Sumpah dia?
Hawa kaget setengah mati saat meeting di yayasan bertemu dengan musuh bebuyutannya saat di SMA, Bimantara Mahesa. Pria itu adalah anak pemilik Yayasan Edu Creative tempat ia bekerja, dan mulai tahun ajaran baru ini terjadi pergantian ketua yayasan dari Pak Mahesa ke Bimantara. Menurut kabar beredar, setiap anak Pak Mahesa sudah dibagi area bisnisnya, dan Bimantara sebagai anak bungsu mendapat bagian yayasan pendidikan ini.
Yayasan Edu Creative ini menaungi jenjang PAUD hingga SMA. Setiap jenjang memiliki jajaran struktural seperti kepala sekolah, wakil kepala sekolah bagian kesiswaan, dan kepala Tata Usaha sedangkan untuk area sarana prasarana, humas, serta pengembangan prestasi siswa langsung dihandle oleh tim di bawah naungan yayasan langsung. Setiap jenjang memiliki 5 anggota per tim dan Hawa menjadi bagian tim pengembangan untuk jenjang SMA, dia bagian tim pengembangan prestasi siswa dan siswi.
"Masih muda, ganteng, kaya, baik, kurang apa coba," lirih Amelia sangat mengangumi penampilan Bimantara pada pertemuan kali ini. Dia adalah rekan tim kerja Hawa bagian tim pengembangan jenjang SMA khusus prestasi guru.
Cih, baik? Belum tahu saja dia tuh cowok jutek, sok ganteng, dan anti sama cewek cantik, entahlah mungkin dia belok. Batin Hawa tak setuju dengan pujian Amelia untuk Bima.
Semua orang yang hadir di meeting yayasan mendadak menatap Hawa, begitu juga dengan Bima, ada apa? Batin Hawa masih belum sadar saat riwayat pendidikan Bimantara tertera di layar videotron.
"Satu SMA sama kamu?" tanya Amelia sembari menyenggol Hawa. Bimantara tersenyum sekilas, dia mengaku kalau teman seangkatan Hawa Tanisha.
"Bukan mantan Pak Bima kan?" ledek Pak Surya, kepala sekolah jenjang SMA, beliau memang ramah dan suka bercanda, alhasil Pak Bimantara pun jadi korban candaan beliau di hari pertama bertugas.
"Alhamdulillah bukan," jawab Bimantara diiringi tawa para peserta meeting. Hawa hanya tersenyum canggung. Sedikit tersentil dengan jawaban Bima, terkesan kalau dia bersyukur tidak menjadi mantan Hawa. Cih menyebalkan sekali. Bikin tengsin saja.
Meeting berlanjut dengan laporan masing-masing struktural di sekolah dilanjutkan laporan dari tim yayasan. Bimantara sangat fokus pada masing-masing laporan termasuk laporan yang disampaikan oleh Hawa. Sampai detik ini, Bimantara sangat profesional meski beberapa guru dan tim senior mengeluarkan jurus cie saat Hawa presentasi.
"Kok kamu kayaknya gak tertarik sama Pak Bima sih?" protes Amelia heran. Mereka sudah kembali ke meja kerja masing-masing, dan beberapa orang masih membahas Bimantara, terutama saat SMA. Mumpung ada narasumber dan saksi nyata bagaimana kehidupan Bimantara saat SMA.
"Ya masa' gue harus tarik dia, Mel?" jawaban Hawa sangat menjengkelkan bagi Amelia. Harusnya sebagai teman SMA dan bertemu kembali seperti mereka saat ini, setidaknya say hello kek, atau kumpul dulu mengenang masa SMA.
"Apa mungkin kalian tuh musuh bebuyutan ala anak SMA zaman dulu, Wa? Terus sekarang kalian masih dendam. Wah gawat, auto jadi ibu yayasan kamu nanti."
Hawa mendengus kesal, apaan sih pemikiran Amelia ini. Cerita begitu hanya ada di novel, dalam dunia pekerjaan sangat mungkin terjadi like dan dislike. Justru kehadiran Bimantara bisa membuat karir Hawa tersendat. Hawa masih ingat betul bagaimana Bima saat marah dulu.
