Kediaman Nicholas
Suasana sore di kediaman Nicholas terasa tenang. Lampu-lampu kristal di ruang utama sudah menyala, memantulkan cahaya lembut di dinding marmer. Dean, sekretaris utama Nicholas, berdiri tegap di dekat meja panjang yang penuh tumpukan dokumen.
"Anna, apa kamu udah nyiapin semua keperluan Pak Nicholas?" tanya Dean tanpa menoleh, matanya masih fokus pada tablet di tangannya.
Dean adalah tangan kanan Nicholas—pria yang dikenal setia dan serba bisa. Bukan hanya mengurus jadwal kerja, ia juga sering mengurus urusan di luar perusahaan: mencari informasi, mengatur pertemuan rahasia, bahkan mempersiapkan rencana pribadi sang bos.
Sementara itu, Anna Aditama—atau biasa dipanggil Anna—juga bekerja sebagai sekretaris, tapi tugasnya jauh lebih ringan dibanding Dean. Ia mengatur jadwal harian Nicholas, menyiapkan pakaian, memastikan sang bos makan tepat waktu. Posisinya bisa dibilang sekretaris yang merangkap asisten pribadi, bahkan kadang seperti maid. Meski begitu, Anna tidak pernah mengeluh. Gaji yang ia terima lebih dari cukup untuk membuatnya bertahan.
"Saya sudah siapkan baju ganti, dan makan malam saya delivery aja, soalnya para maid lagi libur," jawab Anna sopan.
Dean mengangguk tipis. "Oke. Malam ini saya dan Pak Nicho bakal lembur, jadi kamu nginep aja di sini. Apalagi para maid nggak ada, Pak Nicho pasti butuh kamu."
Anna hanya mengangguk. "Oh iya, saya mesti kabarin kakak dulu," gumamnya sambil merogoh ponsel.
"Enggak usah, aku udah hubungin dia," ucap suara berat dari arah pintu.
Anna dan Dean sontak menoleh. Nicholas berdiri di sana, mengenakan kemeja hitam dengan kancing bagian atas terbuka. Aura dinginnya langsung memenuhi ruangan.
"Ah, baik Pak," balas Anna sopan.
Nicholas dan Jason—kakak kandung Anna—adalah sahabat dekat sejak SMP. Hubungan mereka sudah seperti keluarga. Tapi bagi Anna, persahabatan itu aneh. Nicholas dingin, penuh jarak, sementara Jason ramah dan hangat.
Namun, setiap kali Nicholas bersama Jason, Anna melihat sosok yang berbeda: pria itu bisa tertawa, bahkan saling ejek dengan kakaknya. Sebaliknya, terhadap Anna, Nicholas selalu menjaga jarak. Ekspresinya datar, kata-katanya singkat.
Sudah hampir setahun Anna bekerja di perusahaan Nicholas, tapi ia tak punya teman di kantor. Selalu ada alasan dari Nicholas yang membuatnya berada di lingkaran dekat sang bos dan jauh dari karyawan lain.
"Kita makan dulu, baru lanjut kerja," ucap Nicholas datar, lalu melangkah ke ruang makan. Dean dan Anna pun mengikutinya.
Seperti biasa, Anna mengisi piring Nicholas dengan teliti, seperti istri yang melayani suaminya. Mereka makan dalam diam.
Tiba-tiba Dean menaruh beberapa ekor udang yang sudah dikupas di piring Anna. Anna sempat tersenyum, tapi hanya beberapa detik. Dean buru-buru mengambil kembali udang itu dan langsung memakannya.
"Eh, bapak kenapa? Kok diambil lagi?" tanya Anna heran.
"S-saya cuma nitip sebentar, piring saya tadi penuh," jawab Dean cepat.
Anna menangkap kegugupan di wajah Dean. Saat ia menoleh ke arah Nicholas, semuanya jelas. Dean menarik kembali udang itu setelah melihat tatapan tajam sang bos.
