NovelToon NovelToon

My Man

Bab 1

...✧˖°. 🕯️🦢 ✧˖°....

"JANGAN LARI KAMU!"

"Aduh! Kenapa malah makin cepat larinya?!"

Gadis dengan celana jeans yang bagian lututnya robek terus berlari kencang ketika seorang wanita paruh baya mengejarnya.

"BERHENTI!"

Mereka menjadi pusat perhatian karena kejar-kejaran seperti kucing dan tikus.

Mata gadis itu berbinar ketika melihat sebuah mobil. Larinya semakin kencang dan tanpa permisi dia menerobos masuk saat pintu mobil terbuka.

"Hei—"

"Tidak ada waktu untuk protes, Paman!" Eliza menarik tangan pria itu agar masuk, lalu dia langsung tancap gas menjauh dari sana.

"Akhirnya!" Dia tertawa senang karena bebas dari kejaran orang gila tadi. Terlihat ODGJ yang mengejarnya tadi, kini sedang marah-marah ketika ia sudah menjauh.

Namun, sedetik kemudian Eliza baru menyadari sesuatu. "Eh, eh, eh!" pekiknya dengan heboh. Dia memutar setir mobil kesana kemari karena dia baru sadar tidak bisa menyetir mobil.

"Kamu—"

Ciitttt ... BRAK!

****

"Manusia malang mana lagi yang jadi korban kamu, El?"

Elizabeth cemberut. Dia baru saja sadar dari pingsannya, tapi ibunda tercinta sudah menyemprot nya dengan ucapan pedas.

"Sudah berapa kali Mama bilang, diam di rumah, nonton film atau bermain apapun, asal jangan keluar rumah! Masih baik Mama tidak kirim kamu ke Surabaya!"

"Kamu tidak kasihan dengan papa dan kakak mu? Mereka sampai harus bertemu dengan orang yang sudah kamu buat celaka untuk minta maaf! Huh, sepertinya akan ganti rugi juga. Mobil yang kamu rusak itu bukan mobil murah, El! Aduh, Mama pusing sekali! Yang cari masalah itu selalu kamu. Coba contoh kakakmu yang pendiam dan tidak aneh-aneh!" Geisha menepuk keningnya beberapa kali dengan wajah frustasi.

Eliza cemberut. Padahal ini bukan sepenuhnya salahnya. "Mama tidak bisa ya kalau tidak mengomel? Padahal aku sedang sakit sekarang," ujarnya mengeluh.

"Tentu saja tidak bisa!" sentak Geisha. "Asal kamu tau, Eliza, orang yang kamu buat kecelakaan itu adalah salah satu keluarga Pamungkas! Semoga saja mereka bisa memaafkan kamu. Kalau tidak mau, Mama tidak tau apa yang akan terjadi kedepannya. Sepertinya tidak ada pilihan lain selain menyerahkan kamu ke mereka. Biar mereka kirim kamu ke barak saja sekalian," lanjutnya semakin menjadi.

Eliza melotot tak terima. "Ma, aku juga korban di sini!" kesalnya.

"Kamu itu pelaku! Korban mana yang menabrakkan mobil orang ke pembatas jalan sampai mobilnya ringsek begitu?!" Mata Geisha ikut melotot galak. Dia benar-benar tak habis pikir dengan putrinya ini.

Si bungsu yang selalu mencari masalah.

Eliza semakin cemberut. Dia membuang muka tak ingin menatap ibunya.

Ketika Geisha hendak melanjutkan ocehannya, tiba-tiba pintu ruangan terbuka. Seketika Eliza tersenyum lebar.

"Papa!" Dia merentangkan tangannya minta dipeluk.

Austin Argantara yang tak lain adalah papa Eliza pun dengan senang hati memeluk putrinya yang sudah sadar.

"Putri Papa sudah bangun? Sudah makan?" tanya Austin. Dia mengecup kening Eliza sebelum melepaskan pelukannya.

Sadipta, kakak Eliza mendudukkan dirinya di sofa sambil melirik sang adik dengan helaan nafas.

"Belum. Mama mengomel terus sedari tadi," jawab Eliza mengadu. Dia memang orang yang suka mengadu, terutama pada papanya.

"Ingin makan apa, hm?" Austin mengusap rambut anaknya dengan lembut.

"Mie ayam. Boleh?" Eliza menatap papanya penuh harap.

"Kalau mau mie ayam, beli sendiri," celetuk Geisha. Wanita itu sedang membuka kotak berisi bubur ayam.

"Iiihh, Mama!" Eliza cemberut. Dia menatap Austin meminta pembelaan.

"Apa?!" Mata Geisha melirik sinis sang putri. Dia duduk di pinggiran ranjang Eliza. "Cepat buka mulut kamu!" Dia menyodorkan satu sendok bubur ayam, lengkap dengan kerupuknya.

"Tidak mau! Pokoknya aku ingin makan mie ayam!" Eliza menutup mulutnya sambil menggeleng. Sebagai anak bungsu, Eliza ini selalu ngeyel dan keras kepala, apa-apa harus dituruti. Si bungsu yang satu ini memang selalu manja.

"Elizabeth," tekan Geisha dengan mata melotot.

Geisha ini adalah seorang ibu yang jauh dari kata lemah lembut, dia memang bawel dan galak, tapi ketika anaknya sakit, dialah yang paling khawatir. Buktinya ketika mendengar kabar putrinya kecelakaan, dialah yang paling heboh.

"Sudah, Ma. Buburnya kamu saja yang makan, biar Eliza makan mie ayam," ujar Austin melerai. "Dipta, belikan adikmu mie ayam, sebentar," lanjutnya pada Sadipta.

Untung saja Sadipta bukanlah anak pembangkang nan manja seperti Eliza. Sekali perintah, langsung dituruti tanpa protes.

