“Kita sudah sampai, Bu Bidan. Ini rumah dinas yang diperuntukkan bagi tenaga medis puskesmas kelurahan Sumberjo.”
Seorang wanita berperawakan langsing, memiliki paras cantik pribumi – turun dari mobil minibus yang disopiri oleh petugas kecamatan.
Laila namanya, ia baru saja dimutasi dari rumah sakit besar ibu kota. Sorot mata tegasnya memperhatikan rumah yang tidak terawat, sampah dedaunan kering memenuhi teras.
‘Ini rumah manusia atau hantu?’ tanyanya dalam hati. Bangunan di depannya jelas sudah lama tidak berpenghuni. Halaman kanan-kirinya begitu kotor.
“Terima kasih, Pak. Silahkan kalau mau jalan lagi!” ucap Laila.
“Baik, Bu Bidan. Saya permisi, semoga Anda betah mengabdi di desa ini!” Sang sopir langsung masuk lagi kedalam mobil dan segera melaju pergi.
Laila menyeret koper besarnya.
“Bu bidan Laila, ya?”
Yang dipanggil pun berbalik.
“Ju_leha ….”
Bugh.
“Anda tidak apa-apa, Pak?” Laila bergegas hendak menolong pria yang terjauh kebelakang ketika melihat parasnya.
Pria berbaju dinas coklat itu berdiri sendiri. Matanya masih memindai wanita berbalut kaos oblong, rambut diikat satu dan mengenakan celana jeans bagian bawah lebar.
“Tadi kalau tidak salah, Bapak panggil saya Juleha, siapa dia?” Laila menelisik wajah laki-laki berkumis tebal.
“Perkenalkan, nama saya Sopyan. Ketua RW sekaligus perangkat kelurahan. Anu_ dia Bidan sebelumnya, kebetulan rumah ini juga bekas ditempati olehnya,” katanya mencoba menutupi kegugupan.
“Lantas di mana Beliau sekarang, Pak?” tanya Laila sambil berjabat tangan perkenalan.
“Sudah pulang ke kampung halamannya. Dia cuma sebentar di sini, belum juga genap setahun.” Pak bayan melepaskan jabat tangan mereka.
“Kenapa begitu singkat, Pak?”
“Kalau itu saya kurang tau, Bu. Dengar kabar dia terpaksa pulang lantaran bapaknya sakit keras.”
“Oh … ngomong-ngomong di puskesmas ada tidak ya fotonya? Saya jadi penasaran se-mirip apa kami?”
“Tidak ada, Bu!” jawabnya begitu cepat.
‘Aneh. Mustahil rasanya kalau sama sekali tidak ada potretnya. Setidaknya foto dokumentasi untuk kepentingan kerja,’ raut Laila terlihat biasa saja, tetapi batinnya begitu berisik penuh praduga.
“Maaf ya Bu bidan, Saya tidak bisa berlama-lama. Harus kembali ke kantor kelurahan lagi. Ini kunci rumahnya. Oh iya, itu rumah saya!” Tunjuknya pada bangunan kokoh di samping kiri rumah dinas Laila, jaraknya 15 meteran.
Ternyata Laila dan pak RW bertetangga.
Selepas kepergian pak bayan, Laila memasukkan anak kunci, lalu mulai membuka pintu bercat putih kusam. Belum sempat kakinya melangkah masuk ….
“Bu bidan Laila, ya?”
Laila pun berbalik, persis kejadian saat Sopyan menyapanya. Wanita berambut keriting dan tubuh sedikit tambun dihadapannya hampir saja jatuh, beruntung ada laki-laki yang menahan tubuhnya.
Laila tersenyum simpul, memberi waktu si wanita yang diperkirakan berumur pertengahan 20 tahunan.
“Maaf kalau respon saya mengejutkan Anda, Bu bidan,” tuturnya sungkan sambil menunduk malu.