"Pak mau sesuatu lagi?" tanya Anna berusaha mencairkan suasana.
Nicholas meletakkan sendoknya, menatap Anna datar. "Kamu suka udang?"
Dean menelan ludah, tegang menunggu jawaban.
"Sebenarnya enggak terlalu suka, Pak. Dibandingkan udang, saya lebih suka cumi," jawab Anna jujur.
Nicholas sudah tahu itu. Di rumah Anna, selalu ada sambal cumi khusus untuknya. Tanpa bicara lagi, Nicholas mengambil beberapa potong cumi goreng tepung dan menaruhnya di piring Anna. "Makan."
Anna mengangguk. Dean di sampingnya terlihat lega.
Setelah selesai makan, Anna membuat teh dan menyiapkan camilan untuk Nicholas dan Dean, lalu kembali ke kamar untuk istirahat.
*********
Pukul satu dini hari, Nicholas baru menutup laptopnya. Dean sudah pamit daritadi. Nicholas bergegas berjalan menuju kamar, tapi bukan kamarnya sendiri—melainkan kamar yang selalu ditempati oleh Anna setiap kali menginap.
Pintu dibuka pelan. Anna sudah terlelap, wajahnya tenang, posisi tidurnya menggemaskan. Nicholas mengunci pintu, lalu berbaring di samping Anna. Perlahan, ia menarik tubuh Anna ke dalam pelukannya.
"Have a nice dream, baby," bisiknya sambil mengecup kening Anna.
Bagi sebagian orang, mungkin Nicholas adalah laki-laki pengecut—tak pernah berani mengungkapkan perasaannya secara langsung. Tapi ia tidak peduli. Baginya, cukup bisa memastikan Anna selalu berada di dekatnya dan tak memberi celah bagi pria lain untuk mendekat.
Nicholas sudah jatuh cinta pada Anna sejak gadis itu duduk di bangku SMA. Hingga kini, rasa itu tak pernah pudar.
Flashback – 10 Tahun yang Lalu
Hari ini Jason dan ketiga sahabatnya—Nicholas, David, dan Leo—mengadakan acara kecil di kediaman keluarga besar Jason. Acara ini untuk merayakan kelulusan mereka dari bangku S1 sekaligus menjadi momen perpisahan sementara. Setelah ini, jalan mereka akan berbeda. Jason satu-satunya yang akan melanjutkan kuliah di dalam negeri, sementara tiga sahabatnya memilih kuliah di luar negeri, dan itu pun di negara yang berbeda-beda.
Begitu turun dari mobil, Leo langsung menyapu pandang ke rumah besar bergaya modern itu. “Anjir lah, kita udah lama temenan tapi baru kali ini nginjek kaki di rumah lo,” ucapnya sambil terkekeh.
Jason memutar bola mata. “Lo pada tau banget kenapa gue nggak mau bawa lo semua ke rumah.”
David menimpali sambil menunjuk Leo, “Si Leo yang buaya, tapi gue sama Nicho juga kena imbasnya. Padahal gue pengen banget main ke rumah lo.”
Jason bersedekap. “Ada anak gadis yang harus gue jaga. Nggak mau adek kecil gue otaknya terkontaminasi sama makhluk kayak lo pada.”
“Dih, lo kayak orang bener aja,” celetuk David.
Leo mengangkat dagu. “Gue penasaran bentukan adek lo kayak gimana, sampe lo segitunya nggak mau kenalin.”
David langsung nyamber, “Kalau lo nggak gatel, tuh dedek udah dari kapan tahun kenalan sama kita. Kalau gue juga punya adek cewek, ogah gue kenalin sama orang modelan kayak lo.”
“Anj*ng,” umpat Leo sambil manyun.
Nicholas hanya menggeleng kecil, menahan tawa.
“Udah ah, yok masuk,” ujar Jason sambil membukakan pintu rumah.