"Boba nya jangan lupa, Kak!" seru Eliza sebelum Sadipta benar-benar keluar dari ruangan.

Geisha menghela nafas kasar. Dia kembali duduk di sofa sambil memakan bubur ayam. Jika suaminya sudah memberi perintah, dia tidak bisa membantah.

"Bagaimana, Pa? Apa kata keluarga Pamungkas?" tanya wanita itu saat Austin duduk di sampingnya.

Eliza diam-diam menguping meskipun tangannya sibuk bermain ponsel.

"Altezza masih belum sadar. Kata mereka, tunggu Altezza sadar lebih dulu," jawab Austin.

"Mereka tidak membahas tentang ganti rugi?"

"Belum, mungkin nanti. Aku sudah minta tolong ke mereka agar masalah ini tidak perlu dibawa ke jalur hukum."

Eliza menelan ludahnya dengan kasar. Astaga ... apakah separah itu? Padahal dia hanya menabrakkan mobil mahal ke pembatas jalan. Andai saja tidak dikejar orang gila, Eliza pasti tidak akan seperti ini.

Elizabeth Monalisca namanya, gadis dengan sejuta kegilaannya. Iya gila, dia selalu bertindak tanpa memikirkan resikonya, seperti beberapa jam lalu. Akibat tingkahnya, seorang pengusaha ternama telah menjadi korbannya. Dan parahnya lagi, sekarang pria itu belum sadar.

Dia masih muda, 25 tahun. Tidak kerja. Ah lebih tepatnya sudah tidak kerja, karena dia baru saja patah hati.

Eliza menjalin hubungan dengan bos tempat dia bekerja. Tapi, sayangnya beberapa hari lalu, dia ditampar oleh fakta mengejutkan. Lelaki yang selama ini dia cintai, yang dia sayangi, yang dia pamerkan pada kedua temannya, ternyata telah menikah dengan wanita lain. Dan sialnya lagi, dia bukan diselingkuhi, melainkan menjadi selingkuhan.

Arhan Febryan namanya. Tampan tapi penuh kejutan. Buktinya dia berhasil membuat Eliza terkejut.

Karena tidak terima ditinggal nikah, Eliza menghancurkan dekorasi di pernikahan Arhan dan wanita itu. Lagi, Eliza bertingkah tanpa memikirkan resiko kedepannya. Akibat mengacaukan acara orang, Eliza sampai dilaporkan polisi oleh pihak keluarga Arhan. Untungnya Austin berhasil membujuk keluarga Arhan agar menyelesaikan masalahnya tanpa membawa ke jalur hukum.

Eliza benar-benar dendam pada mantan laknat nya itu. Harga dirinya seakan diinjak-injak. Bisa-bisanya dia jadi selingkuhan, bukan diselingkuhi. Dan sejak saat itulah Eliza berhenti bekerja di perusahaan Arhan. Dia benar-benar mem blacklist pria itu dari hidupnya. Eliza tidak sudi lagi menatap wajah sok tampan itu. Dia selalu berdoa agar Tuhan menggantinya dengan yang lebih baik. Yang lebih tampan dan lebih kaya dari Arhan.

Sekarang sudah jam delapan malam. Eliza baru saja selesai makan malam bersama keluarganya. Di mana? Tentu saja di ruang rawatnya. Setelah ini mereka akan bertemu pihak keluarga Pamungkas untuk menyelesaikan masalah yang telah dibuat oleh tuan putri.

Eliza gugup. Dia takut dan malu. Padahal tadi siang dia tidak se-malu ini untuk mengemudikan mobil orang.

"Kalian saja ya yang ke sana? Aku malu ...," rengeknya. Padahal mereka sudah berada di depan pintu ruang rawat Altezza.

"Kalau kamu tidak ikut, semakin malu keluarga kita nanti," celetuk Sadipta.

Eliza cemberut. Dia pun akhirnya diam, duduk tenang di kursi roda yang didorong kakaknya.

Austin mengetuk pintu. Tak sampai lima detik, pintu pun terbuka.

"Tuan Austin? Mari masuk." Seorang wanita paruh baya tersenyum menyambut mereka.

Keempat orang itu masuk ke dalam. Pandangan Eliza langsung tertuju pada seorang pria yang sedang meminum obatnya.

"Hah, siapa ini? Kenapa dia berubah menjadi tampan?!" batin Eliza berteriak.

Ia berdeham canggung saat mata mereka tidak sengaja bertatapan.

"Maaf mengganggu waktunya—" Austin menyampaikan tujuannya dan meminta perdamaian dengan keluarga Pamungkas. Sedangkan si pelaku utama malah tidak menyimak dan memilih memandang pria tampan.

"Tampan dan gagah. Tapi, kenapa wajahnya terlihat menyebalkan di mataku? Dia berotot dan besar, pasti di perutnya ada enam roti sobek, oh, atau delapan, sepuluh?" batin Eliza.

"Kalau aku pegang—"

"Elizabeth," panggil Geisha penuh penekanan. Bahkan tangannya mencubit lengan Eliza hingga membuat gadis itu menahan sakit, tapi bibirnya tersenyum saat ibu Altezza menatapnya.

"Ah, iya?" Dia terkekeh canggung sambil menggaruk pipinya. "Kenapa, Ma?" Pertanyaan itu lolos begitu saja.

Baik Geisha, Austin maupun Sadipta, mereka merasa malu dengan tingkah plonga-plongo si bungsu.

"Minta maaf, Sayang," ucap Geisha lagi, ditambah senyum manisnya. Tentu saja semua itu hanya paksaan.

Eliza mengangguk patuh. Ia berdeham singkat sebelum menatap kedua paruh baya di depannya.

