NovelToon NovelToon

SANG JENDERAL

Perintah tak terhindarkan

“Yura, kamu dipanggil ke ruang Pak Rinaldi. Katanya penting banget.”

Fara berdiri di ambang pintu ruang dokter sambil melipat tangan, wajahnya sudah terlihat khawatir.

Yura mengangkat kepalanya dari laporan pasien. “Sekarang? Aku baru turun dari ruang operasi, Far. Kamu lihat jam berapa ini?”

Fara mengangkat bahu. “Kalau aku sih, ogah disuruh naik ke ruangannya sendirian. Mukanya udah kayak awan badai dari tadi.”

Yura mendesah, menutup map laporan. “Kalau dia ngomel, aku titip shift malam sama kamu, ya.”

“Eh?! Jangan gitu juga, Ra. Aku kan cuma kurir pesan!”

Yura hanya melempar tatapan datar sebelum melangkah keluar. Koridor rumah sakit sore itu masih sibuk, suara sepatu beradu dengan lantai marmer bergema samar. Ia mengetuk pintu bertuliskan Rinaldi – Manajer Rumah Sakit.

“Masuk,” suara berat itu terdengar singkat.

Begitu masuk, suasana langsung terasa dingin. Rinaldi duduk tegap di balik meja besar, tangannya mengetuk-ngetuk map cokelat. Matanya menatap Yura dari balik kacamata tipisnya.

“Duduk, Dokter Yura,” katanya, nada suaranya datar tapi penuh tekanan.

Yura menarik kursi dan duduk. “Ada apa, Pak? Saya masih ada beberapa pasien pascaoperasi—”

Rinaldi menyodorkan map ke arahnya. “Lusa, kau berangkat ke Desa Namura. Penempatan darurat.”

Yura menatapnya, dahi berkerut. “Namura? Itu zona konflik, Pak. Ada pemberontakan di sana. Pemerintah bahkan mengirim pasukan militer ke daerah itu. Ini bukan penempatan sipil biasa.”

“Pemerintah butuh tim medis. Kau, Fara, Yuda, dan Amar sudah masuk daftar. Helikopter jemputan akan menunggu kalian di pangkalan udara.”

Yura meletakkan map itu pelan, menatap Rinaldi lurus. “Kenapa saya? Ada banyak dokter senior yang bisa berangkat. Saya baru saja menangani operasi besar dua hari lalu. Pasien saya—”

Rinaldi menyandarkan punggung, menyilangkan tangan. Senyumnya tipis, hampir seperti ejekan. “Kau dokter bedah paling jenius di sini, katanya. Media suka menulis tentangmu. Jadi… buktikan bahwa kau layak dengan semua pujian itu.”

“Ini… hukuman, ya?” Yura menatapnya tajam.

“Anggap promosi.” Rinaldi menegakkan tubuh. “Kalau kau menolak, tidak apa-apa… tapi lisensi medis-mu bisa kami evaluasi ulang. Mengerti?”

Yura mengepalkan tangan di pangkuannya. “Baik. Saya ikut.”

“Bagus. Briefing besok pagi. Jam tujuh. Jangan telat.”

Koridor kembali terasa bising saat Yura keluar dari ruang manajer. Fara, Yuda, dan Amar sudah menunggunya di dekat lift.

“Gimana?” tanya Yuda, ekspresinya datar.

Yura hanya menatap mereka sebentar.

“Lusa kita berangkat ke Namura. Zona konflik. Helikopter jemputan disiapkan.”

Fara hampir menjatuhkan ponselnya. “Apa?! Ra, lu serius? Namura itu… bahkan berita bilang banyak baku tembak di sana!”

Amar menyelipkan tangan ke saku celananya. “Wah, seru nih. Hidup cuma sekali, kan?”

“Seru apanya, Mar?!” Fara melotot. “Kita bukan tentara! Kalau ditembak, kita mati beneran!”

Yura menatap ke depan, suaranya tenang tapi tegas. “Kita nggak punya pilihan. Kalau ada yang mau mundur, mundur sekarang. Tapi aku berangkat.”

