NovelToon NovelToon

Lilyana

Putus

Hari ini untuk pertama kalinya Lily berada di dalam ruangan rapat direksi Goldlight Corporation milik keluarganya. Ia duduk dengan gelisah, matanya menatap wajah-wajah serius di sekeliling meja kayu jati berbentuk huruf U itu. Meski telah datang setengah jam sebelum waktu yang ditentukan papa lewat pesan singkat di ponselnya, namun ternyata ia sudah sangat terlambat. Kata sekretaris yang mengantarnya ke ruangan ini, rapat telah dimulai sejak 3 jam yang lalu. Lily mencoba lebih tenang dengan mengatur nafas lebih panjang dan berkonsentrasi mendengar apa yang mereka bicarakan. Usahanya sia-sia. Lily tetap tak dapat memahami detail apa yang mereka bicarakan dalam rapat itu. Daripada tampak seperti orang bodoh, Lily  mengambil kertas hvs di tasnya lalu menyibukan diri dengan menggambar bunga dan balon-balon pesta di atas kertas itu. Entah apa maksud papa mengundangnya ke sini. Pasti ada sesuatu yang salah di sini. Semua direksi tidak mempedulikan kehadirannya. Bahkan papa dan ketiga kakak lelakinya tidak memperkenalkan Lily dan apa posisinya dalam rapat itu.

Satu jam sudah Lily duduk di ruangan ini, tapi ia tak melihat keberadaan Dave. Dimana dia? Kenapa dia tidak hadir dalam rapat direksi sepenting ini? Pesan singkatnya pada pria itu terbaca namun tak dibalas. Oh, mungkin ia sedang ada tugas penting di luar kantor. Lily mencoba untuk berpikir positif. Mungkin ia diundang menghadiri rapat ini sebagai pelengkap karena ketidakhadiran Dave. Ya. Seharusnya tunangannya itulah yang berada dalam ruang rapat ini sebagai wakil direktur Goldlight New Contruction (GNC). Bukan Lily. Meski ia sama sekali tidak mengerti detaill apa yang dibicarakan dalam rapat itu, namun ia tetap dapat menarik kesimpulan bahwa kondisi keuangan GNC dalam keadaan kritis sehingga perlu dukungan pendanaan dari kantor pusat.

Kenapa kondisi keuangan GNC tiba-tiba kritis ya? Aneh. Sepengetahuan Lily GNC berkembang pesat semenjak

dipegang duo Satya dan Dave. Tiga tahun belakangan ini laba GNC selalu naik sangat signifikan. Banyak tender proyek yang telah berhasil dimenangkan perusahaan, beberapa diantaranya adalah tender mega proyek nasional yang nilainya sangat fantastis.  Lily sering mendengar papa memuji kinerja mereka. Papa terlihat bangga sekali dengan pencapaian kinerja keduanya. Bahkan  di RUPS tahun lalu, katanya papa telah menjanjikan akan memberi 30% saham GNC pada Dave sebagai hadiah pernikahan dengan putri bungsunya yang rencananya akan dilangsungkan beberapa bulan lagi.

“Kamu tahu kenapa kamu diundang dalam rapat ini, Lily?” tanya Papa ketika semua direksi di luar keluarga inti Wirajaya Halim telah meninggalkan ruangan itu.

Lily hanya menggeleng. Ia hanya menatap bingung papa dan ketiga orang kakak laki-lakinya, Bram, Bas dan Satya, secara bergantian. Hanya Lily yang tak mengerti apa-apa tentang perusahaan karena ia memang tak punya posisi di perusahaan ini. Selain Satya yang menjabat direktur GNC yang bergerak di unit bisnis konstruksi, ada Bram -kakak pertama- yang menjabat corporate finance director kantor pusat Goldlight dan Bas –kakak kedua- direktur utama Goldlight property. Sekarang mereka tinggal berlima di ruangan itu: seorang presiden direktur, 3 orang direktur dan seorang cecunguk yang tersesat di ruang rapat. Tentu saja. Lily memang bukan siapa-siapa.

“Dave berkhianat. GNC rugi puluhan milyar gara-gara tunangan kamu itu, Ly. Dia telah membocorkan hasil studi kelayakan dan proposal tender kita ke perusahaan pesaing. Sekarang dia sudah kupecat,” Kata Satya dengan wajah lesu tapi tatapan matanya menyeringai.

Bas menggeretakkan giginya dan tersenyum sinis. Sejak peserta rapat lain keluar tadi ia tampak

gelisah. Berjalan bolak-balik tidak jelas. Wajahnya masam sangat menyebalkan.“Bukan hanya rugi. Kekalahan ini sangat memalukan. Belum pernah ada dalam sejarah Goldlight kalah dari perusahaan ecek-ecek sekelas MLC.”

“Kamu memang nggak becus. Seharusnya kamu jangan terlalu percaya sama Dave. Kalau sudah begini kita semua kena imbasnya. Harusnya uang goldlight bisa diputarkan untuk bisnis yang lebih menjanjikan, bukan buat menutupi keteledoran kamu.”  Sepertinya Bas ingin memulai pertengkaran dengan memancing emosi Satya yang sudah terlihat kalut.

