NovelToon NovelToon

Umbral

Bab 1 — Catatan Rahasia

DAVIN menghembuskan napas agak keras ketika samar-samar terdengar perdebatan ayah-ibunya yang tak bisa disembunyikan. Tidak terlalu keras. Tapi cukup "berisik" untuk mengganggu pendengaran—dan pikirannya.

Dari balik pintu kamarnya yang tertutup, seperti biasa suara Dianti, ibunya, mendominasi. Nada tajamnya menusuk seperti bel yang terus dipukul tanpa jeda. Sementara suara Adrian terdengar frustrasi dan letih.

Pemicu kejengkelan Dianti lagi-lagi masalah klasik. Dia marah karena Adrian kembali kehilangan uang ratusan juta untuk investasi yang tak jelas. Davin sendiri kadang bingung karena ayahnya terlalu lemah menghadapi bujukan Reno yang memang sangat piawai dalam marketing.

“Aku tidak mengerti kenapa kamu tega-teganya mengeluarkan uang sebanyak itu tanpa sepengetahuanku,” suara Dianti kembali memenuhi ruang santai keluarga. “Dua ratus juta, Pa. Dan kamu bahkan tidak tahu untuk investasi apa. Sudah aku bilang berkali-kali, Reno selalu bawa bisnis yang nggak jelas!”

“Tapi kali ini prospek bisnisnya sangat bagus.”

“Kata siapa?” sela Dianti tajam. “Kata Reno? Aku bilang sekarang, Pa, uang kita pasti bakalan ludes lagi!”

“Dia adikku, Ma.”

Davin menggelengkan kepala. Kalau ayahnya sudah mengucapkan kalimat pendek itu, berarti perdebatan mereka pun selesai. Dia menajamkan telinganya. Suara Dianti sudah tak terdengar lagi.

Davin mendengar dentingan gelas di bawah—dan dia dapat membayangkan langkah kesal ibunya ke dapur. Pertengkaran itu seperti badai yang berulang, dengan skenario yang sama. Dianti marah karena tindakan bodoh suaminya—Adrian mencoba menjelaskan alasan logisnya—sementara Reno entah di mana menikmati kemenangan kecilnya.

Davin menutup buku catatannya. Dia bersandar ke kursi sambil memejamkan mata sebentar. Sejak lama dia tahu oomnya tak pernah betah bekerja di kantor. Reno selalu berbicara soal “mimpi besar” dan proyek yang “pasti untung besar.” Gayanya parlente dengan jas rapi dan sepatu mengilap. Mobilnya selalu berganti, tapi bisnisnya… tak pernah jelas.

Dan bukan hanya Adrian yang ikut mabuk dalam mimpi besarnya. Adrian Hermawan mungkin dosen yang jenius dalam hal sains dan metafisika. Tapi jika sudah berhadapan dengan Reno, logikanya seperti dilipat lalu dibuang ke sudut.

Davin meraih ponselnya. Pesan Rayan masuk lagi—dan terdengar tak sabaran seperti biasa. “Prof, buruan! Dan jgn lupa bawa skate!”

Davin beranjak dari depan meja belajar. Dia menjejalkan beberapa peralatannya ke dalam ransel. Ketimbang terganggu oleh perdebatan ayah-ibunya, mendingan dia meluncur ke rumah Rayan. Lagian, semua tugas sekolahnya sudah beres. Tapi dia terpaksa mencari skateboard-nya di attic.

Dia malas bertanya kenapa Rayan tiba-tiba mendesak dirinya untuk main skateboard. Mungkin ada cewek cantik yang sedang diincar Rayan. Atau entah apa. Yang pasti, Rayan tidak pernah konsisten dalam hobi. Skateboard, panjat tebing, kamera, freestyle motor—semua dilakukan setengah hati, kecuali ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Hanya channel YouTube yang bertahan cukup lama karena selalu muncul tantangan baru untuk uji nyali.

Davin menarik tangga lipat kayu. Tangga lipat itu berderit pelan ketika dia memanjatnya. Begitu dia mendorong pintu kecil menuju attic, bau kayu tua dan debu menyeruak. Udara di atas terasa berbeda—lebih kering, dengan aroma khas kertas tua seperti perpustakaan yang sudah lama ditinggalkan. Cahaya matahari sore menerobos masuk lewat kaca jendela.

