NovelToon NovelToon

CERITA SEDIH TENTANG IBU

ketika ke inginan itu hilang

Dihalaman depan masjid Toni Dan Parman sedang adu ayam, suasana sangat ramai Toni dan Parman hanya iseng-iseng saja adu ayam, banyak orang yang tertarik melihat peertarungan adu ayam itu. Padahal, ayam itu hanya ayam kampung biasa Tapi yang menontonnya banyak sampai orng-orang dari kampung tetangga pun datang untuk melihatnya. Ketika Tanto pulang dari warung Tanto melihat kerumunan orang, tanto pun penasaran untuk melihatnya ternyata pertarungan ayam jago. Pertarungan itu sampai menjelang dzuhur, sampai adzan duzhur pun pertarungan ayam jago itu belum usai juga, Tanto pun belum pulang sedangkan ibunya menunggu obat yang dibelinya. Jam dua siang pertarungan jago itu usai dan tanto pun lanjutkan perjalanannya untuk pulang. “Aduh saya lupa akan obat ibu”. Gumam tanto sambil membuka kantong plastik yang dibawanyab setelah sampai kerumah, Tanto memberikannya kepada ibunya yang sedang sakit itu. “to…to dari mana saja kamu kewarung aja lama sekali…….?”, Tanya ibu”. “Aku habis liat pertarungan ayam bu…!!!!!” jawab tanto” “Oh …… Kirain dari mana kata. “si Ibu” Ketika Janji Itu Hilang Tanto langsung kekamar mandi Untuk Berwudlu, Karna belum sholat, Tak lama kemudian Bapak tanto pulang Setelah pekerjaannya selesai memantau kegiatan pertambangan batu bara, yang disebut Mandor, saat ayahnya duduk istirahat diruang tamu Tanto langsung menghampirinya dan Tanto pun duduk disebelah ayahnya. Tanto berbicara langsung Kepada ayahnya “ Ayah, aku ingin membeli Ayam adu.” Kata sitanto” “Apa ….. Ayam adu.” Kata ayah kaget mendengarnya.” “Ya. kata tanto” “Nggak ,,, ayah tidak akan membelikan kamu ayam, pasti untuk judi kan..?>>!” Tanya Ayah” Tidak untuk judi yah, tapi untuk diadu biasa.” Jawabnya Tanto” “ Ayah tonto berfikir dulu, untuk memberikan keputusan itu, tak lama kemudian ayah tanto menjawab . ”Ok” tapi dengan satu syarat,,, ayah akan membelikan ayam Untuk kamu asal ayam itu jangan dipakai untuk judi atau taruhan. Kalau Dipakai judi ayah do’a-kan ayam itu akan mati.” Kecam Ayah” “Siap ayah,,, .”Kata si Tanto” Beberapa hari kemudian Tanto dan Ayahnya pergi kepasar untuk membeli ayam Petarung. Tanto membeli ayam kepeternak ayam adu yang terkenal di daerah itu., Karna tanto adalah anak seorang Mandor Tanto memilih ayam Kelas Tinggi.. “Yah, aku suka ayam ini,.” Gumam si Tanto” “ To,,,,,, emangnya ayam ini bagus.” Kata si Ayahnya sambil mengelus ekor ayam jago itu” “Loh, , , ayah kok bilang begitu, Kan harganya juga mahal, Ya pasti bagus Yah.” Kata Si Tanto” Ya sudah,,, Apa mau yang itu saja.” Tanya Si Ayah” “Iya yah.” Jawab si Tanto” “Berapa ini Mas?….” Tanya Si Ayah” “ 800 ribu ……” jawab si penjual ayam” “ Terima kasih mas .”.Kata Si Tanto Sambil memasukan ayam kekisa” “ Ya sama-sama.””’ Jawab peternak ayam” Pada akhirnya Tanto dan ayahnya membeli ayam yang 800 Ribu,, Kemudian tanto dan ayahnya bergegas untuk pulang kerumahnya. Setelah sampai dirumah Tanto langsung memandikan ayamnya dan menjemurnya agar kelihatan gagah. Keesokan Harinya Minggu pagi Rutin diadakan Latihan Adu ayam yang letaknya tidak jauh dari masjid tempat tinggal Tanto, orang orang berkumpul sambil memangku ayamnya masing-masing untuk diadukan dengan lawannya. Setiap hari minggu Tanto selalu Bangun siang, Tetapi Setelah