Marwah Almahyra, wanita cantik berusia 25 tahun. Marwah tinggal bersama adik dan kedua orang tuanya di sebuah kampung. Saat ini Marwah sedang berbahagia karena 2 minggu lagi dia akan menikah dengan pria pujaan hatinya.
“Bu, Nazwa ke mana kok dari tadi gak kelihatan?” tanya Marwah sembari memasukan adonan kue ke dalam oven.
“Ibu juga tidak tahu, tadi dia izin mau ke rumah temannya katanya sebentar tapi sudah sore begini belum pulang juga,” sahut Ibu Ani.
“Anak itu ya, bukanya bantuin buat kue malah keluyuran terus,” gerutu Marwah.
Saat ini Marwah sedang membuat kue, tradisi di kampung memang seperti itu jika menjelang pernikahan pihak wanita akan membuat berbagai macam kue kering untuk para tamu yang datang. Nazwa baru saja lulus SMA, dan sekarang rencananya dia akan melanjutkan ke jenjang kuliah karena kebetulan Nazwa anak berprestasi dan dia juga mendapat bantuan dari pemerintah jadi dia akan kuliah secara gratis. Berbeda dengan Marwah yang harus terhenti kuliah karena tidak mendapat bantuan dari pemerintah dan kedua orang tuanya tidak sanggup membiayai kuliah Marwah sehingga Marwah harus berbesar hati untuk mengubur cita-citanya.
“Bu, nitip dulu ya, mumpung masih siang Marwah mau beli telur dulu ke grosir depan,” ucap Marwah.
“Iya, kamu hati-hati,” sahut Ibu Ani.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Marwah jalan kaki menuju grosir karena jaraknya tidak terlalu jauh. Marwah selalu ceria dan menyunggingkan senyumannya kala bertemu siapa pun membuat semua orang suka kepadanya. Calon suami Marwah merupakan warga sana juga hanya beda RW saja.
Tidak membutuhkan waktu lama, dia pun sampai di grosir. Marwah segera memesan telor, setelah selesai dia segera kembali ke rumah. Tapi, pada saat Marwah dalam perjalan pulang, dia tidak sengaja melihat orang yang mirip sekali dengan adiknya.
“Loh, itu sepertinya Nazwa, lagi ngapain dia di sana,” gumam Marwah.
Baru saja dia hendak memanggil Nazwa, seorang pria yang sangat dia kenal datang menghampiri adiknya itu. Keduanya terlihat akrab, bahkan si pria tampak mengelus kepala Nazwa dengan penuh kasih sayang. Tangan Marwah mulai bergetar, bahkan jantungnya berdetak tak karuan.
“Kok Nazwa bisa bersama Kang Iwan?” batin Marwah.
Nazwa naik ke motor Iwan, bahkan Nazwa memeluk Iwan dengan sangat erat. Marwah awalnya tidak mau berprasangka buruk, tapi melihat seperti itu membuat dia suudzon. Marwah melangkahkan kakinya dengan gontai, dadanya terasa sangat sesak melihat semua itu.
Hingga beberapa saat kemudian, Marwah pun sampai di rumah dan ternyata Nazwa sudah ada di rumah. “Kak Marwah dari mana?” tanya Nazwa dengan senyumannya.
Marwah menatap Nazwa dengan tatapan marah tapi Nazwa seolah-olah tidak punya salah sama sekali. “Kamu dari mana Dek, jam segini baru pulang?” tanya Marwah dengan suara yang sedikit bergetar.
“Aku habis dari rumah teman,” sahut Nazwa.
“Kamu pulang sama siapa?” tanya Marwah penasaran.
“Pakai ojeg lah,” sahut Nazwa dengan santainya.
Marwah tersenyum sinis, dia pun melangkahkan kakinya menuju dapur untuk menyimpan telur yang baru dia beli. Lalu dia masuk ke dalam kamarnya, dia sudah tidak kuat menahan air matanya.
