Mbak Meli, kalau nanti gede, adek mau sekolah di kota sama mbak,” ucap Lita, siswi kelas 1 SMP.
“Iya, dek. Nanti kuliahnya di kota sama mbak,” jawab Meli yang baru sebulan menikah dan kini tinggal di kota bersama suaminya, Roni. “Kita bisa bareng-bareng terus.”
Mendengar itu, Lita langsung girang dan memeluk ibunya.
“Buk, nanti kalau adek besar mau ke kota, masakin yang banyak ya… biar adek cepat besar, bisa nyusul mbak Meli,” katanya penuh semangat.
“Iya, nanti Ibu masakin makanan yang bergizi,” ucap Ibu Yana dengan nada penuh bangga, menatap kedua anaknya yang selalu bersama, tak terpisahkan, dan saling menyayangi.
“Udah dulu ya, Buk. Aku sama Mas Roni mau berangkat sekarang, takut kemalaman,” pamit Meli sambil menunduk mencium kedua tangan ibunya, lalu keningnya disentuh lembut oleh bibir sang ibu—tanda kasih sayang sekaligus restu perpisahan.
Meli kemudian menoleh kepada adiknya. Tatapannya lembut namun tegas.
“Kamu nurut sama Ibu di rumah, jangan nakal,” ucapnya, seolah menitipkan pesan yang tak boleh diabaikan.
“Belajar yang rajin… dan jangan pacaran dulu. Kalau nanti ketahuan, Mbak nggak akan ajak kamu ke kota,” ancamnya setengah bercanda, namun sorot matanya menunjukkan kesungguhan.
“Iya, Mbak… Adek janji. Nanti kalau Lita sudah sukses, Adek bakal bahagiain Ibu sama Mbak… dua orang terpenting dalam hidup Lita,” ucap Lita dengan suara bergetar, matanya sedikit berkaca-kaca.
Meli tersenyum, menatap adiknya dengan rasa bangga yang sulit diungkapkan. “Yang terpenting… dengerin apa kata Ibu sama Mbak, ya,” ucapnya lembut, seolah kata-kata itu adalah doa yang ingin selalu diingat Lita.
“Iya, Mbak… Lita bakal nurut,” jawab Lita mantap, meski suaranya lirih.
Meli lalu beralih pada Roni. “Mas, barangnya sudah dimasukin semua?” tanyanya sambil memastikan.
“Udah, Sayang… semuanya sudah beres,” jawab Roni
“Buk… Meli masuk ke dalam mobil dulu. Assalamu’alaikum,” ucap Meli sambil menunduk hormat, lalu melangkah masuk ke dalam mobil. Roni menyusul di belakangnya, langkahnya mantap namun mata tetap menatap ke arah halaman,
“Berangkat dulu, Buk… Lita,” ucap Roni singkat namun hangat, lalu pintu mobil tertutup pelan.
Mesin menyala, dan mobil itu perlahan melaju meninggalkan halaman rumah sederhana itu. Debu jalanan berterbangan, sementara bayangan kendaraan semakin mengecil di ujung pandangan.
Ibu Yana menarik napas panjang, menatap kepergian mereka hingga tak terlihat lagi.
“Ayo, kita masuk… sudah mau malam,” ucapnya lembut, merangkul bahu Lita dengan penuh kehangatan. Mereka melangkah masuk ke rumah yang tampak sepi, namun di dalamnya ada ketenangan—sebuah keheningan
Seiring berjalannya waktu, tahun demi tahun berlalu. Usia Lita kini menginjak masa remaja, duduk di bangku SMA. Perubahan fisiknya kian terlihat—wajahnya semakin anggun, postur tubuhnya mulai dewasa—membuat banyak orang di desa tak henti mengaguminya.
“Lita, cepat sedikit… Mbakmu sebentar lagi sampai,” ucap Ibu Yana sambil melirik ke arah anaknya yang masih sibuk memilih baju di depan lemari.
“Iya, Buk… sebentar,” jawab Lita sambil terus mengaduk-aduk tumpukan pakaian.
Hingga akhirnya tangannya berhenti pada sebuah dress selutut berwarna hitam. Sederhana, namun elegan. Walau di desa penampilan seperti itu jarang terlihat, Lita memakainya dengan percaya diri—tanpa sadar, ia telah memadukan kesederhanaan desa dengan sentuhan gaya yang membuatnya tampak berbeda di mata siapa pun yang melihat.
