan mengusap wajahnya dengan frustasi. Bagaimana tidak?! Silvia yang selama ini ia awasi dan ia jaga dengan baik, sekarang hamil. Hamil duluan pula! Kakak mana yang tak terkejut bila hal ini menimpa adiknya? Terlebih Bimo tau bagaimana sopan dan kalemnya Aldo, bagaimana bisa orang sebaik itu menghamili seorang perempuan yang belum di nikahinya.

"Aku kecewa punya adek kayak gini! Kamu ini kayak pelacur tau gak? Kamu pacaran aja dah salah! Apalagi sampai ML!  Mana hamil lagi!! " Maki Bimo lalu keluar dari kamar adiknya dengan rasa terkejut dan kecewa.

Suara isakan Silvia mulai terdengar meskipun pelan setelah Bimo membanting pintu kamarnya. Bimo di buat pusing, bila adiknya hanya memaksanya untuk menikah saja awalnya sudah membuatnya pusing. Sekarang Bimo makin pusing begitu tau apa yang menyebabkan adiknya ingin cepat-cepat menikah meski usianya belum genap 25 tahun.

"Ma... " Panggil Bimo pelan pada ibunya yang tengah senam aerobik bersama beberapa teman arisannya di rumah.

"Iya ibu-ibu tahan ya, 1...2...3...kiri...hap hap... Pinggulnya jangan kasih kendor! " pekik instruktur senamnya dengan kemayu dan semangat, maklum dibayar cukup besar.

Bimo yang ingin memberi tau mamanya soal Silvia yang hamil duluan langsung mengurungkan niatnya. Apalagi mamanya tengah sibuk senam begini. Benar-benar momen yang tidak pas bila ia memberi tau sekarang soal Silvia. Bisa-bisa mamanya struk atau bahkan jantungan.

Bimo kembali melangkah masuk ke ruangannya. Gantungan " Don't Disturb! " kembali tergantung di gagang pintu ruangannya. Kepalanya terasa benar-benar akan pecah tiap memikirkan apa yang dilakukan adiknya hingga sesembrono itu. Ia tak pernah menyangka apa yang kerap ia sunting dan ia tulis dalam naskah-naskah film, sinetron, atau FTV-nya akan terjadi di kehidupannya.

Kok bisa? Kapan ngelakuinnya coba? Kenapa bisa sampai ML? Gimana ceritanya? Kok mau sih? Ya ampun! Sekarang harus gimana?! Batin Bimo yang tak habis pikir dengan apa yang dilakukan adiknya itu. Pikirannya kacau bukan main. Bahkan ia tak bisa membayangkan apa yang di lakukan Aldo sampai bisa merayu Silvia,  berhubungan intim pula!

Bimo sama sekali tak bisa memikirkan apa yang akan terjadi padanya akan mirip dengan skenario yang kerap di garapnya. Bahkan Bimo sampai tak bisa berfikir dengan benar lagi harus bagaimana menghadapi semua. Pikirannya di penuhi tanda tanya besar atas kelakuan adiknya yang kelewat batas itu. Bahkan Bimo benar-benar heran adiknya yang tengah menggarap skripsi itu bisa-bisanya hamil.

Tbc..

Part 2

"Pak Trisno, ini minggu depan sudah jatuh tempo loh utangnya... " ucap pegawai bank dengan cukup sopan pada pak Trisno.

"Pabriknya kan buat jaminan. Di sita saja gapapa. Cuma itu yang saya punya... " Pak Trisno hanya bisa menghela nafasnya dengan berat.

Usahanya yang begitu maju dan berkembang kini malah merugi sampai pailit begini. Asetnya juga sudah habis untuk membayar hutang-hutangnya. Istrinya yang sakit-sakitan juga perlu banyak biaya untuk berobat.

"Assalamualaikum... " Salam Andin begitu memasuki gerbang rumahnya yang lebih kecil dari rumahnya dulu.

"Wa'alaikumsalam... " Jawab pak Trisno dan pegawai bank secara bersamaan.

"Bikinin teh." Perintah pak Trisno pada Andin.

"Gak usah mbak, pak. Saya mau langsung saja. Permisi, assalamualaikum... " Pamit si pegawai bank yang langsung pergi.