“Tidak mengapa, Bu. Sepertinya saya harus membiasakan diri. Dikarenakan sudah dua orang mengira saya mirip bidan sebelumnya,” selorohnya basa-basi.
“Kalian memang mirip, cuma bedanya Anda lebih tinggi dan tidak memiliki lesung pipi. Saya Ida, tetangga kanan bu Bidan. Kalau butuh sesuatu jangan sungkan mengetuk pintu rumah saya.” Ida pun mengulurkan tangan yang langsung disambut hangat oleh Laila.
Laila juga mengulurkan tangan ke laki-laki yang berdiri di samping Ida, tetapi setelah beberapa detik tidak juga disambut, ia menarik kembali uluran tangannya.
Ida tersenyum sungkan. “Ini suami saya, Bu. Namanya Santo.”
Laila sedikit mengangguk, tatapannya bertemu pandang dengan mata tajam pria yang pipi kanannya terdapat bekas luka cukup dalam (codet). Entah mengapa tengkuk Laila langsung meremang, cepat-cepat ia memutus pandangan mereka.
“Terima kasih Bu Ida sudah menyapa saya. Semoga kedepannya kita bisa akrab,” ujar Laila.
“Iya, Bu. Kami pamit dulu ya,” Ida dan suaminya berjalan ke arah rumah mereka, samping kiri hunian Laila.
Kening Laila berkerut, matanya menyipit memperhatikan sepasang suami istri itu. Kemudian dia masuk. Ternyata bagian dalam rumah tidak seperti bayangannya, sangat kotor.
Hunian tidak seberapa besar ini terlihat rapi, tidak berdebu, seperti dibersihkan setiap hari. Perabotannya juga banyak; sofa sudut, satu set meja makan, dapur minimalis yang terdapat kompor gas, rak piring aluminium pun lengkap dengan isi peralatan makan serta memasak.
Kening Laila berkerut dalam, ini sangat aneh. Terlihat ada kehidupan di dalam rumah yang katanya kosong. Tiba-tiba ....
“Siapa …?”
Laila melihat bayangan melintas di area dapur. Kakinya melangkah cepat guna mencari tahu.
Namun, tidak ada siapa-siapa di sana. Dibukanya pintu kamar mandi yang juga kosong.
“Sepertinya perasaanku saja. Mungkin efek lapar dan lelah,” gumamnya lirih, ia kembali ke ruang tamu. Mulai membuka kopernya, mencari peralatan mandi.
Telinga nya mendengar suara gemericik air. Seketika bulu tangan dan tengkuknya meremang. Jelas-jelas ia tidak ada membuka keran air.
Laila kembali ke dapur, air keran bak cuci piring tidak menyala. Begitu juga kamar mandi. Dia menjadi kesal sendiri, fisiknya masih lelah disebabkan perjalanan jauh, kini ada yang ingin menjahilinya.
Tidak mau ambil pusing, Laila berganti baju dengan yang lebih santai. Kemudian dia mulai menyapu lalu mengepel lantai rumah. Teras dan halaman urusan nanti saja, ia sudah kehabisan daya.
Setelahnya membuka nasi bungkus yang tadi dibelinya sewaktu perjalanan kesini. Selesai makan, ia pun mandi.
Hari sudah beranjak mau magrib, Laila menutup gorden jendela, netranya menatap baut teralis banyak yang tidak terpasang.
“Besok aku harus ke kota kecil,” gumamnya pelan.
“Ngantuk nya.” Dia menguap lebar, tak lama kemudian matanya tertutup sempurna. Bukan tidur di kamar, melainkan sofa busa ruang tamu.
***
Tengah malam.
Tok.
Tok.
Hiks hiks hiks.
“Tolong cabut paku di kepala kami! Tolong! Argh sakit!”
“Tolong aku! Paku ini menusuk otak hingga menembus batang tenggorokan ku! Tolong!”
Mata Laila terbuka lebar. ‘Aku nggak salah dengar kan? Seperti ada yang mengetuk pintu, tapi siapa?’