"Maafkan saya, Tuan, Nyonya, dan ...." Eliza menatap Altezza yang menunggu kelanjutannya. " ... Paman ...," sambungnya terdengar ragu.

Geisha memejamkan matanya dengan erat. Apa katanya? Paman? Altezza dipanggil paman? Begitu juga dengan Austin dan Sadipta yang kelewat malu.

"Saya janji tidak akan mengulangi kesalahan yang sama lagi. Ngomong-ngomong, kalian minta ganti rugi berapa? Satu juta? Dua, tiga, atau sepuluh? Katakan saja, Tuan, Nyonya, papa saya kaya, dia pasti—"

"O-oh iya! Saya bawakan bingkisan juga untuk Nak Altezza." Geisha menyela dan langsung memberikan bingkisan yang dia maksud pada Asteria, ibunda Altezza.

Berbeda dengan keluarga Eliza yang malu, Asteria dan Ergino Pamungkas malah tersenyum geli melihat tingkah Eliza yang unik.

"Terimakasih, Nyonya, maaf jika merepotkan," ucap Asteria setelah menerima bingkisan itu.

"Tidak repot sama sekali. Sekali lagi kami mohon maaf sebesar-besarnya, ya ...." Mereka berdua berpelukan singkat.

"Iya, tidak apa-apa." Asteria mengelus pundak Geisha setelah pelukannya lepas.

Eliza menatap keduanya dengan bingung. Ketika hendak bicara, mulutnya langsung ditutup oleh tangan Sadipta.

"Jangan bicara apapun. Lebih baik kamu diam," bisik pria itu.

Eliza mengerut tak suka. Dia ingin protes, tapi Sadipta menatapnya dengan tajam. Alhasil Eliza kembali diam anteng.

Tanpa Eliza sadari, semua tingkahnya tak luput dari tatapan Altezza. Si pria dengan wajah tanpa ekspresi nya.

bersambung...

Bab 2

...✧˖°. 🕯️🦢 ✧˖°....

"Ya Tuhan, Eliza! Apa yang kamu lakukan?! Kamu itu harusnya bersikap anggunly, slay, ala-ala princess kiyowo! Kenapa malah begitu?!"

Senna, salah satu teman Eliza sibuk mengoceh menanggapi cerita yang Eliza ceritakan. Saat ini mereka berada di kamar Eliza. Mendengar kabar sang sahabat kecelakaan, Senna dan Thea tentu panik. Terlebih mereka berada di luar kota karena bekerja. Dan baru hari ini mereka bisa bertemu dengan Eliza.

"Benar!" sahut Thea pula. Dia sibuk memakan snack yang dia beli tadi.

"Altezza Pamungkas, ya? Gila! Dia itu pangeran! Tampan dan gagah! Bahkan aku pernah membayangkannya menjadi suamiku!" Senna berdecak. "Lalu bagaimana? Apa kalian tidak akan bertemu lagi? Ah, tidak mungkin, Paman Austin pasti akan sering mengunjungi dia nanti."

Eliza mengendikkan bahunya acuh. Dia merebut snack yang dimakan Thea. "Tidak tau dan tidak mau tau! Yang penting sudah damai. Lagi pula, pria tua seperti dia itu bukan tipeku," ujarnya.

Meski kesal camilannya diambil, Thea memilih membuka snack lainnya.

"Justru yang lebih tua itu lebih hot! Yakin tidak mau?" tanya Thea menggoda. Hal itu membuat Eliza mendorong bahunya.

"Berisik! Aku tidak peduli! Dia pasti nanti akan seperti Arhan! Semua pria memang sama saja!" Eliza mendengus saat wajah sang mantan muncul dalam benaknya tiba-tiba.

"Semua pria sama saja? memangnya kamu sudah mencoba berapa pria, El?" Senna memutar bola matanya malas. "Begini jadinya, setelah kecelakaan otakmu jadi miring!"

PLAK!

"Sembarangan kalau bicara!"

Senna cemberut sambil mengusap bahunya yang ditampar Eliza.

"Itu fakta! Lebih baik kamu ikut aku saja ke luar kota, supaya tidak semakin miring di sini. Di sana banyak pria tampan, jadi kamu bisa refreshing otak."

" Tidak mau!"

"Oh, jadi kamu ingin mencari sugar daddy di sini? Tidak apa-apa sebenarnya, lagi pula—"

"SENNA!" Mata Eliza melotot memperingati Senna agar tidak membahas pria lagi. Dia sudah muak dengan pria.

"Hehehe ... iya iya ...."

****

"Elizabeth!"

Eliza berdecak ketika mendengar suara cempreng mamanya. Dengan malas dia beranjak dari ranjang dan keluar dari kamar. Ini masih pagi, tapi dia malas keluar kamar. Wajar, day one jadi pengangguran. Ah, bukan, bukan day one, mungkin lima? Enam? Atau lebih?

"Ada apa, Ma?" Dia menghampiri Geisha yang sedang membuat kopi entah untuk siapa.

"Ada Altezza di depan, dia ingin bertemu kamu, katanya. Cepat temui dia!"

"Hah?! Untuk apa dia ke sini? Tidak, aku tidak mau!" Eliza menolak mentah-mentah, dia hendak berbalik, tapi Geisha lebih dulu mencekal tangannya.

"Jangan buat Mama malu, Eliza! Sana temui dia, ini sekalian bawa kopinya. Mama mau ke belakang."

"Mama ...." Eliza merengek. Dia malas bertemu dengan pria itu. Lagi pula, kenapa Altezza sudah keluar dari rumah sakit, sih?

Mata Geisha melotot penuh peringatan. Hal itu membuat Eliza cemberut dan terpaksa menurut. Dengan malas dia mengambil nampak berisi secangkir kopi untuk Altezza.

