Jalanan yang begitu ramai tak dihiraukannya. Apapun yang terjadi, dia -Jealita- harus mendapatkan pekerjaan. Kalau pulang tidak membawa uang sepeserpun, dia akan diusir dari rumah orang tuanya.
Ya, Jealita mempunyai seorang ibu tiri bernama mami Sherly. Namanya tak seindah dengan sifatnya yang memperlakukan Jealita itu dengan seenak hatinya.
Ibu kandung Jealita meninggal sejak Jealita masih berusia 6 tahun. Sedang papanya menikah lagi ketika Jeal sudah sekolah menengah atas. Dari situlah penderitaan Jea di mulai.
Bahkan setelah lulus sekolah, Jealita harus mencari pekerjaan sendiri. Karena sering datang terlambat, akhirnya Jealita harus bisa menerima kenyataan kalau dirinya diberhentikan dari tempat kerjanya.
Ayah...
Entahlah, ayahnya sudah tidak lagi memerdulikannya sejak ia putus sekolah. Ibu tiri yang kejam itu memang benar faktanya. Meskipun tak semua ibu tiri mempunyai sifat seperti itu. Tapi inilah kehidupan yang dialami Jealita.
***
Jelita terus berjalan. Tujuannya juga tidak jelas. Penampilan yang kusut sering diragukan orang sekitar yang melihatnya. Jealita sosok yang manis, kulit sawo matang kulit-kulit asli orang Indonesia. Tinggi 168cm. Meskipun tubuhnya tak terawat, maklum bukan orang yang berada. Tapi tak menutupi wajah manis nan cantiknya. Dia blasteran amerika. Tapi tak kentara gegara kurang perawatan.
BRUKkk...
"Maaf tuan, maaf saya tidak sengaja," ucap Jealita sambil menunduk karena telah menabrak seseorang yang berjalan di sampingnya. Laki-laki itu terlihat terburu-buru. Namun insiden ini lumayan menarik untuk sang Andrew Parker, saat melihat siapa yang menabraknya.
"Kau, dimana penglihatanmu itu hah?" Kilatan mata Andrew berapi-api membuat orang yang ditatapnya merasakan takut yang amat luar biasa.
'Tidak di rumah tidak di jalan, kenapa semua orang memusuhiku Tuhan.'
Jealita hanya menunduk. Matanya mulai berkaca-kaca. Rasa lapar yang melanda perutnya tak bisa ditoleransi lagi. Rasa lapar dan bersalah. Akhirnya keluarlah butiran air mata itu.
"Kau, kenapa menangis? Dasar wanita!" maki Andrew yang semakin kesal dengan keadaan.
"Maafkan saya tuan," ucapnya lirih.
"Tuan, apakah anda tau dimana ada lowongan pekerjaan? apapun itu Tuan, saya membutuhkannya." Jealita tersimpuh di kaki Andrew.
Andrew semakin tidak mengerti. Sedang sang bodyguard mengawasinya dengan siaga. Kalau-kalau gadis itu adalah suruhan dari musuh sang majikan. Axel atau Ferdinand misalnya.
"Hei, bangunlah! Aku tak punya banyak waktu untuk mengurusi ini semua." Andrew merogoh saku celananya. Sebuah dompet kulit import berada di tangannya.
"Ini ambillah," suruhnya. Disodorkannya 2 lembar uang ratusan ribu di depan wajah Jea.
Jealita mendongak. Dia menatap mata Andrew dengan lekat. Pria itu pahlawannya hari ini. Mulai dari mana dia harus berterima kasih nantinya.
"Tapi Tuan, saya tidak ingin uang. Saya hanya ingin cari pekerjaan."
Jealita berusaha menjaga imagenya sebagai wanita. Meskipun yang ia perlukan saat ini adalah uang. Tapi pemberian uang dari orang asing apakah harus diterimanya dengan begitu saja? Kan tidak?
"Kalau tidak mau, ya sudah."
Andrew menarik uang yang belum sempat diterima oleh Jealita itu. Mau tidak mau, akhirnya Jealita pasrah menerimanya.
"Suatu saat saya akan menggantinya Tuan. Terima kasih atas bantuannya." Jealita tersenyum tipis sambil meraih uang itu. Andrew hanya menarik sudut bibir atasnya dan berjalan menjauhi gadis itu.
Eitssss... Andrew belum benar-benar menjauh. Dia kembali membalikkan badannya. "Siapa namamu???" tanyanya tegas sambil memasukkan ke-2 tangannya di saku celana.
