NovelToon NovelToon

DEMI IBU KU SEWAKAN RAHIM INI

01 : Pernyataan

‘Dulu, Ibuku pernah menjadi permaisuri satu-satunya, dan aku Putri mahkota dalam istana mahligai rumah tangga orang tua ku, tapi lihatlah kini! Kami tak ubahnya sampah yang dibuang pada sembarang tempat.’

Sosok wanita yang memiliki lekuk tubuh indah, tetapi selalu tertutup busana longgar – tengah menatap nanar pada pigura yang mana terdapat 4 orang didalamnya, berpose layaknya keluarga bahagia.

Sang kepala keluarga, tidak lain ayahnya sendiri tengah merangkul istri mudanya, lalu sebelah tangannya lagi diletakkan pada bahu anak laki-laki mereka, si bungsu.

Sedangkan wanita licik berstatus ibu tirinya, menumpukan tangan pada pundak putri semata wayang hasil dari pernikahan pertamanya.

Dahayu, wanita berumur 22 tahun. Pemilik rambut pendek hitam pekat, bola mata berwarna coklat terang, bibir penuh itu mengedarkan pandangan menatap lekat rumah yang dulu pernah dihuni oleh dirinya beserta sang ibu, sebelum mereka diusir kala ayahnya memilih menikahi janda beranak satu, mantan cinta pertamanya.

Eheum.

Deheman seseorang berhasil mengembalikan fokus sosok berpakaian kaos longgar dan celana jeans panjang.

“Ada perlu apa kalian memanggilku kesini?” tanyanya tanpa basa-basi, enggan menatap lama pada pria paruh baya yang memandang lekat dirinya, ada juga wanita perebut kebahagiaan ibunya, Ijem.

“Duduklah dulu, Yu!” pinta Bandi, suaranya lembut penuh bujuk rayu.

Namun, Dayu tetap bergeming, berdiri di ruangan perumahan kelas dua perkebunan kelapa sawit dan karet milik swasta.

“Sudahlah Bang, kau macam tak tahu saja. Anak gadismu yang satu ini kan sombongnya bukan main.” Ijem menarik tangan sang suami, mereka duduk di sofa panjang.

Dayu bersedekap tangan, netranya menatap lurus pada bufet kayu jati – yang mana banyak terpajang foto keluarga.

“Yu, Ayah sudah menerima perjodohan dari salah satu staf kelas atas villa bukit, dia menginginkan mu menjadi istri keduanya,” begitu gamblang ia mengutarakan, tanpa memikirkan perasaan putri kandungnya.

Dahayu terkekeh sumbang, menoleh menatap lekat mata tua yang dulu berbinar hangat kala memandang nya, tapi kini menguap entah kemana, tinggal sinar arogan nan pongah. “Perjodohan atau dijual? Dengan apa kalian menukar ku? Satu hektar kebun sawit kah? Atau rumah gedong di pajak Batang Serangan?”

Tubuh Bandi terlihat menegang, sedangkan Ijem bergerak gelisah. Mereka mencoba menutupi kegugupan, tapi hal tersebut tidak berlaku bagi mata awas seorang Dahayu.

“Ternyata benar, tapi lumayan la ya – diri ini laku jua dijual, setidaknya sedikit berguna daripada disodorkan secara cuma-cuma. Baik lah, bila kalian sudah memutuskan maka akupun ingin mengajukan syarat. Biar kita sama-sama untung, bukan kalian saja yang beruntung dan aku hanya mendapatkan ampasnya.”

Tanpa memutuskan pandangan dari sang ayah, Dahayu melangkah sampai pinggiran sandaran sofa berseberangan dengan Bandi dan Ijem.

“Apa syaratnya?” Ijem menatap sinis si anak tiri.

“Aku tak berbicara dengan mu!” balasnya cepat.

“Jangan kurang ajar, Yu! Dia ini ibumu!” Bandi mulai emosi, entah mengapa anak gadisnya tidak pernah mau menerima istri keduanya.