TIn… tin…
Suara klakson mobil terdengar dari luar, memecah kesunyian sore itu. Ibu Yana spontan mempercepat langkahnya menuju pintu, lalu membukanya dengan senyum lebar.
“Ibuk… Meli kangen sama Ibuk!” seru Meli begitu turun dari mobil, berlari kecil dan langsung memeluk ibunya erat-erat, seolah ingin melepas rindu yang sudah 5 tahun lamanya terpendam.
Mendengar suara Mbaknya, Lita yang sedang di dalam rumah segera melangkah keluar. Namun di dekat pintu, langkahnya terhenti. Ia berpapasan dengan Roni. Tatapan pria itu tanpa sengaja jatuh pada sosok Lita yang kini jauh berbeda dari dulu—bukan lagi gadis SMP dengan rambut bondol, melainkan remaja yang telah beranjak dewasa. Rambutnya tergerai indah, tubuhnya ramping, dress hitam selutut yang ia kenakan pas membalut lekuk tubuhnya.
“Mas mau masuk dulu?” tanya Lita sambil menoleh, suaranya datar namun ada nada sopan di dalamnya.
“Gak usah… Mas tunggu Mbakmu dulu,” jawab Roni singkat. Meski begitu, dari sudut matanya, ia masih sempat melirik ke arah adik iparnya—sekilas, tapi cukup untuk membuatnya tersadar
“Lita!” panggil Meli ketika melihat adiknya berdiri di dekat pintu. Tanpa ragu, Lita segera menghampiri, lalu memeluk kakaknya erat-erat. Pelukan itu dibalas hangat oleh Meli, seolah ingin menggantikan semua waktu yang pernah terlewat tanpa kebersamaan mereka.
“Lita sekarang udah gede… beda sekali dari waktu dulu Mbak pulang,” ucap Meli sambil menatap adiknya dari ujung rambut hingga ujung kaki, matanya berbinar bangga.
“Sekarang Lita udah SMA, Mbak. Cantikan, kan?” ujar Lita sambil tersenyum manja.
“Iya… adiknya Mbak tambah cantik,” puji Meli tulus.
“Mbak juga cantik,” balas Lita cepat, membuat Meli tersenyum lebar.
“Sudah, sudah… lanjut ngobrolnya di dalam. Di sini panas,” sela Ibu Yana sambil tersenyum, memberi isyarat agar mereka masuk ke rumah. Dengan perasaan riang, mereka bertiga pun melangkah masuk, meninggalkan teras yang masih dipenuhi sisa-sisa hangatnya sore.
Sekolah kamu gimana? Kamu nggak pacaran, kan?” tanya Meli sambil menatap Lita dengan sorot mata penuh selidik.
“Ya enggak dong, Mbak. Nilai aku juga selalu bagus semua,” jawab Lita mantap, sedikit mengangkat dagunya dengan percaya dirim
“Bagus. Kamu memang harus dengerin apa kata Mbak,” ucap Meli sambil tersenyum puas.
“Sayang, jangan kayak menekan Lita gitu… kasihan,” sela Roni sambil tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana.
“Mas… ini semua demi kebaikan dia. Nanti, kalau dia sudah kuliah, baru aku bolehin pacaran,” jawab Meli tegas, namun ada nada sayang yang terselip di suaranya.
“Yang Mbak omongin bener, Mas. Aku juga belum mau pacaran dulu,” sahut Lita,memperjelas .
NAnti kalau kamu mau punya pacar, kamu tanya-tanya dulu sama Mas. Mas yang seleksi,” ucap Roni sambil menatap Lita serius, seolah benar-benar ingin memastikan adik iparnya tidak salah memilih.
“Iya, Mas… Lita juga mau fokus kuliah dulu,” jawab Lita santai, namun nada suaranya tegas.
“Itu baru namanya adik Mbak,” sela Meli sambil tersenyum puas.
“Kalau di sekolah… kamu nggak punya teman dekat cowok?” tanya Roni lagi, nada suaranya sedikit menyelidik.
“Punya sih, Mas… sahabat dekat. Orang kampung sini juga,” jawab Lita sambil mengangkat bahunya, seolah itu hal biasa.
“Siapa?” Roni langsung memotong, nadanya terdengar tak suka. “Cuma sahabat beneran?”