memiliki ayam Tanto Jam 04.00 Pagi Sudah bangun, Karna terbangunkan oleh Ayam yang berkokok itu.Tanto langsung kekandang ayam itu untuk memberi pakan ayamnya itu karna jam 08.00 pagi akan dilatih untuk Diadukan. “To, , tumben kamu bangunnya pagi…?” Tanya Si Ibu.” “Kan Saya akan melatih ayam.” Jawab tanto” “ Sudah sholat belum to.? “ Tany Si Ibu.” “Nanti saja Bu, tanggung lagi memberi pakan ayam .” Kata Tanto” “Awas kalu tidak sholat,” Kata Si Ibu.” Tak biasanya tanto menunda-nunda sholat, Tanto langsung membawa ayamnya ke arena sabung ayam Didekat halaman masjid itu. Disitu, Belum ada siapa siapa,., Hanya ada Toni Yang sedang main Kartu diteras rumah bersama temannya. “Hai Ton, , Kita main sabung ayam yuk.”Ajak Si Tanto” “Boleh, tapi kalau tidak taruhan tidak seru.” Jawab Toni” “ Emang Berapa taruhannya…? “ . Kata si Tanto.” “ 5-ribu aja jangan gede-gede To”. “ ajak Si Toni” Tanto berfikir dulu Sebelum menjawab, karna pesan ayahnya kemarin, kalau ayam ini aku pakai taruhan ayam ini akan mati. “ Ah, . . . . . .. . Ini Kan Cuma Sedikit”. Fikirnya Tanto” Tanto langsung menerima tantangan itu, dan mengabaikan pesan ayahnya. Toni mulai mengeluarkan ayamnya, kata orang-orang ayam Toni itu jawara, Tapi nggak tahu kalau diadukan dengan ayam tanto, ayam Tanto kan ayam Bangkok sedangkan Ayam toni ayam biasa. Ayam toni dan tanto sudah dimasukan kearena, dan kedua ayam itu bertarung dengan gagah berani, tetapi dalm waktu singkat ayam toni berhasil menaklukan ayam Bangkok Tanto sampai mati. Padahal Ayam toni ayam biasa, Tanto pun sangat terkejut Dan terdiam Pilu melihat ayamnya langsung mati. Tanto terpaksa harus memberikan uang sakunya 5-ribu yang sisa jajan kemarin kepada Toni, dan pulang dengan membawa bangkai ayam miliknya. Sebelum ayahnya pulang Tanto secepat mungkin membuang ayamnya Kesungai, Matahari sudah terbenam ayah tanto pun pulang, ayah tanto langsung mandi kemudian ayah tanto duduk santai diruang tamu untuk berbincang-bincang dengan tanto. Ditengah perbincangan itu, Ayah tanto menanyakan keadaan ayamnya itu. “ To, , , bagaimana keadaan ayammu”. Tanya si Ayah” “Baik-baik saja ayah, Tadi siang sudah dimandiin dan dijemur agar ayamnya terlihat segar”. “Jawab tanto” “ Oh bagus.” Kata Si Ayah” Pas jam 09.00 malam waktunya tidur tanto langsung masuk kekamar untuk tidur, ayah tanto tidur disofa ruang tamu sedangkan ibu diruang tengah.. semalam suntuk tanto tidak tidur, Karna memikirkan kejadian ayamnya itu yang telah mati diadu. Jam 05.00 pagi ibu tanto bangun kesiangan , Ibu tanto heran, Kemana ayam itu… kenapa ayam itu tidak berkokok..?” Fikir ibu”. Biasanya sebelum adzan shubuh ayam itu sudah berkokok ibu langsung kekamar tanto.. “To, , , kenapa ayammu tidak berkokok.” Tanya Ibu” “Masih Tidur Kalie bu . . . . .!!!!!” Jawab Tanto sambil Garuk garuk kepala” “ Coba liat kebelakang.” Kata Ibunya” “Iya Bu………!!” Jawab Tanto” Padahal ayam itu sudah mati, tanto mengaku kepada ibunya ayamnya dicuri oleh maling. Dengan segera Tanto melihatnya kebelakang. “Bu , , , Ayamnya hilang dicuri maling,,,” Kata sitanto berbohong kepada ibunya” “Pantas saja tidak berkokok, Sungguh teganya maling itu. Padahal ayam Cuma satu satunya.” Ibu kesal” Tanto pura-pura sedih dan kesal karna ayamnya telah dicuri agar ibu tidak curiga padanya, Ibu hanya bisa pasrah, Sedangkan