“Ibuk ku cuma satu, dan takkan pernah tergantikan! Apalagi oleh wanita gatal macam dia!” Jari telunjuknya menuding tepat wajah Ijem.

“Bang!” Ijem menahan lengan suaminya yang hendak berdiri, menggeleng pelan.

Napas Bandi terdengar begitu kasar, dirinya nyaris kehilangan kesabaran. “Cepat katakan! Apa syaratnya?!”

“Cuma satu. Ceraikan Ibuku! Maka, aku akan setuju menikah dengan pilihan kalian!” ucapnya tegas dengan nada menekan di setiap kata, serta ekspresi datar.

“Tak akan! Sampai mati pun Ayah tetap mempertahankan ibumu!” tolaknya mentah-mentah.

Dahayu menatap jengah pada sosok yang sama sekali tidak lagi ia hormati. “Mau sampai kapan Anda memanfaatkan Ibuku? Belum cukupkah Anda membelenggunya dengan rantai layaknya binatang peliharaan?!”

Secepat kilat sosok bertubuh kurus, tinggi tidak seberapa itu beranjak, lalu ….

PLAK!

Wajah Dayu tertoleh ke kiri kala pipi kanannya ditampar sedemikian kuat.

“Walau bagaimanapun aku ini Ayahmu! Jaga tingkah lakumu!” Ia menurunkan tangannya yang bergetar hebat, mencoba mengatur ekspresi agar tidak terlihat raut penyesalan.

Tidak ada rintihan menahan sakit, apalagi jatuhnya buliran air mata. Ia membalas tatapan tajam dengan sorot mata sinis.

“Bapakku telah mati semenjak ia memilih mantan kekasihnya. Mencampakkan istri sah lalu menikahi sang selingkuhan. Jadi, jangan berharap lebih selain rasa benci! Bila Anda tak setuju, jangan harap aku pun mau menurut!”

“Jika dirimu menolak, kami tak akan membantu pengobatan ibumu yang mengidap Sawan Babi itu, Dayu!” Ijem berdiri, dirinya ikutan emosi.

Tentu saja Dayu tidak terima ibunya dikatai oleh dalang pemberi luka yang menyebabkan sang ibu terkena gangguan mental. Layaknya anak panah, dirinya melesak maju lalu menjambak gulungan rambut Ijem, sampai kepalanya menunduk. “Bibir kotor mu tak pantas menyebut sosok mulia!”

“Lepaskan! Bang tolong!” Kepalanya tertarik ke kanan dan kiri, mengikuti gerak tangan sang anak tiri.

“DAHAYU!” Bandi berteriak sekeras-kerasnya.

Bugh.

Punggung Ijem membentur tembok kala didorong kuat oleh Dayu.

“Dasar tak beradab kau!” Makinya seraya mengelus kulit kepalanya yang terasa pedih.

“Kau betulan tak ingin memenuhi permintaan Ayah, Yu?” Bandi bertanya untuk sekian kalinya, ia sudah duduk kembali di sofa, begitu juga dengan Ijem.

“Iya!”

“Apa dirimu sudah siap kalau Ayah mencabut biaya pengobatan ibumu?” ia mencoba mengancam.

“Silahkan lakukan! Maka, saya akan langsung melaporkan pada atasan, bila Anda tak berlaku adil, menelantarkan istri pertama dan anaknya. Kita lihat! Siapa yang menang? Sementara bukti ketidakadilan itu terpampang nyata!” Dayu menyeringai dengan sorot mata tajam.

“Sudahlah Bang, lepaskan saja! Apa yang kita dapat kali ini lebih besar daripada sembako dan tunjangan per bulannya,” bisik Ijem tepat di telinga sang suami.

Akhirnya Bandi setuju, tapi dengan syarat Dayu harus bertemu dulu dengan calon suaminya itu.

“Besok, kau pergilah ke villa bukit. Ingat satu hal! Jangan membawa Ibu gila mu itu!” ancam Ijem, ia berkata seraya bersembunyi dibelakang tubuh suaminya.

