NovelToon NovelToon

Jodoh Jalur Orang Dalam

Mendadak Nikah

“Hamil?!”

Suara pria paruh baya menggelegar di ruang tamu sepi, hampir tengah malam. Matanya melotot marah, menatap tajam ke arah perempuan muda yang tak lain adalah anaknya sendiri. Anak itu duduk, menundukkan kepalanya.

Tak ada jawaban. Perempuan paruh baya yang duduk bersebelahan dengannya juga menatap terkejut. Kabar ini sangat mengejutkan. Terutama datang dari putri sulungnya yang baru saja pulang dari tanah rantau sore tadi.

“JAWAB, NIRA!” Suara pria tersebut terdengar lebih keras dari sebelumnya. Napasnya terengah. Tangan menyentuh dada kirinya seolah menenangkan jantung yang berdebar cepat karena kabar yang dibawa anak gadisnya itu.

Nira mengangguk pelan. Sekali. Tapi dampaknya luar biasa. Mardi melangkah mendekati sang putri. Menarik perempuan yang masih tetap menunduk agar berdiri dan menampar kencang pipinya.

Wajah Nira tertoleh ke samping. Nira memejamkan mata. Merasakan perih yang teramat sangat di pipinya. Air mata mulai menetes, tapi dia masih belum berani mengangkat wajahnya.

Mardi balik badan. Tangannya mengepal. Tatapnya kosong ke arah dinding. Matanya memerah. Berusaha menahan emosi yang menguasai pikirannya.

Sinta hanya menunduk, diam. Tak berani bersuara saat keadaan kembali hening. Isakan lirih nan pelan terdengar dari bibir Nira. Tapi, Sinta tak berniat menenangkan. Perasaannya kacau.

“Anak dua nggak ada yang bisa banggain orang tua! Dua-duanya sudah bertindak di luar batas! Yang satu, menghamili anak orang. Dan yang satunya, dihamili orang. Apa kalian ingin mempercepat kematian kami, hah?!” Suara Mardi kembali mengudara.

Hatinya hancur. Hati orang tua yang gagal mendidik anak-anaknya hingga mereka semua melakukan hal yang jelas di larang agama. Berzina. Sampai hamil.

“Maafin aku, Pak, Bu.” Nira bersuara pelan.

Tengah malam. Suasana sunyi, jelas saja suara sepelan apapun akan terdengar.

Mardi membalikkan tubuhnya dan berjalan mendekati Nira.

“Angkat wajahmu!” Sebuah perintah tegas yang tak bisa dilawan Nira.

Perlahan, ia mengangkat wajahnya. Tapi tetap tak berani menatap wajah Bapaknya.

“Berapa usia kandunganmu?”

“En-enam, Pak.”

Martin mengusap wajah. Enam bulan?

“Kenapa baru sekarang kamu pulang dan kasih tahu kami? Kenapa nggak dari dulu? Atau … Kenapa sekalian saja sembunyikan kehamilanmu itu di rantau sana dan pulang-pulang bawa bayi?”

Nira terdiam. Ia tahu, dari suara Bapaknya, pria yang menjadi cinta pertamanya itu sangat kecewa padanya.

“Siapa namanya?”

“Riki.”

“Bilang padanya. Suruh datang ke sini, bawa keluarganya. Kalian akan segera menikah.”

Sinta berdiri dan menyuarakan protesnya. “Nggak bisa gitu dong, Pak. Harus ada lamaran dulu. Kalau tiba-tiba menikah, apa kata para tetangga dan orang-orang nantinya?”

Mardi menoleh. “Harusnya dia mikirin itu sebelum ngasih tahu kita kalau dia sudah hamil enam bulan,” tunjuknya pada Nira.

Mardi menghela napas panjang. Berat. “Tinggal tiga bulan lagi. Kalau pakai acara lamaran, dan lain sebagainya, Nira keburu lahiran sebelum menikah. Lebih fatal lagi akibatnya. Kita sudah malu, Bu. Sejak Tomi menghamili anak gadis orang, kita sudah menanggung malu. Dan sekarang… kita kembali harus menahan malu karena anak sulung kita. Harapan kita satu-satunya, melakukan hal yang sama. Hamil di luar nikah.”

Sinta tak bisa membantah. Ia kecewa. Tapi, semuanya sudah terlanjur terjadi. Disesali pun, tak kan guna. Nira telah hamil. Di luar nikah.

“Masuklah ke kamarmu, Nira. Segera kabari pria yang menghamilimu itu,” perintah Mardi.

Nira mengangguk dan berlalu pergi. Menuju kamarnya.

Sinta mendekat, mengelus lengan sang suami yang ia tahu memendam perasaan yang tak bisa ia jelaskan dan menahan emosi yang jika dilampiaskan, bisa saja membuat semuanya makin hancur dan kacau balau.

Setelah hanya ada mereka berdua di ruang yang lengang itu, Mardi terduduk lemas di sofa. Raut wajahnya jelas lelah. Banyak pikiran. Sinta ikut duduk di sebelah, masih mengelus lengan suaminya.

“Kita memang menginginkan dia untuk segera menikah. Tapi bukan begini caranya. Bukan dengan cara dihamili orang lain.”

Mardi berkata pelan. Nada suaranya terdengar sangat kecewa. Kembali ia melanjutkan,” Kita mengijinkan dia merantau demi pekerjaannya. Keinginannya. Tapi, apa yang dia bawa pulang? Dia membawa aib yang tak bisa kita tutupi. Dia membawa kita ke jurang malu yang tak berkesudahan.”