Attic adalah dunia lain bagi Adrian Hermawan. Bagi orang luar, mungkin ruangan itu cuma gudang berantakan. Tapi bagi Davin, attic seperti museum pribadi ayahnya. Rak penuh buku tua dengan sampul kulit yang warnanya memudar. Teleskop rusak teronggok di sudut ruangan. Kotak-kotak kayu berisi kabel, peralatan elektronik lawas dan tumpukan catatan kuliah yang sudah menguning.

Davin melangkah pelan melewati sebuah meja besar yang dipenuhi lensa optik dan alat-alat yang bentuknya lebih mirip karya seni daripada perangkat ilmiah. Dia mencari-cari skateboard lamanya yang sudah hampir setahun tak tersentuh.

Dia memindahkan tumpukan kotak di sudut ruangan. Dia melihat papan skate-nya di balik kardus berisi majalah lama. Ban rodanya berdebu. Grip tape-nya mulai mengelupas. Tapi papan kayunya masih utuh. Dia mengangkat papan itu sambil meniup debu, lalu matanya menangkap sesuatu di atas meja kecil dekat jendela attic.

Sebuah buku bersampul kulit.

Tidak seperti buku-buku lain di attic, buku itu tidak tertutup debu. Sampulnya berwarna hitam kusam, tapi terlihat sering dipegang. Di bagian depan, dengan spidol tebal, tertulis satu kata yang membuat Davin berhenti.

Umbral.

Davin mengerutkan kening. Kata itu terdengar asing di telinganya. Dia tak pernah mendengarnya dari mulut ayahnya, meskipun Adrian sering berbicara tentang konsep aneh dalam metafisika atau teori yang jarang diajarkan di kelas.

Umbral?

Bidang ilmu dari sains baru?

Metafisika? 

Atau… sesuatu yang lain?

Davin meraih buku hitam itu, lalu membuka sampulnya perlahan. Halaman pertama penuh tulisan tangan Adrian—bukan bahasa formal, melainkan campuran catatan sains dengan simbol aneh dan diagram berlapis. Ada garis melingkar dengan pola mirip gelombang, diselingi tanda-tanda seperti alfabet asing.

Davin menyeringai samar. Ternyata hanya salah satu eksperimen ayahnya di masa lalu. Dia sudah hafal kebiasaan aneh ayahnya. Adrian selalu mencatat ide-idenya di buku bersampul kulit, lalu meninggalkannya begitu saja. Kadang di ruang kerja, kadang di ruang santai keluarga, kadang di attic.

Davin heran karena sampul bukunya tak berdebu seperti buku-buku lain. Permukaannya bersih—seperti baru saja dibaca seseorang.

Davin menaruh buku itu kembali di tempatnya semula. Dia tahu butuh tenaga ekstra untuk memahami tulisan Adrian yang rumit—tulisan tangan yang nyaris separah tulisan dokter. Malahan penuh dengan kode-kode dan simbol yang bahkan profesor lain pun belum tentu bisa paham. 

Kecuali duduk berhadapan langsung dengan ayahnya, baru dia bisa memahaminya dengan lancar dan jernih.

Davin menghela napas. Dia mustahil bisa menafsirkan maksud semua coretan itu.

Dia meraih skateboard-nya yang tergeletak di lantai, lalu berbalik….

Buk.

Suara benda jatuh terdengar dari sudut loteng. Entah apa. Tidak terlalu keras, tapi bunyinya cukup untuk membuat langkah Davin terhenti.

Dia menoleh ke arah datangnya bunyi itu. Matanya perlahan menyapu ruangan. Kotak kabel, tripod rusak, dan tabung-tabung bekas eksperimen masih di tempatnya. Tak ada yang berubah.

Tapi sesuatu membuatnya terpaku.

Buku itu.

Buku bersampul kulit hitam dengan tulisan Umbral di depannya.

Beberapa detik lalu Davin menaruhnya tertutup. Dia ingat betul posisi sampulnya rata. Sekarang buku itu… terbuka. Halamannya terentang di tengah—memamerkan deretan tulisan tangan Adrian yang padat, dengan simbol-simbol melingkar di tepinya.

Davin kembali mengerutkan alis.

Ditiup angin?

Dia melirik ke sekeliling attic. Udara di situ terasa begitu pengap. Tak ada jendela yang terbuka. Bahkan ventilasi untuk sirkulasi udara pun tak ada.