Hawa termasuk siswi aktif di sekolah. Dia OSIS, ikut ekskul voli, menyanyi, bahkan menjadi penyiar radio tetap saat SMA dulu. Saking aktifnya banyak pihak yang kenal dia. Mulai dari satpam, guru, ibu kantin, adik dan kakak kelas banyak yang mengenal Hawa. Karena itulah dia juga banyak yang naksir. Kebetulan teman sebangku Bimantara dulu naksir berat sama Hawa, hanya saja tak berani mengungkapkan karena dia insecure. Saat Hawa jadian dengan ketua tim voli, teman Bima yang bernama Satria itu menangis, tak masuk sampai beberapa hari karena patah hati. Bima ngamuk dan mencaci Hawa di depan kelas.
Bima menganggap Hawa sebagai perempuan caper yang haus kasih sayang laki-laki. Sok cantik dan main tarik ulur serta pemberi harapan palsu pada setiap cowok yang menembaknya. Bima tak suka. Pacar Hawa ikut emosi, tak terima Hawa diperlakukan begitu oleh Bima. Padahal Hawa sendiri tak tahu kalau Satria menyukai Hawa. Terjadi adu mulut antara Satria dan Bima, hampir main tonjok juga. Berakhir keduanya di BK untuk bina siswa. Sejak saat itu Bima memblokir nomor Hawa, dia sangat tak suka pada Hawa.
"Punya pacar gak, Wa?" tanya Amelia lagi. Hawa kira pembahasan Bima selesai, dan kembali ke rutinitas mereka menghadap laptop, eh ternyata dibahas lagi. Memang gak bosen ya bahas dia, daripada tanya Hawa yang tak dekat dengan Bima, kan lebih enak tanya langsung ke orangnya langsung.
"Tanya Bima lagi aku geret kamu ke ruangannya."
"Mulut kamu, Wa. Bima, Bima, Pak Bima tahu," Hawa meringis, keceplosan hanya menyebut nama. Amelia juga sok dramatis lagi. Menyebalkan sekali siang ini.
Amelia tak tanya lagi, dia fokus ke dalam agenda pengembangan lomba guru, begitupun dengan Hawa. Gadis itu kalau sudah urusan pekerjaan bakal fokus, dan tak peduli dengan sekitarnya, kecuali kalau ada yang mencolek dan mengajaknya mengobrol sambil bawa tahu gejrot bakal dia tanggapi. Kerja nomor dua, ngrumpi nomor satu itu mah.
"Busyet, selalu saja begini. Email informasi lomba dadakan, kenapa sih sama pemerintah daerah itu kalau share undangan lomba selalu saja mepet. Emang latihan lomba untuk seminggu itu gampang," kesal Hawa menerima email seperti ini. Berasa dikejar debt collector coba, mana persyaratan administrasinya banyak lagi.
Amelia hanya tertawa cekikikan mendengar keluh kesah rekan kerjanya ini. Sudah hampir 3 tahun kerja di bagian ini dan berurusan dengan undangan lomba dari pemerintah kok masih protes. Itu mah sudah biasa, kalau gak mepet bukan pemerintah kali.
"Makan dulu, aaa!" Amelia sengaja menyodorkan keripik kentang ke mulut Hawa, buat mengalihkan kekesalannya saja.
"Kamu masih mending, Wa. Meski deadline mepet mana ada siswa yang berani protes. Kalau aku, hem berhadapan dengan Bapak Ibu guru apalagi senior beh kentut saja aku gak berani,” kan Amelia ini kalau cerita selalu mendramatisir mana ada seperti itu. Kentut mah kentut saja.
Hawa tertawa mendengar keluhan Amelia. Memang setiap pekerjaan pasti ada plus dan minusnya. Terkadang orang melihat pekerjaan rekan lain mudah, tapi kalau di posisi rekan itu belum tentu mudah juga. Semua tergantung keahlian dan kebiasaan saja.
Kalau Hawa berkutat dengan pengembangan prestasi siswa yang beragam, sedangkan kalau Amel untuk lomba guru memang terbatas, paling banyak tentang karya tulis ataupun artikel sehingga peminatnya pun hanya guru tertentu, yang punya bakat menulis saja. Padahal kalau mau siswa berprestasi, maka guru harusnya memberi contoh untuk berprestasi juga kan.
“Hari ini pulang jam berapa?” tanya Amelia yang sudah bersiap pulang, jam operasional kerja mereka selesai pukul 4 sore. Kalau Hawa paling cepat sebelum maghrib, menunggu progres siswa pembinaan lomba selesai. Tidak mungkin dia meninggalkan pembina dan siswa yang sedang menggarap lomba, sedangkan dirinya adalah penanggung jawab lomba.
“Maghrib mungkin, masih ada Bu Firsa dan Tania yang belum fix pidato Bahasa Inggrisnya.”