Bas selalu begitu. Sejak dulu Lily sudah tahu sibling rivalry diantara kedua kakaknya itu sangat besar. Mereka sering bertengkar dan selalu bersaing merebutkan sesuatu. Yah, mungkin memang usia mereka hanya berjarak setahun dan mereka terlatih untuk selalu bersaing menunjukan siapa yang prestasinya lebih baik. Ejek mengejek sudah makanan mereka sehari-hari. Lily yang tidak tahu apa-apa biasanya hanya bisa jadi pemantau saja.

“Aku sudah pecat Dave dari GNC. Berhentilah mengejek. Kamu tidak tahu banyak sekali pengkhianat di sekitarku.  Kekalahan GNC bukan semata-mata hanya karena Dave yang berkhianat membocorkan data studi kelayakan dan data proposal tender itu. Orang-orang pemerintahan dan BUMN yang sudah menerima dana entertain milyaran untuk mengawal mega proyek itu juga angkat tangan semua. Tidak bertanggungjawab

sama sekali.”

“ Hmmm… Seharusnya kakak tidak berbisnis dengan cara kotor seperti itu. Tidak bisakah memenangkan tender sesuai prosedur normal tanpa pengawalan, suap, gratifikasi atau apapun namanya itu.” Lily masih enggan bicara. Unek- uneknya hanya diucapkan dalam hati saja. Ia terlalu lugu untuk mengerti permasalahan bisnis dan tak berani mengungkapkan pemikirannya.

“Kamu pasti salah menetapkan orang-orang yang mengawal proyek itu. Mereka yang kau kasih duit bukan pengambil keputusan. Jelas mereka tidak bisa apa-apa.”  Bas membalas sinis dengan intonasi suara yang lebih tinggi.

“Bukan begitu, situasi politik tiba-tiba bergeser diluar ekspektasi Bas.” Bantah Satya dengan nada 1 oktav lebih tinggi dari suara kakaknya. “Jabatan-jabatan penting di pemerintahan dan BUMN sedang diobrak-abrik. Kali ini aku dan GNC memang sedang sial. Harus menghadapi pengkhianat dari dalam dan luar perusahaan,” jelas Satya geram. Lily melihat tangan Satya terkepal. Wajahnya memerah dan gurat-gurat di wajahnya tampak menegang.

“Alasan. Akui saja kalau kamu nggak becus pegang GNC. Unit kontruksi bisa bangkrut kalau dipegang orang yang nggak becus seperti kamu.”

“Diam kamu, Bas! Kamu tidak tahu apa-apa tentang bisnis GNC. Kamu harus ingat, aku sudah dapat puluhan proyek besar dengan keuntungan fantastis untuk GNC. Tahun lalu aku membawa GNC menyumbangkan laba paling besar ke grup Goldlight. Lima kali lipat dari apa yang kamu sumbangkan dari unit property. Kalau aku nggak becus, laba GNC nggak bakal naik pesat beberapa tahun belakangan ini. Urus saja Goldlight property dengan benar. Tidak usah sok tahu.” Satya mulai gusar. Tak terima dianggap tidak becus mengurus perusahaan. Ia bahkan menggebrak meja dengan keras.

“Sudah jangan bertengkar sekarang! Pertengkaran kalian ini tidak berdampak apapun pada perusahaan. Sekarang kita butuh solusi, bukan saling menyalahkan," lerai papa kemudian.

Bram juga sempat kaget, mendongak dan mengalihkan perhatiannya yang sejak tadi hanya tertuju pada laptop yang berisi data keuangan seluruh anak perusahaan Goldlight. Pria introvert yang pelit bicara itu memang sejak tadi chating dengan manajer-manajer keuangan seluruh unit bisnis untuk koordinasi ketersediaan dana pada masing-masing unit. Tapi kalau sudah papa yang bicara, semua pasti diam. Bram melanjutkan aktivitas daringnya. Sementara Lily, Satya dan Bas duduk menanti titah papa selanjutnya. Padahal Satya dan Bas masih memendam kemarahan yang belum semua tuntas diungkapkan. Ekspresi itu masih terlihat di gurat-gurat wajah keduanya.

“Satya, kamu harus tetap intimidasi dengan halus para pengawal proyek yang sudah terima dana kita. Pastikan kita dapat tender lagi dari mereka atau mereka kembalikan dana kita. Berikan daftarnya pada Bram juga supaya dia juga bantu intimidasi pengawal-pengawal proyek yang nggak becus itu.”

Satya mengangguk pasti. Begitupun Bram yang tak pernah terdengar suaranya sepatahpun. Lily bisa melihat lewat sorot matanya Satya sangat berterimakasih dengan perintah papa dan kesediaan Bram membantu mengatasi masalahnya. Tampaknya itu jauh lebih bijak daripada celaan-celaan yang dilontarkan Bas terhadapnya.

Bas masih geram tapi ia tak berani bertengkar lagi di hadapan papa.

Kemudian giliran papa mengarahkan pandangannya ke puterinya yang mematung saja di tempat duduknya.“Ly, kamu harus putuskan Dave sekarang juga. Pertunangan kalian batal,” begitulah keputusan papa untuk puteri bungsunya.