"Jealita Tuan..." jawab Jea sambil menunduk, yang dibalas Andrew dengan anggukan ringan dan kemudian meninggalkan Jea seorang diri. Senyum devil dibalik topeng wajah yang bernama Andrew Parker itu. Pria yang berdarah Italia, menyusun sebuah rencana di dalam otaknya.
***
"Apa ini? Kau fikir uang segini cukup hah! Apa kamu ini gak pernah mengerti hah! Mami mau ke salon, uang ayahmu bahkan tidak cukup untuk mami shopping. Dan sekarang kamu pulang hanya duit segini." Mami Sherly murka. Dia menjambak rambut Jea. Rambutnya yang sudah tidak terawat semakin kusut dibuatnya.
"Aaww sakit mami," rintih Jea sambil menggigit bibir bawahnya.
"Mami tidak perduli. Besok bawakan uang sejuta atau aku akan menjualmu ke madam Natalie," ancam Sherly sambil berlalu meninggalkan Jealita yang sudah tersiksa lahir batin.
Malam itu Jealita terpaksa tidur di luar rumah sebelum mendapatkan uang satu juta rupiah untuk mami tiri terkejamnya.
****
Pagi yang dingin. Wajah yang pucat itu akhirnya terbangun dari tidur yang begitu menyiksanya.
08.00 waktu setempat. Akhirnya Jealita keluar dari rumahnya. Seperti biasa tanpa makan dan minum. Akhir-akhir ini kejahatan maminya semakin bertambah. Dia benar-benar tak punya rasa kasihan untuknya. Untunglah, ada sisa dua puluh ribu di dalam tasnya. Setidaknya uang segitu cukup untuk membeli makan dan minum.
Jealita telah sampai di depan perusahan yang sangat megah dan kokoh. PARKER COMPANY tulisan yang ada di depan bangunan itu.
Jea berusaha mendekat. Dia menghampiri seseorang yang baru saja turun dari mobil yang begitu luar biasa mewahnya. Lamborghini.
"Permisi Tuan, apa saya boleh bertanya?" tanya Jea sambil menundukkan kepalanya.
"Ck... kau lagi rupanya?"
Suara itu. Jealita akhirnya mendongakkan kepalanya. 'Kenapa harus dia?? bodohnya aku yang tak melihat wajahnya dulu sebelum bertanya,' rutuknya dalam hati.
"Maaf Tuan. Apa di perusahaan ini ada lowongan kerja? OG misalnya?" tanya Jea memberanikan diri.
Ini mungkin sedikit memalukan. Tapi Jea harus bekerja dan mendapatkan uang satu juta itu. Kalau tak, ia takut bila ucapan maminya itu akan terjadi. Bagamaina masa depannya kelak? 'Tuhan tolong aku.' Hanya pada Tuhan, Jea meminta pertolongan.
"Di sini karyawan sudah full. Melihat penampilanmu, bahkan kamu tidak pantas bekerja sekalipun itu menjadi OG (Office Girl)," hinanya sambil menghindari tatapan benci yang keluar dari mimik wajah Jea. Perlahan namun pasti. Andrew-pun menghilang dari pandangannya.
'Anda sombong sekali Tuan,' batin Jea tak terima saat dirinya dihina seperti itu. Jea mendesah lelah. Sampai kapan nasib buruknya ini akan berakhi? Dia lelah. Dan hanya bisa pasrah untuk menghadapi nasibnya ini.
***
"Mana uangnya?"
Sherly menengadahkan tangannya di depan wajah Jealita yang semakin terlihat pucat.
"Maaf kan Jea mami, Jea gagal."
PLAKkk
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi mulusnya. Tamparan seperti ini sudah ia rasakan berkali-kali. Sakit di pipinya tak sebanding dengan sakit hati yang ia rasakan.
"Sekarang dandani dirimu, cepat! 15 menit harus selesai," suruh Sherly dengan emosi yang masih menggebu-nggebu. Dengan langkah gontai, Jealita akhirnya terpaksa menyiapkan diri. Ya, Jea terpaksa berdandan, karena ia tahu kemana arah jalan selanjutnya.
15 menit akhirnya Jea selesai menyiapkan diri. Hanya memakai dress panjang satu-satunya yang ia punya. rambut lurus itu -asli bawaan sejak lahir- tetap ia biarkan bergerai.
Dengan membawa koper baju yang sudah disiapkan ibu tirinya, Jea akhirnya pergi meninggalkan rumah. Rumah masa kecilnya yang dimana dulu selalu dihiasi tawa dan canda. Kini sudah berganti seperti neraka. Dan bahkan kini Jea harus terpaksa meninggalkan rumah kesayangannya itu.