“Kenapa kamu mesti bohong sih Dek? Sebenarnya ada hubungan apa kamu sama Kang Iwan?” batin Marwah dengan deraian air matanya.
Malam pun tiba....
Setelah makan malam bersama, mereka semuanya duduk di ruang tengah. “Pak, Nazwa juga ingin menikah,” celetuk Nazwa.
Marwah yang sedang mengotak-atik ponselnya langsung terdiam mendengar ucapan adiknya. “Kamu teh kenapa sih neng? Kok malah minta menikah, sebentar lagi kamu harus daftar kuliah,” sahut Pak Dadan.
“Nazwa gak mau lanjutin kuliah Pak, mendingan Nazwa menikah saja,” ucap Nazwa.
“Apa alasan kamu ingin menikah? Sayang bantuan yang dari pemerintah, setidaknya kalau kamu kuliah, kamu bisa mengangkat derajat ibu sama bapak,” sahut Ibu Ani.
“Bu, banyak juga anak yang lanjut kuliah tapi ujung-ujungnya gak kepakai tuh gelar, malah memilih menikah. Nazwa juga begitu, ngapain capek-capek kuliah mending nikah enak ada yang nafkahi,” ucap Nazwa.
“Memangnya kamu sudah punya pacar? Perasaan kamu tidak pernah membawa pacar kamu ke sini?” sekarang giliran Marwah yang bertanya.
“Nanti kalau sudah waktunya pasti dia akan datang ke sini untuk melamar Nazwa,” sahut Nazwa.
Bayangan tadi sore langsung lewat di otak Marwah. “Tidak mungkin, Kang Iwan sudah janji mau nikahi aku gak mungkin dia khianati aku,” batin Marwah.
Malam itu Marwah tidak bisa tidur, dia pun memutuskan untuk menghubungi Iwan.
📞”Halo Kang!”
📞”Ada apa Neng? Kok, malam-malam telepon Akang?” tanya Iwan.
📞”Tadi sore Akang ke mana?” Marwah balik bertanya kepada Iwan.
📞”Maksud Neng apa? Ya, Akang ngojeglah memangnya mau ke mana lagi,” sahut Iwan.
📞”Kang, Neng gak suka dibohongi. Akang tahu ‘kan bagaimana cinta Neng kepada Akang? Dua minggu lagi kita menikah, jangan sampai Akang mengkhianati Neng,” ucap Marwah dengan penuh kekhawatiran.
Untuk sesaat Iwan terdiam, lalu dia pun menghembuskan napasnya.
📞”Pokoknya dua minggu lagi, Akang akan datang ke rumah kamu,” ucap Iwan.
Jawaban Iwan membuat hati Marwah sedikit tenang walaupun tidak bisa dipungkiri kalau jauh di lubuk hatinya, dia merasa sangat was-was dan gelisah.
***
Keesokan harinya....
Pagi ini Marwah ikut dengan Bapaknya ke sawah. Marwah memang gadis yang rajin dan penurut, bahkan Marwah tidak malu jika ikut Bapaknya ke sawah dan membantu bekerja di sawah. Berbeda dengan adiknya Nazwa, yang kebanyakan gengsi.
“Nak, lebih baik kamu diam di rumah sebentar lagi kamu akan menikah jadi kamu jangan capek-capek. Mana panas pula, nanti kamu hitam lagi,” seru Bapak Dadang.
“Gak apa-apa Pak, Kang Iwan nerima Marwah apa adanya kok,” sahut Marwah dengan senyumannya.
Dadang tersenyum dan mengusap kepala Marwah yang tertutup hijab itu. “Bapak do'akan semoga kamu bahagia Nak, pasti Bapak akan sangat merindukan kamu jika nanti kamu sudah menikah,” ucap Pak Dadang dengan mata berkaca-kaca.