Davin berdiri diam beberapa detik. Rasanya seperti sedang dilihat balik oleh gambar di buku itu.

Dia menggelengkan kepala.

Rayan pasti ketawa kalau tahu gue begini.

Dia melangkah mendekat, lalu menunduk untuk memeriksa halaman. Tulisan itu lebih rumit dari sebelumnya—diagram berbentuk cincin konsentris, garis-garis melengkung seperti gelombang suara, dan di tengahnya… sebuah simbol lingkaran dengan titik hitam di tengah.

Davin melihat deretan tulisan di bagian bawah halaman. Catatan kaki ayahnya yang ditulis lebih kecil seolah sengaja disembunyikan.

Umbral bukan lorong ke dimensi lain. Dia adalah entitas nonfisik yang hidup. Aku melihatnya. Aku bahkan seperti bisa berdialog dengannya.

Davin mengerutkan kening, lalu menyeringai kecil. Kalimat itu entah mengapa mengingatkannya pada Rayan. Ayahnya benar-benar mirip sahabatnya. Bedanya, Rayan terjun ke dunia horor untuk konten YouTube—memburu tempat angker, menguji mitos urban, lalu bersesumbar di depan kamera bahwa semua itu tidak lebih dari cerita bohong untuk menakuti orang.

Sedangkan Adrian mendekati misteri dari sudut yang tak biasa—dengan teknologi dan metode ilmiah.

Davin menutup buku itu sebentar, dan mengusap bagian sampulnya dengan ibu jari. Dia tak pernah meragukan kejeniusan ayahnya. Teori-teori Adrian memang selalu menggelitik rasa ingin tahunya. Seperti semua buku sains karya Adrian, baik yang sudah dicetak maupun yang masih dalam bentuk riset, isinya selalu spektakuler. Dan mengusik para ilmuwan lain—membuat mereka antara kagum dan skeptis.

Umbral… entitas nonfisik yang hidup?

Dia ingin membaca lebih jauh. Ingin membuka halaman berikutnya. Mungkin ada diagram yang menjelaskan seperti apa “entitas nonfisik hidup” itu menurut ayahnya.

Tapi jam di pergelangan tangannya berdetak mengingatkan. Dia tak punya waktu sekarang.

Rayan sudah menunggunya dari tadi.

Davin menutup buku itu perlahan. Dia menatap sampulnya sekali lagi—Umbral—lalu mengembalikannya ke tempat semula di atas meja kecil dekat jendela attic. Dia sengaja menekan sampulnya hingga benar-benar rata.

Tapi ketika dia berbalik untuk kedua kalinya… dari sudut attic, sesuatu berderit—pelan, nyaris seperti tarikan napas dari papan kayu tua.

Entah apa yang mendorong dia untuk menengok ke arah buku bersampul hitam itu. Rasanya mustahil kalau buku itu….

Dia tertegun ketika melihat buku catatan rahasia itu kembali terbuka di halaman yang sama. Mau tak mau bulu kuduknya meremang.

Oh, shit!

Bab 2 — Lokasi Angker Baru

DAVIN melarikan motor bebeknya ke rumah Rayan di komplek tetangga. Secara kasatmata perumahan itu tampak lebih elite dan tenang dibanding lingkungan tempat tinggalnya. Pohon-pohon berjajar rapi di kedua sisi jalan, bangunan besar dengan eksterior modern-minimalis berderet rapat, pagarnya tinggi-tinggi, dan suasananya sunyi di sore hari.

Rumah Rayan berdiri di pojok jalan. Fasadnya modern dengan dinding abu-abu tua dan kaca besar di lantai dua. Tidak terlalu mewah. Tapi hunian pribadi itu cukup lugas untuk menunjukkan kalau pemiliknya bukan kelas menengah ke bawah.

Davin memarkir motor bebeknya di belakang mobil Sasha, lalu mematikan mesin. Dia melihat beberapa pasang sepatu dan sandal berserakan di teras. Bukan alas kaki keluarga. Tapi sepatu sneakers Sasha yang putih bersih, sepatu sneakers merah Tari, sandal kulit Naya dan sandal slip-on Elisa. Rupanya Rayan tak sendirian.

Mau bareng-bareng main skate?

Dia menaruh skateboard-nya di sudut teras, lalu melangkah masuk rumah tanpa salam dan tanpa memencet bel.