Duar!!! Akhirnya meledak juga kata-kata yang ditakutkan Lily sejak tadi. Jadi, ia dipanggil ke sini hanya untuk mendengar keputusan pembatalan pertunangannya dengan Dave? Bukan untuk didengar pendapatnya. Apalagi diajak bergabung mengelola perusahaan ini. Bodoh. Lily sadar selama ini ia hanya diperlakukan sebagai obyek, bukan subyek. Posisinya hanya sebagai penerima keputusan, bukan pembuat keputusan.

Lily ingin marah dan menolak keputusan itu, tapi ia mencoba mengendalikan emosinya dengan menarik nafas panjang dan menetralisir detak jantungnya agar tidak berdetak terlalu cepat. Dia melirik raut wajah Papanya lewat ujung matanya melihat kemungkinan ia boleh mengambil keputusan untuk hidupnya sendiri atau menunda keputusan itu sampai  ia yakin bahwa putus adalah keputusan terbaik buat hidupnya.

Ngeri. Nyalinya berangsur ciut. Belum pernah melihat urat wajah papa menegang  dan merah padam begitu. Papa pasti sedang marah besar. Tidak ada gunanya penyangkalan atau beradu pendapat dengannya saat ini. Lebih baik ia yang menahan diri. Lagipula ia selalu ingat pesan mama agar selalu mengendalikan emosinya hingga detak jantungnya dapat tetap stabil. Ia harus terus mengendalikan diri. Harus sabar. Harus tenang.

“Maafkan aku, Ly! Aku harap kamu sabar menerima keputusan ini. Orang seperti Dave tidak layak

mendapatkanmu. Dia hanya tikus pengkhianat. Dia hanya memanfaatkan kamu untuk menghancurkan keluarga kita,” kata Satya sambil mendekat dan menepuk bahu Lily.

Kali ini nada bicara Satya telah sedikit turun tapi matanya masih menyeringai tajam. Ada kebencian tertanam dalam di sana. Entah sisa benci karena dirinya diejek Bas atau mungkin dia sangat menyesal memperkenalkan adik kesayangannya bahkan membujuknya bertunangan dengan orang yang sekarang dianggap pengkhianat di perusahaannya. Memang Satyalah yang paling bersalah atas kasus ini.

Putus?  Ia benar-benar tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi hingga hubungan pribadinya harus terkena imbasnya. Ia masih ingin bersikap netral. Pikirannya tidak bisa dipaksa untuk percaya dengan apa yang tidak dilihat dengan mata dan kepala sendiri. Ia perlu dengar apa penjelasan Dave tentang kasus ini. Tidak hanya menelan mentah-mentah opini dari satu pihak. Ia hanya ingin keadilan buat Dave dan hubungannya dengan lelaki itu tidak dianggap sebagai bagian dari bisnis keluarga. Tapi Lily tak bisa bicara. Bibirnya terkunci. Ia sama sekali tak berdaya melawan keputusan keluarganya.

Sejenak mereka saling diam. Terjebak dalam pemikirannya masing-masing. Kesunyian terpecahkan oleh suara

papa meminta ponsel Lily. “Berikan handphonemu pada papa!”

Tak berani membantah. Lily mengambil ponsel dari dalam tas dan menyodorkannya di hadapan Papa dan tiga kakak lelakinya. Mulutnya masih terkunci rapat. Pikirannya masih bertanya-tanya, sebenarnya apa yang mereka pikirkan.

Sekelebat Papa meraih ponsel berlogo apel keluaran terbaru itu, meminta Lily membuka passwordnya, mencari nomor Dave lalu memencet panggilan telepon

Papa menyodorkan lagi ponsel pada Lily yang berdiri ragu. Tak perlu menunggu lama terdengar nada deringnya meraung. Tut tut tuuuut…..

“Katakan putus sekarang juga,” perintah Papa dengan raut dingin. Alisnya meninggi.

Mana berani Lily menentang papa jika alisnya sudah meninggi begitu. Tapi ia juga tak ingin putus dari Dave tanpa kejelasan seperti ini. Rasanya ia ingin lari saja dari tempat itu atau berubah jadi patung batu tak bernyawa.

“Halo, sayang. Maaf aku belum sembat membalas pesanmu,” suara bariton Dave terdengar di seberang sana

“Em…..” Lily gemetar. Bibirnya terkunci. Ia menatap Papa, Bram, Satya dan Bas secara bergantian seakan memohon agar mereka mau mengerti bahwa ia belum sanggup mengatakan itu sekarang.Tapi mereka malah memandangnya dengan bengis.

“Halo sayang. Ada apa? Kamu baik-baik saja kan?” kata-katanya masih terdengar sok manis. Dia mungkin tidak tahu kalau Lily menelponnya di hadapan papa dan ketiga kakak lelakinya.

Papa mengangguk. Tatap matanya yang tajam mengisyaratkan Lily untuk mematuhi perintahnya.

Lily harus sanggup mengatakannya.