“Bapak jangan nangis, kalau Bapak nangis Marwah pun akan ikut menangis,” sahut Marwah.
Marwah memeluk Bapaknya dari samping. Selama ini hanya Bapaknya yang sangat sayang kepada dirinya, bahkan Bapaknya tidak pernah pilih kasih semuanya diperlakukan dengan adil. Berbeda dengan ibunya yang kadang-kadang sangat memanjakan Nazwa.
Marwah dan Dadang pun segera melakukan pekerjaan mereka untuk menanam padi. Marwah begitu sangat telaten karena dia memang sudah terbiasa turun langsung ke sawah. Sebenarnya banyak sekali yang ingin menjadi suami Marwah tapi Marwah hanya bisa menjatuhkan hatinya kepada Iwan, Laki-laki pertama yang berhasil membuat Marwah jatuh cinta.
*
*
*
Jangan lupa
like
subscribe
komen
Sementara itu di rumah, Nazwa yang masih tidur langsung berlari ke dalam kamar mandi karena merasakan perutnya yang mual. Dia muntah-muntah di dalam kamar mandi membuat Ani yang sedang memasak khawatir. Ia pun cepat-cepat menyusul Nazwa ke dalam kamar mandi.
“Neng, kamu kenapa?” tanya Ibu Ani.
“Tidak tahu Bu, perut Nazwa tiba-tiba terasa mual,” sahut Nazwa lemah.
Ani segera membuatkan teh hangat untuk Nazwa. “Ini minum dulu teh hangatnya,” ucap Bu Ani.
Nazwa duduk di kursi, dia menyesap teh hangat yang dibawakan oleh ibunya. “Kamu sakit?” tanya Bu Ani sembari menyentuh kening Nazwa.
“Mual sekali rasanya Bu,” sahut Nazwa.
“Kamu makan apa kemarin?”
“Nazwa gak makan apa-apa kok Bu,” sahut Nazwa kembali.
Tiba-tiba, perut Nazwa kembali mual dan dia segera berlari masuk kembali ke dalam kamar mandi. Ani sangat khawatir dengan kondisi anak bungsunya itu. “Neng, kita ke puskesmas ya,” ucap Bu Ani.
Nazwa mengangguk. Setelah mendingan, Ani pun segera membawa Nazwa ke puskesmas untuk diperiksa. Betapa terkejutnya Ani saat mengetahui hasil pemeriksaan, keduanya langsung pulang dan Ani sama sekali tidak bicara membuat Nazwa merasa sangat bersalah.
Sesampainya di rumah, Ani menjatuhkan tubuhnya di atas kursi. Tatapannya kosong menyiratkan kesedihan, kemarahan, dan kekecewaan yang mendalam. Nazwa langsung bersujud di kakinya ibunya dengan deraian air matanya.
“Maafkan Nazwa Bu, Nazwa khilaf,” ucap Nazwa penuh dosa.
Ani terdiam tapi air matanya tidak bisa dibendung, air mata itu mengalir di pipi wanita yang sudah tidak muda lagi itu. “Bu, Nazwa mohon maafkan Nazwa.” Dia meraung-raung memohon ampun kepada ibunya.
“Siapa yang sudah menghamilimu, Neng?” tanya Bu Ani dengan bibir bergetar.
Nazwa mendongak dan menatap ibunya dengan tatapan ragu-ragu. Lidahnya kelu, dia benar-benar takut untuk mengatakan yang sebenarnya. Tatapan Ani yang awalnya lurus, seketika menatap Nazwa karena melihat Nazwa terdiam.
“Katakan Neng, siapa yang sudah menghamilimu?” ucap Bu Ani kembali dengan penuh penekanan.
“Nazwa takut, Bu,” lirih Nazwa.
Ani memegang kedua bahu putrinya itu lalu menatap Nazwa dengan air mata kesakitan. “Jangan takut, katakan sama Ibu biar Ibu meminta pertanggung jawaban dari laki-laki itu,” ucap Bu Ani penuh amarah.