“Kalau saja waktu itu, aku tak mengijinkannya pergi, mungkin saja dia tak bertemu pria brengsek di sana sampai akhirnya dia hamil. Bapak nggak sangka dia…” Jeda sesaat. Mardi menarik napas pelan, dan kembali melanjutkan,” Anak yang kita banggakan, kita harapkan, justru meludahi kita tepat di wajah. Walau dibersihkan dengan air sebersih apapun, wajah kita sudah tercoreng. Wajah kita ikut kotor akibat perbuatan anak-anak kita.”

Sinta terisak pelan. Mengangguk setuju akan perkataan suaminya.

“Nasi telah menjadi bubur, Pak. Kita sudah tak bisa mengubah nasib. Jika memang tak ada lamaran, setidaknya kita mengadakan pesta pernikahan, Pak. Nira anak perempuan kita satu-satunya. Ibu ingin dia merasakan kebahagiaan. Ibu ingin melihatnya di pelaminan. Seperti harapan kita.”

Mardi menoleh. “Semua orang akan tahu kalau Nira tengah hamil jika kita mengadakan pesta.”

Sinta menggeleng. “Perut Nira belum kelihatan membuncit. Kalau tidak sekarang, kapan lagi? Aku akan carikan dia gaun pernikahan yang cukup besar untuk menutupinya. Jangan sampai orang-orang berpikir buruk karena pernikahan Nira yang dadakan.”

“Tanpa pesta pun, orang-orang juga tahu kalau Nira nikah karena hamil duluan. Dia sudah hamil enam bulan, Bu. Sedangkan dia belum menikah. Kita tinggal di kampung. Berita itu akan cepat menyebar ke seluruh pelosok kampung. Atau bahkan sampai luar kampung. Cepat atau lambat, semuanya akan tahu.”

“Makanya kita percepat semuanya, Pak. Ibu tetap pingin mengadakan hajatan untuk pernikahan Nira.”

Mardi menghela napas lalu berdiri. “Terserah. Ibu atur aja.” Setelah mengatakan kalimat itu, Mardi beranjak. Melangkah gontai, masuk ke dalam.

***

“Aku kira kamu perempuan alim, Kak. Tapi ternyata sama aja.”

Suara itu membuat Nira yang tengah duduk diam, menatap kosong sawah di bawah rumahnya, menoleh.

Tomi menyeringai. Duduk di sebelah sang kakak dan ikut menatap sawah yang ditanami padi yang mulai menguning. Suara cicitan burung pipit yang hinggap di biji padi itu terdengar pelan dan ramai saat suara orang yang menjaga padi-padi itu berteriak keras, mengusir para burung.

Rumah mereka memang berada di tepi sawah. Benar-benar definisi rumah mewah-mepet sawah alias dekat sawah. Hampir menempel, jika tak dipagari.

“Bapak dan Ibu sudah bilang ke kamu?” tanya Nira kembali menatap sawah. Matanya menangkap satu dua burung pipit yang mulai hinggap di batang padi, tapi tak berniat mengusirnya.

“Nggak perlu bilang, aku sudah tahu kok. Perutmu kelihatan.”

Tomi memantik api dan menyulut rokok. “Apa dia tampan? Atau mapan? Kok bisa kamu terkena bujuk rayu dan berakhir dengan perut membuncit seperti itu? Emang nggak pakai pengaman?”

Santai saja pertanyaan Tomi, adiknya Nira. Seolah percakapan itu tak membuat badai di dalam keluarganya.

“Diam kamu! Kamu sendiri, apa sudah mapan saat kamu menghamili anak gadis orang, hah?” Balas Nira menarik sudut bibirnya, tersenyum sinis.

“Takdir mungkin. Aku sudah memakai pengaman. Dia juga sudah mencoba menggugurkannya, tapi anak itu tetap bertahan.”

Tomi menelisik wajah kakaknya lalu tersenyum. “Diapakan sama Bapak semalam? Kayaknya mukamu, badanmu, semuanya baik-baik aja. Jangan bilang cuma dibentak doang terus selesai.”

Nira tersenyum. “Nggak mungkin Bapak memukulku walau kesalahan yang ku lakukan merusak kepercayaannya.”

Tomi mendengus. Mengepulkan asap rokok ke udara. “Wajar sih. Selain perempuan, kamu adalah anak yang selalu ia banggakan. Ia pamerkan ke semua orang. Anak satu-satunya di kampung ini yang berhasil sekolah sampai Universitas. Sekecewa apapun dia, Bapak pasti nggak akan menyakiti fisikmu.”

“Fitri mana?” Nira mengalihkan pembicaraan.

“Posyandu.”

Nira mengangguk. Ponselnya di atas meja berbunyi. Ada nama Riki tertera di layar. Nira menoleh pada Tomi, memberi kode mata agar adiknya itu pergi dari sana. Tomi menghela napas lalu bangkit berdiri. Meninggalkan Nira yang kini menerima panggilan dari sang kekasih.

“Halo, Sayang.”

“Iya. Kamu udah ngomong sama orang tua kamu?”

Nira mengangguk. Rupanya, dia semalam belum bicara dengan sang kekasih mengenai permintaan Bapaknya.

“Udah. Kamu diminta datang beserta keluargamu. Kita akan langsung menikah.”

“Apa?! Langsung menikah?”

“Iya. Sudah enam bulan, kalau kamu lupa, Rik. Nggak ada waktu lagi.”

“Tapi… Bagaimana aku bisa ke sana bersama keluargaku? Jarak rumah kita jauh. Untuk ke sana, aku membutuhkan biaya yang nggak sedikit. Ditambah lagi dengan bawa keluarga.”

Nira menghela napas. “Ya sudah. Urus saja semuanya. Untuk biaya, aku yang akan membayarnya.”