Kita putus. Hanya itu yang bisa diucapkan Lily di hadapan keluarganya. Ada keraguan tersirat dari nada bicaranya. Ia tak sanggup merangkai kalimat lagi selain kalimat itu. Setengah mati ia harus mengendalikan perasaan yang bergejolak di dadanya. Kecewa atas keputusan keluarga, tapi tak berani mengungkapkan pendapat apalagi melawan.

Ia sadar, tak pernah punya daya dan keberanian untuk melawan. Hidupnya masih tergantung pada keluarga.Ia belum siap jika fasilitas yang diperolehnya saat ini dirampas paksa kalau harus memaksakan pendapatnya. Kuliahnya belum selesai. Sebagian besar biaya hidupnya masih disokong keluarga. Lily belum siap jadi gelandangan. Tapi ia juga tak ingin putus dengan Dave hanya karena masalah bisnis

Kak Bas merebut ponselnya dengan secepat kilat mengambilalih pembicaraan.

“Dengar ya, Dave. Kamu telah mengkhianati keluarga kami. Pertunanganmu dengan Lily putus. Mulai detik ini jangan pernah temui Lily lagi,” tegasnya.

“Tapi...,” tampaknya Dave hendak membela diri atau paling tidak mengucapkan sepatah kata untuk

tunangannya. Bas tak memberi kesempatan. Ia menutup ponsel Lily dengan gerakan yang sangat cepat.

Bas bahkan langsung memblokir nomor Dave dan menghapusnya dari ponsel Lily. Bas menyerahkan ponselnya kembali pada Lily dengan wajah dingin.

Lily menerimanya dan langsung memasukan kembali ponselnya ke dalam tas tanpa bicara, hanya tertegun dan diam.

“Mulai hari ini kamu akan selalu didampingi bodyguard, Lily. Sekarang musuh Goldlight makin banyak, keamananmu adalah prioritas. Jangan keluar rumah jika  tidak ada kepentingan dan jangan coba-coba berhubungan lagi dengan mantan tunanganmu itu. Semua demi kebaikan kamu.” Itu kata terakhir papa sebelum beliau pergi menemui rekan bisnisnya yang kata sekretaris pribadinya telah menunggunya sejak sejam yang lalu.

Bram, Bas dan Satya pergi mengikuti papa menemui tamunya. Lily menunduk pasrah. Bukankah ini kejam? Kenapa ia harus kehilangan kebebasan hanya karena urusan bisnis yang bahkan ia tak mengerti  juntrungannya. Dan mereka …. Papa dan saudara-saudara kandungnya meninggalkannya sendiri  di sini. Sama sekali tidak peduli bagaimana perasaannya. Tak ada yang memeluk dan menghiburnya. Lily merasa dipermainkan nasib. Ia terlahir sebagai boneka yang hanya diperalat untuk kepentingan bisnis. Mereka bisa dengan seenak hati memintanya bertunangan lalu memutuskan pertunangan itu saat ia sudah mulai merasa nyaman.

Tentang Lily

Lily berjalan gontai meninggalkan ruang rapat sendirian. Ia merasa seperti berada di planet lain. Sepi dan mencekam. Lily sama sekali belum familiar dengan suasana kantor karena belum pernah bekerja di kantor papa atau menjadi direksi di unit bisnis perusahaan sebagaimana tiga saudara laki-lakinya. Kuliahnya saja belum selesai. Kondisi fisiknya lemah. Keluarganya juga meragukan kemampuannya. Hal yang disebutkan terakhir itu seperti doktrin yang membatasi dirinya dengan segala kegiatan bisnis keluarganya. Kemampuannya jauh di bawah standar minimum perusahaan keluarganya. Entah itu kemampuan intelegensi, kemampuan berkomunikasi maupun kemampuan fisik. Semuanya tidak ada yang memenuhi standar.

Lily merasa inferior. Tak ada satu prestasi pun yang bisa dibanggakan di hadapan keluarganya. Masa kecilnya banyak dihabiskan di rumah sakit dan menjalani operasi demi operasi untuk memperbaiki kelainan jantung bawaan yang dideritanya sejak lahir. Berbeda dengan ketiga saudara laki-lakinya yang semuanya berprestasi dan lulusan terbaik dari universitas luar negeri. Semua kakaknya pernah jadi juara kelas, pimpinan organisasi sekolah, juara olah raga, juara kompetisi musik, dan sejumlah prestasi lain di dalam dan luar sekolah. Piala dan penghargaan yang mereka peroleh berjejer-jejer di kamarnya masing-masing. Sementara Lily jangankan menjadi pemenang lomba atau kompetisi, sekedar ikut berpartisipasi pun belum pernah.

Terlahir sebagai anak bungsu, satu-satunya anak perempuan dan memiliki kelainan jantung bawaan membuat Lily merasa sangat berbeda dari saudara- saudaranya. Mama pun mendidiknya dengan cara berbeda pula. Mama sangat berhati-hati menjaganya seperti menjaga sebongkah berlian langka. Tidak boleh ini. Tidak boleh itu. Banyak hal yang tak boleh ia lakukan. Mama selalu mendampinginya ke manapun dan mengingatkannya tak boleh terlalu lelah dan emosional.