"Ingat, jangan membuat Mama malu, bersikaplah dengan sopan," peringat Geisha sebelum Eliza pergi dari dapur.

Dengan setelan piyama pendek yang melekat di tubuhnya, Eliza menghampiri Altezza yang sudah menunggu di ruang tamu.

Seketika langkah Eliza terhenti saat melihat Altezza yang sedang sibuk dengan ponselnya. Matanya melotot melihat pakaian pria itu.

"What the— kenapa makin tampan?! Dan itu, baju apa itu sampai mencetak tubuhnya?!" bisik Eliza. Namun sedetik kemudian dia berdeham. "Tidak Elizabeth, kamu tidak boleh tergoda."

Raut wajahnya berubah saat si pria menangkap keberadaannya. Meski terkesan dipaksakan, Eliza tetap tersenyum.

"Selamat pagi, Paman. Maaf lama," ucap Eliza. Seperti apa yang Geisha inginkan. Tidak boleh malu-maluin.

"Ya."

Ingin rasanya Eliza berteriak. Wanginya, suaranya, tubuhnya, semuanya yang ada pada Altezza membuatnya hampir hilang akal. Pria itu benar-benar seperti pria yang dewasa, berwibawa, kaya, mahal, pokoknya idaman para wanita!

Tunggu! Apakah dia baru saja memuji si paman ini? Astaga ... padahal dia sudah berkata jika Altezza bukanlah tipenya.

"Ada keperluan apa? Apa Paman berubah pikiran? Paman pasti ingin minta uang ganti rugi, kan?" Eliza melontarkan pertanyaan bertubi-tubi. Dia duduk di depan Altezza setelah menyajikan kopi buatan mamanya ke atas meja.

Altezza menggeleng pelan. Gadis di depannya ini seperti bocah. Apalagi saat melihat mata Eliza memicing, seolah mencurigainya.

Eliza semakin menatap curiga Altezza saat pria itu meletakkan sesuatu ke atas meja.

"Apa itu?"

"Sepertinya gelang milik kamu, orang yang melihat keadaan mobil saya mendapatkan itu di sana," jelas Altezza.

Sontak saja, Eliza melihat lengannya yang tidak ada gelang di sana. Kenapa dia baru sadar jika gelangnya hilang?

"Ohh, hanya karena ini? Tidak ada hal lain?" tanya Eliza seraya kembali memakai gelang kesayangannya.

Altezza mengangguk pelan. "Saya tidak bisa berlama-lama karena akan ke kantor sekarang." Dia meminum kopinya sedikit untuk menghargai Eliza.

"Ya sudah, silakan kalau begitu. Terima kasih karena sudah mengembalikan gelangnya." Eliza berdiri saat Altezza beranjak dari duduknya. Dia mengantarkan Altezza hingga ke teras.

"Ya. Saya permisi, terima kasih kembali untuk kopinya," ucap Altezza sebelum benar-benar pergi dari sana.

Tangan Eliza melambai-lambai saat Altezza membunyikan klakson.

"Hanya karena gelang ini dia kemari?" Bibirnya mencebik. Memangnya dia harus berharap apa?

"Harusnya titipkan pada mama saja tadi," gerutunya karena merasa terganggu, padahal dia sedang asik-asiknya scroll sosmed tadi.

"Loh, di mana Altezza? KAMU USIR, YA?!" Suara cempreng Geisha membuat Eliza terkejut bukan main.

Geisha menengok ke luar yang sudah tidak ada mobil Altezza.

"Kamu benar-benar mengusirnya?!" pekiknya lagi.

Eliza memutar bola matanya malas. "Dia buru-buru, ingin ke kantor, katanya," jawabannya lalu masuk ke dalam.

"Jangan bohong!" pekik Geisha.

"Tidak!" seru Eliza dari tangga tanpa menoleh.

Sore harinya, Eliza mulai keluar dari kandangnya. Dia jalan-jalan sore dengan mengendarai sepeda listrik mamanya. Rencananya dia ingin ke taman yang tidak jauh dari sini, karena biasanya sore-sore begini banyak pedagang kaki lima mangkal di sana. Saking niatnya, Eliza sampai membawa karpet kecil yang digunakan untuk piknik.

"Yeah you're just my type and I like your style~" Dia bersenandung pelan menyanyikan lagu Style by Heart2Heart. Anak rambutnya ikut menari karena tertiup angin sore.

Tak sampai lima belas menit, Eliza sudah sampai di taman. Matanya berbinar karena melihat banyak pedagang di sana, dan pengunjung pun lumayan ramai. Eliza bukan orang yang introvert, jadi dia tidak terganggu meskipun ramai.

"Pak, beli!" serunya pada pedagang pentol bakar. "Saya mau sepuluh ribu, ya!" Ia merogoh saku celananya dan mengeluarkan uang berwarna merah dari sana.

Dia hanya membawa satu lembar saja untuk jajan sore ini. Kalau belum habis, Eliza tidak akan pulang.

"Terima kasih!" ucapnya seraya menerima pesanannya.

Setelahnya, dia lanjut ke pedagang lainnya. Dirasa sudah cukup, Eliza menggelar karpet pink nya di atas rumput dan duduk di sana.

"Oke, kita mulai dari yang mana dulu? Pentol bakar? Siomay? Cilok? Umm ... AHA! Risol!" Eliza benar-benar menikmati makanannya sore itu. Dia terlihat senang meskipun sendirian di tengah-tengah orang asing.

"Hai."

Dengan mulut penuh risol goreng, Eliza menoleh ke arah pemuda yang menyapanya.

"Hai?" balas Eliza ragu-ragu setelah dia menelan risol nya.

Pemuda itu tersenyum tipis. "Boleh bergabung? Aku tidak sengaja melihat kamu sendirian di sini," katanya.