"Mami, ku mohon jangan jual aku," pinta Jea di tengah isak tangisnya.
"Hapus air mata palsumu itu! Mami sudah muak. Sampai air mata itu berubah jadi darah pun mami tetap akan menjualmu."
'Tega sekali, hiksssss,' batin Jea menjerit.
"Madam Natalie, ini dia orangnya?" ucap Sherly begitu semangat.
"Jadi ini ya?" Madam Natalie menjeda kalimat tanyanya.
"Siapa namamu manis?" tanya madam dengan sangat lembut. Lembut yang dibuat-buat. Umurnya sudah kepala 5 tapi belum insyaf juga. Tetep menjadi sang germo.
"Jea- li-ta," jawab Jealita terbata-bata sambil menahan isak tangisnya.
"Apa kau masih perawan?" tanyanya sekali lagi.
"Saya..."
to be continued.
.
.
.
"Apa kau masih perawan?" tanyanya sekali lagi.
"Saya.... saya perawan nyonya," jawab Jea lirih hampir tak terdengar.
"Bagussss!" Sang madam antusias.
"Jangan panggil Nyonya, panggil saya madam," tegasnya dengan senyum lebar tapi mematikan bagi Jea.
"Lalu bagaimana uangku?" tanya Sherly yang sudah tidak sabar.
'keterlaluan kau mami, tega-teganya berkata seperti itu? Di mana akal sehatmu?' batin Jea sedih.
Dia benar-benar di tempat terkutuk ini. Apa salah dan dosanya hingga dikirim ke tempat ini? Oh Tuhan. Tak terasa air matanya pun menetes.
"Baiklah, 35 juta untukmu," balas sang Madam sambil memberikan sebuah uang di amplop coklat.
Sherly tertawa lebar. "Makasih Madam."
"Mulai sekarang kamu milik Madam, ikuti dan turuti semua kemauannya. Jangan membangkang!" perintah Sherly kepada Jea. Matanya yang melotot itu sampai-sampai mau keluar dari tempatnya. Benar-benar menyeramkan.
"Tapi Mi," Jea berusaha melawan meskipun itu hanya berakhir sia-sia.
"Jangan mem-ban-tah!" tegas Sherly yang kemudian pamit meninggalkan tempat para dolly itu.
'Ck, kau tega menjualku hanya dengan tiga puluh lima juta, kau akan menyesal.' batin Jea yang tiba-tiba jiwa pendendamnya keluar.
"Bersiaplah, malam ini kau harus melayani tamuku. jangan kecewakan dia. Dia sudah bayar mahal untuk menyewa gadis perawan."
BAAMMM
Jantung Jea seakan dihantam sebuah benda tumpul yang begitu keras. Sakit. Sesak. Ingin berteriak bahkan tak mampu.
Apa tadi? Melayani tamu? menyewa gadis perawan?
Semua kata-kata itu terus terngiang-ngiang di telinganya. Jadi sekarang dia menjadi wanita murahan. OMG? Hanya beberapa menit yang lalu. Dengan uang 35 juta dia berubah jadi gadis murahan.
***
Setelah diantarkan Merry, sang asisten madam. Dengan terpaksa Jea mendandani tubuhnya dengan pakaian yang sengaja sudah dipersiapkan oleh sang madam. Jea sangat risih. Dress yg di atas paha. Dada yang menonjol. 'Benar-benar kurang bahan,' batin Jea kesal tapi pasrah. Toh dia sudah dibeli kan? Bahkan melawan saja sudah tidak sanggup. Ia teringat akan almarhumah ibunya, ibunya yang cantik keturunan Amerika. Dia telah pergi meninggalkannya. Andai ibunya masih hidup, semuanya tak akan serumit ini.
***
"Wau, kau sangat cantik dan manis. Tak sia-sia om mengeluarkan uang banyak untukmu," ucap seorang pria paruh baya diprediksi berumur 50 tahunan.
Laki-laki itu langsung masuk tanpa mengetuk pintu. Jea terkejut bukan main. Ini pertama kalinya dia berduaan di kamar dengan laki-laki yang bukan muhrimnya.
"Si.. siapa anda?" tanya Jean gelagapan sambil berjalan mundur menjauhi lelaki tua hidung belang yang mulai mendekat ke arahnya.
"Ciiiihh! Kau tak usah jual mahal gadis murahan! Tugasmu hanya melayaniku. Memuaskanku," ucap lelaki itu sambil menyeringai.