Dayu tidak menanggapi, tak jua pamitan, dirinya melengos pergi, keluar dari rumah afdeling satu yang mana ditempati oleh jajaran pengurus berpangkat mandor, serta pengawas.

***

Keesokan harinya, wanita yang sudah diwanti-wanti tidak boleh membawa sang ibu itu, terlihat menaiki motor Supra dan membonceng sosok paruh baya, ibu kandungnya.

Begitu sampai di gerbang tinggi rumah villa yang berada diatas bukit, bergegas sang security menanyai Dayu.

“Saya datang atas perintah Bandi,” ujarnya dengan intonasi datar.

“Silahkan ke villa paling ujung arah kanan!” titah pak satpam.

Pintu berbahan besi itu dibuka, Dayu kembali melajukan kendaraannya, memasuki area perumahan berlantai dua.

Dahayu menurunkan standar motornya. “Buk, ayo turun! Kita sudah sampai.”

“Main ya Dik?” sosok berpakaian celana kulot, baju panjang, rambut diikat satu itu bertepuk tangan, maniknya berbinar senang.

Hati Dayu bagaikan ditikam sembilu , semenjak ibunya divonis mengidap epilepsi, atau istilah umumnya Sawan Babi, ia tidak dapat mengenali dirinya sendiri apalagi sang anak.

“Ayok, Buk!” Dayu menuntun ibunya, berjalan menuju teras. Belum sempat mengetuk pintu, ternyata sudah ada pembantu rumah tangga yang menyambut serta memimpin jalan – sampai mereka di ruang tamu begitu luas.

Kemudian sang pelayan berlalu setelah memastikan Dayu duduk di sofa.

Netra Dayu terbelalak kala ibunya berlari mendekati guci besar. “IBUK JANGAN!!”

.

.

Bersambung.

Setting wilayah perkebunan kelapa sawit dan karet, pelosok Sumatera Utara. Awal tahun 2000-an.

02 : Dia Ibuku

Terlambat, guci keramik berukuran setinggi setengah meter itu jatuh menggelinding, pecah menjadi beberapa bagian setelah didorong sekuat tenaga oleh ibunya Dahayu, bu Warni.

Dahayu langsung berlari mendekati ibunya – yang terduduk di lantai seraya menutup kedua telinga. Dia nyaris tersungkur kala menaiki dua undakan tangga sekaligus, batas bagian pintu depan dengan ruang tamu.

“Nggak apa-apa, Mbak War. Ada adik di sini!” Dayu memeluk erat ibunya, mencium pucuk kepala yang dihiasi rambut berwarna dua, hitam dan putih.

“Adik … pyar!” adunya layaknya anak kecil, tangannya pun masih menutupi telinga.

“Mbak War, coba lihat sini! Adik mau lihat senyum manisnya, boleh?” dirinya mencoba membujuk, memposisikan diri sendiri sebagai adik, sosok yang sudah meninggal dunia.

Berhasil, sedikit demi sedikit bu Warni mau mendongak menatap mata teduh Dayu, senyumnya pun terbit kala melihat bibir sosok yang ia anggap almarhumah adiknya itu tertarik lebar.

‘Alhamdulillah, terima kasih ya Rabb,’ dalam hati dirinya mengucapkan puji syukur dikarenakan ibunya tidak tantrum.

Tanpa Dayu sadari, interaksi dirinya dan sang ibu diamati oleh sepasang mata Elang layaknya mengamati mangsa.

Tiba-tiba sosok wanita cantik, mengenakan gaun selutut yang membentuk lekuk tubuh seksinya terlihat menuruni undakan tangga.

“Gucci kesayanganku!” teriaknya histeris.

“Siapa yang memecahkan benda itu?!” Tunjuknya saat sudah sampai di undakan tangga paling bawah.

Tidak ada yang berani menjawab, dua asisten rumah tangga memilih bungkam dan menunduk dalam.

Masira – wanita berumur 30 tahun tersebut lantas mendekati suaminya yang masih terlihat menatap tanpa ekspresi dua orang saling memeluk.

“Mas, siapa mereka?” kala tak mendapatkan jawaban dari sosok layaknya patung, Masira melangkah mendekati Dahayu.