“Syuting?” Hawa menggeleng.
“Setor teks pidato saja, baru kalau lolos syuting.”
“Yakin aku tinggal?”
“Heleh biasanya juga kamu tinggal, sok-sok an peduli,” ejek Hawa sembari menggoyangkan meja kerjanya.
“Kalau biasanya kan aku khawatir kamu digondol sama Mbak Kunti, kalau sekarang kan beda.”
“Bedanya?” Hawa tak paham. Kalau Mbak Kunti di ruangan ini mah sudah menjadi teman dekat Hawa. Amelia hanya menunjuk dengan dagu ruangan Ketua Yayasan, Pak Bima belum pulang.
“Cih!” Hawa hanya berdecih sebal dengan apa yang ditakutkan Amelia. Boro-boro digondol, Hawa yakin Bima tidak akan mau menyapanya meski berpapasan. Cowok sombong sok ganteng gituloh.
Rencana pulang sepulang maghrib ternyata salah, bahkan Hawa setelah sholat maghrib masih belum pulang. Kabar dari pembina, teks pidato belum selesai masih butuh revisi, ingin mengumpat tapi Hawa tak sejahat itu. Branding sebagai tim pengembangan paling muda dan baik hati membuatnya selalu mengiyakan pembina yang lembur seperti ini. Hah, capek pasti. Tapi mau bagaimana lagi, kasihan juga siswa yang sudah berminat pada lomba, sekali lagi Hawa pun mengalah.
“Belum pulang?” tanya Bima saat keluar ruangan mendapati Hawa masih menggunakan mukenah, dan duduk di kursi kerjanya sembari scroll ponsel.
“Belum, Pak!” jawab Hawa spontan berdiri, mau bagaimana pun harus hormat pada Bima, meski pria itu adalah musuh bebuyutannya dulu. Profesional di lingkup yayasan.
“Jam kerja kan sampai jam 4? Kenapa sampai jam segini belum pulang. Jangan bilang kamu menunggu saya?” Hawa melongo, telinganya gak salah dengar kan? Niat untuk professional saat menghadapi Bima runtuh seketika setelah mendengar dugaan yang tak masuk akal.
“Ngapain saya menunggu kamu!” semprot Hawa jutek, mode musuh bebuyutan on. Hawa tak menganggap Bima sebagai bos, melainkan teman SMA yang patut dilawan. Sedangkan Bima tersenyum sinis, malah duduk di depan meja kerja Hawa, ingin tahu saja sejauh mana Hawa bisa sok aktif di yayasan yang ia handle sekarang.
“Ya siapa tahu, minta maaf atas kejadian di SMA dulu atau mungkin cari muka sama atasan!” Hawa menghela nafas sembari mengusap dadanya agar tetap calm down. Menelan tanpa memasukkan ke dalam hati omongan Bima. Ia melepas mukenah, menyimpannya dan segera menghubungi pembina untuk selesai saat ini juga. Mood dan kesabarannya sudah di ambang batas, apalagi dikatain cari muka lagi. Makin sakit hati, Hawa sudah tak peduli dengan motivasi siswa, terserah.
Bima masih menatap Hawa yang sedang membereskan barang pribadinya sekaligus membenarkan jilbabnya, tampak marah dan mengabaikan Bima sebagai atasannya. Sepertinya tersinggung setelah dituduh cari muka. Apakah Bima minta maaf? Oh jelas tidak, tak semudah itu dia luluh dengan perempuan yang sok aktif seperti Hawa. Ingatan saat SMA masih jelas, dan itu sudah menancap di memori Bima, bahwa Hawa perempuan ambis yang butuh validasi dari berbagai pihak. Kalau saja papa Bima suka dengan kinerja Hawa, tidak bagi Bima.
"Permisi!" ucap Hawa saat pamit pulang, tak bicara apapun lagi pada Bima, lebih baik menjauh. Urusan lomba siswa kali ini, terserah. Sekali-kali egois.
Bima hanya tersenyum sinis saat Hawa sudah ke luar ruangan, tak menyangka dia begitu berani dengan atasannya. Bima sendiri heran, memang aturan di sini bisa ya pulang di atas jam kerja. Sepertinya ia melewatkan urusan jam kantor. Bima pun menuliskan dalam note, menambahkan topik jam kerja sebagai bahasan saat rapat kinerja.
Mungkin dalam waktu dekat ini, Bima akan mengadakan rapat kinerja, setelah mempelajari dulu ritme dan program kerja pada masing-masing tim tiap jenjang.