ayahnya masih tidur karna kelelahan bekerja. Kemudian ayahnya bangun mendengar suara ibu. “Ada apa sih to Pagi-pagi kok pada rebut.”Tanya Ayah” “Ayam kita ayah ada yang mencuri!!!.” Jawab tanto” “Hahh . . . Ayam kita Dicuri, perasaan tadi malam tidak ada suara apa-apa.” Ayah Terkejut” “Tapi Buktinya ayam kita hilang.”Kata Si Ibu” “Yah , , , Beli Lagi Donk. . . . .!!!” Harap Tanto” “Tidak, Karna uangnya sudah habis buat mengecat rumah. “ seru Ayah” Mendengar pembicaraan ayah, tanto tidak banyak bicara, tanto hanya terdiam menyesali perbuatanya berbohong kepada kedua orang tuanya dan mengingkari janji. Dalam hatinya tanto berjanji tidak akan berbohong dan mengingkari janji yang telah disepakati kepada ayah dan ibunya lagi.

keringat seorang ayah menetes

Intan Susila Putra,ya itu lah nama pemberian kedua orang tua ku. Tepat pada tanggal 26 Desember 1993 aku di lahirkan di sebuah desa di salah satu kabupaten di daerah jawa timur. Mereka menyebut daerah itu dengan nama magetan. Aku anak pertama dari dua bersaudara. Wiwik Susilowati,dia adalah wanita terhebat dalam hidup dan keluarga ku. Tepat sekali,dia adalah ibu ku,orang yang melahirkan dan membesarkan aku hingga seperti ini. Aku sangat mencintai ibu lebih dari apa pun. Aku tidak akan pernah lupa dimana ibu terbangun di tengah malam,menyusui aku ketika aku lapar,menggantikan popok ku,hingga aku tumbuh menjadi sebesar ini. Ini semua karnamu ibu,terima kasih ibu. Suprihadi,dia adalah kepala rumah tangga di keluarga kami. Bapak,begitu sebutku memanggil beliau. Dia adalah tolak punggung keluarga kami,dia adlah laki-laki hebat yang pernah aku temui. Bapak rela mengorbankan segala galanya demi aku dan juga keluarga. Aku teringat di mana aku di pisahkan oleh keadaan,bapak pergi merantau demi untuk membiayai kehidupan aku,menyekolahkan aku, dan juga memenuhi semua kebutuhan aku hingga sekarang. Hingga kini aku sadari,andai aku bisa aku ingin membeli semua waktu ku yang hilang bersama bapak di waktu aku kecil dahulu. Aku ingin bapak melihat ku tumbuh,aku ingin bersama nya di kala kecil. Susu dan Keringat Bapak Sakit,iri,kecewa,marah ketika aku melihat mereka yang tumbuh dengan kedua orang tua nya,tapi aku sadar bapak seperti ini karna keadaan yang memaksa nya. Aku hanya berdua bersama ibu menunggu ke pulang bapak dari ibu kota. Luapan kegembiraan yang aku rasakan ketika mendapat kabar jika bapak ingin pulang ke gubuk ini,ya walau aku sadar kepulangan nya hanya beberapa hari saja. Tapi itu sangat membuat ku bahagia. Ketika bapak pulang dia memelukku,menggendongku,mencium dan bermain bersama ku. Aku sadar jika bapak juga sangat merindukan aku dan ibu. Betapa besar cinta yang ku dapatkan dari mereka tidak akan pernah ada yang bisa menandingi. Namun waktu kembali lah yang harus memisahkan aku,ibu dengan bapak. Tak lama setelah bapak pulang,beliau pun kembali ke ibu kota. Dimana tempat nya mengais rezeki,bergelut dengan kejamnya ibu kota. Untung nya bapak ku bukan lah orang yang pantang menyerah,mungkin karna ada keluarga yang harus beliau beri makan dan harus beliau nafkahi yang membuatnya menjadi tegar menghadapi semua nya. Bapak jadikan keluarga sebagai motifasi mu begitu juga dengan aku disini. Ibu ku selalu berkata, ”lihat pengorbanan bapak mu hanya untuk membelikan mu susu”. Jadilah anak yang berguna