Susah payah Nazwa menelan salivanya, rasanya ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokannya. “Kang Iwan, Bu,” sahut Nazwa ragu-ragu.
Lemas sudah tubuh Ani, bahkan ia tampak memegang dadanya. Nazwa panik, melihat ibunya seperti itu. “Bu, maafkan Nazwa, Bu,” ucap Nazwa dengan deraian air matanya.
“Kamu tahu ‘kan jika Iwan itu calon suami kakakmu, kenapa kamu tega melakukan itu kepada kakakmu?” ucap Bu Ani dengan deraian air matanya.
“Iya, Nazwa tahu tapi Nazwa juga tidak bisa menahan diri Nazwa, Bu. Nazwa sudah sejak lama mencintai Kang Iwan dan Nazwa rela memberikan kesucian Nazwa kepada Kang Iwan karena dia juga ternyata mencintai Nazwa,” sahut Nazwa dengan deraian air matanya.
Ani bangkit dari duduknya, ia pun melangkahkan kakinya dengan gontai meninggalkan Nazwa. “Bu, Nazwa mohon maafkan Nazwa,” ucap Nazwa.
Ani tidak mau mendengarkan ucapan putri bungsunya itu. Ia tidak bisa membayangkan betapa hancurnya hati Marwah jika mengetahui yang sebenarnya. Ani masuk ke dalam kamarnya dan itu membuat Nazwa semakin meraung-raung.
***
Sore pun tiba....
Marwah dan Dadang pun pulang ke rumah. Seperti biasa, Marwah selalu ceria dan tersenyum bahagia. “Assalamualaikum.”
Keduanya masuk ke dalam rumah tapi rumah itu terlihat sepi bahkan lampu pun belum menyala sama sekali. “Kok sepi, ibu dan adikmu ke mana?” tanya Pak Dadang.
“Tidak tahu, Pak. Sebentar, Marwah mandi dulu ya,” ucap Marwah.
Marwah masuk rumah lewat pintu belakang karena kondisinya yang sangat kotor. Dia menyambar kain sarung dan masuk ke dalam kamar mandi untuk mandi. Sementara itu, Dadang masih duduk di teras rumah beristirahat sembari menunggu giliran Marwah untuk mandi.
Tidak lama kemudian, Marwah selesai mandi dan segera berganti baju. Sekarang giliran Dadang yang mandi, setelah selesai memakai baju Marwah pun keluar dari kamar dan mencari keberadaan ibu dan adiknya. “Mereka ke mana kok gak ada?” batin Marwah.
Marwah pun langsung ke dapur dan masak untuk semuanya. Marwah memang tidak pernah mengenal kata capek, bahkan dia tidak pernah mengeluh. Hingga beberapa saat kemudian, terdengar pintu rumah terbuka ternyata itu adalah Ani dan Nazwa.
“Kalian dari mana?” tanya Pak Dadang yang baru saja keluar dari dalam kamar mandi.
“Bapak pakai baju dulu, nanti ibu mau bicara sama bapak dan Marwah,” sahut Bu Ani lemas.
Nazwa hanya bisa terdiam dan menunduk di kursi. Marwah pun sudah selesai masak dan menghampiri keluarganya di ruang tamu yang sudah dari tadi menunggu Marwah. “Ayo semuanya kita makan!” ajak Marwah.
“Nak, nanti saja makannya sini duduk ada yang mau bicarakan denganmu,” ucap Bu Ani.
Marwah mengerutkan keningnya, dia bingung dengan raut wajah ibunya yang terlihat sedih. Begitu juga dengan Nazwa yang terlihat sembab di bagian matanya seperti habis menangis. Marwah pun duduk di samping ibunya.
“Ada apa, Bu?” tanya Marwah.