"Miss, kok tiba-tiba menyuruh pulang, kenapa?" tanya Bu Firsa sembari mengejar Hawa menuju parkiran. Hawa jadi tak enak hati. Ia pun minta maaf pada Bu Firsa, sudah egois.
"Maaf, Bu Fir. Tadi saya takut di ruangan. Ada hantu," boleh tidak Hawa tertawa sekarang, menganggap Bima sebagai hantu yang menyebalkan.
Bu Firsa yang memang mengira hantu beneran seketika takut juga. Wajar sih, ini sudah melewati maghrib, tentu penunggu sekolah ingin bergantian. Sudah waktunya para hantu berkeliaran kan ya. Sial, Firsa kapok harus lembur begini. Kalau ada lomba lagi, dia ogah lembur sampai jam malam. Memang harus ada ketegasan kepada siswa agar tahu deadline juga. Tak seenaknya mengajak lembur pembina.
Keduanya beriringan naik motor keluar dari parkiran yayasan. Mungkin masih cerita kejadian horor yang menimpa Hawa tadi.
Kabar Hawa bertemu hantu menyebar ke beberapa guru, hingga sampai ke Amelia. Keesokkan harinya Amelia langsung konfirmasi langsung pada Hawa. Gadis itu cantik sekali memakai batik berwarna teracota dan jilbab segi empat yang senada, sengaja ia lilitkan di leher agar lebih rapi. "Terlalu cantik gadis satu ini," puji Amelia saat naik tangga bersama Hawa pagi itu, sembari menggamit lengan Hawa.
"Biasa, masih pagi. Jilbab masih rapi, wajah masih cantik dan segar, tunggu deh jam 11."
"Auto meleyot," lanjut Amelia, keduanya tertawa kompak. Sudah menjadi kebiasaan jilbab rapi itu hanya bertahan sebelum makan siang, setelah itu sudah tak ada cantik dan rapi lagi. Ditambah sepatu heels dicopot, berganti sandal jepit. Ingat dalam kerja yang membutuhkan mobilitas tinggi, sandal jepit adalah penyelamat.
"Hantu kemarin malam wujudnya apa, Wa?" tanya Amelia saat Hawa hendak menarik handle pintu ruangan. Hawa mengerutkan dahi, masih tak paham. Hantu apa yang dimaksud Amelia?
"Hantu?" Amelia kemudian menceritakan kabar dari Bu Firsa. Tadi malam Bu Firsa menuliskan cerita di grup pembinaan bahwa Hawa bertemu hantu, sehingga beliau mengajak para pembina untuk tegas pada siswa yang ikut lomba agar tidak press saat revisi karya. Kasihan pembina sekaligus Hawa juga yang menunggu sampai malam hingga bertemu hantu.
Hawa ternyata belum baca grup, setelah mendengar cerita dari Amelia, ia tak kuasa menahan tawa, sampai dia menitikan air mata. "Hantu apa? Kok kamu malah ketawa sih?" Amelia heran, mendadak dirinya merinding, jangan-jangan Hawa kesambet setan di pagi hari. Cerita horor kok ditanggapi dengan tertawa. Aneh.
"Miss Hawa jadi benar ketemu hantu kemarin?" tanya Bu Heni, beliau tim pengembangan tingkat SMP. Beliau juga pernah lembur seperti Hawa, hanya saja tidak sesering gadis itu.
Hawa mengangguk sembari menahan tawa, sumpah ini nanti setiap orang pasti konfirmasi soal hantu. Andai saja mereka tahu siapa sosok yang dianggap Hawa hantu, tentu mereka tidak akan pernah memperpanjang atau konfirmasi pada Hawa. Duh, kelewatan sekali orang ganteng seperti Bima dianggap seperti hantu. Terlebih bayangan mereka hantu itu jelek, sumpah Hawa tak kuasa menahan tawa mendengar beberapa rekan kerjanya sedang berbagi pengalaman tentang bertemu hantu. Masih pagi tapi mereka sudah heboh saja.
"Miss Hawa bisa ke ruangan saya sebentar?" pinta Bima, baru juga datang sudah bikin mood Hawa anjlok saja. Mereka yang ada di ruangan mendadak diam, dan bermain mata melihat Hawa menuju ruangan bos di pagi hari.
"Saya yakin, Pak Bima naksir sama Hawa saat SMA!" ujar Bu Salma seperti para peramal.
"Terus Miss Hawa menolak, jadinya mereka tengkar."