seperti bapak mu kelak,jadilah laki-laki dewasa yang kuat,tegar dan tidak mudah putus asa. (terlihat muka ibu yang sedih menahan air mata nya) Aku sadar hidup ini keras,aku tau ibu terlihat tegar di hadapan ku saja karna ibu tidak ingin terlihat lemah di depan anak nya. Setiap pagi ibu yang selalu menyiapkan semuanya untuk ku,memandikan ku,memakaikan aku baju,menyiapkan sarapan untuk ku. Padahal ibu sendiri belum makan,tapi dia lebih memntingkan anak nya di bandingkan diri nya sendiri. I LOVE YOU MOM... Sesekali bapak mengirimi kami surat,ya hanya itu cara kami untuk mengetahui kabar masing masing. Senang rasa nya jika mendengar kabar baik dari bapak,perasaan ibu dan aku pun mulai sedikit terobati. (ibu menahan air mata haru nya ketika membaca surat dari bapak). Mungkin di jaman sekarang untuk berkomunikasi sangat mudah sejak ada nya handphone. Namun dulu handphone menjadi barang yang langka dan juga mahal bagi keluarga kami,ya karena bapak dan ibu hanya di besarkan dari keluarga yang sederhana di kampung nya. Begitu juga dengan ku kini. Tapi aku tidak pernah merasa menyesal di besarkan oleh keluarga ini,kami memang keluarga sederhana tapi kami memiliki cinta yang luar biasa. Kami selalu bisa mengatasi semua masalah yang ada di keluarga kami dan kami bisa selalu membuat nyaman dengan semua masalah yang menerpa keluarga kami. Saat aku mulai memasuki TK ibu lah yang selalu mengantarku ke sekolah,menungguku hingga jam sekolah selesai. Namun ibu tidak pernah berkata lelah. Pagi pagi buta ibu bangun,membuatkan aku susu untuk mengisi perut ku yang kosong dan ku sadari ibu sendiri belum makan. Siang hari setelah aku selesai belajar ibu memasak untuk ku,buka masakan yang istimewa atau pun mewah tapi buat ku masakan ibu lah yang terenak di dunia. Kami selalu makan siang bersama dengan hidangan yang alakadar nya,seperti yang ku bilang tadi,”aku dan keluarga ku selalu bisa mengatasi ketidak sempurnaan dan membuat nya menjadi sesuatu yang istimewa”. Itu lah hebat nya keluarga kami,sehingga kami tidak akan iri dengan apa yang di miliki oleh keluarga lain. Ketika siang menyapa dan adzan dzuhur telah berkumandang,ibu menyuruhku mengambil air wudhu. Ibu lah yang mengajarkan aku tentang apa itu sholat. Setelah kami selesai beribadah,ibu mengajak ku ke kamar dan menidurkan aku. Di saat aku sudah tertidur ibu bangun,ibu harus menyelesaikan pekerjaan seperti merapihkan buku buku ku,merapihkan rumah dan juga mencucikan baju baju ku. Tepat pukul 15.00 wib,ibu membangunkan aku. Beliau menyuruh ku untuk segera mandi ya karna aku akan pergi mengaji di salah satu TPA. Aku pun seperti biasa bermalas malasan,namun ibu dengan sabar membangunkan aku dari tempat tidur ku. Beliau menggendong ku hingga ke kamar mandi. Setelah aku mandi aku lekas berangkat untuk pergi mengaji,untuk yang ini aku tidak perlu di antar karna TPA tempat ku mengaji cukup dekat dengan rumah ku. Setelah aku pulang dari TPA,aku di suapin oleh ibu sambil aku bermain dengan teman teman sebaya ku. Ya itulah hebat nya ibuku,beliau orang yang sangat sabar. Aku tidak tau apakah ibu ku sendiri sudah makan atau belum di saat dia menyuapkan aku nasi. Aku hanya asik bermain tanpa memperdulikan apakah ibuku sudah makan atau belum,mungkin karna aku masih terlalu kecil sehingga aku belum bisa berfikir sejauh