Ani menggenggam tangan Marwah, ia beberapa kali menghembuskan napasnya untuk menetralkan perasaannya. Marwah semakin penasaran dengan apa yang akan ibunya sampaikan. “Marwah, maafkan ibu. Sepertinya pernikahan kamu dan Iwan harus dibatalkan,” ucap Bu Ani dengan bibir yang bergetar.
Marwah membelalakkan matanya, begitu juga dengan Dadang yang tak kalah terkejutnya. “Maksud Ibu apa? Kenapa ibu bicara seperti itu?” tanya Pak Dadang sedikit emosi.
“Coba kamu jelaskan Nazwa kepada kakak dan bapakmu,” ucap Bu Ani menahan emosi.
Sekarang Marwah dan Dadang melempar pandangan ke arah Nazwa. Tiba-tiba Nazwa berlutut di kaki Marwah membuat Marwah terkejut. “Kamu kenapa, Dek?” tanya Marwah.
“Maafkan aku Kak, aku sudah bersalah sama kakak. Saat ini aku sedang hamil anaknya Kang Iwan,” ucap Nazwa dengan deraian air matanya.
Bagaikan tersambar petir di siang bolong, ucapan Nazwa begitu menghantam hatinya. Air mata Marwah sudah menetes dengan deras tapi dia tidak bisa berkata apa-apa. Dadang terlihat emosi, ia berdiri dari duduknya dan menatap tajam ke arah Nazwa.
“Kamu keterlaluan Nazwa, bisa-bisanya kamu melakukan semua ini kepada kakakmu sendiri!” bentak Pak Dadang.
“Maafkan Nazwa, Pak. Nazwa sudah lama mencintai Kang Iwan dan begitu dengan Kang Iwan, dia terpaksa melanjutkan pernikahan ini karena sudah terlanjur menyetujui pernikahan ini padahal dulu Kang Iwan hanya bercanda tapi tidak disangkan Kak Marwah menganggapnya serius dan meminta Bapak untuk menikahinya,” sahut Nazwa.
Napas Marwah sudah sangat sesak, dia pun bangkit dari duduknya dan pergi masuk ke dalam kamarnya. “Kamu benar-benar tega Nazwa sama kakakmu!” bentak Pak Dadang.
Dadang pun melangkahkan kakinya tapi Nazwa langsung memeluk kaki Dadang. “Ampuni Nazwa, Pak. Nazwa tidak bisa berbuat apa-apa karena Nazwa sudah terlanjur mencintai Kang Iwan,” ucap Nazwa dengan deraian air matanya.
Dadang yang emosi menghentakkan kakinya dan Nazwa terjungkal ke belakang. Dadang tidak bicara apa-apa lagi, dia segera masuk ke dalam kamarnya. Ani pun akhirnya menyusul suaminya masuk ke dalam kamar, tinggalah Nazwa yang kembali menangis meraung sendirian di ruang tamu.
Setelah kejadian pengakuan Nazwa, Marwah sama sekali tidak mau keluar dari kamar. Marwah hanya bisa menangisi hidupnya yang ternyata selama ini dipermainkan oleh Iwan. Mata Marwah sudah sangat bengkak karena setiap hari dia hanya bisa menangis.
“Marwah, ini Bapak apa Bapak boleh masuk!” seru Pak Dadang.
Marwah tidak menjawab, bahkan untuk bicara pun rasanya Marwah sudah tidak mood. “Bapak masuk, ya,” seru Pak Dadang kembali.
Perlahan Dadang membuka pintu kamar Marwah, terlihat Marwah sedang duduk di depan jendela kamarnya sembari memeluk kedua lututnya. Dadang berdiri di belakang Marwah, matanya sudah mulai berkaca-kaca melihat putri sulungnya begitu tersiksa. “Marwah, kamu makan ya, Nak. Sudah dua hari kamu gak makan, nanti kamu sakit,” bujuk Pak Dadang lembut.