Tanpa ragu Eliza mengangguk. Bahkan dia langsung menggeser tubuh dan makanannya agar lelaki itu bisa duduk.

"Terima kasih." Dia tersenyum. "Aku Garuda." Garuda mengulurkan tangannya pada Eliza yang disambut baik oleh si gadis.

"Eliza."

Garuda mengangguk pelan. "Kamu benar-benar sendiri di sini?" Ia melihat sekelilingnya yang lumayan ramai.

"Seperti yang kamu lihat," jawab Eliza acuh, dia kembali memakan jajanannya.

Garuda terkekeh kecil melihat Eliza yang begitu fokus pada makanannya. Sedangkan dia hanya membeli jus buah naga, karena memang tidak terlalu suka ngemil.

"Kalau boleh tau, di mana rumah kamu?"

"Tidak jauh dari sini," jawab Eliza sambil mengunyah.

"Oh ya? Apa kamu sering ke sini? Aku baru pertama kali melihat kamu," ujar Garuda.

"Jarang, biasanya aku kerja, jadi tidak ada waktu. Sekarang sedang ingin saja." Padahal aslinya lagi nganggur, makanya bisa ke sini.

Garuda mengangguk paham. Dia diam memperhatikan wajah Eliza. Pipinya tembam seperti remaja tujuh belas tahun. Ah iya, dia belum tau umur gadis itu.

"Sepertinya kamu baru lulus SMA, ya?"

Eliza langsung tersedak. Hal itu membuat Garuda terkejut, dia buru-buru memberi minuman milik Eliza pada gadis itu.

"Kamu tidak apa-apa? Maaf kalau pertanyaanku membuatmu kaget." Garuda meringis tak enak.

Setelah tenang, Eliza mengangguk pelan. Sedetik kemudian dia tertawa kecil, tangannya reflek memukul pundak Garuda.

"Aku sudah dua puluh lima tahun, tau! Baru lulus SMA dari mana coba?!" Pipinya bersemu, karena secara tidak langsung, Garuda mengatakan jika dia awet muda. Betapa senangnya hati Eliza saat ini.

"Benarkah? Aku pikir kamu masih tujuh belas tahun." Garuda ikut tertawa. "By the way, umur kita sama," lanjutnya.

Eliza kembali terkejut. "Aku pikir kamu sudah tiga puluh tahun, loh!" ujarnya blak-blakan.

Untung saja Garuda tidak baperan, jadi dia hanya tertawa saja saat mendengar ucapan Eliza. "Ya, aku tau, banyak orang yang mengatakan seperti itu juga," katanya.

Eliza mengangguk paham. Garuda memang terlihat seperti umur tiga puluh tahun. Badannya yang kekar juga wajahnya yang memang seperti om-om, namun ada kesan hot nya. Justru seperti inilah pria idaman para wanita, termasuk Senna, sahabatnya.

"Ekhem!"

Kedua manusia yang duduk di atas karpet itu langsung menoleh ke arah sumber suara.

"Kak Al?" Garuda menaikkan kedua alisnya sedikit terkejut akan kehadiran kakak sepupunya di tempat ramai ini.

Altezza melirik Eliza yang acuh, tetap fokus pada makanannya.

"Sedang apa Kakak di sini? Tumben sekali," ujar Garuda heran. Altezza itu pria yang anti keramaian.

Tanpa bersuara, Altezza menunjuk adiknya yang sedang membeli pentol bakar.

FYI, Altezza adalah anak sulung, dia memiliki adik perempuan yang bersekolah di luar negeri, Gaby namanya. Dan sepertinya adiknya itu memang sedang liburan.

"Gaby?" Garuda sedikit terkejut. Karena dia tidak tau kapan Gaby pulang.

Altezza mengangguk, namun matanya menatap Eliza yang tetap acuh.

"Pantas saja Kakak mau ke tempat seperti ini." Garuda mengangguk pelan sambil menyengir. "Oh iya, ini Eliza, kami baru kenal hehehe ...." Garuda menyengir setelah memperkenalkan Elizabeth pada Altezza.

Eliza hanya melirik sekilas, lalu kembali makan.

Altezza mengangguk saja tanpa berucap. Lagi pula dia lebih dulu kenal Eliza daripada Garuda.

Garuda sedikit bingung melihat Eliza yang acuh, padahal tadi Eliza antusias menyambutnya. Tapi, kenapa giliran dengan Altezza, Eliza jadi acuh?

"Kalian ... sudah saling kenal?" tanya Garuda sedikit ragu.

"Sudah."

"Hah?!"

bersambung...

Bab 3

"Pa, ada lowongan kerja?"

Eliza menghampiri papanya yang sedang menonton TV bersama sang mama.

"Kenapa tiba-tiba bertanya lowongan kerja, Nak?" Austin menatap putrinya.

"Aku bosan di rumah, sakit telinga mendengar mama mengomel," jawab Eliza kelewat jujur.

Hal itu membuat Geisha melotot. "Kamu—"

"Lihat! Papa bisa lihat sendiri, kan? Mama mengomel!" sela Eliza heboh.

Austin menggelengkan kepalanya melihat tingkah istri dan anaknya.

"Bagaimana Mama tidak mengomel kalau kamu saja terus bertingkah?!" balas Geisha.

"Bertingkah apa, Ma? Aku bermain ponsel, Mama bilang tidak ada kerjaan, lalu aku keluar rumah, Mama bilang tidak tau waktu." Eliza berdecak malas. "Kalau ada papa, Mama langsung diam, kalau papa sedang bekerja, Mama mengomel terus," cibirnya.

"Intinya Papa harus carikan aku kerja!" lanjut Eliza pada Austin.

"Baiklah, nanti akan Papa carikan," balas Austin pada akhirnya. Sedangkan Geisha menggerutu sambil memeluk suaminya.