"Ih kayaknya gitu deh, kelihatan banget Miss Hawa gak minat melihat Pak Bima. Padahal, ya Allah, andai saya belum menikah udah saya kejar tuh Pak Bima!" cetus Bu Ifa centil, terlihat menggebu pada Bima namun ditampar kenyataan bahwa beliau sudah menikah.
"Kawin lari, Bu!" sahut Amelia yang disambut tawa oleh yang lain.
"Wa, emang kamu melihat hantu ya? Perasaan kamu pulang dulu deh, saya gak lihat apa-apa tuh?" tanya Bima ternyata ikutan konfirmasi pada Hawa. Sampai dibelain memanggil Hawa begini. Dipikir ada kerjaan urgent yang perlu tenaga Hawa eh malah pertanyaan konyol yang membuat Hawa menahan tawa.
"Emang di mana kamu melihat hantu?" perasaan Bima sebelum pulang, tak mendengar jeritan orang ketakutan. Ditambah lampu kantor juga menyala terang, urusan ke kamar mandi juga di pojok kantor tersedia kamar mandi, Hawa juga sholat dengan tenang kemarin. Lah, ini Bima sempat mendengar dua guru yang berjalan di depannya tadi, bicara soal Hawa bertemu hantu sehingga pembinaan diminta selesai.
Bima sejak dulu memang penakut bila berurusan dengan hal yang berbau horor, setelah mendengar ini pantang dirinya untuk lembur sampai malam. Mending dokumen dibawa pulang saja.
"Ehm, di mana ya Pak?" sedangkan Hawa sejak tadi ditanya tak kunjung menjawab, malah menutup bibir seperti menahan tawa. Mendadak Bima curiga.
"Tunggu, di kantor kemarin cuma kita berdua kan sampai malam?" sepertinya Bima sedang menyusun puzzle hantu yang dimaksud Hawa. Terlebih gadis itu mengangguk saja. "Apa yang kamu maksud saya hantunya?"
Percayalah, untuk kali ini Hawa tak bisa menahan tawa. Ia spontan ngakak seperti tertawa bersama Amelia. Tak jaga image di depan atasan. Puas rasanya mengerjai Bima, sehingga dia tersadar bahwa hantu yang dimaksud Hawa itu adalah Bima sendiri.
Jelas kesal, tapi Bima baru tahu ternyata mata Hawa saat tertawa cantik juga, membentuk eye smile begitu. "Ehem!" Bima tak mau terus terjerumus mengagumi gadis itu. Semua orang boleh tertarik sama Hawa tapi tidak untuk dirinya. Sampai kapan pun menganggap Hawa hanya gadis sok caper butuh validasi terutama pada pria.
"Ck, sialan kamu!"
"Maaf ya, Pak. Tapi beneran kok saya gak bakal cerita soal hantu itu. Hantu sama saya mah sudah jadi sohib!"
"Kamu bikin ritual buat jadi sohib merek?"
"Ya enggaklah, karena keseringan saya lembur mereka jadi menganggap saya sohib. Udah ah, saya balik kerja kalau gak ada bahasan lain."
Bukannya tak sopan, kalau berdua begini aneh saja Hawa harus hormat sama musuh bebuyutannya. Biarlah keduanya profesional saat di depan umum saja.
"Bentar, Wa. Emang mereka sering lembur? Aturan lembur dari papa bagaimana?" tanya Bima, kali ini serius dan tidak melibatkan perkara saat SMA dulu.
"Jam operasional memang jam 4 sore, Pak. Hanya saja yang sering lembur itu saya."
"Kenapa kamu sering lembur? Ada tambahan uang bila overtime begitu?" ini wawancara urusan kerja atau sekedar kepo saja. Bukannya Pak Mahesa cerita soal ritme kerja kepada Bima tentang penggajian dan jam kerja. Apa mungkin Pak Mahesa sengaja tidak terbuka pada Bima, sehingga Bima diminta menggali sendiri tentang yayasan yang ia handle.
"Bapak belum pernah dikasih tahu atau dijelaskan dengan Pak Mahesa?"
"Ck, kalau lagi berdua gak usah seformal itu kali, Wa. Berasa aku lebih tua aja dipanggil bapak!"
Hawa berdecak sebal, kalau Bima panggil wa we wo wi sih gak masalah, sedangkan Hawa kalau keceplosan panggil Bima, Bim doang bisa geger padepokan. Dikira tak sopan dengan pemilik yayasan. "Terus kamu mau dipanggil apa? Bima? Dih ogah lidahku muter nanti, keseleo panggil Bim doang, bisa dihujat seluruh yayasan."