Jea benar-benar ketakutan. Pilihan terakhirnya hanya menabrak kasur panas itu. Sang tersangka yang melihatnya tersenyum licik.
"Bagus manis, ya seperti itu melayaniku," ucapnya yang langsung menindih tubuh Jea.
Jea berusaha tegar. Dia masih punya otak untuk berpikir. Saat lelaki tua itu ingin menyium bibirnya. Jea tersenyum sambil berkata, "Tuan... ijinkan saya ke kamar mandi. saya gugup. karena ini yang pertama."
"Kau gadis luar biasa, aku ijinkanmu karna kau masih perawan," balas laki tua itu sambil menjatuhkan tubuhnya di samping Jea sambil mencium sekilas pipi Jea. Laki-laki hidung belang hanya menginginkan mahkotanya. Menjijikkan.
Beruntung taktik itu berhasil. Jea segera berlari ke kamar mandi yang kebetulan masih seruangan.
Jea terisak. Ia membasuh jijik pipi yang dicium oleh lelaki bejat itu. Jea melihat pisau cukur di sana. Tanpa babibu lagi Jea mengiris denyut nadinya.
Si lelaki tua gelisah. Dia sudah dilanda gairah sedari awal. Ini malah sang penyalur hasratnya lama di kamar mandi. Jangan-jangan...
BRAKkkkkk...
Pintu kamar mandi terbuka. Terlihatlah Jea yang bersimbah darah. Jea pingsan.
***
"Kurang ajar gadis itu," umpat sang madam penuh emosi.
"Setelah dia siuman, bawa dia ke pelelangan. Aku tak mau rugi lagi gara-gara gadis sialan itu," lanjut madam yang diangguki oleh sang asisten.
Untung saja darah yang keluar tidak terlalu banyak.
Selang beberapa jam. Jea akhirnya tersadar.
'Kenapa aku masih hidup?' gumam Jea lirih.
Hidup ini begitu menderita baginya. Bahkan saat mengakhiri hidupnya. Tuhan masih menyelamatkannya. Setidaknya itu adalah pertanda bahwa Sang Kuasa masih menyayanginya.
"Hai manissss, kau sudah siuman ya. Bagus lah. Aku tidak perlu repot-repot ngejagain kamu yang begitu kurang ajar pada tamu madam."
Merry berkata dengan logat kemayunya. Ya Merry seorang laki-laki. Tapi kenapa dia bisa seperti itu? Entahlah, hanya Tuhan dan Merry yang tahu.
Jea hanya mengerjap-ngerjapkan matanya. Tanda merespon semua ucapan Merry.
"Nah makan ini. Setelah makan, bersiap-siaplah!"
"Apa aku harus melayani tamu dengan kondisi seperti ini?" bela Jea.
"Heeeeiiii... kau benar-benar gadis kurang ajar ya. Apa kau tidak tahu dengan statusmu saat ini? Kau itu sudah dijual oleh mamimu itu. Jadi kau seutuhnya milik madam ya." tegas Merry marah tapi masih kemayu.
"Ya... baiklah. Aku akan melakukan apapun." Jea menyerah. Sekeras apapun mencoba hasilnya tetap nol (0).
Setelah menghabiskan makanannya. Jea menyiapkan dirinya dengan baju yang sudah disiapkan oleh Merry. Kali ini bajunya tertutup. Tidak terbuka sana-sini. Hanya menonjolkan lekuk tubuhnya yang kelihatan begitu seksi layaknya model. Jea baru menyadari kalau dirinya mempunyai tubuh yang indah. 'Ah, percuma indah kalau di dalam sini menderita,' ucap Jea lirih sambil menunjuk dadanya yang seolah-olah sakit parah. Setidaknya seperti itu lah gambaran hidupnya.
***
Jea mengikuti langkah Merry. Ternyata di dalam komplek dolly ada sebuah diskotik yang begitu besar. Ya diskotik itu disediakan untuk para pengunjung yang berduit. Para pejabat, pengusaha, dan masih banyak lagi. Mereka semua menyenangkan dirinya di tempat ini. Jea baru tahu tentang ini. Tentang tempat yang sangat tidak diinginkan.
Pengunjung sangat banyak sekali menurut Jea. Tanpa Jea sadari. Ternyata ada sepasang mata melihatnya. Dan sang empunya mengikuti langkah Jea pergi. Hingga Jea pun berada di atas panggung kecil bersama 6 wanita lainnya. Jea yang masih tidak mengerti hanya menundukkan wajahnya.