“Nah… Kalau gitu, baru bisa. Aku akan segera mengurus semuanya dan datang ke sana. Kita akan segera menikah. Impian kita berdua akan segera terwujud, Sayang. Aku bahagia banget. Tunggu aku ya. Aku pasti datang.”

Nira mengangguk lagi walau Riki tak melihatnya.

“Ya sudah, Sayang. Aku harus segera berangkat kerja. Nanti kalau upahku sudah dibayar, aku akan mengganti semua uangmu. Ya?”

“Ya. Hati-hati, Sayang.”

“Iya, Sayang. Jaga diri kamu dan anak kita ya.”

Nira mengangguk lalu memutus sambungan. Meletakkan ponsel di atas meja, ia kembali memandangi sawah di bawah pagar rumahnya yang cukup tinggi. Fisiknya di sana, tapi pikirannya di tempat lain.

Hatinya sedikit ragu, tapi tak ada pilihan lain. Lebih tepatnya ia tak punya pilihan selain menikah dengan Riki, pria yang ia kenal satu tahun lalu sekaligus pria yang menghamilinya.

Rasa Kopi yang Sama

Nira memijit keningnya yang mendadak pusing setelah Riki mengirim rincian biaya transportasi yang akan digunakan Riki beserta keluarganya untuk datang ke kampung halaman Nira.

Ini belum apa-apa. Sinta juga meminta pesta resepsi mewah, menyewa gedung, dekorasi, katering, dan lain-lain untuk pernikahannya nanti.

Walaupun untuk yang satu itu, menggunakan uang orang tuanya, tapi tetap saja, gaun, serta MUA yang akan meriasnya harus memakai uangnya sendiri. Nira sudah punya pilihan MUA-nya sendiri. Jauh-jauh hari sebelum ia hamil.

[Riki: Maaf, Sayang. Kalau bonusku udah turun, aku pasti akan ganti. Sementara ini, tabunganku aku pakai untuk beli seserahan buat kamu. Kamu nggak marah ‘kan?]

Nira membaca pesan itu. Mau menolak pun, tak bisa. Riki harus datang bersama keluarga besarnya. Ia tak ingin mengulur waktu dengan berdebat masalah uang transport. Maka Nira menjawab pesan, mengiyakan. Ia setuju membiayai transportasi Riki dan keluarganya.

“Nira, dimana Ibumu?”

Nira menoleh, melihat Mardi lalu menunduk. “Ke rumah Budhe Umi, Pak,” jawabnya pelan.

Mardi duduk di seberang putrinya. Memandangi sang putri yang menundukkan kepalanya sambil memegang ponselnya.

“Sudah berapa lama kalian berhubungan, Nira?”

“Sa-satu tahun, Pak.”

“Apa dia tampan?”

Nira mengangguk sekali.

“Apa pekerjaannya?”

“Sales obat, Pak.”

Mardi mengangguk. “Jadi, kalian bertemu di rumah sakit tempatmu bekerja?”

“Iya, Pak.”

Mardi menghela napas pelan. Mata tuanya menatap langit-langit ruangan. “Maafkan Bapak sudah menampar pipimu semalam. Saat tangan Bapak terangkat, hati Bapak jauh lebih sakit dibanding apapun, Nira. Sungguh. Tak ada yang melebihi sakitnya saat tangan yang sejak kamu lahir, menggendongmu, memberikan kasih sayang tak terbatas, pada akhirnya melukai pipimu.”

Mardi beralih menatap satu tangan yang ia gunakan menampar pipi putrinya semalam. “Bapak kecewa. Bapak marah. Bapak telah gagal mendidik kalian. Apa selama ini Bapak terlalu memanjakan kalian, sampai kalian meludahi wajah Bapak yang sudah tak punya harga diri lagi di mata kalian, hah?”

Nira menggeleng cepat. Matanya berkaca-kaca.

“Kamu tak ada di sini saat Bapak memukuli adikmu karena telah menghamili anak gadis orang. Kamu tak melihat sebesar apa kemarahan Bapak pada adikmu itu. Yang kamu tahu adalah pada akhirnya Bapak menikahkan mereka setelah adikmu babak belur di tangan Bapak.”

Mardi menghela napas. Matanya kuyu, semalaman tak bisa tidur. Ada rasa sesal setelah melukai hati Nira, anak yang ia banggakan.

“Mungkin kamu berpikir, semarah apapun Bapak, toh pada akhirnya Bapak akan memaafkan dan menerima kesalahan itu sehingga kamu pun berbuat hal yang sama.”

“Bapak pernah muda, Nira. Kehamilanmu ini mungkin tak disengaja, tapi kalian melakukannya jelas sengaja. Kalian sudah dewasa. Sadar penuh bahwa berhubungan intim di luar nikah, hasilnya akan seperti ini. Hamil. Dan ini yang terjadi. Yang Bapak sayangkan, mengapa kamu baru mengatakannya? Mengapa tak memberi tahu kami saa kamu terlambat datang bulan pertama kali? Apa kamu pikir, kamu bisa menutupi kehamilanmu ini pada orang tuamu? Pada kami? Kenapa, Nira? Kenapa?”

Nira terisak pelan. “A-aku takut, Pak.”

“Apa kamu pernah berniat menggugurkan kandunganmu? Kamu pernah mencobanya lalu gagal dan akhirnya terpaksa pulang memberitahukan kami tentang kehamilanmu ini?”

Nira menggeleng. “Nggak, Pak. Demi Tuhan. Aku nggak pernah berniat menggugurkan bayiku. Aku mencintai Riki. Dia juga mencintaiku. Kami memang berencana untuk menikah, Pak.”