Meski papanya memiliki perusahaan yang besar, Eliza tidak pernah ingin bekerja di sana. Lebih baik dia cari perusahaan lain, itung-itung nambah teman dan jalur mandiri. Dan untungnya, keluarga tidak ada yang melarang. Meski sebenarnya Austin masih mampu membiayai hidup Eliza.

Tentang Sadipta, dia memiliki rumah sendiri, letaknya tepat di samping rumah orang tuanya. Karena memang tanah milik ayahnya ada di sana dan diwariskan untuknya, jadilah Sadipta membuat rumah di sana.

"Secepatnya, Pa, aku malas berdiam di rumah terus," ujar Eliza sambil melirik Geisha sekilas, lalu ia kembali ke kamar untuk lanjut menonton film.

Geisha berdecak melihat itu, untung ada suaminya, jika tidak, dia pasti akan mencubit tubuh Eliza dengan cubitan mautnya.

Melihat putrinya sudah masuk ke kamar, Austin menatap istrinya sambil mengelus punggungnya. "Jangan terlalu sering mengomel pada Elizabeth, Sayang. Kasihan dia," ujarnya menegur.

Karena sang suami sudah turun tangan, Geisha pun tidak mengelak. Dia memeluk lengan Austin dan menyandarkan kepalanya di pundak sang suami. "Iya, tidak lagi ...."

****

Mulut Eliza menganga lebar. Ia menatap gedung perusahaan di depannya hingga mendongak, karena memang gedung itu tinggi dan mewah. Wajar saja kalau dia kagum.

"Heuh?" Eliza menggaruk kepalanya. "Ini kan—"

"Selamat pagi, Nona. Ada yang bisa saya bantu?" Seseorang datang menghampiri Eliza dan membuat gadis itu terpaksa melihat ke arahnya.

"Saya ingin melamar pekerjaan. Katanya di sini ada lowongan kerja, apa benar?" tanya Eliza.

Perempuan dengan name tag Sabrina itu mengangguk paham, bibirnya setia tersenyum ramah.

"Benar, Nona. Mari saya antar ke ruangan HRD."

Eliza mengangguk, dia pun mengikuti Sabrina yang sudah lebih dulu melangkah.

"Pamungkas Company? Ini kan perusahaan paman yang itu?" batin Eliza. Dia meringis karena baru sadar. Mana dia sudah terlanjur masuk lagi. Tak apa lah, lagi pula masalah mereka sudah selesai, jadi bukankah dia tidak perlu lebay?

Setelah Eliza selesai berurusan dengan HRD, ia pun diantar menuju ruang CEO untuk informasi lebih lanjut. Sebenarnya dia belum diberitahu posisinya sebagai apa. Katanya hanya CEO yang menentukan. Meski bingung, Eliza tetap patuh, semua demi uang.

Sang HRD yang memiliki nama Gumilang itu mengetuk pintu ruangan CEO, lalu ia membuka pintunya dan masuk lebih dulu.

Eliza memejamkan matanya erat ketika sudah tau siapa CEO tersebut. Benar, Altezza Pamungkas, dia orangnya. Demi apapun, Eliza benar-benar tidak ingin berurusan dengan Altezza lagi, tapi dia sedang butuh pekerjaan sekarang. Jika harus mencari ke tempat lain, belum berarti diterima, kan? Jadi, mau tidak mau Eliza melangkah masuk dengan kepala menunduk.

"Ini karyawan baru yang Anda minta, Pak. Kalau begitu saya permisi." Gumilang menunduk hormat sebelum keluar dari sana, meninggalkan Eliza dan Altezza yang sama-sama terdiam.

"S–selamat pagi, Paman— eh, Pak." Eliza menepuk bibirnya ketika salah menyebut. Ia tersenyum canggung saat Altezza menatapnya dengan datar.

"Pagi. Silakan duduk." Eliza pun menurut, dia duduk di depan Altezza dengan gugup. Pria itu berdeham singkat sebelum kembali bersuara. "Sebenarnya saya ragu memposisikan kamu di bagian ini, tapi, karena saya sangat membutuhkan sekertaris, jadi, mulai hari ini, kamu jadi sekertaris saya. Tolong kerja sama nya, ya."

Sebenarnya cara bicara Altezza terdengar ramah, hanya saja, wajahnya itu yang membuat Eliza ketar-ketir, datar tanpa ekspresi.

"H–hah? Sekertaris? Anda tidak salah, Pak? Saya baru melamar, lho?" Tentu saja Eliza tidak menerimanya begitu saja. Dulu pertama kali melamar kerja, Eliza harus di tes dulu, bisa atau tidak di posisi ini, kalau tidak sanggup, akan ganti ke posisi yang lainnya. Tapi ini? Belum apa-apa sudah dijadikan sekertaris.

Sebenarnya sebelumnya Altezza memiliki sekertaris, tapi sekertaris nya mengundurkan diri karena ingin pindah ke luar negeri menyusul calon istrinya. Jadilah Altezza membuka lowongan kerja untuk mencari sekertaris.

Altezza menghela nafas pelan, dia mengetuk-ngetuk meja dengan pulpen, tatapan matanya benar-benar datar. "Jadi, kamu mau atau tidak? Jika tidak mau, saya bisa cari karyawan baru yang lain untuk jadi sekertaris saya."

Eliza menggeleng heboh, tidak, dia tidak boleh kehilangan kesempatan emas ini! "Saya mau, Pak! Saya mau!" jawabnya cepat.

Altezza mengangguk puas. "Kamu ada pengalaman jadi sekertaris?"

Eliza mengangguk. "Ada, Pak."

"Bagus. Setelah makan siang nanti, ikut saya bertemu klien. Selanjutnya, saya akan beri tahu kamu tentang jadwal-jadwal saya. Setelah dua Minggu kerja, kamu yang akan atur jadwal saya, mengerti?"