"Ya udah terserah kamu, sekarang ceritakan ritme kerja di sini apalagi yang overtime begitu!"
Semenjak dia menjadi bagian tim pengembangan di sini, kebiasaan lembur serasa seperti turun temurun. Apalagi bagian tim pengembangan prestasi siswa. Sering sekali lembur baik yang jenjang SD, SMP, maupun SMA, hanya saja yang sangat sering adalah SMA dengan jenis lomba yang lebih beragam.
Aturan siswa saat mengikuti lomba tentu ada pembinaan khusus. Misal kalau lomba berjenjang seperti OSN, FLS2N, O2SN, maka jadwal pembinaan akan dilaksanakan setiap hari pada jam pelajaran ke 1 sampai jam ke 4. Jadi siswa yang sudah dipersiapkan untuk jenis lomba berjenjang itu memang keluar kelas utama menuju kelas pembinaan.
Sedangkan untuk lomba non berjenjang seperti lomba poster, puisi, dan sebagainya akan dibina sesuai kelonggaran bapak ibu pembina. "Maksudnya kelonggaran bapak ibu pembina?"
"Untuk menentukan pembina lomba itu berdasarkan pilihan saya, kemudian saya ACC kepada Pak Mahesa dan Kepala Sekolah, setelah itu saya mengajukan surat tugas pembina kepada kepala tata usaha. Nah setelah itu pembina janjia dengan siswa yang akan mengikuti lomba berdasarkan jam kosong pembina tersebut."
"Selama ini seperti itu?" Hawa mengangguk.
"Sistem yang salah!" sahut Bima tegas, dia yang pernah mengenyam Magister Manajemen Pendidikan jelas menyalahkan sistem yang berjalan di yayasan sang papa. Harusnya semua terpusat oleh tim, kalau yang berjenjang saja ada pembinaan khusus dan rutin, maka yang non berjuang juga harus ada pembinaan rutin yang terjadwal juga. Hal itu menunjukkan adanya sekolah ramah anak, bisa memfasilitasi bakat semua. Baik yang menggunakan otak kiri, maupun otak kanan.
"Tapi sulit, Pak. Kita berbenturan dengan jadwal pelajaran juga, wakil kepala kurikulum jelas mengutak atik jadwal sedangkan jadwal sudah di launching sejak awal tahun ajaran baru."
"Ya mungkin satu semester ini berjalan sesuai jadwal saja. Sistem ramah anak dan ramah guru serta tim baru dilaksanakan semester depan saja. Lagian kamu gak capek lembur hampir setiap hari?"
Hawa memicingkan mata, agak aneh dengan pernyataan akhir Bima, ini perhatian atau bagaimana?
"Kenapa?"
"Jangan bilang kamu mulai naksir aku, perhatian banget!"
Giliran Bima yang melongo dengan tebakan absurd Hawa, apa-apaan naksir. "Kepala kamu boleh aku tonyor gak, buat bersihin otak kotor kamu."
Hawa kembali tertawa ngakak, puas saja berhasil membuat Bima ngamuk, ya 1 sama kan sekarang. Enak saja kemarin menuduh Hawa cari muka, kena getahnya kan sekarang. Hawa keluar ruangan Bima masih dengan tawa ngakak. Beberapa orang langsung penasaran kenapa Hawa keluar dengan tawa.
"Kamu diapain?" tanya Pak Zul, bagian tim sarana prasarana, langsung menuju meja kerja Hawa.
"Menurut Pak Zul saya diapain?" balas Hawa masih dengan tawa renyah, semakin membuat orang di area kantor penasaran. Karena testimoni setelah pertemuan kemarin, mereka menganggap Pak Bima itu dingin, dan susah diajak bercanda, kaku juga dan yang paling membuat mereka kurang sreg adalah wajah angkuh tanpa ekspresi.
"Reuni ala anak muda lah, Pak. Masa' Pak Zul gak tahu, mereka kan bestie saat SMA!" Amelia sok tahu, sengaja membuat para senior tambah penasaran.
"Dih sok tahu, deh Bu Amelia ini!" balas Hawa, kemudian gadis baik hati ini memberi bocoran terkait program sekolah ramah anak, guru, dan tim yayasan yang akan dilaksanakan semester depan.
"Terus yang membuat kamu tertawa apa?" tanya Bu Diyah, senior Hawa di tim pengembangan bagian dana pengembangan. Hawa kincep.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!