Seketika badannya terduduk, manik hitamnya melirik jam tangan. Pukul 01:00 dini hari.
Kembali dia mendengar rintihan sakit, tapi kini suara tunggal bukan serentak.
"Sakit sekali! Tolong cabut paku ini!"
Srek.
Jantung Laila bergemuruh, ekor matanya menangkap bayangan jubah putih menyapu lantai. Secepat kilat ia memalingkan wajah guna memperjelas penglihatan.
Namun, sosok itu melayang ke bagian dapur. Laila beranjak, ia begitu penasaran ingin melihat wujudnya.
“Siapa?” tanyanya dengan irama jantung berpacu cepat. Tak ada jawaban, Laila melihat lantai yang terdapat tetesan darah merah pekat. Bau anyir seketika menusuk hidungnya.
“Jangan bercanda! Kau siapa?!” ia mulai geram sekaligus takut, tetapi tetap tak berlari dari sana.
Sosok berambut panjang dan jubah putih berlumpur, kotor penuh bercak darah itu menembus pintu belakang.
Tanpa ragu Laila membuka grendel pintu.
“Sial. Gelap sekali, aku tidak bisa melihat apapun!” rutuknya, cahaya lampu dapur tidak bisa menjangkau jauh.
Tiba-tiba ada sekawanan kunang-kunang yang menarik perhatiannya. Laila berjalan mendekati cahaya hijau kekuningan itu yang jaraknya 9 meter dari bangunan dapur.
Saat tangannya hendak menangkap seekor Kunang-kunang, tiba-tiba lampu rumah bagian belakang milik Ida hidup.
“Bang, aku mendengar ada orang jalan di belakang. Coba periksa!”
Deg.
“Aku harus bagaimana ini?!”
.
.
Bersambung.
Setting tahun pertengahan 1990-an.
Tiba-tiba pintu belakang dapur Laila tertutup rapat dengan sendirinya, sehingga tidak ada cahaya lampu yang keluar.
Laila berjongkok, meringkuk dibalik pohon pisang yang tidak begitu rimbun – detak jantungnya bertalu-talu. Ia yakin akan tertangkap basah oleh cahaya senter.
Hueg.
Bau bangkai menyengat, menguar rasa asam seperti besi berkarat, dan juga amis darah campur nanah menusuk hidung. Wajah tertunduk nya mulai mendongak, langsung saja dia nyaris menjerit kencang kala ….
Sosok yang tadi mencuri perhatian Laila, kini berdiri mengambang tak menjejak tanah. Jarak mereka terlalu dekat. Wajahnya tak lagi bersembunyi – sebelah matanya hampir keluar dari rongga, dari kening hingga hidung nyaris terbelah tiga, memperlihatkan daging putih kemerahan, mulutnya mencapai telinga.
Klek.
Pintu belakang rumah Ida dibuka, sinar lampu pijar menyorot pohon jeruk purut – Santo terlihat bertelanjang dada dan hanya mengenakan sarung kotak-kotak, tangannya menggenggam senter mengarahkan ke tanaman singkong, berpindah ke halaman rumah dinas bidan baru kelurahan Sumberejo.
Laila menunduk dalam, keringat dingin membasahi kening, pelipis. Badannya bergetar hebat. Dia ketakutan, tetapi anggota geraknya seolah terkunci, sama sekali tidak berguna, kaku.
‘Uyut – tolong! Laila takut,’ batinnya merapalkan mantra ampuh. Setiap kali dirinya dalam bahaya, kesulitan, maka ia akan menyebut nama ibu dari nenek dari ayahnya.
Namun, kali ini berbeda. Laila tak dapat merasakan kehadiran sang pelindung melainkan sesuatu berbau amis, terasa sangat dingin hingga ia menggigil – mendekapnya.
“Tak ada siapa-siapa! Mungkin Musang hendak memangsa Ayam.” Santo kembali mengarahkan senternya – menyorot serumpun pohon pisang. Tidak ada apapun, hanya terdapat pelepah segar dan kering. Kemudian dia masuk ke dalam rumah.