Sepasang mata itu yang tak lain adalah Andrew Parker terus mengawasi Jea dari depan. Ya, dia mengincar Jea sejak kali pertama bertemu. Wajah Jea mirip dengan wajah tunangan dari musuhnya.
Andrew masih menampangkan senyum sinisnya. Diam dan dingin. Itulah yang ia lakukan sekarang.
Suara MC membuka acara yang disoraki dengan riuh. Jea baru sadar. Ternyata dirinya dilelang. Cobaan apa lagi ini?
Kini sang MC menyebutkan namanya.
"JEALITA Andriansya. 20 tahun. Virgin. Dibuka 100 juta," ucap sang MC.
Jea terbelalak. 100 juta? Bukankah maminya menjual dengan harga rendahan itu? Ck, sakit sekali bila mengingatnya.
"200 juta."
"250 juta."
"350 juta."
"500 juta," tawar lelaki tua yang gagal meniduri Jea.
Jea gelisah. 500 juta bukan uang yang kecil. Jea takut berususan dengan aki-aki itu. Oh God, help me.
"1Milyar," kali ini Andrew membuka suaranya.
Semua orang terbelalak. Selama ini di tempat lelang itu penawaran paling tinggi hanya 500 juta. Tidak pernah lebih. Tentu saja semua orang menyerah. Otomatis Jea tidak akan di serahkan pada sang aki-aki tua itu. Jea sangat bersyukur. Tapi suara itu... Jea melihat dimana keberadaan orang yang menawarnya dengan harga fantastis itu. Matanya menyipit dan menemukan sosoknya. "Orang itu..."ucap Jea lirih dengan tampang tak percaya.
"Baiklah nona, sekarang inilah tuan anda. Bersikaplah yang baik padanya," ucap MC itu sebagai kata perpisahan.
Dengan terpaksa Jea mengikuti langkah kaki seorang pria dewasa yang ada di depannya.
Otaknya dipenuhi pertanyaan. Ingin rasanya Jea bertanya dan mengucapkan terima kasih pada laki-laki ini karena telah membebaskannya dari sang aki-aki.
Jea yang belum sepenuhnya pulih dari tragedi semalam. Akhirnya berjalan dengan sempoyongan. Wajahnya memucat. Andrew yang menyadari sesuatu, akhirnya menoleh ke belakang. Reflek Andrew memegang lengan Jea. Jea memegangi kepalanya yang sedikit berkunang-kunang.
***
Jea membuka matanya perlahan-lahan. Ia kini berada di dalam mobil. Jea menatap takut-takut sang sopir yang tak lain adalah tuan nya saat ini.
"Maaf Tuan, kenapa anda membeliku?" tanya Jea lirih.
Andrew tak sedikitpun menatapnya. Wajahnya yang putih itu begitu dingin tanpa ekspresi.
"Ada yang menawarkan barang, dan aku tertarik pada barang itu. Lalu aku membelinya. Apakah salah?" jawab Andrew sedikit menoleh pada ucapan kata yang terakhir dan kembali fokus menyetir.
'Astaga... apa ini akan masuk ke kandang singa?'
Jea memucat. lebih tepatnya makin pucat dengan keadaan ini.
"Kau mainanku sekarang. Dari ujung kaki sampai ujung rambutmu. Itu adalah milikku. Karena aku telah membelimu. Mengerti?? Jadi, kau jangan coba-coba kabur dariku!!!"ancam Andrew sambil melihat luka bekas sayatan di tangan Jea.
Jea hanya mengangguk pasrah.
To be continued.
.
.
.
Jea hanya menganggukkan kepalanya pasrah.
"Oh ya Jelly kan?" Andrew bersuara sambil melirik Jea sekilas dan kembali fokus menyetir.
"Saya Jealita Tuan, bukan Jelly," protes Jea sedikit tersipu. Ini baru pertama kalinya ada yang menyebutkan namanya Jelly. Aneh sih, tapi Jea sepertinya suka.
"Hmmm. Ya," gumam Andrew lirih.
Suasana di dalam mobil kembali hening. Banyak pertanyaan yang terngiang-ngiang di kepala Jea. Dari nama tuan nya ini siapa? Lalu apa maksud dari dia membelinya.
Tapi niat itu diurungkannya. Mengingat statusnya yang hanya dibeli dari pelelangan. Apalah dikata, mungkin ini sudah garis kehidupannya.
17.35 waktu setempat.