Ruang santai keluarga rumah itu luas, tapi sedikit berantakan. Beberapa bungkus camilan robek dan kaleng kopi instan kosong tergeletak di meja. Di sudut ruangan, tripod kamera Rayan berdiri miring, sementara di kursi ada laptop yang menampilkan timeline video setengah jadi.

Rayan duduk di lantai sambil mengutak-atik remote control drone. Dia mengangkat wajahnya sesaat. “Akhirnya lo muncul juga, Prof.”

Davin hanya mendengus pelan sambil menaruh helmnya di sudut ruangan. Rayan sudah sangat fasih memanggil dia dengan sebutan “Profesor” dan ayahnya dilabeli Rayan dengan sebutan “Prof. A.”

Sekilas Davin mengedarkan pandangannya.

Di meja makan, Tari duduk diam dengan tablet di depannya. Dia jarang ikut terlibat dalam senda-gurau—atau perdebatan—teman-temannya. Tapi telinganya selalu menyimak suara-suara di sekitarnya. Dia bukannya sengaja bersikap sok misterius. Tapi dia hanya tidak suka mengatakan hal-hal yang tak perlu.

Di sebelahnya, Sasha sibuk men-scroll ponselnya. Rambut panjangnya yang hitam alami terikat rapi. Kaus putihnya dimasukkan ke celana jeans high waist. Dia seakan secara alami tampak menarik dalam setiap penampilannya. Dia hanya melirik sekilas pada Davin—dan, entah mengapa, dia merasa rada kesal melihat sikap Davin yang kelewat cuek.

Elisa, seperti biasa, hanya sibuk dengan dirinya sendiri. Dia duduk di karpet sambil mencoba pose selfie dengan latar tripod kamera Rayan di belakangnya. Sesekali terdengar keluhan bosannya.

Dia masih tak habis pikir kenapa Sasha mau bergabung dengan kelompok aneh ini. Oke, Sasha ngebet pada Rayan. Tapi ngapain sahabatnya begitu bersemangat ingin ikut kegiatan “ekstrem” mereka? Dia merasa tak cocok dengan Davin dan Rayan yang dinilainya sama-sama weirdo. Dan Tari juga kerap bersikap seperti paranormal remaja. Meskipun dia cukup akrab dengan Tari, namun tingkah aneh gadis itu—jujur saja—sering membuat bulu kuduknya berdiri.

Sejak di kelas sebelas, rumah Rayan secara tak resmi menjadi markas mereka. Orang tua dan kedua adik Rayan tinggal di BSD. Adik-adiknya bahkan bersekolah di sana—membuat dia seakan dianaktirikan.

Tapi dia sekaligus merasa bebas seperti tinggal di kos. Di sanalah mereka sering (pura-pura) mengerjakan tugas kelompok. Secara resmi kelompok mereka hanya empat orang—Davin, Rayan, Tari dan Naya. Davin satu kelas dengan Rayan dan Naya. Sedangkan Tari di kelas sebelah dengan Sasha dan Elisa.

Namun dalam beberapa hari terakhir Sasha memaksa ikut dengan Tari karena suatu alasan yang sama sekali bukan rahasia. Mau tak mau Elisa ikut terseret ke dalam kelompok itu. Bagaimanapun, dia seperti kembaran Sasha. Di mana ada Sasha, di situ ada Elisa. Bahkan pada saat lagi suntuk pun, dia memaksakan diri untuk ikut Sasha. Atau secara halus dipaksa Sasha untuk ikut.

Makanya rumah Rayan sekarang tampak ramai dengan empat orang gadis.

Menurut Davin, Elisa cuma bikin berisik dengan mulutnya yang jarang bisa diam. Sementara Sasha, entah mengapa, sering membuat dia merasa tak nyaman.

Tapi, seperti biasa, dia nyaris tak pernah menyuarakan pikirannya. Apalagi jika itu bisa menyinggung perasaan orang lain. Dia hanya asyik dengan kegiatannya sendiri. Dia juga bicara seperlunya saja. Bercanda pun sekedarnya. Namun dalam loyalitas kelompok, dia selalu bisa diandalkan. Sama seperti Rayan.

Davin duduk di kursi. Dia begitu saja memperhatikan tumpukan peta dan catatan di atas meja kaca. Ada beberapa foto yang tampak baru.