“Arya sama Rian, Mas,” jawab Lita jujur.
Roni terdiam sejenak, sorot matanya berubah—seakan nama-nama itu menjadi catatan khusus di kepalanya.
“Mereka berdua sih nggak masalah, Mbak…” ucap Meli pelan
“Aku cuma… khawatir Lita salah pergaulan,” Roni berusaha tersenyum, tapi lengkung bibirnya terasa dipaksakan, seperti menutupi kegelisahan yang tak mau ia akui.
“Aku senang kok kamu perhatian sama adikku,” suara Meli terdengar tulus, “Tapi kalau mereka berdua, Mas… mereka orang sini. Aku tahu betul sifatnya.”
“Iya, Sayang…” bisik Roni sambil mengelus rambut Meli, gerakannya lembut namun mengandung beban pikiran yang tak terucap.
“Kalian mau makan apa, Mbak, Mas?” tanya lita, mencoba memecah suasana. Tapi di dalam hati, ia tahu… pembicaraan mereka entah bagaimana selalu berakhir mengarah padanya.
“Mbak pengin makan soto… tapi masaknya di pawon, ya. Udah lama banget nggak nyicip makanan kesukaan Mbak,” ucap Meli, matanya berbinar, seolah mengingat aroma masa kecil yang menguar dari dapur.
“Iya, Mbak. Aku masakin dulu sama Ibuk. Kalau Mas mau makan apa?” tanya Lita sambil menatap Roni.
“Samain aja… biar nggak merepotkan adik iparnya,” jawab Roni pelan, senyumnya sederhana namun penuh penghargaan.
“Mbak, mending jalan-jalan dulu di sekitar desa. Udaranya masih sejuk, sambil nunggu sotonya matang,” saran Lita sambil menunjuk jalan setapak yang dibatasi pepohonan.
“Ya sudah… Mbak sama Mas-mu keliling sebentar. Udah lama juga kan nggak mampir ke rumah tetangga,” kata Meli sambil tersenyum,
"nanti bilangin sama ibuk mbak keluar sebentar " ucap meli
"iya mbak nanti tak bilangin kan aku juga yang nyuruh "
Meli berjalan menuju dapur,
Selepas Meli pergi, Lita mendekati ibunya yang tengah merapikan bumbu.
“Buk… katanya Mbak mau dimasakin soto,” ucap Lita sambil ikut membantu, tangannya lincah mengupas bawang lalu mengirisnya tipis-tipis. Aroma bawang mulai memenuhi dapur.
“Iya… Mbakmu ke mana? Di luar kok sepi, nggak ada orangnya,” tanya Ibuk, matanya sesekali melirik ke arah pintu belakang.
“Keliling desa, Buk, sama Mas Roni,” jawab Lita. Ia berhenti sejenak, ragu-ragu. “Oh iya… ada yang mau Lita omongin.”
Ibuk mengangkat wajahnya, heran. “Ada apa, toh?”
Lita menelan ludah, lalu menurunkan suara. “Buk… Mbak Meli… punya masalah kehamilan, ya?” bisiknya nyaris tak terdengar.
“Aku cuma… penasaran, Buk. Sudah lima tahun, tapi mereka belum juga punya keturunan…” suaranya lirih, penuh hati-hati. Ia tak berani bertanya langsung pada Meli, takut melukai perasaan kakaknya.
ibunya berdiam dan menghela nafas berat , hanya suara pisau yang beradu dengan talenan yang terdengar.
"jauh sebelum mbakmu pulang dia menelfon, ibuk fikir kabar kehamilan tapi justru suara tangis yang ibuk dengar" ucap ibuk
" mbak bilang apa buk?"tanya lita penasaran dengan kelanjutannya
"katanya ada yang bermasalah di rahimnya kata dokter juga kemungkinan kecil bisa mempunyai keturunan,sudah berbagai cara dan pengobatan yang dijalani mbakmu tapi belum ada yang berhasil" ucap ibuk menjelaskan
" kasian mbak meli pasti dia pingin banget punya momongan "ucap lita
"mbakmu mau coba progam bayi tabung mudah mudahan berhasil kamu doain mbakmu biar segera punya momongan dan ibuk punya cucu "ucap ibuk
“Terus… tanggapan Mas Roni gimana, Bu?” tanya lita , menghentikan gerakan tangannya yang sedang mengaduk kuah soto. Matanya menatap ibunya, penuh rasa ingin tahu.