“Apa ini caramu agar kami merestui kalian? Lewat orang dalam yang ada di perutmu sekarang?”

Nira terdiam.

“Baiklah. Kamu sudah menentukan jodohmu sendiri. Walau jalan kalian tak bisa dibenarkan, tapi semua sudah terlanjur terjadi. Bayi itu membutuhkan ayahnya. Maka, kamu sudah menentukan jalanmu sendiri. Mau nggak mau, Bapak tetap akan merestui kalian.”

Mardi berdiri. Hendak melangkah ke luar, mencari udara segar untuk menghilangkan sesak di dadanya.

“Aku nggak akan merepotkan Bapak dan Ibu lagi. Aku tahu jalanku salah, Pak. Tapi aku dan Riki akan bertanggung jawab. Setelah menikah, kami akan kembali ke kota. Kami akan hidup di sana. Kami akan mengurus anak kami sendiri.”

Mardi menghentikan langkah. Tanpa menoleh, ia berkata,” Semarah apapun Bapak sama kamu, kamu tetap anak Bapak. Silakan kalau kalian hendak mengurus rumah tangga kalian sendiri tanpa campur tangan kami. Tapi, kamu harus ingat. Bapak dan Ibu akan selalu menerima kamu apapun keadaanmu. Kalau kehidupanmu keras di sana, maka kembalilah. Ini rumahmu.”

Nira menatap punggung Mardi yang melangkah keluar. Hatinya sakit. Ia telah melukai cinta pertama dalam hidupnya itu. Dan rasanya, tak ada hal yang bisa membuat orang tuanya bangga lagi padanya. Ia telah membuat wajah kedua orang tuanya malu. Sekali lagi. Setelah sang adik lebih dulu mencoreng wajah kedua orang tua mereka.

***

Rumah mewah alias mepet sawah itu ramai. Satu buah bus terparkir di sisi jalan, depan rumah. Riki beserta keluarga besarnya telah tiba di kediaman kedua orang tua Nira setelah menempuh perjalanan selama dua belas jam.

Riki berasal dari kota provinsi sebelah yang mana juga tempat rumah sakit Nira bekerja.

Kini, kedua keluarga besar tengah berkumpul, berkenalan, dan langsung membicarakan acara pernikahan yang akan segera di gelar.

Gedung sudah dibayar, catering aman, gaun sudah siap,dan segala persiapan sudah rampung. Tak butuh waktu lama karena kondisi darurat. Ya. Nira harus segera menikah di bulan ini. Tak bisa ditunda sebelum perutnya semakin membesar.

Sinta punya banyak kenalan. Mudah saja baginya meminta urusannya dipercepat. Mardi juga punya banyak kenalan karena ia menjabat sebagai kepala dusun di kampung itu. Sedangkan Sinta, ia seorang guru.

Nasib. Kedua orang yang disegani seluruh kampung, justru memberikan contoh buruk. Ah tidak. Bukan Mardi dan Sinta yang melakukannya. Melainkan kedua anaknya. Dulu, seluruh kampung digemparkan dengan pernikahan dadakan Tomi yang sialnya masih duduk di bangku kelas tiga SMA. Dan sekarang, Mardi dan Sinta juga mengadakan pernikahan dadakan untuk Nira, putri sulung mereka.

Jelas saja, semua orang mulai menduga-duga. Menyebarkan gosip. Tak ada yang bisa dilakukan Mardi dan Sinta selain menebalkan muka, tetap mengangkat wajah, dan menyapa ramah semua orang yang mereka temui. Satu dua menjelaskan, jika tak ada yang dadakan. Pernikahan Nira sudah direncanakan, hanya saja tak disebarkan pada penduduk kampung.

Sedikit kebohongan untuk menyelamatkan harga diri walau tetap tak ada pengaruhnya. Besok lusa, semua orang akan tahu saat Nira melahirkan anak di saat usia pernikahannya baru tiga bulan.

Semua orang akan tahu apa penyebab pernikahan dadakan Nira.

Kembali ke rumah orang tua Nira. Riki membawa rombongan keluarga berjumlah lima belas orang. Mereka akan menginap di rumah orang tua Nira. Rumahnya luas, cukup untuk menampung orang sebanyak itu. Belum lagi ditambah beberapa keluarga dari orang tua Nira.

Pernikahan akan dilaksanakan lusa. Selama itu pula, bapak-bapak, para tetangga, berkumpul di rumah Mardi sekedar mengobrol sambil minum kopi, menikmati hidangan yang disediakan sang pemilik rumah.

“Lama nggak terdengar kabar, tiba-tiba Nira besok menikah. Dapat orang mana, Pak?” tanya salah seorang warga pada Mardi yang duduk tak jauh darinya.

Mardi tersenyum. “Dari kota sebelah.”

“Apa pekerjaannya, Pak?” tanya warga lain yang juga penasaran dengan sosok calon menantu sulung Mardi.

“Dia bekerja di perusahaan obat sebagai sales yang mengantarkan obat-obatan ke rumah sakit.”

“Hanya sales, Pak? Nira menolak pemilik bengkel tapi malah menikah sama sales obat?” Warga lain jelas menyindir.

Mardi tersenyum kecut. “Ya gimana lagi. Nira punya pilihannya sendiri.”

Para warga hanya mengangguk dan melanjutkan obrolan. Mardi menanggapi sesekali. Lebih banyak tersenyum. Menutupi resah juga penyesalan yang tak ada gunanya.

Di luar, bapak-bapak berkumpul, maka di dalam rumah, keluarga besar Riki dan keluarga Nira juga masih asyik mengobrol walau malam telah menjelang larut.