Dari dapur, Naya muncul sambil membawa segelas cokelat hangat. Dia tersenyum kecil pada Davin, lalu menjatuhkan tubuhnya di sofa. “Rayan udah punya lokasi angker baru. Tantangan followers-nya.”

Rayan berdiri sambil menyeringai lebar pada Davin. “Kita perlu satu lokasi yang beneran fresh. Bukan rumah tua yang udah jadi video sejuta umat.”

Davin menatap lurus ke arahnya. “Lalu ngapain lo nyuruh gue bawa skate?”

“Rileks, Prof. Kita berubah pikiran.”

Davin mengerjap pelan. “What? Lo baru WA gue lima belas menit lalu, Bro.”

Rayan tertawa kecil tanpa rasa bersalah sedikit pun. Dia memungut controller dari meja dan memainkan tombolnya tanpa benar-benar fokus. “Well, kita berubah pikiran tujuh menit lalu. Payah. Tapi nggak usah kita pikirin. Kita punya prioritas lebih penting sekarang.”

Davin menggelengkan kepala. Mungkin di seluruh dunia hanya Rayan yang berani mengatakan kalimat itu—seolah-olah satu kelompok bisa berubah pikiran bareng tanpa dialog dan diskusi.

Tapi percuma saja dia berdebat dengan sahabatnya. Entah kenapa pikirannya begitu saja lari pada buku catatan rahasia ayahnya ketika mendengar lokasi angker baru yang akan mereka eksplorasi.

Umbral.

Sepotong kata itu terus berputar-putar di sudut otaknya. Dia sudah berusaha membuang pikiran itu dari benaknya. Tapi tak bisa.

Rayan tiba-tiba menarik lengannya ke dekat pintu beranda samping. Dari situ, ruang santai keluarga terlihat jelas—Naya duduk di sofa, mulai sibuk menulis di notebook kecilnya—Elisa masih duduk di karpet sambil asyik men-scroll ponsel dan sesekali tertawa kecil. Sementara Sasha dan Tari duduk agak jauh di meja makan—terlalu sibuk untuk mendengarkan percakapan mereka.

Rayan berbisik cepat. “Tadinya gue pengen bikin escape plan. Kalau feeling gue bener, gue harus prepare.”

Davin melirik ke arah sofa seolah ingin memastikan Naya dan Elisa tidak mendengar. Kedua gadis itu asyik dengan kegiatan masing-masing.

“Feeling apa?”

Rayan mencondongkan badan. Matanya melirik sekilas ke arah meja makan. “Sasha.”

Davin mengerutkan kening. “Kenapa dia?”

“Tadinya gue aman, Prof,” sahut Rayan dengan nada lebih pelan. “Tadinya dia cuma fokus ke gue. Tapi gue punya firasat jelek. Dia mulai naksir lo.”

Davin nyaris tertawa. “Bullshit!”

“Sstt!” Rayan hampir saja membekap mulut sahabatnya. “Jaga harga diri gue, Prof.”

Davin tersenyum tipis. “Sori.”

Di ruang santai keluarga, Naya dan Elisa melirik curiga. Tapi dari ekspresi mereka, jelas mereka tidak bisa mendengar bisik-bisik kedua cowok di pojokan itu.

“Makanya gue harus punya escape plan,” ujar Rayan melanjutkan. Nadanya serius seolah sedang merencanakan misi rahasia. “Dan lo harus ikut tanggung jawab.”

Davin menyipitkan mata. “Tanggung jawab apa?”

“Renita. Tadinya dia mau jogging di Monas. Tapi dia berubah pikiran. Jadi, kita juga berubah pikiran. Dia escape plan gue. Gue harus punya gebetan sebelum kuliah.”

“Renita mana? Renita dari kelas sebelah?”

Rayan menyeringai miring. “Real challenge, huh? Tapi cepat atau lambat, gue pasti bisa ngerebut dia dari Sahrul.”

Davin mendengus lagi. “Lalu, kalau feeling lo salah, dan ternyata Sasha tetap fokus sama lo?”

Rayan menghela napas panjang seolah dibebani masalah yang begitu pelik. “Yah, terpaksa Renita gue kasihin buat lo.”

Davin memandangnya tak percaya. “Semudah itu?”