Huh huh huh
Deru napas Laila terdengar nyaring, dadanya naik turun. Dia masih senantiasa menunduk, tak bernyali mendongak – takut melihat sosok mengerikan tadi. Setelah menunggu sekian menit, akhirnya keberaniannya terkumpul.
Saat wajahnya terangkat, tidak ada wujud berjubah kotor penuh darah, pun kala menoleh – lampu dapur rumah Ida sudah padam.
“Belum ada dua puluh empat jam aku disini, mengapa sudah disuguhi penampakan makhluk halus. Ada apa rupanya ini? Tak mungkin kehadirannya tanpa maksud, apalagi dia bisa menembus pelindung dari Uyut.” Jemari dinginnya meraba pinggang – yang mana terdapat benang tujuh warna dipilin jadi satu mengikat besi dingin bertuliskan mantra aksara Nusantara.
Meskipun masih cemas dan kakinya lemas – Laila berusaha berdiri, tangannya bertumpu pada pohon pisang masih kecil. Perlahan dan menjaga langkah agar tidak menimbulkan suara, dia kembali masuk ke dalam rumah. Mengunci pintu dapur, lalu masuk ke dalam kamar mandi mencuci kaki.
***
Sisa malam itu dihabiskan oleh Laila dengan berbalik badan ke kiri - kanan di atas tempat tidur. Dia tak lagi bisa tertidur, matanya tak kunjung mengantuk.
Tepat pukul tiga pagi, sayup-sayup suara beberapa jam lalu kembali terdengar. Awalnya samar, lalu satu rintihan terdengar jelas diiringi ketukan jendela ber gorden hijau polos.
“Tolong cabut paku di kepala kami! Tolong! Argh sakit!”
“Tolong aku! Paku ini menusuk otak hingga batang tenggorokan ku! Tolong!”
Tok!
Tok!
Terdengar jendela kaca nako tersusun diketuk – lalu seperti digoyang hingga berbunyi bergetar.
“Pergi! Pergi!” Laila menutup telinga, ia duduk bersandar pada ranjang besi. Kakinya menekuk, kedua tangan menutup telinga.
Namun, suara-suara sarat kesakitan menyayat hati sekaligus menghantarkan rasa takut yang menjalar hingga ubun-ubun itu masih terus memenuhi gendang telinganya.
“Siapa kalian? Mau apa?!” tanyanya lirih dengan air mata berderai. Ia seperti kembali pada masa sulit sebelum memakai jimat.
Angin sejuk menerpa kulit lengan yang tidak tertutup baju, menghantarkan rasa tenang, membuat hati seketika tenteram.
“Uyut.” Ia melihat sekeliling pada kamar tak seberapa luas – netranya bertumbuk dengan sosok transparan, si pemilik senyum teduh.
"Jangan takut, Laila. Mereka hanya meminta tolong, bukan ingin mencelakai mu. Jadilah pemberani, lawan rasa takut demi memberikan keadilan. Supaya arwah penasaran itu tak lagi tersiksa."
“Bagaimana caranya, Yut? Laila baru saja pindah kesini. Belum mengetahui seluk beluk desa dan juga tak mengenal siapa-siapa selain tetangga rumah,” ragu-ragu ia mengutarakan, tidak yakin dapat membantu. Sementara dirinya sendiri termasuk orang penakut tetapi memiliki rasa penasaran membumbung tinggi.
"Ikuti kata hatimu. Biasakan mata awam mu melihat wujud mereka, jangan menolak apalagi mengusir. Nanti – kau akan menemukan cara serta jalannya."
Kemudian sosok tua, rambut sepenuhnya putih digelung rapi itu – sirna bersama sapuan angin menerpa wajah Laila.
‘Ikuti kata hati? Sementara aku sendiri sering melakukan kesalahan akibat terlalu ceroboh, selalu lupa menggunakan logika, langsung bertindak!’ batinnya menggerutu.