Begitu masuk, Jason langsung teriak, “MAMIIIII! JASON PULANG!”
Leo menutup telinga. “Anj, kuping gue.”
Jason melirik tajam. “Jaga mulut lo. Di sini nggak boleh ngomong kotor. Adek gue peniru ulung, jangan sampe dia niru kelakuan lo.”
Langkah kaki terdengar mendekat. Seorang wanita paruh baya berwajah cantik muncul dari ruang dapur. Wajah Jason langsung cerah, ia menghampiri dan memeluk sang ibu erat.
“Mami...” ucapnya hangat.
“Hey sayang, akhirnya kamu pulang juga,” balas sang ibu penuh senyum.
Tak lama, seorang pria paruh baya berwibawa ikut datang. Ayah Jason itu memeluk mereka berdua, menciptakan suasana hangat.
Leo melirik ke David dan Nicholas, lalu berbisik, “Buset, emak-nya cantik parah. Bapaknya juga hot daddy banget. Pantes muka Jason ngalahin gue.”
David dan Nicholas mengangguk setuju. Mereka baru pertama kali melihat orang tua Jason, wajar kalau Jason selama ini menjaga privasi ketat soal keluarga.
“Oh, ini teman-teman kamu, Nak?” tanya sang ayah, Aditama.
“Iya, Pi. Ini teman-teman Jason dari SMP. Mereka yang sering Jason ceritain ke Papi sama Mami,” jawab Jason sambil tersenyum.
Tania, sang ibu, ikut tersenyum ramah. “Owalah mereka toh. Ganteng-ganteng semua. Maaf ya kalau Jason nggak pernah ngajak kalian ke sini. Dimaklumi aja, soalnya di rumah ini ada anak gadis yang diposesifin banget.”
David tertawa. “Gapapa, Tante. Kita ngerti kok. Wajar aja kalau Jason nggak mau ajak kita, soalnya temen kita ada yang spek buaya, Tante,” ujarnya sambil melirik Leo.
“Heh, sembarangan lo!” protes Leo.
Aditama terkekeh. “Sudahlah, ayo duduk. Mami Jason lagi siapin makan malam. Sambil nunggu, makan camilan dulu.”
Leo spontan menawarkan, “Emm... mending kita bantu aja, Om. Nggak enak nih datang-datang malah duduk.”
Bu Tania melambaikan tangan. “Nggak perlu, sebentar lagi selesai. Kalian duduk aja dulu.” Lalu ia kembali ke dapur, diikuti Pak Aditama.
Jason sempat bertanya, “Papi, adek di mana? Kok nggak kelihatan?”
“Oh, tadi keluar beli es krim di kios Bang Dadang. Sebentar lagi pulang,” jawab Pak Aditama.
Jason mengangguk "Ohh oke"
*********
Saat sedang berbincang, Jason dan teman-temannya terlonjak tiba-tiba saat ada suara teriakan cempreng yang masuk ke gendang telinga mereka.
“ABAAAAANNNGGGGGGGGGG!!!!!” pekiknya keras.
“Astagah, dek, kebiasaan banget sih,” ucap Jason sambil mengusap dadanya.
“Abang pulang!” ucap adiknya dengan senang lalu berlari ke arah Jason dan memeluknya erat.
“Jangan lari-lari, nanti jatuh. Adek beli apa aja di warung, Bang Dadang?” tanya Jason sembari memeluk adiknya dengan erat.
“Adek beli es krim yang banyak. Papi izinin soalnya abang pulang hari ini, jadi adek bebas beli banyak-banyak,” ucapnya kegirangan.
“Oh, jadi senangnya karena dibolehin beli es krim yang banyak, bukan senang karena abang pulang, hmm?” tanyanya sambil melepas pelukan dan mencubit pipi chubby sang adik.
“Ihh, nggak gitu. Adek senang karena keduanya. Senang abang pulang, senang beli es krim yang banyak,” jawabnya dengan mata berbinar-binar.