“Kalian siapa?!”

Dahayu mengusap lembut kedua lengan ibunya, mencoba menenangkan. Menatap tanpa ekspresi pada wanita cantik berpenampilan modis. “Saya orang yang dikirim oleh Bandi!”

“Jadi, kau orangnya?” tanyanya seraya menelisik wanita yang sama sekali jauh dari kata seksi. Celana jeans longgar, kaos oblong dengan panjang menutupi paha, rambut pendek dibawah telinga.

“Iya!” jawab Dayu tegas, dirinya membantu sang ibu untuk berdiri.

Sira menatap aneh pada wanita paruh baya yang terlihat seperti orang bodoh. “Lantas, siapa dia?”

“Ibuku!” sahutnya tegas, tanpa sedikitpun terdengar nada ragu.

Kening Sira mengernyit dalam, matanya terbelalak saat melihat ibu si wanita menjatuhkan diri di lantai, tangannya memeluk erat betis. “Dia gila?!”

Dahayu tidak langsung menjawab, ia mengeluarkan sesuatu dari saku samping celananya, lalu berjongkok, menatap penuh cinta wanita kesayangannya. “Ini kartunya, tapi Mbak main sendiri dulu ya, nanti Adik temani kalau sudah selesai urusannya.”

Bu Warni langsung merebut tumpukan kartu domino yang terbungkus plastik, lalu berjalan jongkok ke pojok ruangan, dirinya mulai mengocok dan mulai membagi kartu menjadi tiga.

“Dia tak gila, hanya mentalnya sedikit terganggu,” nadanya terdengar tenang nan rendah.

“Mereka betul-betul keterlaluan! Bagaimana bisa menyodorkan seseorang dari keturunan wanita gila kepada kami! Aku membatalkan kesepakatan ini!” Sira menghampiri suaminya. “Sayang, sebaiknya kita cari wanita lain saja!”

Amran Tabariq, atau yang sering dikenal dengan panggilan Tuan Amran, sama sekali tidak menanggapi rengekan istrinya, sebaliknya ia menoleh ke asisten rumah tangga yang sedari tadi berdiri tidak jauh darinya.

“Bi, bersihkan itu!” Dagunya menunjuk pada pecahan gucci.

“Baik, Tuan!”

Kemudian Amran memilih duduk pada sofa, disusul oleh istrinya yang bergelayut manja di lengannya.

“Kau!” panggilnya dingin, dengan nada menusuk. “Duduklah di sana!”

Tanpa kata apalagi membantah, Dahayu melangkah ke sofa mewah, duduk pada bagian ujung tepi, netranya sama sekali tidak menatap ke seberang.

“Apa Bandi sudah memberitahukan secara mendetail?” tanyanya, menatap wanita yang sedari tadi terlihat tenang, tidak mudah terkecoh, padahal mulut istrinya sudah sangat tidak sopan dalam berkata-kata.

“Dia hanya mengatakan telah menjodohkan – lebih tepatnya menjual saya kepada staf yang tinggal di villa bukit. Hanya informasi itu yang dia berikan,” jawabnya tanpa basa-basi, apalagi berusaha menutupi.

Memang benar adanya jika Bandi maupun Ijem, tidak ada memberitahu tentang siapa gerangan yang hendak menikahi Dahayu. Mereka juga menutup rapat mulut tentang hal penting, sengaja menyembunyikannya.

Amran menyipitkan mata, keningnya terlihat sedikit mengerut. Jelas dirinya terkejut atas pernyataan gamblang ini.

“Dasar manusia sampah! Bisa-bisanya tidak jujur, padahal mereka sudah menerima satu ruko di pajak kecamatan!” Sira terlihat marah, ia memang memiliki sifat sedikit tempramental.

‘Ternyata harga ku hanya satu buah ruko,’ batinnya terkekeh sinis.

“Bukan dijodohkan, tapi kau hanya akan dinikahi secara siri, sampai berhasil hamil dan melahirkan bayi yang sehat untuk kami, setelahnya – kau kembali pada status awal,” ungkap Sira, netranya menatap lekat sosok yang terlihat masih tetap tenang, tidak bereaksi sama sekali.