Laila kembali berbaring, kali ini matanya mulai sayu. Rasa kantuk menghampiri – tak lama kemudian dia terlelap di atas tilam yang sebelumnya milik bidan terdahulu.
.
.
Suara ayam jantan berkokok saling bersahutan-sahutan, tak lama kemudian terdengar adzan subuh terdengar sayup-sayup berkumandang.
Laila membuka kelopak mata, mengerjap menyesuaikan penglihatan yang silau oleh lampu kamar tidak dimatikan.
“Semalam itu mimpi atau nyata, ya?” tanyanya pada diri sendiri, pelan-pelan dia duduk.
“Auch … badanku seperti dipukuli orang sekampung.” Netranya menatap lengan terbuka. “Hah, apa ini?!”
Bidan berumur 25 tahun itu terkejut, mendapati lengannya membiru membentuk bulatan tak sempurna. “Berarti nyata. Lantas aku harus apa?”
Dia usap lembut bekas seperti efek menghantam benda keras. Kalau kata orang tuanya – akibat dicubit setan.
Laila beranjak dari tempat tidur. Kepalanya sedikit pusing sehingga langkahnya terlihat oleng, sampai ia berjalan sambil berpegangan pada dinding tembok bercat putih, lalu masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Selepas bebersih diri, Laila merebus air untuk membuat teh, tapi dia baru ingat kalau tak memiliki teh maupun kopi. Alhasil hanya minum air hangat dan makan sebungkus roti sisa semalam.
.
.
Dari balik tirai jendela ruang tamu – Laila mengamati rumah pak RW, kala melihat sosok wanita menyapu halaman, dia bergegas keluar ingin menyapa dan bertanya bagaimana caranya pergi ke pasar.
Kaki beralaskan sandal swallow itu menginjak dedaunan kering pohon nangka dan rambutan.
“Selamat pagi, Bu.” Sapanya ramah sembari tersenyum hangat.
Wanita ber daster gambar Ayam jago mendongak, mata lelahnya menatap sendu. “Ya, bidan Laila, ya?”
“Iya Bu.” Laila mengulurkan tangan
Disambut sungkan sang lawan bicara, terlebih dahulu ia mengelap telapak tangan pada dasternya. “Saya Astuti.”
"Ibu, istrinya pak RW Sopyan, ya?” tanya Laila sopan, seraya melepaskan jabat tangan.
“Jangan terlalu akrab dengan orang baru, Mak! Terlebih dia wanita muda – bisa jadi salah satu pelacur nya pria bejat itu!”
“Apa?!”
.
.
Bersambung.
Sungguh dirinya terkejut mendengar perkataan tajam nan kurang ajar yang dilontarkan remaja laki-laki mengenakan kemeja putih dan celana biru selutut. “Apa?!”
“Anto jaga ucapanmu! Macam tak disekolahkan saja kau ini!” Gadis bercelana berwarna pudar terdapat bercak putih seperti terkena pemutih baju itu menyentak lengan remaja tadi. “Minta maaf kau!”
Yang dipanggil Anto – mendengus, tapi dia menurut. Sepertinya sangat menghormati sosok si gadis. “Maaf!”
Astuti hanya bisa menghela napas panjang, netranya berkaca-kaca menatap sang putra yang menghentakkan kaki masuk ke dalam dapur.
“Maaf ya bu Bidan. Saya tinggal ke belakang dulu.” Dia mengangguk, memberikan sapu lidi kepada gadis remaja.
Laila cuma membalas dengan senyum tipis, jelas dia masih tersinggung dan terkejut. Suasana pun menjadi canggung.
“Bu Bidan, maafkan adikku ya. Mulutnya minta ditabok! Capek sudah aku dan Mamak menasehatinya, tapi tak jua kapok-kapok dia nya.” Ia menunduk dalam.