“Mas-mu itu orang baik,” jawab Ibu pelan, seulas senyum tipis muncul di wajahnya. “Syukurlah, dia nggak keberatan. Dia selalu berusaha menghibur Mbak-mu… biar nggak larut dalam sedih.”
lita menghela napas, ada rasa lega yang terselip. “Aku ikut senang dengarnya, Bu.” Ia kembali mengaduk kuah soto, lalu menaburkan bumbu penyedap perlahan.
“Kita bahas yang lain saja, ya… takutnya Mbak-mu udah pulang dan dengar,” ucap Ibu sambil menatap ke arah pintu dapur, seolah khawatir percakapan mereka terdengar.
“Iya, Bu,” sahut Lita pelan, menurut.
Aroma soto yang gurih mulai memenuhi dapur. “Sotonya sudah matang,” kata Ibu sambil menyingkap tutup panci, uap panas mengepul ke udara. “Kalau sudah mau, Ibu pindahin ke kompor besar.”
“Sudah matang, Bu. Biar aku yang ambil mie sama piring, ya,” ucap Rita sambil segera berdiri. Tangannya cekatan mengambil piring berisi ayam dan mie, aroma gurihnya langsung menyeruak.
“Iya, taruh di meja… sama nasi dan sambal. Jangan lupa bawang goreng,” pesan Ibu, suaranya hangat.
“Iya, Bu,” sahut lita. Ia membawa
nampan besar yang dinginnya terasa di telapak tangan, lalu meletakkannya di meja kayu. Gerakannya hati-hati, takut kuah panasnya tumpah.
Tiba-tiba terdengar suara dari arah pintu depan. “Assalamualaikum…” sapa Merli yang baru pulang dari luar, suaranya terdengar sedikit lelah .
“Waalaikumsalam, mbak ,” jawab lita sambil menoleh, senyum tipis muncul di wajahnya menyambut kepulangan sang kakak.
“Wah… baunya enak banget,” ujar Meli sambil tersenyum lebar. Ia langsung duduk di kursi, matanya tak lepas dari soto yang tersaji rapi di meja. Dengan gerakan yang penuh antusias, ia mengambil nasi, lalu perlahan menuangkan kuah soto panas yang mengepul wangi. Aroma rempahnya seakan membangkitkan kenangan lama.
Tak lupa, Meli juga menyiapkan semangkuk soto untuk suaminya. “Rasanya… dari dulu nggak pernah berubah,” ucapnya dengan nada puas.
Lita pun ikut duduk, mengambil piring dan mulai makan dengan lahap.
“Enak banget masakan kamu, Lita,” kata Roni sambil menatapnya.
“Aku nggak masak sendirian, Mas… bareng Ibu juga,” jawab Lita, berusaha tersenyum meski tatapan kakak iparnya membuatnya sedikit canggung.
Meli menoleh sambil tersenyum menggoda. “Kamu tuh… nggak pernah muji masakan aku selama ini, Mas. Tapi muji masakan Lita,” ucapnya, seolah bercanda,
“Aku juga muji masakan Ibu, loh kamu juga jarang masak dirumah ,” ujar Roni sambil tersenyum tipis.
"Mas. Kamu kan tahu, aku nggak terlalu pintar masak,” jawab meli nadanya setengah bercanda, setengah pasrah. “Untung kamu pengertian.”
Roni menatapnya lembut. “Yang penting kamu senang… itu sudah cukup buat aku.”
Lita, yang duduk di seberang, ikut tersenyum dia ikut bahagia
Namun di dalam hati, ia tahu, kakak iparnya memang sering memusatkan perhatian pada Meli.
“Cepat makan, Mbak, mumpung masih hangat,” kata Rita sambil menyodorkan piring.
“Kamu juga makan yang banyak, badanmu kecil banget itu,” sahut meli sambil tersenyum menggoda.
lita tertawa pelan. “Ini namanya langsing, Mbak. Kan bagus ukurannya segini.”