Lily selalu patuh apa kata mama karena yakin apa yang dikatakan mama selalu benar. Saat umurnya masih 8 tahun Lily pernah tergoda mengejar kucing cantik di taman belakang rumah tanpa sepengetahuan mama dan pengasuhnya. Kucing itu berlari ke sana kemari menggodanya dengan tatapan mata yang lucu menggemaskan. Lily mengejarnya dengan riang. Kucing itu mengeong lalu berlari. Saat terpojok di sudut taman kucing itu mencari celah berlari lagi ke arah yang berlawanan. Begitu seterusnya sampai akhirnya dia tertangkap. Hups….. Lily tertawa bahagia. Tapi sebelum berhasil menggendong kucing cantik itu dadanya sesak, nafasnya tersenggal-senggal, lalu tak ada lagi yang dilihatnya selain kegelapan.

Ketika sadar ia telah berada di ranjang rumah sakit. Mama berada di sampingnya dengan mata sembab. Kelopak matanya menghitam seperti habis menangis berhari-hari. Mama langsung mendekapnya erat begitu melihat mata putri kecilnya terbuka. “Mama sangat sayang Lily. Lily harus selalu sehat ya, sayang. Jangan buat mama khawatir ya.” Suaranya serak. Pasti karena mama sudah terlalu banyak menangis.

Lily tak tega melihat mata mama. Ada berjuta kekhawatiran dan cinta yang terlukiskan di dalamnya. ”Mama jangan nangis. Maaf, Lily jadi pingsan lagi ya Ma? Lily janji deh besok-besok Lily tidak akan lari-lari lagi,” ujarnya dengan suara manja dan lemah. Ia menyesal tak mengindahkan nasehat mama agar menjaga tubuhnya dari kelelahan dan emosional yang berlebihan.

“Kamu harus selalu ingat, kalau kamu ingin sesuatu harus minta bantuan mama atau ibu pelayan ya.  Kamu tidak boleh capek, sayang. Semua orang sayang kamu dan akan dengan senang hati membantu kamu.”

Lily mengangguk sambil tersenyum.

“Janji.”

“Iya, janji. Lily akan selalu ingat nasehat mama,” katanya sambil mengacungkan jari kelingkingnya.

Mama ikut tersenyum. Dirantainya kelingking mungil Lily dengan kelingkingnya tanda perjanjian itu serius. Ia mendekap putri tunggal kesayangannya itu dengan lebih erat lagi.

Kadang Lily ingin protes meski tak tahu hendak protes sama siapa, kenapa ia harus ditakdirkan berbeda dengan ketiga saudaranya. Mereka sehat, cerdas dan berprestasi. Mereka sangat kuat, tak pernah lelah dengan banyak kegiatan yang dilakukan. Mereka bersekolah di sekolah berstandar internasional dan dituntut bersaing menunjukan siapa yang lebih berprestasi dalam hal apapun. Sementara Lily harus menjalani pendidikan home schooling dan tak pernah diijinkan ikut dalam kompetisi apapun.

Kata mama yang terpenting buat Lily bukan prestasi, tapi berjuang untuk tetap hidup sehat. Kini, setelah beranjak dewasa ia merasa tak punya keahlian apa-apa dan kurang mahir bersosialisasi. Ia sering kebingungan memilih kata jika akan menyapa orang lain yang belum dikenalnya. Ia juga tak percaya diri untuk mengungkapkan perasaan

dan ide-idenya pada siapapun. Mungkin pola asuh itu yang membuatnya tumbuh menjadi gadis yang pemalu dan tertutup.

Segalanya masih indah saat almarhumah mama masih ada di sampingnya. Mama selalu mendukungnya, melindunginya dan memberikan pelukan hangat saat ia membutuhkannya. Satu tahun belakangan ini adalah masa yang terberat dalam hidupnya. Tak ada yang peduli beratnya rasa kehilangan seorang mama selain Dave. Hanya Dave yang menemaninya bangkit, mengikhlaskan kepergian mama dan berusaha menjadi mandiri seperti pesan terakhir mama.

Sejak kecil ia mencoba patuh dan percaya bahwa setiap keputusan telah dipertimbangkan untuk kebaikannya. Bertunangan dengan Dave awalnya juga bukan atas keinginannya. Mereka tak mau tahu apakah ia punya

perasaan cinta pada Dave atau tidak. Mereka hanya perlu yakin bahwa Dave mencintainya dan pertunangannya akan menguntungkan buat perkembangan bisnis grup Goldlight. Waktu itu ia ingin memberontak, tapi  dengan lembut mama meyakinkannya untuk patuh dan belajar menerima lelaki yang dikenalnya sebagai teman kak Satya itu. Dave orang baik, mama percaya cinta bisa tumbuh seiring waktu. Witting tresno jalaran soko kulino. Filsafah jawa itu yang selalu diucapkan mama untuk meyakinkan Lily mencoba menjalin hubungan serius dengan Dave meski belum yakin apakah ia benar-benar mencintai lelaki itu.