Andin hanya diam sambil menatap pegawai bank yang pergi berlalu dan ayahnya yang terlihat murung. Tak lama mata Andin tertuju pada amplop-amplop tagihan di meja, Andin hanya bisa menghela nafasnya dengan sangat berat. Sedih bukan main, ia yang dulu hidup bagai putri. Sekarang harus bekerja keras sebagai pelayan dan guru privat membaca anak-anak TK. Ia yang biasa menghabiskan uang beberapa juta hanya untuk membeli tas atau sepatu, kini harus mengais-ngais hanya untuk sekedar makan dan membeli obat untuk ibunya.

"Udah di tagih ya Yah? " Tanya Andin yang sudah jelas jawabannya.

"Kamu gak usah ikut mikir. Nanti makin kurus." Jawab pak Trisno sambil tersenyum, berusaha menghilang kekhawatiran putri semata wayangnya. "Kamu pakek aja uangmu buat jajan, beli paketan, ke salon. Ayah sama ibumu gapapa. Jangan khawatir. " Sambungnya lalu merapikan amplop-amplop di meja.

"Kapan tenggangnya Yah? "

"Eh alah kamu ini, di bilang gak usah ikut mikir kok malah banyak tanya... "

Andin hanya bisa mendengus dan masuk ke kamarnya. Suara ibunya yang terus batuk sudah menjadi hal biasa baginya saat ini. Atau melihat tikus yang lewat di atas lemarinya, juga cicak bahkan tokek yang kini menghiasi plafon kamarnya. Tak hanya kamarnya, semua juga bisa gitu. Andin yang awalnya jijik kini terbiasa tinggal di rumah sempit tipe 36, setelah rumahnya di lelang untuk menutup hutang bank yang terus mencekik. Bila awalnya Andin mengira hutang keluarganya sudah lunas saat itu, ia salah. Karena sekarang gantian bunga dari hutang itu yang mencekik keluarganya.

Andin tau bila ini adalah resiko seorang pengusaha seperti ayahnya. Hampir tiap hari sejak ia masih TK sampai sekarang orang tuanya terus mengucapkannya. Bahkan saat ia terlihat putus asa, ayahnya masih mengucapkan hal yang sama padanya. Tentu saja itu tidak menghiburnya sama sekali tapi kembali ke ucapan ayahnya yang lain "...hidup tidak selamanya manis dan menyenangkan, makannya di sebut kehidupan. Kalo seneng terus nanti kamu lupa bersyukur lagi... " kurang lebih begitulah ucapannya.

"Bu, tadi waktu aku ngajar ibunya muritku ngasih ini. Ayam ragi, kasih banyak. Yaudah aku bawa pulang aja. Abis gak sempet makan disana." Dusta Andin sambil mengambilkan makanan untuk ibunya yang duduk lesehan di samping ayahnya.

"Baik ya orang tua muridmu... " Komentar bu Tuti lembut dan sedikit serak.

"Iya, orangnya kalo masak suka banyak Bu. Kadang anak tetangganya juga dia kasih makan. Badannya juga ya Bu, heh! Segini! " Andin meletakkan piring untuk ibunya lalu melebarkan tangannya mengkira-kira tubuh wali muridnya, tentu saja ia hanya berdusta agar ibunya tertawa.

"Heh gak boleh gitu! " Andin langsung meletakkan piring ibunya dan beralih mengambilkan nasi untuk ayahnya.

"Hihihi... Ibu harus sehat, nanti Andin ajak ketemu. Pasti ibu bakal ketawa." Andin masih berusaha membuat ibunya tertawa meskipun ia tau, ia tak bisa mencari bahan candaan yang menyenangkan. "Tv nya di nyalain ya? " Tanya Andin meminta izin.

"Jangan, belum beli pulsa listrik. Nanti mati lampu. Warung depan mati. Besok aja nonton nya... " Cegah pak Trisno. "Lagian mau makan apa nonton sih? " Sambungnya lagi lalu mulai memakan ayam jatahnya.

Kayak ayam yang biasanya dulu. Kira-kira begitulah yang di batin orang tua Andin begitu memakan suapan pertamanya dan saling tatap.

"Kamu makan yang banyak! Nasinya tambahin, badan dah sampe balung entut gitu!"