"tapi kamu juga mikirin kesahatan juga" ucap meli yang tidak mau adeknya sakit karna kekurangan makanan
"aku pasti jaga kesehatan ,mbak tenang saja ucap lita menenangkan
" ibuk gak ikut makan dek? dari tadi mbak gak lihat ibuk" tanya meli
"sebentar lagi nyusul mbak, ibuk masih didapur " jawab lita
benar saja ibuk datang dengan membawa sepiring gorengan yang masih panas
"ibuk tadi juga goreng tempe buat nyemil kamu kan suka to " ucap ibuk ke roni
Usai menyantap makan malamnya, Lita merebahkan diri dikasur kamarnya, ponsel masih tergenggam erat di tangan. Pintu kamar dibiarkan terbuka lebar, seakan mengundang pandangan siapa pun yang kebetulan lewat. Tatapannya kosong menembus layar, lalu ia berbisik lirih pada dirinya sendiri, “Kayaknya aku kurang berisi… apa beli obat ini ya?”
Perlahan, ia menarik selimut tipis berwarna putih yang menutupi tubuhnya. Bulu-bulunya yang halus beterbangan ringan di udara, seolah enggan terlepas. Tatapannya jatuh pada perutnya yang rata, dan sudut bibirnya sedikit menegang. “Yang belakang aja kali, ya?” gumamnya lagi, seakan menimbang sesuatu .
Keputusan pun diambil. Dengan nada yang nyaris tak terdengar, ia menutup bisikannya, “Yaudah deh… beli satu dulu. Siapa tahu ngaruh.”
Lita masih tenggelam dalam dunianya, jari-jarinya lincah menggulir layar, men-scroll postingan demi postingan. Terlalu asyik, ia tak sadar selimut yang tadi menutupi tubuhnya kini terabaikan di sudut ranjang.
Dari dapur, aroma kopi baru terseduh mengiringi langkah roni. Begitu melewati kamar , matanya langsung tertuju pada pintu kamar Lita yang terbuka lebar. Alisnya berkerut merayap di wajahnya.
Pandangan itu pun menemukan Lita, yang tengah rebah sambil memegang ponsel. Kaki jenjangnya sedikit terbuka di atas kursi kaki, dan kaus tipis yang dikenakannya tersingkap, menampakkan bagian perutnya yang datar. roni terdiam. Ada rasa aneh, tak nyaman sekaligus tak terjelaskan, berputar-putar di kepalanya.
Ia berdiri kaku beberapa detik—terlalu lama untuk disebut sekadar melihat. Lalu, seakan tersadar, ia segera berbalik, melangkah cepat meninggalkan kamar itu. Kopi di tangannya terasa hambar; ia butuh udara segar untuk mendinginkan pikirannya.
Waktu bergulir. Tanpa terasa, malam sudah sepenuhnya menelan rumah. Lita akhirnya menutup pintu kamarnya. Rasa kantuk dan lelah menindih kelopak matanya. Ia merebahkan tubuh di kasur,
Meli terbangun di tengah malam. Tangannya meraba sisi ranjang—kosong. Hanya dingin yang menyentuh kulitnya. Jantungnya berdegup aneh. Dia bangkit, melangkah pelan menuju halaman, mengikuti cahaya redup lampu teras.
“Mas… ngapain tengah malam begini?” suaranya bergetar, antara kantuk dan cemas.
Di sana, Roni berdiri, menatap jauh ke arah siluet gunung yang bersembunyi di balik kabut tipis. Nafasnya mengembun di udara dingin.
“Belum ngantuk, Sayang. Tadi habis nyelesaiin kerjaan kantor… sekarang cuma butuh udara segar,” jawab Roni pelan, tanpa menoleh.
Melly mendekat. “Aku temenin,” ucapnya sambil duduk di samping sang suami. Pandangannya ikut menyapu gelap yang sunyi itu. Angin malam menyentuh kulitnya seperti bisikan dingin.
“Kamu nggak kedinginan? Aku ambilin selimut, ya?” tawar Roni.
Meli menggeleng, lalu memeluk pinggang suaminya erat. “Nggak usah, Mas. Pelukanmu sudah cukup bikin aku hangat.”
Sunyi menelan kata-kata mereka.
Lalu, dengan suara lirih nyaris berbisik, Meli berkata, “Mas… andai di antara kita sekarang ada anak kita… pasti rasanya dunia ini nggak cuma hangat… tapi sempurna.”
"Kita harus terus berusaha, Sayang," ucap Roni sambil merangkul bahu Meli, suaranya penuh keyakinan.
"Iya, Mas… semoga program kita nanti berhasil," jawab Meli lirih, matanya menatap ke arah cahaya lampu yang redup.