Nira sendiri sudah pamit, masuk ke kamarnya beberapa menit lalu. Ia menyandarkan punggungnya di atas ranjang. Pinggangnya terasa pegal. Selain karena kehamilannya, juga karena kelelahan mengurus segala sesuatunya untuk pernikahannya besok.

Besok adalah acara utamanya. Besok, Nira akan berganti status secara resmi. Seorang istri. Untuk beberapa bulan lagi, statusnya bertambah. Menjadi seorang Ibu.

Nira mengelus pelan perutnya. Sejauh kehamilannya, ia tak merasakan sedikitpun yang namanya mual, muntah, apalagi nyidam.

Entah ia harus bersyukur atau takut karena tak merasakan hal itu. Ia bukannya tak paham agama. Hanya saja, semua sudah terlambat. Ia khilaf. Ia termakan rayuan. Atau memang ia terbawa suasana saat itu.

Waktu semakin berjalan. Nira berusaha memejamkan mata. Ia harus cepat tidur. Mencoba mengenyahkan segala kegelisahan di dalam pikirannya.

***

Gedung serbaguna, tempat acara pernikahan Nira dan Riki itu tak terlalu luas. Letaknya di pinggir jalan utama provinsi. Gedung serbaguna yang menjadi lokasi pernikahan Nira dan Riki. Dekorasi khas adat daerah setempat. Pelaminan persis di tengah ruangan.

Di depan pelaminan, Riki sudah duduk bersebelahan dengan Nira. Kiri kanan sudah ada para saksi. Di depan mereka, duduklah penghulu dan Mardi.

Acara resmi dimulai. Dan saat para saksi mengatakan kata ‘sah’, maka, resmi sudah Nira dan Riki menjadi pasangan suami istri. Senyuman bahagia menghiasi wajah kedua mempelai. Akhirnya, impian mereka terwujud.

Setelah acara ijab qabul selesai, maka acara selanjutnya adalah resepsi. Mengusung tema adat setempat, kedua mempelai melakukan setiap prosesi yang ada.

Mardi duduk terdiam. Sesekali tersenyum, menyapa tamu. Berbeda dengan Sinta. Istrinya itu malah terlihat sangat bahagia menyapa para tamu dengan senyuman lebar.

Nira melihat itu semua. Senyuman terpaksa dari Mardi. Ia tahu—sampai saat ini, Mardi masih belum memaafkannya. Tapi ia yakin, lambat laun, Mardi akan menerima pernikahan ini. Menerima Riki sepenuhnya sebagai menantu.

Acara berlangsung seharian. Namun, raut wajah kedua keluarga besar tampak bahagia. Sama seperti pengantin baru itu. Setelah acara selesai, semuanya pulang ke rumah Mardi untuk esoknya, keluarga besar Riki kembali ke kampung halaman mereka.

Tak ada yang istimewa dalam pernikahan itu. Acara yang seharusnya sakral telah ternoda karena mereka telah menyalahi agama. Seharusnya perempuan yang tengah mengandung tak boleh menikah sebelum anaknya dilahirkan. Tapi, tak ingin menanggung malu lebih besar, mereka menebalkan muka. Melanggar segala aturan agama agar nama baik mereka tetap terjaga.

Ini tak boleh ditiru. Sangat tidak boleh. Melakukan hal di luar batas sebelum menikah sampai hamil lalu menikah karena takut ketahuan jika sedang mengandung.

Namun, dosa ditanggung masing-masing bukan? Jadi, mohon dengan sangat, jauhi segala kegiatan yang kiranya mengarah ke hal yang tidak baik yang bisa merugikan kalian sendiri. Bukan untukku, tapi untuk kalian sendiri.

Kembali ke rumah Mardi. Nira sudah berada di dalam kamarnya bersama Riki. Keduanya duduk bersebalahan di atas ranjang, berbincang santai.

“Aku udah nyari rumah sewa dua lantai. Persis yang kamu inginkan. Kamu lihat aja nanti,” ujar Riki.

Nira memiringkan tubuhnya, menghadap suaminya. “Aku percaya pilihanmu.” Sambil mengelus perutnya, ia tersenyum. “Terkadang, aku masih nggak percaya kalau di dalam sini, buah hati kita sedang bertumbuh.”

Riki menoleh. Tangannya terulur mengusap perut Nira dengan lembut. Bibirnya tersenyum. “Aku pun. Nira, apa kamu pernah merasa menyesal karena kehamilan ini?”

Nira menggenggam tangan Riki, menatap lekat wajah sang suami. “Pernah. Tapi bukan karena hamil ataupun kamu. Melainkan…” Nira menarik napas pelan dan mengembuskannya. “Seharusnya kita menikah lebih dulu. Aku bisa lihat kekecewaan Bapak. Rasanya…. entahlah. Aku merasa ini nggak benar tapi aku juga nggak bisa berbuat apa-apa.”

Riki mendekat, meraih tubuh Nira dan mendekapnya. “Bapak pasti akan menerima kenyataan ini perlahan, Nira. Seiring waktu, Bapak pasti akan memaafkan kita.”

Nira mengangguk, membalas pelukan Riki. Hanya ini yang ia butuhkan. Sebuah pelukan. Ia menyamankan diri dalam dekapan Riki hingga mata menyerah pada kantuknya.

***

“Selamat pagi, Pak.”

Mardi yang sedang menyirami tanaman, menoleh ke arah gerbang rumahnya. Di sana, seorang pria tengah duduk di atas motornya.

“Pagi. Masuklah, Raf.”

Mardi mematikan keran air dan berjalan mendekati tamunya.

“Maaf, Pak. Aku menganggu kegiatan Bapak pagi-pagi begini,” ucap pria itu seraya mendorong motornya masuk ke halaman rumah.