Andin hanya menatap ayahnya sambil tersenyum lalu menambahkan secentong nasi lagi kepiringnya. Andin tau bila ia makan banyak besok pagi ibunya tak bisa makan. Andin juga tau bila ia menyalakan TV, ayahnya belum bisa membeli pulsa listrik. Sementara orang tua Andin jelas tau bila putrinya pasti bekerja sangat keras untuk membeli ayam goreng ragi yang sekarang tengah mereka santap.

"Ibu kenyang Yah... " Ucap bu Tuti yang sengaja menyisakan banyak ayamnya agar besok tak perlu mencari lauk lagi begitu pula dengan Andin dan ayahnya.

"Ayamnya ke asinan, buat besok lagi aja... " ucap Andin yang merapikan meja makan sementara ayahnya mengurus ibunya yang sakit-sakitan.

Andin tau ayam yang ia beli rasanya pas dan sangat lezat. Harganya cukup mahal baginya saat ini yang hanya berpenghasilan kurang dari dua juta dengan dua pekerjaannya, tiga puluh ribu sepotongnya. Sama seperti uang beras keluarganya tiga hari.

"Andin, tolong belikan pulsa. Lima ribu aja ya,  ini uangnya... " Pak Trisno langsung mengeluarkan uang recehan lima ratus bahkan ada yang seratus dan dua ratusan.

"Andin jual pulsa Yah, gak usah beli." Jawab Andin lalu mengirim pulsa pada ayahnya.

"Yaudah, ini ayah tetep bayar pulsa ke kamu... "

"Andin isiin listriknya ya Yah... "

"Gak usah, kalo kita ada listrik nanti di tagih sama bank lagi gimana? Nanti di tanya, bisa beli listrik kok gak bayar di bayar-bayar? Hayo gimana? "

Andin hanya mengangguk pelan lalu menyalakan obat nyamuk bakar tang sudah patah, sengaja agar lebih irit.

"Dah kamu tidur, besok ayah coba hubungi teman ayah. Siapa tau mau bantuin kita... " Ucap pak Trisno lalu keluar dari kamar putrinya yang hanya di tutul pintu triplek yang bolong di gigit tikus.

Tbc..

Part 3

Pagi menjelang, sebelum matahari terbit Andin selalu bangun lebih awal. Membuat bubur untuk sarapan, memasak air untuk ibunya, membuat teh dan merapikan kamar. Sementara ayahnya menyapu dan mengepel agar ibunya sedikit terbantu karena debu yang tak bertebaran.

Andin hanya menatap miris pada kondisi ibunya. Kalau dulu ia hanya flu atau demam biasa saja orang tuanya akan membawanya ke dokter di rumah sakit terbaik. Kini saat ibunya sakit parah begini hanya bisa di beri obat penahan sakit saja, itupun di beli hanya berdasarkan resep dokter yang lama dan di apotek biasa.

"Bu, obatnya ibu habis. Nanti ke dokter yuk habis Andin gajian. Biar obatnya ganti gak itu-itu terus." Ucap Andin sambil memijit kaki ibunya.

"Gak usah, ibu dah sehat. Besok juga dah bisa di ajak joging... " Tolak bu Tuti halus lalu terbatuk pelan.

"Gapapa Bu, cek up aja. Aku ada uang ini."

"Eh, ibu liat di koran minggunya ayah ada film baru, Snow Wite. Kamu gak nonton itu? Ajakin pacarmu Bram, apa Salma sana nonton. Kamu dah lama gak nonton kan? "

Bram jadian sama Salma, Bu. Begitu tau kita bangkrut gini, temenku juga dah hilang semua. Tinggal ibu sama ayah aja temenku, batin Andin sambil menatap ibunya.

"Kamu gak kerja? " Tanya pak Trisno begitu melihat putrinya belum siap-siap.

"Ini mau siap-siap, nanti cuma ngelesin anak SD doang. Santai... " Jawab Andin lalu bangun dan keluar dari kamar orang tuanya.

Pak Trisno dan istrinya hanya diam sampai Andin berangkat. Sembari menunggu bu Tuti memakan sarapannya dan obatnya, obat yang tak mungkin menyembuhkannya. Bagaimana mau sembuh bila itu hanya penambah darah dan aspirin, maklum bu Tuti kerap merasa dingin kadang menggigil.