Satya dengan kepentingan bisnisnya tak pernah bosan meyakinkan Lily bahwa Dave mencintainya dan dia adalah lelaki terbaik untuknya. Selain mendapatkan tawaran gaji yang menggiurkan, kesediaan Dave bergabung di GNC konon juga demi cinta meraihnya pada Lily. Kalau ditanya apakah Lily mencintainya. Sampai saat ini Lily masih gamang dengan perasaannya sendiri. Entah karena kebodohannya atau hanya kurang sosialisasi, Lily sungguh - sungguh tak bisa mendefinisikan apa itu cinta. 

Dengan berjalannya waktu Lily mulai merasa bahagia dan menikmati kenyamanan dicintai seseorang lelaki yang selalu menyanjungnya sebagai tuan putri yang sempurna meski ia hanya seorang gadis bodoh yang sakit-sakitan. Dave memberi perhatian setiap saat, memberinya bunga, menyapanya setiap pagi lewat pesan singkat, mendukung mimpinya, dan bersedia memberikan dadanya sebagai tempat bersandar saat hatinya sedang rapuh.

Apakah itu artinya cinta? Lily belum yakin sepenuhnya apakah hatinya telah tertambat mencintai Dave. Saat ini Lily tak ingin kehilangan kebahagiaan yang telah dirasakannya selama kehadiran Dave sebagai tunangannya, terutama pada saat hatinya rapuh karena kehilangan mama, orang yang mencintai dan dicintainya.

Mungkinkah Lily yang terlalu bodoh menerjemahkan sikapnya? Mungkinkah Dave selama ini hanya berpura-pura mencintainya seperti misi para tokoh antagonis di sinetron?  Apakah selama ini Dave hanya menjalankan intrik busuknya agar dapat kepercayaan keluarganya dan bisa masuk  ke perusahaan Papa dengan tujuan menghancurkannya dari dalam seperti yang dituduhkan kakak-kakaknya.

Tapi  apa motifnya melakukan itu? Kalau memang motifnya harta, seharusnya permainannya belum selesai karena sekarang Dave belum dapat sepeser pun harta papa. Dia hanya dapat gaji wajar sebagai wakil direktur sama seperti karyawan lainnya. Kalau motifnya sakit hati atau dendam, dendam pada siapa? Keluarga besar Dave tak pernah bersinggungan masalah bisnis dengan keluarga Wirajaya Halim. Hubungan Dave dan keluarganya tak pernah ada masalah, semua datar dan baik-baik saja.

Entahlah. Lily ini hanya kesalahpahaman. Lily percaya Dave tidak sekejam itu. Hati kecilnya masih yakin, bukan Dave yang membocorkan data hasil studi kelayakan dan informasi tender itu. Satya tidak memiliki bukti kuat bahwa Dave yang telah berkhianat. Mungkin saja Satya hanya kecewa karena kalah tender dan perusahaannya dalam kondisi krisis keuangan.  Ia perlu mencari kambing hitam, siapa yang bisa disalahkan atas kekalahannya dan orang yang paling mungkin melakukan pengkhianatan itu adalah Dave. Kata orang bisnis itu kejam. Mungkin ada konspirasi bisnis tapi seharusnya hubungan ini tak harus putus demi alasan bisnis.

Lily sangat kecewa dengan keputusan itu namun tak ada yang bisa dilakukan kecuali harus berdamai dengan keadaan. Ia terlalu rapuh. Tak berani melawan nasib. Sekali lagi ia menarik nafas panjang dan mengingat pesan mama untuk selalu mengendalikan emosinya. Marah, sedih atau gembira tak boleh terlalu berlebihan agar detak jantungnya tetap stabil. Biarlah semua mengalir begitu saja. Ini adalah takdir dan kita harus selalu percaya Tuhan pasti lebih tahu apa yang terbaik buat kita walaupun itu menyakitkan. Barangkali ini saatnya untuk menguji apakah Dave memang benar-benar mencintainya. Kalau Dave memang benar-benar mencintainya, seharusnya dia berjuang membuktikan bahwa apa yang dituduhkan itu salah. Kalau dia tidak berjuang, berarti mungkin tuduhan itu benar, dia hanya memanfaatkannya saja atau dia cuma cecunguk lemah yang sama sekali tak pantas dicintai. Lily berkali-kali menanamkan keyakinan itu dalam hatinya.Ia hanya bisa berharap dan menunggu apa Dave bisa jadi pahlawan dalam hidupnya.

Kafe

Hari ini pikirannya sangat kacau. Hatinya galau. Butuh refreshing. Kenyataan bahwa ia masih saja jadi gadis lemah yang tak berani mengemukakan pendapatnya di hadapan keluarga begitu menyakitkan. Ingin rasanya ia mengutuk dirinya sendiri. Tapi tentu saja itu tak ada gunanya sama sekali. Lebih baik ijin pergi ke Kafe saja. Mbak Gea –bodyguard baru- dan Dida –asisten pribadinya- sudah bersedia menemaninya mengunjungi kafe miliknya di Bogor. Kedua orang itu dibayar papa untuk menguntitnya kemanapun seperti tawanan yang tak boleh lepas dari penjagaan aparat.