"Mengerti, Pak!"

"Semoga kamu tidak merugikan saya lagi kali ini," ujar Altezza membuat Eliza terkekeh canggung. "Kamu boleh keluar, ruangan kamu ada di samping ruangan saya," lanjutnya kemudian.

Elizabeth berdiri dan menunduk dengan sopan. "Terimakasih, Pak. Saya permisi."

Altezza mengangguk singkat, dia kembali fokus pada kertas di hadapannya dan membiarkan Eliza keluar.

Di luar, Eliza mengelus dadanya, jantungnya masih deg-deg an. Padahal ini bukan pertemuan pertama mereka. Tapi, aura yang dipancarkan Altezza begitu kuat hingga mampu membuatnya ketar-ketir. Jiwa kepemimpinan Altezza memang se-mencolok itu, tegas dan berwibawa. Padahal dulu Arhan, mantannya juga seorang pemimpin, tapi, auranya berbeda dengan Altezza. Aura Altezza lebih dominan.

"Dia tampan, tapi aku takut. Semoga saja tidak galak," gumam Eliza seraya melangkah menuju ruangannya.

Dia membuka pintu yang ternyata tidak terkunci. Matanya berbinar melihat isi ruangan itu. Tidak terlalu ramai alias kosong. Hanya ada rak buku, meja kerja dan sofa panjang serta meja. Eliza suka dengan ruangan yang seperti ini, rapi dan nyaman dilihat.

Dia mendudukkan diri di kursi kerja nya dengan senyum lebar. "Oke Eliza, semangat untuk bertempur! Demi uang!" Dia mendongak seraya memejamkan matanya, bibirnya pun masih tersenyum lebar.

Namun, sedetik kemudian dia menegakkan tubuhnya, senyumnya hilang, digantikan dengan wajah kaku.

"Tunggu, aku jadi sekertaris? Artinya, aku akan bertemu dia setiap hari dan melihat wajah datar yang seperti triplek itu? Ya Tuhan ...." Dia merengek. "Tidak papa, yang terpenting aku dapat uang!" lanjutnya menyemangati diri sendiri. Dia harus fokus kerja, bodo amat tentang wajah datar Altezza.

****

Seperti apa yang diberitahukan oleh Altezza tadi, setelah makan siang, Eliza menemani Altezza bertemu klien. Klien kali ini datang dari luar kota. Eliza tidak melakukan apapun selain mencatat inti pertemuan siang ini. Sedangkan Altezza dan kliennya sibuk membahas apa yang mereka rencanakan. Untung saja Eliza sudah mahir dalam hal ini, jadi dia paham dan tidak bingung.

"Baik, terimakasih atas waktunya kali ini, Pak. Semoga rencana kita berjalan lancar."

Eliza ikut berdiri saat Altezza dan Tio berdiri dan bersalaman. Gadis itu tersenyum menyambut tangan Tio.

"Terimakasih kembali karena Anda menyempatkan waktu untuk datang kemari," balas Altezza dengan senyum tipisnya.

"Ah, bukan masalah besar, sudah semestinya saya datang ke sini. Kalau begitu, saya permisi, karena harus mengurus hal lain," pamit Tio.

Altezza dan Eliza mengangguk sebagai jawaban. Setelahnya Tio pergi dari ruangan itu, meninggalkan Altezza dan Eliza di sana.

"Kita kembali ke kantor," ujar Altezza.

Eliza yang sedang meminum milkshake nya pun hampir tersedak. Dia mengangguk dan segera menyusul Altezza yang sudah lebih dulu keluar. Mereka bertemu klien di sebuah restoran mewah, tepatnya di ruang VIP. Tentu saja semuanya Altezza yang mengurus.

"Besok pagi ada rapat di kantor. Kamu pahami isi berkas ini dan persentasikan besok." Altezza memberikan sebuah map pada Eliza.

"Baik, Pak."

Dirasa sang sekertaris sudah siap, Altezza pun melajukan mobilnya pergi dari area restoran.

Sepanjang perjalanan tidak ada yang membuka suara, Eliza juga memilih untuk diam melihat jalanan yang agak macet.

"Umm ... ngomong-ngomong, bagaimana keadaan Bapak sekarang?" tanya Eliza memecah keheningan. Dia tidak kuat jika terus diam.

"Baik."

"Cuek sekali!" batin Eliza berteriak, namun bibirnya tetap tersenyum meski hatinya kesal.

"Apa Bapak masih merasa sakit di bagian tertentu? Misalnya, kepala, kaki—"

"Saya baik-baik saja, Elizabeth. Dan lupakan kejadian beberapa hari lalu," sela Altezza.

Eliza mengatupkan bibirnya. Dia tersenyum canggung lalu mengangguk paham. "Baik, Pak. Maaf kalau saya lancang. Saya hanya sedikit khawatir kalau Bapak tiba-tiba pingsan." Dia terkekeh canggung.

Altezza mendengus mendengarnya. "Kamu pikir saya selemah itu?" Dia melirik Eliza sekilas saat berhenti di lampu merah.

Eliza langsung melambaikan tangannya dengan panik. "T–tidak! B–bukan begitu, Pak! Saya hanya khawatir. Bagaimanapun juga, saya lah penyebab Bapak kecelakaan, hehehe ...."

"Saya sudah bilang, lupakan kejadian itu," ujar Altezza dengan datar, dia melajukan mobilnya lagi setelah lampu berubah jadi hijau.

"Iya, Pak. Maaf ...." Eliza memilin ujung kemejanya dengan gugup.

"Hm."

Setelah itu mereka tidak bicara lagi, mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Canggung sebenarnya, tapi Eliza berusaha biasa saja.