“Iya. Kau kakaknya si Anto?” kala mendapatkan anggukan pelan, kembali ia bertanya. “Berarti anak sulung bu Astuti dan juga pak Sopyan?”
“Iya Bu Bidan.” Tangan terdapat banyak bekas goresan luka itu terulur. “Namaku Mia.”
Laila menyambut baik uluran tangan itu. “Aku Laila. Panggil Kakak saja, jangan bu Bidan.”
Mia tersenyum tulus, menatap dengan manik sendu. “Kakak seperti Kak Juleha – tak sombong, tak pula gila hormat.”
‘Sepertinya gadis ini sangat dekat dengan bidan Juleha? Apa ku mulai dengan mendekati dan mengorek informasi darinya, ya?’
“Kau berteman baik ya dengan Bidan Juleha?” tanya Laila sembari melepaskan jabat tangan.
Gesture Mia seketika terlihat gelisah, wajahnya berubah siaga. “Tidak juga, Kak. Kami cuma sekedar saling sapa kalau pas bersisian.”
“Oh … senang berkenalan denganmu, Mia. Semoga kita bisa menjadi teman. Kalau boleh aku tahu – umurmu berapa?” Netranya melirik kaki gadis yang tak mengenakan sandal. Banyak bekas kudis, dan ada luka masih baru mengeluarkan darah belum kering.
Merasa diperhatikan, Mia menurunkan celana panjang yang digulung hingga lutut. “Jalan 16 tahun Kak.”
Laila tak lagi ingin menelisik lebih jauh fisik gadis yang sepertinya pemalu dan enggan akrab itu. Laila dapat merasakan ada sesuatu tersembunyi dibalik pakaian serba panjang dan longgar.
“Mia, kalau mau ke pasar naik apa ya?”
“Pasar?” Keningnya mengernyit. “Jalan maksud Kakak?”
“Bukan! Tempat para penjual alat dapur, warung sembako, dan kain, maksudku.”
“Oh – Pajak. Kalau disini kami menyebutnya pajak Kak. Jauh dari sini, sepertinya pun Kakak sudah terlambat bila ingin kesana. Sebab, kendaraan umum biasanya sudah berangkat pagi-pagi sekali.” Mia garuk-garuk punggung, ia merasa tidak nyaman.
“Namun, jika Kakak hendak berbelanja kebutuhan dapur – pergi saja ke warung kelontong Juragan Pramudya, disana lumayan lengkap Kak.”
“Di mana itu?” Tangan Laila sudah gatal ingin menaikkan baju kaos si Mia.
“Samping kantor kelurahan, depan Puskesmas Kak.”
“Kemarin sebelum kesini saya mendatangi kantor kelurahan, tapi kok tak melihatnya ya? Apa mungkin karena efek lapar, mata pun jadi buram.” Laila tertawa hambar, yang disambut senyum seadanya.
“Telor lagi telor lagi! Dasar istri tak berguna kau Asti! Bisanya cuma ngabisin duit!
Pyar!
Tubuh Laila terhenyak – dia kenal suara lantang tidak merdu itu. 'Aku tak menyangka kalau orang yang kemarin sangat ramah menyapa, ternyata bermulut jahat.'
“Sudah untung ada telor, Pak! Daripada makan batu. Bapak cuma pandai mengeluh, tapi tak pernah memberi uang belanja! Telor inipun dari duit Kak Mia. Dia bekerja tak kenal lelah demi dapur rumah bak neraka ini tetap mengepul!”
PLak!
“Sudah pandai kau membantah ya! Mau jadi anak durhaka, hah?!” Sopyan menampar pipi kanan putra bungsunya. Matanya melotot tajam.
Anto tidak terima. Dia sudah muak diperlakukan semena-mena. “Yang durhaka bukan aku, tapi Bapak! Tak memberi nafkah, enggan membiayai pendidikan kami sampai Kak Mia putus sekolah. Selalu mencaci maki Mamak, menuntut untuk dihormati padahal aslinya bejat. Senangnya nongkrong di warung kopi sambil tebar pesona menggunakan pakaian dinas. Kalau aku jadi Bapak, lebih memilih pakai rok daripada celana! Biar jelas betul pemalas nya!”