itu. Matahari pun telah tenggelam,tanda dimana aku dan ibu harus kembali ke rumah. Setelah ibu menunaikan ibadah,ibu pun mengajak ku belajar mengulang kembali pelajaran di sekolah pagi tadi hingga membantuku menyelesaikan PR ku. Ya ibu adalah guru jika aku sendang berada di rumah. Setelah aku selesai belajar,aku di perbolehkan menonton tv oleh ibu. Selagi aku asik menonton tv ibu tidak pernah lupa membuatkan aku susu untuk ku minum sebelum tidur nanti. Tepat pukul 20.30 wib ibu mengajak ku untuk tidur,selagi aku menghabiskan susu yang di buatkan oleh ibu ku tadi tidak lupa ibu membereska buku buku yang berserakan setelah aku belajar tadi. Aku pun tidur tidur lelap bersama indah nya kasih sayang ibu. Aku tidak berfikir bagaimana keadaan bapak di saat aku tertidur lelap seperti sekarang. Mungkin di saat aku terlelap tidur bapak sedang mambanting tulang bekerja di malam hari untuk agar aku bisa melanjutkan sekolah dan agar aku dapat kebali bertemu dan menikmati nikmat nya susu. Bapak aku sayang kamu,aku rindu kamu aku ingin engkau disini menemai setiap detik bersama aku. Bermain seperti keluarga yang lain bapak dengan anak nya. Kasihan ibu pak membesarkan aku sendiri,aku mohon pak...aku di sini butuh perhatian dari sosok seorang bapak. (di masa kecil ku sering hati ku berkata seperti itu) Begitu lah hari hari ku di kala aku TK hingga SD kelas 3.

ayh kaw di mana

Ayah… Kau ajarkan aku untuk tegar jalani hidup ini Kau ajarkan aku untuk selalu sabar Kau ajarkan aku untuk menghargai apa yang kita miliki saat ini Ayah… Aku tau hidupku tak sesulit apa yang kau rasakan Aku tau cobaanmu lebih berat dari yang ku rasakan Aku tau rasa sayangmu lebih besar dibandingkan yang kurasakan Ayah… Tanpa kau, hidup ini terlalu hampa Dan tak berarti bagiku Raka memberhentikan ritualnya menulis puisi. Selalu itu kegiatan yang tidak pernah ia lupakan dalam kesehariannya. Karena hanya hal itulah yang bisa mengobati rasa rindunya pada sosok Ayah yang tidak pernah ia ketahui keberadaannya. “Raka!” Panggil Alam, sahabat Raka. “Ana mudif lho! Ikut yuk,” lanjut Alam memberitahu. Berikan Aku Ayah, Bunda! Raka menoleh lalu tersenyum. “Huft, kholas ba’du faqot. Kuliah etiket dulu. Nanti juga ente bakal ketemu juga ma ortu!” respon Raka malas. Karena bagi Raka, hal itu selalu membuatnya iri. Raka memandang dari arah kejauhan. Ia tatap pintu gerbang, berharap sang bunda telah datang untuk menjemputnya bersama sosok ayah. Namun bagi Raka itu sangat mustahil. Karena setiap Raka menanyakan keberadaan Ayah, sang bunda selalu terselimuti mendung. “Ya udahlah kalau begitu. Yuk ila ko’ah!” respon Alam, sambil merangkul Raka layaknya sahabat. Mereka langsung berjalan kearah auditorium yang sudah dipenuhi oleh seluruh santriwan dari kelas satu sampai kelas enam yang sudah duduk kalem, karena acara kuliah etiket menjelang liburan semester ganjil akan dimulai. Raka menutup buku diarynya lalu menentengnya, Alam yang melihat itu langsung bertanya. “Nulis puisi lagi buat Ayah?” Raka mengangguk lemas. “Iya.” Jawab Raka pendek. Alam geleng-geleng kepala. Ia memang sudah tau betul kebiasaan Raka. Sebenarnya Alam sendiri prihatin dengan Raka. Setiap Raka dijenguk, selalu bibi atau tantenya yang datang. Sedangkan sang Bunda hanya setiap Raka libur sekolah, yakni setiap menjemput Raka. Alam tau, bunda