Namun, Amran melihat getar samar itu. Sekilas dan hanya sepersekian detik, ia memergoki tubuh wanita dihadapannya ini menegang.

‘Sebegitu tak berharganya kah diriku? Sampai seseorang yang seharusnya melindungi putri kandungnya, malah tega menjual serta mendorongku ke jurang penderitaan,’ Dayu sama sekali tidak menyangka, bila ayah yang selalu memaksa dirinya untuk tetap hormat, ternyata sosok begitu bejat.

“Apa lagi yang dia tawarkan kepada kalian?” tanyanya dengan nada dingin.

“Hanya Itu saja. Sebenarnya dia itu siapa mu?” kembali Sira bertanya.

“Bukan siapa-siapa, hanya seseorang yang perlu dibalas jasanya. Agar dikemudian hari tak lagi berani menggonggong,” ujarnya datar.

Wajah yang biasa selalu berekspresi datar itu, saat ini terlihat menyeringai samar. Amran tersenyum misterius. “Apa kau setuju?”

Dahayu mendongak, menatap berani sosok pria dewasa berkaos pas badan, celana selutut, postur tubuh atletis, wajahnya terbilang sedap dipandang, alis tebal, netra tajam, dagu terbelah. Pria dihadapannya ini, sama sekali tidak ia kenal. “Apa ada pilihan lain selain setuju? Tentu tidak bukan?”

Amran mengangguk, membalas tatapan lekat itu. “Berarti kau telah siap, bila suatu hari nanti berpisah dengan anakmu sendiri?”

‘Orang waras mana yang rela memberikan buah hatinya?!’ batinnya berteriak pilu, tetapi kepalanya mengangguk.

‘Semua demi Ibuk, agar dia bisa mendapatkan perawatan lebih baik, dan kami tak lagi menjadi pengemis hanya demi sebuah kartu kesehatan. Anggap saja aku menyewakan rahim ini.’ Dibalik bantal sofa, tangannya meremas lembut perutnya.

“Namun, saya menginginkan pernikahan resmi. Sah secara agama maupun negara!” ucapnya lantang, yang berhasil membuat istri Amran meradang.

“Siapa kau? Berani sekali meminta hal mustahil, hah?!”

Amran tidak mempedulikan istrinya, ia duduk tegak dengan siku bertumpu pada paha. “Apa alasan mu, sehingga memiliki nyali meminta hal tersebut …?”

.

.

Bersambung.

03 : Menolak

Dahayu melirik sekilas sang ibu, memastikan bila sosok kesayangannya itu masih asik dengan dunianya sendiri. Kemudian kembali fokus memandang lekat tepat pada manik hitam pekat, sedikitpun tidak menghiraukan tatapan menghunus bak mata pisau runcing yang dilayangkan istri dari si pria.

“Saya hanya ingin memastikan masa depannya terjamin. Bukankah anak yang terlahir dari pernikahan siri, tak akan diakui oleh negara? Dan juga dia tidak berhak terhadap warisan ayahnya, betul ‘kan?”

Meskipun hanya lulusan SMP, tapi bukan berarti dia tidak tahu tentang hukum pernikahan agama dan negara, selama ini ia hobi membaca, menonton berita, agar memiliki wawasan luas.

“Ku kira kau sesederhana penampilanmu, tapi ternyata begitu picik. Belum apa-apa sudah memikirkan soal warisan, kelihatan sekali ingin menguasai harta suamiku. Perlu ku ingatkan! Bayi yang kau lahirkan nanti, hanya akan diakui sebagai anak biologis mas Amran dan diriku, kau sama sekali tak berhak. Mengerti?!” Sira menyilangkan kakinya, gayanya sangat arogan.

Dahayu terkekeh, nada sumbang nya sarat akan ejekan. “Anda lucu sekali Nyonya. Belum juga mengenal saya, tapi sedari tadi sudah entah berapa kali menyemburkan racun lewat perkataan tak masuk akal. Sebegitu takutnya kah kalau harta suami Anda jatuh ke tangan wanita asing?”