Bibir yang tipis dan pipi yang tembem membuat gadis yang baru beranjak remaja itu sangat terlihat menggemaskan saat mengoceh.
“Gemes banget sih adeknya abang,” ucap Jason sambil mencubit pipi sang adik lalu mengecupnya dengan gemas. “Oh iya, abang bareng teman nih, sini abang kenalin,” lanjutnya lalu membalikkan tubuh menghadap ketiga temannya.
Kening Jason mengernyit saat melihat ketiga temannya tampak mematung sambil menatap ke arah adiknya. Jason sontak mendengus, “Heh, jaga mata, mau gue congkel tuh mata lo pada!” ketus Jason.
“Abang jahat banget, masa mata temennya mau dicongkel,” celetuk Anna.
“Eh? Bukan gitu, sayang. A-anu, abang hanya itu—” ucap Jason terpotong saat Leo tiba-tiba menyapa.
“Halo dedek gemes, kenalin nama abang Leo, si cowok tampan se-NKRI,” ujar Leo sambil tersenyum ramah. Pria itu bahkan sudah berada di samping adik Jason dan hendak meraih tangan adik Jason.
“Gak usah pegang-pegang!” ucap Jason ketus sembari menepis tangan Leo, membuat Leo menggerutuk kesal.
“Halo kak, aku Anna, adiknya abang Jason,” ucap Anna sambil tersenyum hingga matanya membentuk bulan sabit yang sontak membuatnya terlihat semakin imut.
“Buset jeee, adek lo gemes beut kayak kunti bogel, piyik banget masih SMP ya? SMP kelas berapa?” ucap Leo menahan diri untuk tidak mencubit pipi Anna.
Melihat perubahan wajah Anna yang tiba-tiba menatapnya tajam, Leo heran dan salah tingkah.
“Heh, sembarangan lo, adek gue udah tamat SMP, ya. Bulan ini dia udah masuk SMA,” ketus Jason.
“Oh iya kah?” ucap Leo kikuk.
“Abang,” panggil Anna sambil tetap menatap Leo tajam.
“Iya sayang, kenapa?”
Anna menoleh ke arah Jason dan menatapnya dengan tatapan serius, “Kunti bogel itu apa, abang?”
“Leo anj*ng,” umpat Jason dalam hati.
David sontak tertawa terbahak-bahak, sedangkan Nicho hanya tersenyum tipis sambil terus menatap Anna. Anna yang tersentak mendengar suara tawa sontak menoleh ke arah sumber suara, namun mata indahnya tak sengaja bertubrukan dengan mata tajam Nicho.
Anna tampak mematung, matanya terus berkedip cepat menatap ke arah Nicho. Untuk pertama kalinya Anna melihat pria yang lebih tampan dari kakaknya.
Jason yang merasa heran melihat sang adik sontak mengikuti arah pandang Anna. Matanya memicing kala mendapati Nicho lah yang menjadi objek sang adik, “Jangan suka sama dia, dek. Abang gak setuju,” ketus Jason.
“Kenapa?” tanya Nicho datar dan dingin.
“Gak mau gue punya adik ipar model es batu kayak lo. Lagian umur lu ama adek gue terpaut jauh, mau jadi pedofil lo,” ujar Jason sinis.
Nicho hanya memutar bola matanya malas.
“Udah, jangan natap dia terus, abang cemburu,” ucap Jason lalu menutup mata Anna.
Anna hanya diam. Perlahan-lahan ia menyingkirkan tangan sang abang lalu kembali menatap ke arah Nicho dengan mata yang kembali berkedip-kedip.
Nicho menunduk menyembunyikan senyumnya, “Gemes banget,” ujarnya dalam hati.
Semenjak saat itu, entah mengapa Nicho selalu berkunjung ke rumah Jason, semakin sering lagi saat hari pemberangkatan Nicho ke luar negeri semakin dekat.