Andrew membawa Jea ke sebuah mansion pribadinya. Mansion dihuni dari Andrew, nyonya Marlina yang selaku ibu tiri. Para penjaga dan beberapa pelayan.
Jea yang turun dari mobil menatap takjub bangunan yang begitu megah di depannya. Seumur-umur baru kali ini dia memasuki tempat yang seperti ini.
"Jalan!" suruh Andrew yang menyadarkan Jea dari rasa kekagumannya.
Dengan pelan Jea mengikuti langkah Andrew. Matanya terus menatap ke sana kemari bangunan yang ada di depannya ini. "Istana Raja," gumam Jea tanpa sadar.
Andrew menoleh ke belakang. Dia menautkan ke-2 alisnya. Bingung dengan kelakuan Jea yang semakin tak jelas menurutnya.
Semua penjaga membungkukkan badan ketika Andrew melintas di depannya. Jea masih belum tersadar. Dia terus mengikuti langkah Andrew dan matanya fokus pada bentuk bangunan tersebut.
"Seperti emas ya," bisik Jea lagi tanpa sadar. Kata-kata itu muncul spontan dari hati, otak serta matanya yang melihat.
"Kepala pelayan!" panggil Andrew sambil menghentikan langkahnya.
DEBUG
"Aww, maaf Tuan, saya tak sengaja."
Jea memegangi keningnya yang sudah menabrak bahu Andrew. Dia tak fokus tadi. Jadinya ya begitulah, karena tak melihat Andrew yang berhenti mendadak. Akhirnya Jea menabraknya.
Andrew membalikkan badannya. Kini ke-2 nya saling berhadapan. Jea hanya menunduk. Siap mendengarkan semua kata-kata yang akan muncul dari mulut sang tuannya.
10 detik lamanya. Tak ada yang mengeluarkan sepatah katapun. Andrew hanya menatap wajah Jea dengan dingin tapi intens. Meskipun tidak sepenuhnya jelas terlihat di mata Andrew karena posisi Jea yang hanya menunduk. Tapi itu mampu menarik sesuatu yang ada di dalam diri Andrew. Wanita ini mirip sekali dengan wanita itu.
"Iya Tuan."
Hingga suara kepala pelayan itu memecahkan keheningan di antara mereka.
"Ini pelayan baru, ajari dia tata cara mengurus rumah ini."
"Baik tuan."
"Untuk hari ini, suruh dia menyiapkan menu makan malam," perintah Andrew yang diangguki oleh sang pelayan.
Lalu, Andrew melenggang ke lantai atas, menuju ke kamarnya.
Jea yang mendengar itu semua akhirnya berjingkrak girang. Apa dia tak salah dengar? Tuannya itu telah memberikannya pekerjaan, kan? Jea yang haus akan bekerja dan kini dia dipekerjakan di sebuah istana -menurut Jea- walaupun hanya seorang pelayan itu sangatlah amazing. Luar biasa tak terduga.
Jea terus menatap Andrew yang menaiki anakan tangga.
'Terima kasih Tuan, kau sangat baik hati. Aku tak yakin bisa membalas kebaikanmu,' batin Jea tanpa sadar melemparkan sebuah senyum terlebarnya.
Dan kebetulan Andrew melihat itu. Seketika, Jea langsung menunduk, sebab tanpa sengaja, ke-2 bola matanya bertemu dengan mata abu-abu blasteran Italia tersebut.
"Silahkan ikuti saya," perintah kepala pelayan itu.
Jea pun mengikutinya. Kepala pelayan itu menunjukkan sebuah kamar kecil pas untuk dihuni satu orang. Dipastikan, itu tempat tinggal Jea sekarang.
"Ini kamarmu, istirahatlah sebentar. Karena setelah ini, kamu harus memasak untuk Tuan."
"Baik Bi." Jea memanggilnya bibi karena diperkirakan, wanita paruh baya itu berumur sekitar 50 tahunan lebih.
"Saya Murti," kata pelayan itu mengulurkan tangan.
"Jealita, bisa dipanggil Jea atau Lita. Terserah Bibi."Jea membalas uluran tangan itu.
Ke-2nya kini saling berjabatan tangan.
"Oya Jea, ini pakaian pelayanmu saat di sini. Dan ada beberapa baju lama. Mungkin kamu bisa memakainya saat sedang istirahat."
"Terima kasih Bi." Jea berbinar. Ternyata dunia ini tak sekejam pemikirannya. Di sini dia masih bisa bertemu dengan orang baik. Orang baik menurut Jea pastinya bukan orang lain.