Udara malam semakin menusuk tulang, dinginnya merayap hingga membuat napas berembus tipis. Meli menatap Roni, lalu menarik tangannya. "Mas, ayo ke kamar… sudah terlalu dingin di sini."
Di dalam kamar, keheningan terasa berat. Meli berdiri di dekat ranjang, tatapannya penuh makna, seakan ingin mengatakan sesuatu tanpa kata. Roni menutup pintu, lalu mendekat perlahan keranjang
Pagi ini, Meli melihat lita yang sudah memakai seragam sekolah.
“Lho, bukannya ini hari Minggu?” tanya Meli heran.
“Mbak lupa, ini hari Senin. Gini nih kalau kepikiran Mas Roni terus,” jawab lita sambil bersandar di kursi.
“Apaan sih kamu? Mbakmu ini bener-bener bisa lupa,” balas Meli sambil menggeleng.
“Ya sudah, aku berangkat dulu. Udah mau telat,” kata lita sambil memeriksa jam tangannya.
“Tunggu! Kita sarapan dulu. Ibu udah masak nasi goreng,” pinta Meli.
“Nanti aja, aku bisa telat!” lita buru-buru mengambil sepatunya.
Meli menyerahkan bekal, “Ini, bawa pokoknya!”
"makasih mbakku cinta " ucap lita mencium pipi melli " satu lagi mbak uang jajan nya mana"?
meli mengambil dompet mengeluarkan uang lima ratus ribu
"nih buat jajan kamu, kamu itu dari dulu morotin mbak mulu" ucap meli padahal dia sendiri yang selalu memanjakan adeknya itu
" dapet pahala nyenengin adek sendiri " ucap lita berlari keluar rumah karna sahabatnya sudah menjemput dan menunggunya
“Adik kamu di mana?” tanyanya. ibu yana dari pintu sambil mengelap tangannya di celemek
“Udah berangkat, Bu. Barusan sama temennya,” jawab Nelly sambil merapikan rambutnya.
“Ya sudah… kalau begitu kamu sekarang makan,” ucap Ibu, tatapannya beralih ke meja makan.
“Suamimu nggak ikut makan?”
“Mas Rani masih tidur. Kedapetan semalam lembur tugas kantor, Bu,” kata Nelly, suaranya agak pelan.
“Nasi gorengnya sisain buat dia, sama gorengannya,” kata Ibu Yana sambil menunjuk piring.
“Iya, Bu,” jawab Nelly, menaruh sendok di piringnya.
“Nanti sore Ibu mau ke kebun. Kamu mau ikut?” tanya Ibu, kali ini suaranya lebih ringan
Meli mengangguk pelan. “Boleh… nanti sekalian Meli bantuin,” ucapnya.
Setelah itu, Meli dan Ibu Yana makan sambil bercakap hangat, layaknya ibu dan anak yang sudah lama tak bertukar cerita. Sesekali terdengar tawa kecil di antara denting sendok dan piring.
Di sisi lain jalan, angin pagi menerpa wajah Lita yang dibonceng Arya. Suara mesin motor bergabung dengan riuh kendaraan. Arya melirik dari balik helm, matanya tetap fokus ke jalan.
“Lita… mbakmu udah pulang?” tanyanya datar.
“Iya. Kenapa?” jawab Lita tanpa banyak pikir.
“Kakak ipar lo juga ikut pulang,” lanjut Arya, nada suaranya meninggi sedikit.
“Iya… kenapa sih nanya mulu?” Lita menoleh sebentar, alisnya mengerut.
“Pegangan dulu,” ucap Arya tiba-tiba, lalu menarik tangan Lita, melingkarkannya di pinggangnya.
“Iya… nggak apa-apa sih, cuma nanya.”
lita mendengus pelan .
Arya menghela napas panjang, lalu menunduk sedikit agar suaranya terdengar jelas di telinga Lita.
“Kamu udah dewasa. Jaga jarak dikit sama masmu. Aku cuma ngingetin…” ucapnya, nada serius bercampur cemas.
"iya aku juga tahu kok, arya ngebut kita mau telat nih" ucap lita
motor mereka semakin melaju menyalip motor² yang menghalangi jalan untung saja arya lincah membawa motornya .
" aduh ,telat gerbangnya udah dikunci"
ucap lita mengeluh
"kayak biasanya aja lewat pintu belakang " ucap arya memberi saran
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!