Selama bertemu dengan Anna beberapa bulan terakhir, Nicho sudah bisa mengambil kesimpulan bahwa ia tertarik pada adik dari sahabatnya itu. Mungkin terdengar menggelikan saat pria dewasa menyukai anak remaja SMA yang bahkan saat itu baru kelas 1, karena itu Nicho lebih memilih menunggu sampai gadis remaja itu dewasa agar orang-orang tidak memandang aneh saat ia berada di dekat Anna.
Nicho benar-benar mewujudkan ucapannya. Saat Anna sudah beranjak dewasa, pria itu mulai membuat Anna selalu berada di dekatnya, termasuk membuat Anna bekerja di perusahaannya. Dulu memang terlihat sangat tidak pantas jika melihat keduanya bersama karena orang-orang pasti berpikir Nicho adalah pedofil, tapi sekarang tak akan ada orang yang berpikiran seperti itu.
Flashback end
Nicho bisa dibilang pria yang cukup kuat karena dapat mencintai wanita secara diam-diam selama bertahun-tahun, jika pria lain mungkin tak akan bisa tahan dan berakhir mengungkapkan.
Esok harinya - Pukul Enam Pagi
Anna terbangun dengan ekspresi meringis menahan rasa nyeri. Ia duduk sambil memegang pαyυdαrαnya yang terasa sakit. Setelah itu, ia segera turun dari kasur dan berjalan cepat menuju tas yang tergeletak di atas sofa. Ia membuka tas itu lalu mencari pompa ASI. Setelah menemukannya, Anna langsung menuju kamar mandi yang berada di dalam kamarnya.
Anna pun membuka bajunya dan memposisikan pompa ASI itu di pαyυdarαnya. Sesekali ia meringis saat melihat banyak ASI yang keluar.
Anna belum menikah dan bahkan belum pernah melakukan hubungan intim. Namun, akibat lonjakan hormon, pαyυdαrάnya mengeluarkan ASI. Hal ini tidak berbahaya dan bisa saja terjadi pada remaja. Oleh karena itu, Anna tidak terlalu panik meski beberapa bulan terakhir pάyύdαranya sering mengeluarkan ASI, walau ia selalu merasa nyeri bahkan sakit.
Anna merasa lega saat pάyΰdάrαnya sudah terasa ringan dan tidak nyeri lagi. Ia bergegas membuang ASI yang dipompa, lalu keluar dari kamar mandi dan bersiap menyiapkan keperluan Nicholas.
Dean menatap Anna dan Nicholas yang sedang berdiri di hadapannya. Pemandangan itu membuatnya merasa kesal sekaligus iri. Anna dengan telaten memasang dasi untuk Nicholas, sementara Nicholas hanya menatap Anna dengan tatapan dalam dan serius.
"Bikin iri aja, ahh jadi kangen sama ayang," pikir Dean dalam hati.
Anna tersenyum lembut, lalu berkata, "Oke, udah selesai."
Nicholas dengan ekspresi datar mengingatkan, "Kamu pulang gih, tapi sebelum jam 10 kamu harus udah di kantor."
Anna mengernyit, lalu bertanya, "Tapi kan jam 10 kita ada rapat di resto B, Pak?"
Nicholas menjawab singkat, "Nggak, rapatnya di kantor aja."
Anna mengangguk tanpa protes.
********
Pukul 09.10 Pagi
Suasana kantor pagi itu masih cukup tenang, hanya terdengar suara ketikan keyboard bercampur dengan dengung AC yang stabil. Anna sudah berada di meja kerjanya sejak setengah jam lalu, sibuk menata beberapa dokumen sekaligus memeriksa surel masuk. Letak mejanya strategis—tepat di depan pintu ruangan milik Nicholas—membuatnya menjadi garda terdepan sebelum siapa pun bisa menemui sang bos.