Marwah menggelengkan kepalanya tanpa suara sedikit pun. Dadang mencoba menyentuh pundak putri sulungnya itu, hati orang tua mana yang tidak hancur melihat putrinya sesedih itu. Apalagi Marwah merupakan putri kesayangan Dadang tapi bukan berarti dia tidak menyayangi Safa.
Marwah anak yang penurut sedangkan Safa keras kepala. “Bapak tahu apa yang sedang kamu rasakan Nak, tapi bapak bersyukur karena Allah sudah menunjukan semuanya sebelum kamu menikah. Mungkin Iwan bukan jodoh kamu,” ucap Pak Dadang lembut.
Air mata Marwah kembali menetes, tapi dia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Dadang tidak kuat melihat putrinya menangis terus, dia pun memeluk Marwah dan ikut menangis. “Maafkan Bapak,” ucap Pak Dadang.
***
Hari yang awalnya ditunggu-tunggu oleh Marwah berubah menjadi hari yang tidak mau Marwah lewati. Suasana rumah sudah sangat ramai dengan tetangga dan keluarga jauh. Marwah sama sekali tidak mau keluar dari kamarnya.
“Mau ke mana, Bu?” Dadang menghalau Ani yang hendak masuk ke dalam kamar Marwah.
“Mau menemui Marwah,” sahut Bu Ani.
“Jangan ganggu dia, biarkan saja dia di dalam kamar,” ucap Pak Dadang.
“Tapi----“
“Ibu mau menambahkan rasa sakit Marwah dengan memperlihatkan pernikahan Nazwa dan Iwan?” bentak Pak Dadang.
Ani terdiam. “Sudah, Ibu kembali saja ke depan jangan pedulikan Marwah,” kesal Pak Dadang.
Akhirnya Ani pun kembali ke depan. Di sana sudah ada Iwan dan Nazwa yang siap melakukan ijab kabul. Iwan memang tidak tahu diri begitu juga dengan Nazwa. Setelah menunggu, akhirnya terdengar Iwan mengucapkan ijab kabul.
Lagi-lagi Marwah hanya bisa menangis dengan menutup mulutnya karena takut terdengar ke luar. Rasa sakit yang Marwah rasakan begitu sangat menyakitkan. Dia tidak menyangka jika hari bahagianya berubah menjadi hari bahagia untuk adiknya sendiri.
***
Keesokan harinya....
Marwah izin kepada kedua orang tuanya kalau dia ingin mondok di sebuah pesantren untuk melupakan semuanya. “Marwah, apa kamu serius ingin pergi dari sini?” tanya Pak Dadang.
“Marwah butuh menenangkan diri dulu Pak, Insya Allah dengan Marwah mondok di pesantren Marwah bisa melupakan semuanya dan bisa belajar menerima kenyataan,” sahut Marwah.
“Maafkan Ibu, Nak,” ucap Bu Ani.
“Minta maaf untuk apa Bu? Ibu tidak punya salah apa-apa, justru Marwah yang harusnya minta maaf karena selama ini sudah menyusahkan kalian berdua,” sahut Marwah.
Ani pun langsung memeluk putri sulungnya itu, begitu juga dengan Dadang. Hingga tidak lama kemudian, pintu kamar Nazwa terbuka membuat Marwah melepaskan pelukannya. Marwah dengan cepat menaiki gojeg yang sudah dari tadi dia pesan.
"Marwah pamit dulu, Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
"Itu 'kan Kak Mawar, mau ke mana dia subuh-subuh begini?" batin Nazwa.
Nazwa pun dengan cepat menghampiri kedua orang tuanya. "Kak Marwah mau ke mana Pak, Bu?" tanya Nazwa.
"Kakakmu mau mondok di pondok pesantren," sahut Ibu Ani.
"Pasti ini semua gara-gara Nazwa ya, Bu?" ucap Nazwa merasa bersalah.