Bi Murti hanya tersenyum. "Dua puluh menit lagi saatnya bekerja. Gunakan waktumu sebaik mungkin."
Bi Murti berlalu. Jea benar-benar bahagia. Tak terpikirkan sebelumnya, ia pikir, ia akan masuk ke kandang singa. Tapi ternyata salah. Jea justru seperti menginjakkan kakinya di taman es. Dingin. Semua rasa panas yang ada di hatinya, menyejuk seketika.
"Tuan, kau baik sekali," ucap Jea sambil membaringkan tubuhnya ke kasur. Tangannya telentang. Matanya terpejam.
10 menit lamanya Jea memejamkan matanya. "Aku harus semangat. Jangan sampai tuan kecewa padaku."Jea terbangun dan menyemangati hidupnya.
***
Di dapur sebagian masakan yang Jea masak sudah selesai. Dari ayam goreng, sambel goreng, mie goreng, tumis kangkung. Jea tidak tahu menahu apa makanan kesukaan tuannya itu. Yang jelas hari ini Jea memasaknya dengan rasa yang lezat menurut Jea.
Sedang bi Murti terlihat sibuk membuat sop ayam.
"Bi, masakanku sudah selesai," bisik Jea sepelan mungkin takut mengganggu.
"Tunggu sop ini masak ya Jea, ini request dari nyonya besar," balas bi Murti masih konsentrasi.
Semua makanan akhirnya selesai dihidangkan di meja. Jea melihat hasil masakannya dan tersenyum sendiri. 'Semoga Tuan suka,' batin Jea.
Nyonya Marlina berjalan menuju meja makan. Jea membungkukkan badannya hormat. Marlina yang menyadari kalau pelayannya ini bukan pelayan yang biasa akhirnya buka suara.
"Kamu pelayan baru?"
"Iya nyonya," balas Jea sambil menunduk.
"Siapa namamu?" tanya Marlina ingin mengenal sang pelayan lebih jauh. Syukur-syukur kalau akrab. Karena pada dasarnya dia hanyalah seorang ibu tiri yang seperti tak dianggap. Berbanding terbalik dari sikap ibu tiri Jea yang justru terkesan begitu jahat
"Jealita Nyonya, Anda bisa panggil saya Jea atau Lita."
"Kamu cantik Jea, sepertinya dengan postur tubuhmu yang seperti ini, seharusnya kamu cocok jadi model." usul Marlina dengan senyum jahilnya, tapi sungguh-sungguh.
"Ehmmmm."
Suara deheman menghentikan percakapan ke-2nya.
"Selamat malam Andrew anakku," ucap Marlina menyambut anak tirinya yang super dingin itu.
Andrew hanya membalasnya dengan sedikit senyuman yang terlihat jelas sangat dipaksakan.
Marlina sudah terbiasa menghadapi sifat cuek sang anak tiri. Setidaknya dirinya sangat bersyukur telah dibiarkan tinggal di mansion ini. Mungkin kalau ibu tiri yang lain bakal ditendang setelah kematian ayahnya. Tapi Andrew tidak mengusirnya. Dia tetap menyuruh ibunya tinggal meskipun dengan sifat dingin.
Pemikiran Jea dan Marlina berbeda. Menurut Jea sifat yang barusan Andrew tunjukkan sangat lah tidak sopan.
Astaga, dia baru menyadari, kalau nama tuannya adalah Andrew. Bahkan Jea tahu nama majikannya dari mulut Marlina. Bukan dari mulut Andrew sendiri.
'Ah, terlalu berharap kau Jea,' fikir Jea.
Jea yang mengetahui kalau majikannya sudah siap makan, akhirnya ijin mengundurkan diri.
"Selamat menikmati Tuan, Nyonya." Membungkuk ke arah Andrew dan kemudian ke Marlina. Saat Jea mulai melangkah menjauh. Suara bariton itu menghentikan langkah kakinya.
"Tunggu."
"Iya Tuan, ada yang bisa saya bantu?" tanya Jea sambil mendekat ke arah Andrew.
"Ambilkan!" suruh Andrew sambil melirik sebuah piring.
Jea mengerti apa maksudnya. Karena setiap hari ibu tirinya selalu minta dilayani, ambilkan ini itu meski tanpa menunjuk dengan jari telunjuknya.
Jea mengambilkan nasi. Karena tidak tahu seberapa banyak porsi sang tuannya itu. Terpaksa Jea mengambil nasi dan lauk sesuai porsinya sendiri.