“Tentu saja bu_kan,” jawabnya terbata-bata, tak menyangka mendapatkan balasan telak.

“Terserah Anda mau menuduh bahkan mencap saya seperti apa. Sebagai seorang wanita yang akan mengandung selama sembilan bulan, lalu setelahnya meninggalkan darah dagingnya untuk diasuh oleh orang lain – bisa jadi seumur hidup takkan pernah berkesempatan bertemu lagi, bukankah wajar bila saya ingin memastikan masa depannya nyaman, aman, tak kekurangan sesuatu apapun?” Dayu menaikkan kedua alisnya, menatap sepasang suami istri secara bergantian dengan raut datar.

“Tapi, tak perlu juga dengan menikah resmi, secara siri saja sudah cukup, yang penting sah!” sanggah Sira, tidak mau kalah dan keukeuh menolak.

Amran sendiri masih duduk tenang, menyandarkan punggungnya pada sofa, kaki kirinya bertumpu di atas lutut sebelah kanan.

“Sah di mata agama, namun tidak dengan negara, apa untungnya coba? Mungkin bagi saya tak masalah karena pernikahan ini hanyalah bersifat sementara. Tapi, tidak dengan si jabang bayi! Siapa yang bisa menjamin masa depannya, sedangkan hati manusia sukar ditebak. Apalagi dia akan dibesarkan oleh sosok ibu tiri yang mana tak memiliki ikatan darah dengannya. Untuk sekarang Anda bisa mengatakan setuju, tapi di masa depan siapa yang tahu.”

Wajah Sira merah padam, baru pertemuan pertama, tapi hatinya sudah membenci wanita dihadapannya ini.

“Saya setuju!” jawaban tegas itu langsung mendapatkan respon berbeda dari kedua wanita.

“Mas! Dirimu apa-apaan sih?!” Masira mengguncang lengan suaminya, mencoba mencari perhatian penuh, tapi tidak hiraukan.

“Kalau Anda telah setuju, saya harap secepatnya membuat surat perjanjian! Agar tak ada yang dirugikan, ataupun ingkar janji.”

“Tak ada surat perjanjian. Pernikahan ini akan dilakukan seperti pada umumnya,” ujarnya tegas, netranya menatap tepat manik Dahayu.

“Tak bisa seperti itu!” Dahayu berseru spontan, tubuhnya ikutan kaku. "Anda juga harus memastikan terlebih dahulu, kalau saya sehat serta memiliki rahim yang subur."

“Betul itu! Harus ada surat perjanjian seperti yang sudah aku berikan kepada Bandi! Begitu dia melahirkan.” Tunjuknya pada Dayu. “Maka, harus segera diceraikan dan pergi dari kehidupan kita!”

Kali ini netra Amran – menatap tajam manik hitam wanita yang telah dinikahinya selama 5 tahun. “Apa harus sampai sejauh ini kau bertindak seorang diri, Sira? Pertama, tanpa memberi tahu terlebih dahulu, dirimu memutuskan mencari wanita lain untuk menampung benih ku, lalu tanpa persetujuan dariku ... langsung saja tanda tangan surat perjanjian dengan imbalan bangunan ruko yang mana sertifikatnya atas namaku. Sebetulnya yang kepala keluarga, aku atau kau?”

Mendapatkan tatapan menghunus, kata-kata rendah nan tajam, tubuh Sira seketika menegang, keberaniannya menguap entah kemana. Ia memang salah, bertindak tanpa berpikir terlebih dahulu, meremehkan sang suami yang jelas-jelas memiliki sifat mendominasi.

“Ma_af, Mas. Aku hanya ingin memberikan yang terbaik untuk keluarga kita,” ucapnya mencari aman.

Namun, Amran tidak menanggapi, ia memilih berdiri. “Persiapkan dirimu! Seminggu lagi kita menikah, di sini!”