****

"Aku pulang ...." Eliza melangkah lesu mendekati Geisha yang sedang bersantai sambil nonton TV.

"Kenapa wajahmu kusut seperti itu?" tanya Geisha bingung. Dia menggeser tubuhnya saat Eliza menghempaskan diri di sampingnya.

"Papa kenapa tidak memberitahu kalau lowongan kerja itu dari perusahaannya keluarga Pamungkas?" Eliza cemberut.

"Oh ya? Bukankah bagus? Kamu bisa memperbaiki hubungan dengan keluarga mereka nanti," ujar Geisha.

"Bagus apanya, Ma? Aku bingung tau! Dia itu seperti robot, wajahnya datar seolah tidak memiliki gairah hidup!" Eliza semakin cemberut.

"Lalu apa masalahnya? Kamu berharap dia tantrum seperti kamu?" Geisha memutar bola matanya malas. "Sudah, nikmati saja pekerjaanmu. Yang penting sekarang sudah tidak menganggur lagi, kan? Tapi ingat, jangan macam-macam lagi, Eliza. Mama tidak mau menanggung malu lagi! Cukup sekali saja kita berurusan dengan keluarga mereka."

"Iya-iya!" Eliza mengambil toples berisi kue kering yang berada di pangkuan mamanya.

Sebenarnya Eliza juga berharap tidak akan berurusan dengan Pamungkas lagi, mengingat wajah datar Altezza dia tiba-tiba merinding.

"Aku ke kamar dulu!"

Tanpa menunggu jawaban sang mama, Eliza langsung berlari menuju kamarnya untuk membersihkan diri.

Baiklah, kerja bagus untuk hari ini. Semoga besok tetap bagus dan tidak ceroboh.

Setelah selesai membersihkan diri, Eliza memilih rebahan sambil menghubungi kedua sahabatnya.

"Ada kabar buruk," ujar Eliza dengan bibir cemberut.

Tentu saja perkataannya itu mampu membuat Thea dan Senna melotot kaget.

"Apa?! Kabar buruk apa?! Kamu kecelakaan lagi, ya?!" Thea bertanya dengan heboh.

"Astaga, El, kamu baru keluar dari rumah sakit beberapa hari lalu, masa iya masuk rumah sakit lagi?" Itu suara Senna.

Eliza berdecak. "Bukan itu!" kesalnya.

"Lalu apa?"

Eliza menghela nafas kasar sebelum menjawab. "Aku bekerja di perusahaan Pamungkas, kalian sudah pasti tau siapa—"

"APA?!" Thea dan Senna berteriak bersamaan. Hal itu membuat Eliza mendesis kesal karena telinganya berdengung.

"Kabar buruk nya itu? Astaga, El! Itu kabar baik, bukan buruk!" seru Senna.

"Pamungkas, El, Pamungkas! Orang-orang yang bisa masuk ke perusahaan itu bukan orang sembarangan, lho! Kualitas kerja karyawan mereka bagus-bagus! Harusnya kamu senang!" ujar Thea pula.

Eliza memutar bola matanya malas. Kedua temannya ini memang selalu beda pendapat dengan dirinya. "Pokoknya ini adalah kabar buruk!"

Thea dan Senna berdecak. "Memangnya kamu di posisi apa?" tanya Senna.

"Sekertaris paman wajah datar it—"

"APA?!" Lagi-lagi keduanya memekik.

Makin sakit saja telinga Elizabeth.

"Jangan teriak!" geram gadis itu.

"SEKERTARIS?! KAMU BERCANDA?!"

"Senna!" kesal Eliza.

Senna menyengir di seberang sana. "Oke, maaf. Aku agak kaget."

"Kenapa bisa langsung jadi sekertaris, El? Kalau seperti itu aku juga mau! Rezeki nomplok!" ujar Thea. "Sebagus itu kamu anggap kabar buruk? Sakit kamu!" lanjutnya.

"Bener! Padahal itu posisi yang diimpikan orang-orang, lho! Harusnya kamu senang. Kerja di perusahaan Pamungkas terus dapat posisi sekertaris, gajinya juga besar, kalau aku jadi kamu, aku pasti akan mengadakan acara syukuran, El," sahut Senna.

Bagi Eliza, kedua temannya ini terlalu berlebihan. Andai saja mereka berada di posisinya, bertemu orang yang tidak ingin dia temui lagi, tapi takdir malah mempertemukan mereka kembali.

"Ah, sudahlah! Cerita dengan kalian itu tidak ada bedanya bercerita dengan mama!" Eliza cemberut. "Coba saja kalian jadi aku, setiap hari akan melihat wajah datar si Altezza Altezza itu, bicara pun seadanya, matanya setajam silet, aku sampai takut kalau berada di dekat dia," lanjutnya mengeluh.

"Apa yang harus kamu takuti? Dia tampan, mapan, kaya—"

Tut.

Eliza langsung mematikan sambungannya. Dia kesal sekali, mereka bertiga tidak memiliki pendapat yang sama sepertinya.

Dia menghela nafas kasar lalu melempar ponselnya ke sembarang arah. "Apa aku mengundurkan diri saja, ya?" gumamnya semakin tak masuk akal.

Sebenarnya semuanya baik-baik saja, tapi, hati Eliza yang gelisah. Entah apa penyebabnya. Semua yang dikatakan Thea dan Senna memang benar adanya, tapi Eliza sulit menerima fakta tersebut. Mungkin karena dia sudah pernah mencari gara-gara dengan Altezza, jadi Eliza merasa janggal saat kembali bertemu dengan pria itu.

"Tapi, nanti aku akan menganggur lagi jika aku mengundurkan diri. Huh! Mencari uang ternyata banyak ujiannya, ya?" Dia menghela nafas kasar dan merebahkan diri di kasur.

bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!