"Silahkan Tuan." Jea menyodorkan nasi lengkap lauk pauk tepat dihadapan Andrew.
Andrew mengambil sendoknya. Menyuapkan nasi dan tumis kangkung ke mulutnya. Jea masih belum beranjak. Berharap sebuah pujian yang keluar dari mulut tuannya. Membayangkan hal itu membuat Jea seperti akan terbang ke angkasa.
"Uhukkkkkk."
Andrew memuntahkan nasi yang bahkan belum sempat ditelannya.
"Kau, mau meracuniku hah?" bentak Andrew murka.
"Maaf Tuan, saya tidak mengerti." Jea gelagapan. Baru saja dia mengkhayal akan terbang ke angkasa. Faktanya dia malah jatuh ke dasar jurang. Bukan pujian tapi bentakan.
Andrew mengambilkan sesuap nasi dan tumis kangkung lalu menyodorkan sendok itu kepada Jea.
"Coba kamu rasakan ini," ucap Andrew dingin. Raut wajahnya masih terlihat begitu marah.
Dengan ragu-ragu Jea meraih sendok itu dan menyuapkan ke mulutnya. Jea mulai mengunyah. Tidak ada yang kurang. Enak masakannya. Lalu di mana letak salahnya? Jea masih mengunyah sambil terus berusaha mencari kesalahannya.
"Bagaimana rasanya?" tanya Andrew masih tetap dingin.
Jea melirik Marlina takut. Tapi yang dilirik hanya menyunggingkan senyum. Kode agar Jea menjawab dengan jujur.
"Emmm, tidak ada yang salah. Asin manisnya pas. Agak sedikit pedas," tutur Jea menilai masakannya.
BRaaaakkkk
Andrew memukul meja. Jea terlonjak kaget. Bahkan Marlina lebih terkejut hingga tersedak. Tapi Andrew tidak perduli dengan Marlina. Saat ini masalahnya ada pada Jea.
"Sedikit PEDAS menurutmu?"
"Apa kau tak tahu aku anti dengan cabe hah?" Andrew murka.
Jea akhirnya menyadari dimana letak kesalahannya. Bodohnya Jea yang tidak bertanya dulu pada Murti. Jea yang terlahir di Jawa. Dia sangat suka dengan rasa pedas. Ia pikir, Andrew juga menyukainya. Jea akhirnya menunduk pasrah. Siap jika dirinya harus dihukum.
"Kepala pelayan!" teriak Andrew yang tegas tapi tetap terlihat dingin.
Murti yang mendengar namanya dipanggil langsung lari terbirit-birit. Padahal bi Murti tadinya mau buang air. Terpaksa ditunda gara-gara tuannya.
"Iya Tuan," Bi Murti membungkuk.
"Dari mana aja hah? Hampir saja dia meracuniku. Kamu kemana aja?" marahnya sambil menunjuk wajah Jea.
"Maaf Tuan." Bi Murti gemetaran. Menahan pipis dan menahan bentakan tuannya. Karena faktor umur, dia bahkan lupa kalau Jea pelayan baru.
"Setelah ini ajari dia tentang masakan yang bisa aku makan, dan yang tidak bisa aku makan."
"Baik Tuan."
"Dan kau Jelly." Sambil menunjuk ke wajah Jea lagi. Dan Jea langsung mendongakkan kepalanya. Mata mereka beradu.
Deg.
Tiba-tiba saja jantung Jea berdisko, dengan cepat ia langsung menunduk kembali. Jea bingung. Baru kali ini dia benar-benar gugup saat bertatapan mata dengan tuannya. Sedang Andrew langsung menurunkan jarinya.
"Kau masak ulang masakanmu. Ingat tanpa cabe, atau lombok dan sejenisnya," lanjut Andrew menyuruh.
"Ba...baik Tuan, " balas Jea terbata-bata karena dia masih diposisi yang gugup.
"Kalau sudah siap, antar ke kamar."
"Dan awas kalau masih pedas! Aku akan menghukum mu!"
Andrew pergi meninggalkan ruang makan, yang kini suasananya jadi mencengkam. Bi Murti yang sudah tidak tahan langsung terbirit ke belakang. Jea pamit pada nyonya Marlina karena tugasnya belum selesai.
Marlina hanya diam saja menanggapi sikap Andrew. Sejak dia kehilangan istri yang baru saja dinikahi seminggu itu. Sifat Andrew berubah menjadi dingin dan pemarah. Hanya bersabar yang bisa Marlina lakukan, semaksimal mungkin.
to be continued.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!