“Siapa bilang mudah? Soal ini rumit banget, Prof. Lo nggak ngerti. Tapi biar gue yang beresin semua prosesnya. Lo duduk manis aja. Tahu-tahu lo nanti udah punya gebetan cakep.”

Davin hanya bisa menggeleng antara heran dan mulai mumet. Di kepala Rayan, semua masalah bisa diatur. Bahkan perasaan orang lain pun seolah bagian dari rencana besar yang dapat dia kontrol.

“Lo tahu, nggak? Lo lebih parah dari monyet, Bro,” gumamnya.

Rayan mengangkat alisnya. “Maksud lo?”

“Monyet aja masih ada cintanya. Lo sama sekali nggak ada.”

Rayan tertawa gelak.

Bab 3 — Malam Jumat yang Sakral

MEREKA kembali ke ruang santai keluarga. Tanpa sengaja Davin menatap ke arah meja makan—dan matanya bertemu dengan tatapan Sasha. Hanya sedetik. Dia cepat-cepat mengalihkan tatapannya ke arah lain. Dia duduk di tempatnya semula—dan langsung membuka laptopnya. Dia tidak gugup—paling tidak, dia berusaha menjaga degup jantungnya tetap berdetak dengan normal. Ah, ngapain merasa gugup?

“Kita syuting besok malam, Prof,” ujar Rayan sambil menghempaskan tubuhnya di kursi. “Kebetulan besok Friday night. Lo nggak ada kegiatan apa-apa, kan?”

Davin melirik sahabatnya. “Emang gue masih bisa ngelakuin kegiatan lain kalau lo udah ngambil keputusan?”

“Good point,” sahut Rayan sambil menyeringai lebar. “Tapi gue sering masih cukup sabar kalau lo sibuk. Lagian, kita bisa action kapan saja.”

“Aku nggak mau ikutan kalau perginya tengah malam,” ujar Naya tanpa mengangkat wajahnya dari notebook kecilnya.

Sasha beranjak dari meja makan untuk ikut nimbrung dalam obrolan mereka. Dia menatap Davin, Rayan dan Naya satu per satu, lalu duduk di samping Naya di sofa. “Hmm, emang kalian pernah pergi pada tengah malam?”

Naya mendengus kesal. “Sering. Rayan suka seenak udelnya. Dia beneran implusif.”

Rayan tertawa lebar—seolah gerutuan Naya merupakan pujian bagi dirinya.

Davin memilih tak bersuara apa-apa. Dia (pura-pura) fokus pada laptopnya. Dan dia sama sekali tak mau melirik ke arah Sasha yang duduk di samping kirinya.

Dia berusaha untuk tidak mengacuhkan omongan ngaco Rayan tadi. Wajah cantik dan emosi-emosi yang menggangu saat ini berada jauh di luar spektrum prioritasnya. Dia melatih pikirannya untuk tetap berada dalam lintasan rasional—dan membungkam setiap impuls remaja yang coba-coba menyelinap masuk. Sasha, Tari, Naya dan Elisa—nama-nama itu tak pernah dia izinkan menyusup lebih dalam dari sekadar statistik biologis. Baginya, mereka hanya kebetulan berbeda struktur kromosom. Dia harus mengabaikan distraksi emosional yang tak diinginkan. Habis perkara.

Namun kata-kata yang dilontarkan Rayan barusan seolah telah terjejal dalam RAM otaknya. Dan bagi seseorang seperti Davin, yang terbiasa mengabaikan hal remeh, fakta bahwa kalimat itu masih tersisa... justru cukup mengganggu.

“Gue penasaran,” ujar Elisa sambil menatap Rayan dengan serius. “Kenapa sih kebanyakan orang pilih syutingnya malam Jumat? Termasuk kalian. Kayak itu hari default buat konten horor.”

“Malam Jumat emang hari default buat konten horor,” sahut Rayan berlagak serius. “Pasarnya doyan begitu. Horor tuh harus ada bumbunya. Kayak jualan mie instan, tanpa micin nggak laku.”

“Micinnya maksudnya malam Jumat?”

“Persis. Lo taruh video horor di hari Senin, yang nonton paling cuma anak-anak insomnia sama satpam komplek. Tapi kalau malam Jumat, semua orang ikut mantengin—berharap bisa liat pocong beneran.”

“Jadi, alasannya cuma buat menuhin selera pasar?” tanya Sasha. “Nggak ada alasan lain?”