“Ah tidak. Hanya siram-siram tanaman saja. Ayo duduk,” ucap Mardi meminta pria itu duduk di teras.

“Terima kasih, Pak.”

Mardi mengangguk. “Dari mana kamu?”

Pria bernama Raffi itu tersenyum. “Biasalah, Pak. Muter-muter manasin motor.”

Mardi melirik ke arah motor Raffi. “Itu sepertinya bukan motormu.”

“Iya, Pak. Milik pelanggan.”

“Bengkel kamu makin ramai saja ku lihat, Raf.”

“Sedikit banyak disyukuri, Pak.”

Tak lama kemudian, Nira keluar rumah. Saat melihat siapa yang duduk di teras, tubuhnya mematung.

Pria itu.

Raffi tersenyum menatap Nira. “Hai, Nir. Apa kabar?”

Nira terdiam, masih menatap Raffi.

“Nira, tolong buatkan kopi,” ucap Mardi.

Nira menoleh pada Mardi dan mengangguk. Ia lantas balik badan, kembali masuk ke dalam rumah. Saking terkejutnya bertemu kembali dengan Raffi, ia sampai tak menjawab pertanyaan Raffi.

“Tidah usah repot-repot, Pak.” Raffi menggeleng pelan.

“Tidak repot. Cuma ngopi sebentar saja. Temani saya.”

Mau tak mau Raffi mengangguk, menghargai Mardi. Nira keluar membawa nampan berisi dua cangkir kopi. Ia meletakkannya di atas meja.

Raffi menatap Nira sekilas lalu mengalihkan pandang. Setelah itu, Nira ijin masuk ke dalam.

Langkah kaki baru saja mencapai pintu, saat suara Raffi terdengar pelan.

“Kopinya enak, Pak. Rasa yang sama. Tak berubah. Secangkir kopi dengan gula satu sendok teh.”

Bapak Memaafkanmu

“Ada tamu ya?”

Nira tersentak dan refleks menghentikan langkah. Ia mendongak, melihat Riki yang berdiri di hadapannya.

“Kenapa kamu kaget begitu?” Riki menaikkan satu alisnya.

“Ya kaget aja,” geleng Nira cepat.

“Siapa yang ada di depan? Tamunya Bapak?” tanya Riki lagi.

“Iya. Tetangga sih.”

“Ya udah kalau gitu, buatin aku kopi dong. Aku mau gabung sama mereka.”

Nira mengernyitkan dahi. “Kamu mau ikut gabung mereka?”

“Iya. Hitung-hitung mengakrabkan diri lah. Aku kan sudah jadi mantunya Bapak.”

Nira belum sempat menanggapi saat matanya melihat Riki sudah berjalan keluar. Mengembuskan napas sekali, Nira kembali masuk ke dalam rumah, membuatkan kopi untuk Riki dan membawanya ke depan.

“Ada tamu, Pak?” sapa Riki saat melihat seorang pria duduk di seberang Mardi.

Mardi dan Riki menoleh.

“Iya, Rik. Kenalin, dia Raffi,” ucap Mardi memperkenalkan Riki dan Raffi.

Raffi memberikan senyumnya dan berjabat tangan dengan Raffi.

“Raffi.”

“Riki.”

Riki lantas duduk di kursi kosong, tengah-tengah antara Mardi dan Raffi. Riki mengeluarkan rokok dari saku celananya dan meletakkannya di atas meja.

“Rokok, Mas,” ucap Riki.

Raffi tersenyum, menggeleng. “Saya nggak ngerokok, Mas.”

Riki mengangguk. Ia lantas menawarkannya pada Mardi yang langsung diangguki Mardi. Ketiganya lantas mengobrol. Nira keluar membawa secangkir kopi yang ia letakkan di atas meja depan Riki. Setelah itu, Nira kembali masuk ke dalam rumah.

“Nira memang nggak bisa membuat kopi yang nikmat,” ucap Riki setelah menyeruput kopinya.

“Karena dia nggak pernah ngopi. Seumur hidupnya dia jarang membuatkan kopi siapapun termasuk bapaknya sendiri.” Mardi menanggapi dengan senyum tipis di bibirnya.

Raffi terdiam. Ia hanya tersenyum saja. Ada sesuatu di dalam hatinya. Rasa hangat sekaligus lega karena sepertinya Nira tak melupakan takaran gula pada kopi kesukaannya.

Sementara ketiga pria dewasa mengobrol di teras depan, Nira tengah duduk sendiri di sofa ruang tamu. Beberapa kali ia menghela napas. Ucapan Raffi mengganggu pikirannya. Bagaimana mungkin ia masih mengingat semuanya bahkan termasuk kopi kesukaan Raffi padahal mereka sudah lama sekali tak jumpa?

Tadi ia sempat melirik Raffi. Tak ada yang berubah dari wajahnya ataupun senyumannya. Karena sudah terlalu lama tak bertemu, Nira jadi canggung untuk sekedar menyapa. Nira lantas menggeleng pelan.

‘Tidak. Aku nggak boleh mikirin lelaki lain saat aku baru saja menikah dengan Riki.’

Nira berdiri. Saat melewati kamar Tomi dan Fitri, ia berhenti sesaat. Matanya melirik pintu. Samar-samar terdengar suara yang tak asing karena ia pun pernah bersuara seperti itu saat memadu kasih dengan Riki. Nira menggeleng pelan dan kembali melanjutkan langkah.

“Masa muda memang sungguh menggelora. Di depan ada tamu, tapi mereka bisa-bisanya melakukan itu di pagi menjelang siang begini,” gumam Nira pelan.

***

“Pak?”