Raka bekerja di Negara timur tengah, yakni di kota Jeddah menjadi TKW (Tenaga Kerja Wanita). Tapi, yang Alam bingung, ia tidak pernah melihat ayah Raka. Setiap Alam menanyakannya pada Raka, Raka selalu menghindar sambil menunduk sedih. Maka dari itu, Alam tidak berani lagi menanyakan soal itu pada Raka. *** “Bunda!” Panggil Raka pada sosok Ibu kepala empat yang sedang berdiri di depan wisma. Ia tersenyum pada ibu itu, tak lain bundanya sendiri. Arini yang tak lain bunda Raka, membalas senyuman anak tunggalnya itu. “Apa kabar, sayang?” Tanya Arini. Raka mencium punggung tangan bundanya. Arini mengelus kepala Raka lembut. Ia lihat sang anak semakin patuh dan menghormatinya. Tak menyesal ia, menaruh pendidikan pada anaknya di pondok pesantren. “Allhamdulillah, Raka baik Bunda. Bunda datang dengan siapa?” Tanya Raka, berharap Bundanya datang bersama sang ayah. “Bunda datang sendiri. Memangnya kenapa, Nak?” terang Arini, sedikit antusias. Pikirannya kembali pada sang suami. Ia tau, pasti Raka menginginkannya datang bersama sang suami. Namun menurutnya itu sangat mustahil. Karena dirinya tidak akan mau lagi disandingkan dengan seseorang yang sudah menjadi masa lalunya, walau Raka tidak tahu menahu soal itu. Raka menunduk dengan rasa kecewa. “Nggak papa, Bun! Kita pulang sekarang yuk!” ajak Raka masih sambil menunduk. Arini tidak enak hati, karena ia sudah membuat anaknya kecewa. Maafkan bunda sayang! Bunda hanya nggak mau, kamu menanyakan laki-laki itu! Arini membatin. *** “Happy birthday, Raka! Happy Birthday, Raka! Happy Birtday, Happy Birthday, happy birthday, Raka!” Arini menyenandungkan lagu ulang tahun pada Raka, anak semata wayangnya. Raka yang sedang tertidur pulas di ranjang, akhirnya terbangun. Ia langsung tersenyum senang, ketika mendapati sang bunda sudah duduk dihadapannya membawa sebuah kue tar yang ditengahnya berdiri kokoh lilin berangka 15. Raka ingat, hari ini adalah hari ulang tahunnya. Ia bersyukur, karena ia bisa merayakan hari special itu bersama sang bunda di istananya. “Ayo tiup lilinnya, sayang!” perintah Arini lembut. Sebelum meniup lilin, Raka mengucapkan sebuah permohonan. Ya Allah, di hari ulang tahunku ini, izinkanlah aku untuk bisa bertemu Ayah! Itulah permohonan Raka. Setelah itu ia meniup lilin, Arini tak lain sang bunda tersenyum lalu memberikan sebuah kotak besar untuknya. Itu adalah kado ulang tahun untuknya. “Buat Raka, Bun?” Tanya Raka. Arini mengangguk. Raka membuka dengan semangat. Ternyata, sebuah laptoplah kado ulang tahun dari bunda. Ah, bundanya memang baik. Walaupun laki-laki, terkadang Raka ini ada manjanya. Hehe, maklum ia kan jarang bertemu sang bunda. Raka mencium bundanya lembut. “Syukron katsiron, ya Umi!” ucap Raka tulus. Arini yang sangat mengerti bahasa yang sudah ikut mendarah daging di setiap kesehariaannya, langsung membalas “Ma’a syukri, ya ibni!” Setelah menikmati kado dari sang bunda, Raka memberanikan diri untuk membahas soal ayah. Sebab sudah selama umurnya, ia tidak pernah dipertemukan oleh sang ayah. “Bun… boleh, Raka nanya sesuatu?” ucap Raka lembut dan hati-hati. “Boleh, mau nanya apa nak?” Tanya Arini. “Soal ayah, Bun! Apa, sampai saat ini, bunda tetap tidak mau mempertemukan Raka dengan ayah? Sebenarnya, ayah itu masih ada atau sudah tiada, Bun? Raka rindu dengan ayah! Raka ingin