"Sudahlah, memang semua ini gara-gara kamu dan juga Iwan. Dia pantas pergi karena ingin menenangkan diri, Bapak bersyukur jika kakakmu imannya kuat dan tidak berpikiran untuk bunuh diri," ketus Pak Dadang.
Dadang pun dengan cepat masuk ke dalam kamarnya. Nazwa merasa sangat sedih, karena semenjak pengakuan dirinya, Dadang jadi tidak sehangat dulu. Ani menghampiri Nazwa dan mengusap punggung Nazwa karena bagaimana pun Nazwa adalah anaknya juga.
"Jangan mikirin kakakmu, biarkan dia menenangkan dirinya," ucap Ibu Ani.
"Iya, Bu," sahut Nazwa sedih.
Marwah pun sampai di pondok pesantren milik Kyai Mansyur. Marwah ditunjukan kamar oleh santriwati di sana. Dia pun masuk dan menyimpan tasnya lalu duduk di ujung ranjang.
"Semoga dengan aku mondok di sini, aku bisa melupakan semuanya," batin Marwah.
Detik itu kehidupan baru Marwah dimulai. Dia akan berusaha melupakan kenangan pahit yang baru saja dia alami meskipun dia tahu itu sangat tidak mudah dan membutuhkan waktu yang sangat lama. Marwah tidak mau kembali ke rumah dulu karena Nazwa dan Iwan tinggal di rumah kedua orang tuanya.
Malam pun tiba.....
Setelah selesai mengaji di mesjid pesantren, Marwah memberanikan diri menghampiri Umi Habibah yang merupakan istri dari Kyai Mansyur. Semua santriwati sudah kembali ke kamar masing-masing, hanya tinggal Marwah dengan Umi Habibah.
"Marwah, ada apa? kenapa kamu tidak kembali ke kamar kamu?" tanya Umi Habibah lembut.
"Umi, bolehkan Marwah bertanya sesuatu kepada Umi?"
"Tentu, mau tanya apa?" tanya Umi Habibah dengan senyumannya.
"Umi, apakah boleh kita membenci orang lain atas apa yang sudah dia lakukan kepada kita?" tanya Marwah.
Umi Habibah tersenyum, lalu dia menggenggam tangan Marwah. "Marwah, hati kamu terlalu indah untuk kamu letakan kebencian di dalamnya, hatimu terlalu berharga untuk kamu letakan dendam di dalamnya, sebab hatimu adalah pusat pandangan Allah. Nilai keselamatan dunia dan akhiratmu tergantung dari kebersihan hatimu. Orang yang sayang sama anak, hartanya banyak, ibadahnya rajin, belum tentu di terima oleh Allah dan selamat tapi Allah akan menerima manusia yang mempunyai hati bersih," sahut Umi Habibah.
Marwah sampai kaget mendengar jawaban Umi Habibah, bahkan dia sampai meneteskan air matanya. "Terus, Marwah harus bagaimana Umi? hati Marwah begitu sangat sakit," ucap Marwah.
"Shalat dan berdo'alah, karena yang akan menyembuhkan rasa sakit kamu hanyalah Allah dan yang akan menolong kamu juga hanyalah Allah," sahut Umi Habibah.
Marwah terdiam, memang benar apa yang diucapkan oleh Umi Habibah. Selama ini dia rajin mengikuti pengajian dan mendengarkan kajian para Ustaz sehingga membuat hati dan iman dia sedikit besar. Jika selama ini dia tidak mempunyai keimanan yang kuat, sudah dipastikan saat ini dia bisa melakukan hal nekad.
"Terima kasih, Umi," ucap Marwah.
"Sini, Umi peluk biar hatimu sedikit tenang," ucap Umi Habibah.
Tanpa ragu-ragu, Marwah pun memeluk Umi Habibah. Hatinya sedikit tenang setelah mendapat jawaban dari Umi Habibah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!