Tangannya yang sedang memegang pulpen terhenti ketika terdengar suara ketukan pelan di permukaan mejanya. Anna mengangkat kepala, keningnya sedikit berkerut. Sosok yang berdiri di hadapannya langsung ia kenali. Seorang wanita dengan penampilan rapi namun sikapnya penuh percaya diri—Angelina, sepupu jauh sang bos.
Anna berdiri secara refleks, membungkuk tipis sebagai bentuk sopan santun.
"Selamat pagi, Nona. Ada yang bisa saya bantu?" sapanya ramah, menjaga nada suaranya tetap profesional.
"Apa Kak Nicho ada di dalam?" tanya Angelina tanpa basa-basi, matanya sesekali melirik ke arah pintu ruang kerja Nicholas.
"Ya, Pak Bos ada di dalam," jawab Anna tetap sopan. "Tapi beliau sedang mengerjakan beberapa hal. Lagi pula, setengah jam lagi beliau akan mengadakan rapat. Kalau Nona sudah membuat janji sebelumnya, saya akan sampaikan pada Pak Nicholas."
Angelina menghela napas singkat lalu melipat kedua tangannya di depan dada, menatap Anna dengan pandangan datar.
"Aku bukan orang asing. Aku ini saudara sepupu Kak Nicho. Memangnya ada peraturan yang bilang kalau keluarga harus bikin janji dulu untuk ketemu sama Kak Nicho?"
"Maaf, Nona," Anna menatapnya lurus, nada suaranya tetap terjaga. "Memang tidak ada peraturan resmi yang tertulis, tapi Pak Nicholas memerintahkan saya untuk tidak langsung memberi izin pada siapa pun yang ingin bertemu beliau—meskipun itu orang tuanya sendiri."
Tatapan Angelina berubah tajam.
"Heh, kamu mau ngelabui aku ya?" nada suaranya meninggi. "Jangan cuma karena kamu sekretaris pribadinya Kak Nicho terus kamu jadi kurang ajar. Kamu mau aku laporin ke orang tuanya Kak Nicho?"
"Maaf, Nona. Saya hanya menjalankan perintah. Kalau memang Anda sudah membuat janji, saya akan langsung memberitahu Pak Nicholas. Tapi kalau belum, sebaiknya Nona menghubungi beliau dulu untuk membuat janji," jawab Anna, kali ini dengan nada sedikit lebih tegas, namun wajahnya tetap netral.
Wajah Angelina mulai memerah, entah karena marah atau tersinggung.
"Kamu siapa berani ngatur-ngatur aku? Kamu cuma orang dari kalangan bawah yang kebetulan beruntung kerja di sini!" katanya dengan nada merendahkan.
Tanpa menunggu tanggapan, Angelina melangkah cepat ke arah pintu ruang kerja Nicholas. Tindakannya yang membuka pintu begitu saja tanpa permisi membuat Anna panik. Anna segera menyusul Angelina.
"Kak Nicho..." panggil Angelina dengan suara yang dibuat manja, nyaris mendayu.
Di dalam ruangan, Nicholas dan Dean sedang duduk berseberangan di meja kerja, sibuk memeriksa tumpukan berkas. Mendengar suara itu, keduanya sontak mengangkat kepala. Tatapan Nicholas langsung berubah—dingin, datar, dan nyaris tanpa ekspresi.
Anna yang berdiri di ambang pintu bisa merasakan atmosfer ruangan mendadak berat. Perubahan ekspresi itu begitu jelas hingga ia pun merasakannya menusuk. Dean melirik sekilas ke arah Anna, seakan membaca situasi yang sedang memanas.
“Maaf, Pak, saya sudah memberi pengertian pada Nona Angel ta—”
Ucapan Anna terhenti mendadak ketika Angelina menyela, nadanya meninggi tanpa sedikit pun rasa segan.