Sopyan meradang, dia menyambar gelas kaca hendak dilemparkan ke kepala Anto. “Kurang ajar kau!”
“Cukup, Bang!” Astuti menghadang, menghalangi dengan merentangkan kedua tangan. “Apa belum puas kau menyakitiku, sehingga melampiaskan jua ke darah dagingmu sendiri?”
“Dasar penyakitan! Awas kau!” Dia menarik tangan istrinya, tetapi mendengar jeritan diluar rumah membuatnya urung.
“Kak Ida! Bang Santo!” Mia memanggil sepasang suami istri yang mengendarai motor dimodifikasi memiliki gerobak. Sengaja berteriak untuk menghentikan pertengkaran kedua orang tuanya, makanan sehari-hari bagi keluarga berantakan mereka.
Laju motor pun berbelok memasuki halaman rumah pak RW.
“Ada apa, Mia?” tanya Ida, dia duduk di atas gerobak besi dilapisi papan halus.
“Bu Ida,” Laila mencoba menenangkan jantungnya yang bergemuruh, suara pertengkaran tadi sungguh menyayat hati.
Ida pun balas menyapa. “Semalam apa bu Bidan tak mendengar sesuatu dibelakang rumah?”
Laila menggeleng, mengatur ekspresi senatural mungkin. “Tidak, Bu. Memangnya ada apa?”
“Tak ada. Kemungkinan cuma Musang mengincar hewan ternak,” kali ini Santo yang menjawab tanpa menatap.
“Ini Kak Ida. Kak Laila mau ke warung kelontong Juragan. Kalau boleh, berilah dia tumpangan agar tak tersesat,” ucap Mia.
Ida langsung menyahut. “Ayo naik, Bu. Kebetulan hari ini saya yang menjaga warung.”
“Terima kasih, Bu Ida. Saya ambil dompet dulu!” Laila langsung berlari ke rumah, dia tidak melihat tatapan penuh arti antara Ida, dan juga Mia.
Setelah memastikan rumah aman, terkunci rapat. Laila naik dan duduk bersama Ida di atas gerobak.
.
.
Motor melaju dengan kecepatan sedang, tak bisa balapan dikarenakan medan jalan berbatu, berbukit.
Sepanjang jalan menuju warung sembako – Laila mencoba mengakrabkan diri, bertanya di zona aman kepada Ida. Sekali-kali netranya melirik Santo, menatap sedikit lama pada bekas luka yang jelas diakibatkan benda tajam, seperti luka bacok lumayan dalam sehingga menimbulkan keloid.
“Nah itu rumahnya pak lurah Karsa!” Ida menunjuk bangunan rumah panggung besar, terlihat mewah dengan halaman luas tidak berpagar.
“Sepertinya Beliau orang kaya ya, Kak?” dia memutuskan memanggil kakak, sebab Ida lebih tua satu tahun, dan dirinya memaksa agar dipanggil nama saja.
“Benar sekali, Laila. Lurah Karsa memiliki puluhan hektar kebun karet, dan juga percetakan batu bata. Mia bekerja di sana, mencetak batu bata.” Kembali di menunjuk bangunan yang cuma ditutupi terpal biru, tak jauh dari situ terlihat api membakar susunan tanah lempung.
Tiba-tiba jantung Laila berdebar tidak menentu, matanya memandang lekat pada bangunan yang hanya terlihat atap seng nya saja.
Jimat besi yang ia kenakan terasa seperti bongkahan es batu. Rasa dingin merambat hingga ke ulu hati, sekelebat bayangan merasuki pikiran – mencoba menguasai hingga sepersekian detik Laila kesulitan bernapas.
“Itu hunian siapa, Kak?”
.
.
Bersambung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!