Kafe yang baru saja dibuka 4 bulan lalu itu terletak di kaki bukit dengan pemandangan sunset pegunungan yang indah. Lokasinya benar-benar bagus. Sejak grand opening setiap sore kafe itu dipenuhi pengunjung yang menikmati matahari terbenam sambil minum kopi. Bahkan sampai malam pun masih banyak orang kongkow- kongkow menikmati udara dingin bersama taburan bintang di langit serta pendar lampu di sekelilingnya. Karena kenyamanannya beberapa pelanggan menjadikan kafe sebagai tempat kerja online atau tempat pertemuan santai dengan rekan bisnisnya.

Bangunan kafe bertema minimalis modern. Konstruksi bangunan didominasi struktur baja dan dinding kaca. Beberapa jenis pohon kopi jenis robusta  sengaja ditanam di halaman kafe itu agar Pengunjung bisa merasakan suasana nyaman dan segar. Jika musim kopi berbunga, wangi segarnya akan menebar bagai parfum alami. Benar-benar suasana yang memanjakan penikmat kopi yang sengaja datang menikmati sore di kaki bukit.

Bangunan kafe ini didesain bersama dengan Dave. Lily yang memberikan gambaran konsep dan Dave yang mewujudkannya dalam bentuk desain arsitektur dan gambar teknis lengkap. Pembangunannya pun diawasi bersama. Dave mendedikasikan diri jadi manajer proyek di sela-sela kesibukannya di kantor GNC. Probono. Tanpa bayaran sama sekali. Dave begitu antusias mendukung Lily berinvestasi sekaligus mewujudkan cita-cita sahabatnya Siska yang memilih berprofesi menjadi bartender. Sebuah kafe yang buka 24 jam dengan pemandangan indah dan suasana yang sangat nyaman. Tanpa Dave, kafe ini mungkin hanya jadi angan-angan saja.

Lily mendirikan kafe ini dengan seluruh tabungannya dan menggadaikan perhiasan mama di salah satu bank syariah nasional, bukan dari belas kasihan keluarganya. Ide mendirikan kafe ini ditolak oleh papa dan ketiga saudaranya. Kata mereka, kafe bisnis receh yang tidak profitable. Hanya mama dan Dave yang bersedia mendukungnya dan tak berhenti memberi semangat, saran dan motivasi untuk lebih percaya diri dan belajar mandiri.

Seharusnya kafe ini menjadi tempat yang istimewa juga bagi Dave. Mereka telah melewati ratusan jam bekerja keras bersama mewujudkan kafe impiannya ini. Lily yakin, jika memang lelaki itu benar-benar mencintainya dan mengerti galau hatinya saat ini seharusnya ia menemuinya ke tempat yang menurut mereka romantis ini. Dave sudah tahu bagaimana hubungannya dengan papa dan ketiga saudaranya. Ketika teleponnya diambil alih, seharusnya Dave tahu kalau ia minta putus atas tekanan mereka.

Bagi Lily sebenarnya putus bukan harga mati. Ia masih berharap Dave berjuang mempertahankan hubungannya meski  keluarganya menentang. Kalau Dave benar-benar mencintainya, ia berani menjalin hubungan back street atau bahkan kawin lari. Ia tak peduli. Mama sudah tiada. Tanpa Dave. Lily bisa apa? Saat ini, tidak ada orang yang diyakini bersedia mengerti perasaannya selain Dave.

Kali ini Lily ingin berlama-lama duduk di kafe dan menunggu kedatangan Dave yang katanya telah dikirimi pesan tertulis oleh Siska. Sebenarnya mengecek laporan harian bisa dilakukannya di mana saja, tapi hanya itu yang bisa dijadikannya alasan penting kepada keluarganya agar diijinkan pergi ke kafe pada saat situasi yang mereka anggap sedang genting dan berbahaya buat keamanannya. Dave telah merancang sistem informasi manajemen kafe yang bisa dipantau langsung dari laptop atau ponselnya.

Lily memang berniat menunggu Dave menemuinya di kafe ini. Tempat ini spesial. Seharusnya Dave datang menemuinya di sini untuk menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya. Dia harus bicara empat mata. Seandainya keputusannya mereka tak bisa lagi bersama, setidaknya Lily ingin mengucapkan selamat berpisah dan berterima kasih atas dukungan yang diberikannya selama ini.

Pelayan membawakan pesanannya dan mempersilakan Lily menikmati sajian yang dibawanya dengan senyum super ramah, “ Sila, mbak Lily.”

Secangkir moccacino tanpa gula dengan lukisan bunga lily di atasnya selalu tampak cantik di matanya. Lily selalu merasa tersanjung melihat moccacino yang dibuat special dengan lukisan bunga yang namanya serupa dengan namanya. Barista kafe ini tahu betul bagaimana membuat suasana hatinya lebih baik. Latte artnya cantik dan elegan. Rasa moccacinonya mantap. Apalagi ditemani cheese cake strawberry dengan hiasan 3 buah strawberry utuh yang montok merah merona.

Hhmmm… selain cantik makanan yang satu itu terasa lumer di lidah. Kejunya gurih.  Sensasi rasa gurih dan segarnya terasa sampai ujung tenggorokan.

Hmmm… Yummy.