seperti teman-teman Raka yang selalu dijenguk dengan ayah dan bundanya. Beri aku Ayah, Bunda!” ucap Raka penuh permohonan. Deg. Arini seperti dihantam benalu. Sakit rasanya, mendengar Raka membahas soal ayahnya. Namun dari dalam lubuk hatinya, Raka memang harus tau. Ia tidak boleh menyembunyikan persoalan ini terus menerus. “Raka ingin bertemu ayah?” Tanya Arini memastikan. Raka mengangguk mantap. Kali ini, ia sangat berharap. Rindunya terhadap sang ayah, sudah semakin menggebu. Arini yang melihat ketekatan dari dalam diri Raka, hanya bisa menghembuskan nafas berat. “Kalau begitu, Raka ikut bunda.” Ucap Arini akhirnya. “Kemana, Bun?” “Bertemu ayahmu!” *** Bendera kuning, terpasang tepat di sebuah rumah sederhana berpagar hijau. Bendera kuning itu, sudah mengundang beberapa warga untuk berbela sungkawa. Arini yang melihat bendera kuning itu, kaget bukan main. Siapa yang meninggal? Benaknya bertanya-tanya. Ia langsung menarik tangan Raka yang masih keheranan dengan bendera kuning yang terpasang dipagar hijau itu. Arini dan Raka berjalan memasuki rumah itu. Seorang ibu paruh baya, menghampiri mereka sambil menangis. “Akhirnya kamu datang juga Arini! Riko… Riko, suamimu sudah meninggal nak!” ucap ibu paruh baya itu, memberitahu. “Apa, Bu? Riko sudah meninggal? Jadi ini…” Arini tak mampu berkata. Ia menoleh ke arah Raka. Namun tidak ia temukan Raka disampingnya. Mata Arini mencari-cari. Seketika, ia sudah melihat Raka berjalan masuk. “Mau kemana, nak?” Tanya bapak setengah baya. “Mau ke jenazah itu?” Raka mengangguk. “Iya. Dia ayah saya, Pak!” jelas Raka sambil menghapus air matanya yang sudah terlanjur jatuh. “Jangan dekat-dekat nak! Nanti ketularan lho!” ucap bapak itu memperingati. Raka terperangah. Apa maksudnya? Batin Raka berkata. Keningnya berlipat-lipat tak karuan. Bapak setengah baya itu, langsung menjelaskan. “Lebih baik, ade ikut kami mendoakan ayah ade. Tidak usah dilihat ya.” Raka menggeleng . “Tapi saya ingin melihat jenazah ayah saya, Pak!” ucap Raka keukeh. “Benar kata, bapak itu nak!” Seru sang bunda menghampiri. Sekali lagi, Raka hanya bisa menggelengkan kepalanya. “Kenapa, Bun? Raka kan belum pernah melihat ayah?” Tanya Raka heran. “Ikut bunda nak.” Arini menyuruh Raka mengikutinya masuk ke dalam sebuah kamar. Raka mengekor dari belakang. *** “Bunda, kenapa seperti ini bunda? Raka ingin bertemu ayah dalam keadaan hidup, bukan diam beku seperti ini!” ucap Raka membuka pembicaraan. Wajahnya terlihat mendung dan muram. Air matanya tak henti-henti terus berjatuhan. “Terus, kenapa bapak itu, menyuruh Raka tidak boleh melihat ayah? Kenapa, Bunda?” Lanjut Raka dengan beruntun pertanyaan. “Ayahmu terkena penyakit aids, Raka!” aku sang bunda, membuat Raka kaget bukan main. “Apaaa?” ucap Raka menahan sesak. “Itu nggak mungkin, Bunda!” lanjut Raka tak percaya. “Kamu sudah semakin dewasa sekarang. Baiklah, bunda akan menceritakannya sama kamu, nak!” ucap Arini sambil menghembuskan nafas panjang dan menerawang. Matanya sedikit mulai berkaca-kaca. “Waktu bunda mengandungmu, ayahmu itu sering mainin perempuan, nak! Bunda sakit hati dengan kelakuan ayahmu! Akhirnya bunda meminta diceraikan. Ayahmu menikah lagi setelah kamu lahir. Dan disaat itu, Ibu menitipkanmu ke bibi Ishak. Karena ibu memilih untuk bekerja di arab menjadi TKW.” Jelas Arini