"Bu, Andin kerja dulu ya... " pamit Andin lalu di antar ayahnya sampai depan. "Kerja dulu ya Yah... " pamitnya lagi.

"Hati-hati ya Nak... "

Pak Trisno terus menatap Andin dan motor secondnya yang jauh ketinggalan jaman bahkan perlu di genjot untuk menghidupkannya. Tiap kali pak Trisno melihat putrinya yang banting tulang dan harus berpura-pura ceria dan bahagia tiap kali membantu memenuhi kebutuhan rumah tangga, membuat hatinya miris dan sedih. Putrinya yang selalu pergi dengan mobil bahkan bisa memilih mobil mana yang ingin ia pakai, kini jangankan mobil. Motor matic saja tak bisa di beli, hingga hanya memakai motor bebek yang dulu di pakai para tukang kebun di pabriknya. Karena memang itu yang tersisa.

"Semalam aku telfon sama Hendro. Temenku waktu susah dulu itu loh, ingat kan? " Bu Tuti langsung mengangguk menunggu suaminya melanjutkan ceritanya. "Aku minta bantuan, katanya dia mau kesini dulu nanti. Kayaknya mau, kita do'a saja biar nanti ada sesuatu. Biar kita bisa bayar utang. Setidaknya kita gak di kejar pegawai bank lagi..." Bu Tuti kembali mengangguk lalu tersenyum lembut. "Utang kita dah hampir setengah miliar, kalo cuma ngandalin yang ada sekarang gak nutup. Aku gak tega liat kamu sakit gini, Andin juga jadi kerja kasar gitu... "

"Aku gapapa, gak usah khawatir. Yang penting Andin gak kerja pontang-panting sana-sini aku dah seneng... " ucap bu Tuti lalu meletakkan mangkuk buburnya di atas meja kecil di sampingnya.

"Terimakasih, kamu mau temenin saya terus. Ada buat saya, gak ninggalin saya waktu kere begini... " Pak Trisno menggenggam tangan bu Tuti sambil menangis, tak menyangka bila istrinya akan seikhlas ini menerima keadaanya.

●●●

"Pa, kita jadi bantu si Trisno? Aku lama gak ketemu sama istrinya. Ku kira usahanya baik-baik saja, gak taunya kolaps begini... " ucap bu Alin sambil mengambilkan sarapan untuk suaminya.

"Katanya istrinya kena TBC juga. Aku nanti mau nengokin. Tapi ya jelas ku bantu... Kan jelas dia sudah kayak sodaraku. Dulu aku ingat banget waktu masih mulai dari bawah, sikat gigi loh bagi dua sama dia. Gantian! " Pak Hendro sampai geleng-geleng kepala mengingat masa mudanya dulu yang baru memulai bisnis.

"Hueek... Huek... Huek! " suara Silvia yang muntah-muntah terdengar cukup keras apalagi ia muntah di kamar mandi luar bukan yang di kamarnya.

Bimo yang baru sampai dan baru saja menyentuh piring langsung meletakkan piringnya kembali. Nafsu makannya langsung hilang begitu mendengar Silvia muntah-muntah. Hanya orang tuanya yang bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa dan masih melanjutkan obrolan soal masa lalunya. Bimo memang bukan pengidap OCD seperti penulis lain yang mudah jijik. Bimo bahkan masih bisa makan saat ayahnya kentut dengan baunya yang begitu menyengat atau hal yang lebih menjijikkan lainnya. Tapi saat ia tau bila adiknya muntah-muntah karena hubungan di luar nikah dan hanya ia yang tau, rasanya benar-benar menjijikkan.

"Gak jadi makan Kak? " Tanya pak Hendro yang hanya di jawab dengan gelengan oleh Bimo dan langsung kembali ke kamarnya.

"Adek masuk angin? " tanya bu Alin khawatir pada putrinya.

Silvia hanya mengangguk lalu mencari jeruk lemonnya. "Kak Bimo suruh cepet nikah dong Ma, Pa. Aku sama Aldo mau nikah, aku mau cepet nikah! " Ucap Silvia meminta bantuan orang tuanya untuk memaksa kakaknya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!