Mardi yang tengah duduk di teras sambil mengepulkan asap roko ke udara menoleh pelan. Sinta berdiri di ambang pintu.

“Ada apa, Bu?” tanya Mardi.

“Ini udah jam sembilan malam. Masuk yuk. Angin malam nggak baik buat kesehatan Bapak,” jawab Sinta.

“Sebentar lagi. Rokoknya belum habis.”

Sinta mendesah pelan. Ia melangkah mendekat, menarik kursi, dan duduk di sebelah Mardi.

“Rokoknya dikurangin, Pak. Bapak itu udah tua. Kesehatannya dijaga. Ngrokok, begadang, itu nggak baik loh.”

“Cuma ini satu-satunya cara biar pikiran nggak stress, Bu.”

Sinta menyandarkan punggungnya. Menatap gelapnya malam. “Besok Nira dan Riki kembali ke kota. Ibu lihat, Bapak juga belum banyak bicara sama Nira. Bapak masih belum bisa memaafkannya?”

Mardi mengembuskan kembali asap rokok ke udara. “Bapak cuma nggak tahu harus bersikap bagaimana. Kecewa itu pasti. Tapi, semuanya sudah terlanjur terjadi.”

Sinta menatap suaminya. “Mulai besok, Nira dan Riki akan hidup mandiri. Jauh dari kita. Jauh dari orang tuanya. Dia juga akan melahirkan bayinya di sana. Dia sudah cukup menyesal telah mengecewakan kita, Pak. Seperti apa katamu, semuanya sudah terlanjur terjadi. Disesali pun, nggak akan ada yang bisa berubah.”

Sinta menarik napas pelan sebelum melanjutkan.

“Jangan sampai Nira merasa kita sudah mengacuhkannya. Dia sudah menyesali kesalahannya. Kalau kita menarik diri, Nira bisa berpikir kita sudah nggak peduli lagi dengannya. Dia nggak akan lagi cerita ke kita. Dia nggak akan lagi meminta bantuan kita saat dia sedang ada masalah. Dan aku takut, dia menjauhi kita, Pak.”

“Mau sebesar apapun kesalahannya, dia tetap anak kita. Anak kandung kita. Yang terpenting dia sudah bertanggung jawab atas kesalahannya itu. Kita berhak kecewa. Berhak marah. Tapi, buat apa? Toh, kita udah nggak bisa lagi ngubah keadaannya.”

Mardi menghela napas. Rokok di tangannya ia matikan di dalam asbak, lantas menoleh, menatap sang istri.

“Ibu ingin kita memberi dukungan pada mereka terutama Nira. Aku ingin dia tersenyum lega sebelum menjalani kehidupan mereka yang sebenarnya nanti di kota. Aku ingin dia mempunyai kekuatan dalam menghadapi masalah apapun yang mungkin akan datang. Aku ingin dia memiliki kita, orang tuanya, yang akan selalu ada untuknya baik suka ataupun duka. Bisakah kita melakukan itu, Pak?” tanya Sinta menatap Mardi.

Mardi mengangguk. Tersenyum. Menggenggam tangan Sinta. “Bapak tahu. Kita akan melakukannya.”

Sinta tersenyum. “Ya udah. Sekarang kita masuk ya. Ini sudah sangat malam.”

Mardi mengangguk. Ia berdiri, menggandeng tangan Sinta, dan masuk ke dalam rumah.

Keesokan paginya, pukul delapan pagi, Riki tengah bersiap memanasi mobil milik Nira yang akan ia bawa ke kota bersama istrinya. Nira sedang memeriksa berbagai barang mereka. Memastikan tidak ada yang ketinggalan sebelum berpamitan pada orang tuanya.

“Mobil sudah siap, Nir. Barang-barang kita sudah siap juga?” tanya Riki menghampiri Nira di kamar mereka.

“Udah. Tinggal pamitan aja.”

Riki mengangguk. Membawa satu tas terakhir yang ia bawa menuju mobil mereka. Setelahnya, Nira dan Riki berpamitan.

“Jaga diri baik-baik, Nira, Riki. Kalau sudah terasa ingin melahirkan, segera hubungi Ibu dan Bapak. Kami akan berusaha datang secepat mungkin,” pesan Sinta memeluk Nira.

“Baik, Bu. Doakan kami ya, Bu,” angguk Nira.

Sinta melepas pelukan Nira dan memberi nasihat juga pada Riki yang bersalaman dengannya.

“Jaga Nira, Riki. Dia istrimu sekarang. Kalau ada apa-apa, jangan ragu untuk cerita pada kami. Jangan sakitin dia, ya.”

“Iya, Bu. Aku akan menjaga Nira dan bayi kami,” angguk Riki.

Nira berdiri di hadapan Mardi. “Pak?”

Mardi tersenyum lalu memeluk Nira. Nira terkejut, tapi setelahnya tersenyum. Ia balas memeluk Mardi.

“Bapak sudah memaafkanmu. Jaga kesehatanmu dan anak kalian. Jangan sungkan untuk menelepon kami. Ceritakan apa saja yang kalian alami di sana,” pesan Mardi setelah melepas pelukannya.

Nira mengangguk. Air matanya menetes sekali. “Pasti, Pak. Bapak sehat terus ya. Kurangin rokok sama begadangnya ya agar Bapak bisa datang saat nanti aku melahirkan, juga melihat cucu-cucu Bapak sampai besar nanti.”

Mardi mengangguk. Mengelus kepala putri sulungnya. “Bapak usahakan.”

Nira mengangguk lalu mundur. Memberi Riki kesempatan untuk berpamitan pada Mardi.