“Kak, gimana Kakak bisa mempekerjakan orang kayak dia?” ucap Angelina, menatap Anna dengan pandangan sinis yang menusuk. “Dia terang-terangan ngusir aku, padahal aku ini keluarga Kak Nicho. Dia juga nggak tahu malunya bilang kalau orang tua Kak Nicho aja nggak bisa masuk ke sini. Perusahaan ini katanya menjunjung tinggi kesopanan, kan? Tapi kok bisa perempuan model kayak gini kerja di sini? Kak, jangan tertipu sama wajah lugunya. Sifat dia tuh sangat-sangat nggak mencerminkan karyawan yang baik.”
Tatapan Anna tetap tenang, meski jantungnya berdetak lebih cepat. Ia tahu ucapannya akan terdengar tegas, tapi ia tidak bisa membiarkan tuduhan itu dibiarkan menggantung.
“Nona, maaf sekali lagi! Saya hanya mengikuti perintah dari Pak Nicho, dan saya sudah menjelaskan pada Anda bahwa kalau Anda tidak memiliki janji dengan Pak Nicho maka an—”
“Lo makin kurang ajar ya!” potong Angelina kasar, langkahnya maju setengah meter mendekati Anna. “Nyahut mulu lo, anj—”
BRAKKKK!!!
Suara benturan keras membuat meja besar di hadapan Nicholas bergetar. Semua orang di ruangan itu—Angelina, Anna, dan Dean—terlonjak kaget.
Angelina langsung mematung. Napasnya memburu, dan ia menelan ludah dengan kasar ketika mendapati tatapan Nicholas yang sedingin baja. Mata pria itu menusuk seperti belati, penuh amarah yang ditekan.
“Semua yang dikatakan oleh sekretaris saya ke kamu adalah perintah dari saya,” ucap Nicholas, suaranya rendah namun setiap kata terdengar jelas dan tegas. “Kalau ada yang melanggarnya, saya nggak akan segan. Orang tua saya aja menghormati keputusan dan aturan yang saya buat. Kamu yang bahkan bukan keluarga inti, berani sekali meremehkan aturan yang saya buat.”
Angelina mulai kehilangan keberaniannya. “Kak, bu-bukan begitu... a-aku...” suaranya bergetar, kedua tangannya saling menggenggam di depan tubuhnya.
“Keluar!” perintah Nicholas, tatapannya tak goyah. “Sekali lagi saya melihat kamu menginjakkan kaki di sini, kamu lihat saja akibatnya.”
“Tapi Kak—”
“KELUAR!!!” bentaknya, kali ini lebih keras, membuat udara di ruangan terasa semakin berat.
Angelina terlonjak mundur, wajahnya pucat. Tanpa berani berkata lagi, ia berbalik dan melangkah cepat ke arah pintu. Namun sebelum benar-benar pergi, ia sempat berhenti, menoleh, dan menatap Anna dengan sorot mata penuh kebencian. Bibirnya bergerak, mengumpat diam-diam tanpa suara.
Anna hanya menarik napas panjang, mencoba mengabaikan tatapan itu.
“Kembali ke meja kamu,” ujar Nicholas singkat, suaranya sudah kembali datar. Ia menunduk lagi, fokus pada tumpukan berkas di depannya.
Anna membungkuk hormat, keluar dari ruangan, menutup pintu dengan perlahan, lalu berjalan kembali menuju mejanya.
“Dasar wanita gila, bikin mood hancur aja,” gumamnya kesal sambil menjatuhkan diri di kursinya.
Sebenarnya, ini bukan pertama kalinya Anna menghadapi wanita seperti Angelina. Sialnya, hampir semua wanita yang pernah datang dengan sikap semacam itu adalah keluarga jauh sang bos. Mereka memanfaatkan hubungan darah untuk mendekati Nicholas, dan tidak jarang ada yang kelakuannya dua kali lipat lebih parah dari Angelina. Kalau saja mereka bukan keluarga sang bos, Anna sudah pasti akan memberi pelajaran, karena kelancangan mereka jelas melewati batas kesopanan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!