“Hai, Ly,” tiba-tiba Siska muncul dan memukul pundaknya

Lily sedikit kaget. Untung cheese cakenya lumer di lidah hingga dia tidak tersedak makanan itu. Kagetnya hanya mengurangi kenikmatan sensasi dingin di tenggorokan saja.

Ia buru-buru menarik nafas panjang beberapa kali dan menetralisir detak jantungnya.

Siska tersenyum renyah. ”Jangan kebanyakan bengong, Ly. Ayamku kemarin mati gara-gara kelamaan bengong. Hidup itu jangan terlalu dipikirkan serius, Ly. Santuy lah seperti aku”

Lily cuma tersenyum tipis sambil mengatur nafasnya perlahan.

“Sudah lama di sini?”

“Lumayan”

Siska menarik kursi di hadapan Lily lalu duduk dan meletakkan tas kecilnya di atas meja. Dia sempat melirik dua orang yang duduk di meja belakang Lily. Ia melambaikan tangan dan melempar senyum pada Dida yang telah lama dikenalnya sebagai asisten pribadi Lily. Di sebelahnya ada perempuan muda lain yang bertubuh kekar seperti atlet bela diri. Tulang pipinya agak tinggi sehingga wajahnya terlihat kaku. Dengan jeans, topi dan jaket yang dikenakan, penampilannya terlihat macho dan garang. Mungkin itu bodyguard baru yang barusan dikeluhkan Lily di telpon. Eh salah, bukan bodyguard yang dikeluhkan tapi keputusan keluarganya yang mengharuskannya didampingi bodyguard itu.

“Maaf, tadi aku habis janjian dengan seseorang di kampus IPB. Ngobrolnya asyik jadi hampir lupa kalau kamu janji akan ke sini sore ini.” Siska tersenyum ramah dan ceria.

“Urusan apa?”

“Urusan kopi lah”

Siska memang selalu terobsesi pada pengetahuan apapun soal kopi. Dia sudah menemukan passion hidupnya, yaitu kopi. Dia meninggalkan bangku kuliah untuk ikut kursus-kursus singkat di bidang boga, pastry dan barista. Cita-citanya sederhana, punya kafe dengan kualitas kopi premium. Tak hanya di dalam negeri, Siska juga pernah memburu beasiswa kursus barista di Vietnam dan Italia. Kadang dia melakukan perjalanan dengan teman-temannya sesama coffee mania ke daerah-daerah terpencil hanya untuk mencoba sajian kopi khas daerah tersebut. Dia terlihat sangat bahagia dengan pilihan hidupnya, bertualang dalam dunia kopi.

Berbeda dengan Lily, sampai saat ini ia masih gamang tak bisa memutuskan kehidupannya sendiri seperti apa. Passionnya tidak jelas. Karena itu ia tak pernah bergabung dengan komunitas tertentu yang memiliki kesamaan hobi. Lily bahkan tak punya banyak teman. Hidupnya seperti burung yang terpenjara dalam sangkar.

“Ah, kamu. Selalu kopi yang ada di pikiranmu. Jangan-jangan kalau otakmu itu dibuka, isinya pasti kopi semua kayak toples itu.” Lily meledek sambil menunjuk toples-toples berisi roasted bean coffee yang terpajang dekat meja bartender.

Siska tertawa lebar. “Yang ini agak beda, Ly,” katanya kemudian

Wajah Siska terlihat berbinar-binar, lebih ceria dari biasanya. Rasa-rasanya seperti gambaran wajah orang jatuh cinta di novel-novel picisan. Puih. Apa memang dia sedang jatuh cinta ya? Ahhh…. Tidak. Justru Lily ke sini mau curhat kalau sekarang Lily sudah jomblo. Seharusnya Siska tidak membuatnya iri dengan memperlihatkan wajah berbinar-binar seperti orang jatuh cinta begitu.

“Aku habis ketemuan sama orang yang baru saja dapat penghargaan nasional lomba kopi dan akan dikirimkan dalam lomba kopi internasional di Rio bulan depan. Aku sedang coba  membuat deal agar bisa order kopinya untuk dijual di kafe ini.”

Lily pura-pura melongo meski tak terlalu tertarik dengan cerita Siska itu. Sekedar untuk menghargai cerita sahabatnya saja.

“Kau tahu apa nama kopi varietas baru yang dikembangkannya?”

Lily menggeleng.

“Namanya kopi teluh cinta sukabumi”

Lily heran kenapa Siska terlihat sangat antusias dan bangga. Dia selalu antusias jika menemukan kopi lokal dengan kualitas terbaik. Dia sama sekali tak peduli jika kali ini nama varietas kopi yang diburunya memberi kesan berbeda. Entah kenapa telinga Lily gatal mendengar nama varietas baru yang terkesan lebay dan kampungan seperti itu. Selama ini Lily telah familiar dengan nama-nama varietas kopi arabika populer dan cepat akrab ditelinganya seperti : typica, bourbon, geisha, mundo novo, caturra, vila sarchi, pacas, Sidikalang, Catuai, atau Ethiopian heirloom. Kalau memang rasanya istimewa, seharusnya kopi itu dinamakan dengan nama - nama yang istimewa dan populer, bukan nama kampungan seperti itu. Menjijikkan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!