“Alasan lain apa, misalnya? Tari dan Naya pernah bilang, alasan gue stereotip banget. Tapi stereotip itu duit, Babe. Di luar negeri, mereka punya Friday the 13th. Di sini kita punya Jumat Kliwon. Sama-sama jual sensasi, cuma beda rasa. Versi bule dikasih saus barat, versi kita pake sambel terasi.”

Elisa tertawa geli. “Keren. Kamu bisa bikin sesuatu yang creepy kedengaran kayak komedi.”

“Gue ngomong apa adanya. Sejak ada YouTube, horor udah bukan cuma buat nakut-nakutin orang. Sekarang jadi industri—profitable, Babe. Malah kucing jatuh dari kursi aja bisa dimasukin musik serem, langsung viral. Dan dengan sentuhan sains Profesor, kami bikin kemasan yang beda. Biar otak orang autohoror.”

“Tapi katanya malam Jumat lebih... sakral," ujar Sasha lagi. “Lebih ‘kerasa.’ Tapi beneran ada hubungannya, Dev? Atau cuma mitos?”

Davin merasa semua mata tertuju pada dirinya. Dia sudah merasa aman hanya jadi pendengar yang baik. Tapi Sasha justru menarik dirinya dari zona nyaman. Sesaat dia berusaha menguatkan hati untuk menatap mata Sasha.

“Sebetulnya,” sahutnya, “Rayan tadi udah ngejelasin secara cerdas.”

Rayan kembali menyeringai. “Thanks, Prof.”

“Yah, kalau mau logis, nggak ada energi kosmik spesial di malam Jumat dibanding malam lain,” lanjut Davin. “Yang ada, energi psikologis manusia yang membedakan.”

Elisa memiringkan kepala. "Energi psikologis?”

“Di budaya kita, Jumat itu hari penting. Malamnya penuh ritual doa, shalat hajat, tahlilan, pembacaan Yasin. Semua aktivitas itu menciptakan suasana hening—berbeda dari malam biasa. Otak manusia bereaksi sama suasana seperti itu. Pikiran mereka jadi lebih fokus, lebih waspada, atau lebih sugestif. Jadinya, orang merasa ‘energinya’ beda. Padahal nggak ada bedanya.”

Sasha mengangguk pelan. “Jadi cuma karena orang udah keburu percaya?”

“Percaya itu separuhnya. Separuh lagi… jam-jam tertentu memang mempengaruhi kondisi manusia. Misalnya jam dua sampai empat pagi. Tubuh ada di titik terlemah, hormon tertentu aktif, dan otak gampang memproses rasa takut. Di Barat disebut witching hour, di sini… ya, malam sepertiga terakhir juga dianggap sakral. Buat shalat malam, doa, atau bersemedi”

Elisa menatap Davin, lalu menoleh ke Sasha. “Oke. Gue nggak nyangka bisa dapet kuliah gratis sore ini. Ternyata benar juga Sasha bilang, lo kayak hidden gem di kelompok ini.”

Sasha mendelik pada sahabatnya. Dia gagal untuk menutupi rona merah yang menjalar di wajahnya. “Kapan gue bilang begitu? Kamu jangan ngaco, Lis.”

Elisa memutar bola matanya. “Gue nggak ingat kapan. Pokoknya pernah.”

“Wow, hidden gem?” celetuk Rayan dengan nada agak sarkastis. “Tapi jangan lupa, gue tetap yang paling mainstream di sini.”

“Hhh, muncul deh gaya kompetitif narsisnya,” celetuk Naya setengah mencibir.

Tari tersenyum hambar. “Bagi Rayan, semua orang jadi rivalnya. Bahkan dirinya sendiri.”

Rayan melirik Tari. “Itu pujian? Thanks a lot, Babe. Hitam-hitam masih warna favorit lo? Biar honornya nanti gue habisin buat uniform lo.”

Tawa mereka pecah.

Davin kembali fokus pada laptopnya, sambil berusaha mengabaikan tatapan Sasha pada dirinya. Namun celetukan Elisa tentang hidden gem—entah benar atau tidak—membuat memori di otaknya terasa makin padat.

Tadi Rayan yang bikin ulah dengan statemen ngaconya. Kini Elisa dengan celetukan asal bunyinya. Apa artinya semua ini?

Nggak ada arti apa-apa, Bro. Mereka cuma guyon!

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!