“Kamu bertanggung jawab penuh atas kehidupan putri dan cucuku, Riki. Bahagiakan mereka. Jika kiranya kamu tak sanggup, bilang sama Bapak. Jangan kamu tinggalkan mereka di kota sendirian,” pesan Mardi.

“Aku tak kan pernah menyakiti Nira, Pak. Aku mencintainya. Aku akan berusaha membahagiakannya,” ucap Riki.

Mardi mengangguk. Nira dan Riki juga berpamitan pada Tomi serta Fitri.

“Jaga Bapak dan Ibu, Tom. Kalau ada apa-apa di sini, kabarin Kakak. Jangan ragu,” pesan Nira pada sang adik.

“Iya, Kak,” angguk Tomi.

Setelah semuanya selesai, Nira dan Riki masuk ke dalam mobil. Tak lama kemudian, mobil itu melaju ke jalan besar. Meninggalkan rumah masa kecil Nira menuju masa depan yang Nira pilih. Perjalanan itu baru saja di mulai.

***

“Bos, motor matic yang di sana itu sudah selesai di service belum?”

Raffi tersentak. Ia mendongak, menatap salah satu karyawab terlamanya, lalu bertanya,” Kamu tadi ngomong apa?”

Karyawan bernama Yusuf itu menghela napas. Jelas sekali jika Bosnya ini tengah melamun di tengah-tengah kesibukan mereka di bengkel.

“Motor matic yang di sana itu sudah selesai di service belum?” Ulang Yusuf menunjuk motor yang tak jauh dari tempat mereka.

Raffi mengikuti arah telunjuk Yusuf dan mengangguk. “Sudah. Orangnya sudah datang buat ambil?”

“Belum sih. Tapi kan janjinya selesai jam sembilan pagi. Jadi, kalau orangnya datang, tinggal ambil.”

Raffi mengangguk. “Ya sudah sana. Balik kerja lagi.”

Yusuf pun melangkah menjauh, kembali bekerja. Raffi menghela napas dalam. Sejak pertemuan tak sengajanya kemarin dengan Nira setelah sekian lama, ia mulai melamun lagi. Padahal sudah lama sekali ia tak melamunkan lagi kisah mereka yang kandas beberapa tahun lalu. Ia terus menyibukkan diri, membangun usaha bengkelnya yang kini makin maju karena kegigihannya.

Tapi, cukup satu wajah cantik yang pernah membuatnya bahagia di masa lalu, hadir kembali di ingatan dengan versi wajah yang lebih cantik juga dewasa, membuat harinya terasa berhenti di masa lampau. Membuatnya kembali melamun. Melamunkan seseorang yang kini telah menikah dengan lelaki lain yang jelas bukan dia orangnya. Bukan dia yang berada di sisi Nira saat ini. Bukan dia yang menjadi suami Nira, seperti yang pernah diucapkan Nira beberapa tahun lalu saat bunga cinta diantara mereka sedang bermekaran indah.

“Kamu cantik. Banyak yang suka sama kamu. Bagaimana kalau seandainya suatu saat nanti, kamu bertemu dengan lelaki yang lebih tampan dan mapan dari aku? Apa kamu akan berpaling?” tanya Raffi saat mereka tengah kencan di sebuah tempat makan.

Nira tertawa pelan dan menggeleng. “Aku cuma mau kamu yang jadi suamiku, Mas. Kalau masalah tampan, bagiku, kamu sudah tampan buatku. Kalau soal mapan, aku bisa mendampingi setiap prosesmu menuju mapan.”

“Jadi, kamu akan selalu berada di sisiku apapun keadaanku?”

“Iya. Cuma kamu orangnya, Mas.”

Percakapan singkat yang masih terus Raffi ingat hingga saat ini. Tapi sayang, semua ucapan itu hanya terjadi di masa lalu. Memang, tidak ada yang tahu bagaimana takdir ke depan, tapi romansa saat itu di antara mereka, membuat Raffi tak kuasa untuk melupakan Nira sedikit saja.

Pada kenyataannya, Raffi masih mengingatnya. Kalaupun lupa, itu pasti saat ia sibuk di bengkel ataupun saat tidur. Namun, berbeda kali ini. Ia justru mengingat Nira lagi saat pekerjaannya tengah menunggu.

Raffi menghela napas berat. Ia menoleh, mencari keberadaan Yusuf dan berseru memanggilnya.

“Iya, Mas.” Yusuf sudah berdiri di depan Raffi.

“Beliin air setan, Suf. Nih uangnya.” Raffi mengeluarkan uang dari dalam dompetnya dan menyodorkannya pada Yusuf.

Yusuf mengerutkan kening. Ia menatap tangan Raffi yang terulur.

“Mas? Ini masih pagi. Mana ada yang jual air setan pagi-pagi?”

“Nggak mau tahu. Cepat cari sana. Biar aku yang bereskan pekerjaanmu. Cepat sana.”

Yusuf menerima uang itu lalu melangkah pelan keluar dari bengkel. Beberapa kali ia menoleh ke belakang, berharap ia salah dengar, atau Raffi memanggilnya kembali dan bilang tak jadi beli. Tapi sayang, Raffi sudah berada di samping motor yang sedang ia kerjakan tadi.

Perintah itu jelas. Dan sekarang, Yusuf tengah kebingungan sendiri. Dimana ia menemukan penjual air setan sepagi ini? Dan mengapa tiba-tiba Bosnya itu membutuhkan air itu sekarang? Apa Bosnya ingin mabuk-mabukan sepanjang hari ini?

(Air setan itu nama lain dari banyu setan kalau dalam bahasa jawa. Air oplosan yang sengaja dibuat untuk mabuk-mabukan. Sejenis alkohol tapi dengan versi lebih murah karena dioplos.)

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!