Kening Dahayu mengernyit, ia tidak dapat menebak jalan pikiran pria yang sudah berlalu itu. Bukan ini yang dia harapkan, setidaknya ada perjanjian jelas hitam di atas putih, bermaterai dan ditandatangani oleh kedua belah pihak.

Setelah kepergian Amran, dua wanita tadi sibuk dengan pikiran masing-masing, sampai tidak menyadari sosok pria lain telah berdiri di hadapan mereka.

“Nona Dahayu!”

Yang dipanggil langsung mendongak, menelisik penampilan pria berpakaian rapi, kemeja kotak-kotak, celana jeans panjang, wajah oriental nya berkulit sehat.

“Perkenalkan, saya Randu. Asisten Tuan Amran,” ucapnya tanpa mengulurkan tangan.

“Anda sudah boleh kembali ke afdeling 5, bila nanti berkas syarat pernikahan telah lengkap, saya akan memberitahukan kepada Anda,” lanjutnya dengan intonasi sedang dan sopan.

Dahayu tidak langsung menanggapi, apalagi beranjak dari duduknya, banyak yang ia pikirkan, mencoba menerka kejanggalan ini. ‘Sampai mana mereka memberi informasi tentangku? Mengapa pria tadi seakan telah mengenal diri ini? Bagaimana mungkin ia menanggapi permintaanku dengan begitu mudah serta terkesan santai?’

“Adik!”

Teriakan melengking Bu Warni membuyarkan lamunan Dahayu, ia langsung menoleh ke arah ibunya.

“Lapar. Makan!”

Dahayu menatap jam murahan di pergelangan tangannya, ternyata sudah masuk tengah hari. Ia mengedarkan pandangannya, sudah tidak ada sosok wanita arogan tadi, tapi asisten yang katanya bernama Randu, masih berdiri kokoh tidak jauh dari tempatnya duduk.

“Ayo pulang, Buk!” Ia berjongkok, memungut kartu domino dan kembali memasukkan ke dalam plastik, kemudian menuntun ibunya keluar dari hunian terbilang mewah.

***

“Apa dia sudah pulang?” tanyanya tanpa mengalihkan perhatian dari lembaran kertas yang sedang diperiksa.

“Sudah, Tuan.”

“Kau urus semuanya, gunakan uang serta kekuasaan agar berkas pernikahan itu cepat selesai!”

Randu mengangguk sopan. “Baik, Tuan.”

Selepas kepergian sang asisten, Amran menyudahi kegiatannya, lalu membuka laci meja kerja, mengeluarkan satu map, dan membukanya. Netranya langsung disuguhi potret wanita berambut pendek, lengkap dengan data dirinya.

Pria berumur 30 tahun itu menatap lekat sosok yang memiliki kecantikan natural – tersembunyi dibalik busana serba longgar. Ia akui, bila Dayu memiliki daya tarik tersendiri, terlebih tatapan matanya yang menyimpan luka berbingkai amarah.

.

.

Sementara di lantai dua, tepatnya di kamar utama. Masira tengah mengamuk, membanting lampu tidur. “Kurang ajar! Tak bisa dibiarkan! Aku harus membatalkan pernikahan itu!”

Sira mengambil ponselnya, mencoba menghubungi seseorang, tapi sudah tiga kali panggilan tetap belum ditanggapi.

Akh … ia kembali berteriak, niat hati ingin mengamankan harta sang suami agar tidak jatuh ke tangan orang lain, dirinya mengusulkan ide gila. Awalnya hanya ingin menyewa rahim wanita lain, dikarenakan dirinya divonis sulit memiliki keturunan.

Namun, permintaannya ditolak mentah-mentah oleh sang mertua, berujung suaminya harus melakukan kontrak pernikahan siri.

***

Seminggu telah berlalu, usaha Masira sia-sia. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain menurut, kini dirinya terpaksa menyaksikan pernikahan kedua suaminya.

Tepat di ruang tamu villa, sosok gagah bersahaja itu menjabat tangan pak penghulu.

“Baik, apa sudah bisa kita mulai…?”

.

.

Bersambung.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!