perlahan. Arini menatap Raka lekat-lekat. Ia tau, anaknya sangat terluka mendengarnya. Arini mulai melanjutkan. “Ibu tau ayahmu terkena penyakit aids, dari isteri mudanya. Isteri mudanya tidak mau bersama ayahmu lagi karena penyakit itu! Ia menyerahkan ayahmu begitu saja, ke bunda. Dari lubuk hati bunda, bunda sangat sedih nak melihat kondisi ayahmu! Namun karena bunda harus bekerja untuk menafkahkanmu, bunda menitipkan ayahmu pada ibu tua yang pertama menyambut kita itu! Hanya dialah yang mempunyai hati seluas samudera untuk merawat ayahmu! Karena hal itulah nak, bunda tidak ingin kamu tau keberadaan ayahmu!” Arini menyentuh pipi Raka. Ia menghapus air mata anak tunggalnya itu. “Maafkan bunda sayang, kalau bunda menyembunyikan ayahmu! Bunda hanya nggak mau, kamu mengetahuinya. Bunda juga nggak mau kamu sedih, nak!” aku Arini memelas. Raka memang terlanjur menangisi apa yang ia rasakan sekarang. Masa lalu bundanya yang penuh penderitaan, sifat ayahnya di masa lalu, dan cara bundanya untuk berusaha menyembunyikan ayahnya dari dirinya, sangat membuatnya tak bisa berkata apa-apa lagi. Hatinya terlanjur sesak dan gerimis. Sungguh, ini adalah hari ulang tahun yang baginya dirayakan dengan tumpahan air mata. *** Gerimis di pekuburan. Raka berjongkok di sisi pusara dengan nisan kayu bertuliskan RIKO PRAMUDYA. Disinilah tempat ayahnya beristirahat dengan tenang, tanpa ucapan pertemuan apalagi perpisahan untuk pergi selama-lamanya. Arini yang berdiri di dekat situ, tidak mampu untuk berkata-kata. Ia tidak mau mengusik anaknya yang ingin meluangkan waktunya bersama Almarhum Riko. “Kenapa ayah, harus pergi sekarang? Kenapa harus di ulang tahun Raka, Yah?” Desah Raka. “Raka nggak peduli, bagaimanapun keadaan ayah, Raka tetap menganggap ayah sebagai ayah kandung Raka. Karena Raka sangat menyayangi ayah, walau Raka belum pernah bertemu ayah! Kenapa ayah nggak ngasih kesempatan sama Raka dulu, untuk bertemu ayah?” Raka terisak. Dadanya bergemuruh dengan kesedihan yang sangat mendalam. “Raka, kita pulang yuk! Biarlah ayahmu tenang di rumah barunya…” ucap Arini akhirnya. Raka terenyuh. Ia merasa tubuhnya begitu lemah. Matanya sudah terlanjur sembab karena habis menangis. Ia nggak bisa berontak, ketika bundanya menuntunnya untuk pulang. “Kamu tau, apa alasan bunda mendidik kamu di pondok pesantren?” ucap sang bunda dalam setiap langkah meninggalkan makam. Raka mendongak, menatap sang bunda. Ia menggeleng. “Karena apa, Bun?” respon Raka. “Karena bunda nggak mau, kamu seperti ayahmu, nak! Bunda hanya ingin kamu menjadi anak yang sholeh.” Terang Arini. Raka hanya diam mengerti. Ia terus berjalan meninggalkan makam sang ayah. Detik kemudian, ia menoleh lagi ke belakang kembali menatap pusara bertabur bunga yang hanya diam dan tak bergeming itu. Masih segar goresan luka kepergianmu Sedih ini bercampur pilu Tangis ini bercampur rindu Sesungguhnya aku, membutuhkan kasih sayangmu Membutuhkan pelukanmu Namun apalah dayaku, ayah! Kini ku hanya bisa memandang nisanmu Dan mengenangmu Doaku ini mengiringi perjalananmu Semoga Allah mengampuni dosa-dosamu Semoga Allah menerima amal ibadahmu Dan semoga tempat yang layak ditujukan padamu Ayah… meski kau telah tiada, Namun kasih sayang dariku, akan selalu ada bersamamu…

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!