Tak ada yang menjawab. Mereka hanya saling pandang, sampai akhirnya Amar mengangkat tangan. “Ya udah lah. Siapin mental aja. Semoga kita nggak mati muda.”

**

Keesokan harinya, mereka berdiri di pangkalan udara. Suara baling-baling helikopter menderu kencang.

Fara menggenggam ranselnya erat. “Kenapa gue merasa kita kayak dikirim ke neraka?”

Yuda menatap peta digital di tangannya. “Karena mungkin memang begitu.”

Amar tertawa tipis. “Santai aja. Kalau mati, kita mati bareng. Nggak sepi di kuburan.”

Fara mendelik. “Amar, sumpah, gue timpuk!”

Yura hanya diam, pandangannya lurus ke arah helikopter. “Ayo. Waktu jalan.”

Mereka menaiki helikopter. Suara mesin memekakkan telinga, angin berhembus kencang. Hutan-hutan lebat terlihat di bawah, terbentang sejauh mata memandang.

Beberapa jam kemudian, helikopter mendarat di lapangan tanah yang dijaga ketat. Suara tembakan samar terdengar dari kejauhan. Para tentara berlarian, beberapa menggotong peti amunisi, yang lain bergegas ke pos jaga.

Di tengah hiruk-pikuk itu, seorang pria tinggi dengan jas dokter hitam berjalan mendekat. Gerakannya tegas, wajahnya kaku. Mata hitamnya tajam, kulitnya pucat, rambut hitam lurus rapi. Akira Kenzi.

“Kalian tim baru?” suaranya dingin, tanpa basa-basi.

Yura maju satu langkah. “Ya. Saya Yura. Ini Fara, Yuda, Amar—”

“Tak perlu perkenalan panjang,” potong Kenzi. “Di sini, semua kerja. Kalau mau hidup, ikuti perintah saya. Mengerti?”

Amar berbisik pelan ke Yuda, “Serius nih, ini dokter apa komandan?”

Tatapan Kenzi beralih cepat ke Amar. Amar langsung menutup mulutnya rapat-rapat.

Dari arah tenda, seorang wanita berjalan anggun. Rambut cokelat panjang, seragam medis yang terlihat seperti sengaja dirapikan. Mina.

Senyumnya ramah, tapi matanya meneliti Yura dari ujung kepala sampai kaki.

“Jadi ini Yura? Dokter kota yang katanya jenius?”

Yura mengangguk sopan. “Kita satu tim, kan? Senang bertemu.”

Mina tersenyum tipis. “Semoga kau tahan lama di sini. Dan… saran kecil, jangan terlalu dekat dengan Kenzi. Dia tidak suka orang baru.”

Yura menatapnya datar. “Aku ke sini untuk kerja. Bukan cari masalah.”

Mina mengangkat alis sebelum berbalik. “Kita lihat saja.”

\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=

Langit sore mulai berwarna jingga saat konvoi tiga mobil militer berangkat dari pos Namura menuju pos wilayah utara. Jalan tanah berlumpur berliku-liku, hutan lebat mengapit di kiri kanan. Suara mesin diesel berat bergemuruh di udara.

Di mobil kedua, Yura duduk di bangku tengah bersama Fara, Yuda, dan Amar. Tentara bersenjata duduk berjejer di sisi lain, senjata siap di pangkuan.

Fara menggigit bibir bawahnya. “Kenapa rasanya kita lagi dibawa ke medan eksekusi?”

Amar bersandar santai, kakinya hampir menyentuh senjata salah satu tentara. “Karena… mungkin kita emang lagi dibawa ke medan eksekusi, Far. Hidup tuh singkat, nikmatin aja.”

Fara mendelik. “Serius, Mar? Gini caramu nenangin orang?”

Yuda, seperti biasa, menatap peta di tablet tanpa menoleh. “Secara statistik, kalau konvoi diserang di rute ini, kemungkinan kita selamat… lima puluh persen.”

Fara menatapnya tajam. “Terima kasih, Yud. Itu sangat membantu.”

Yura yang sedari tadi diam akhirnya bicara, suaranya pelan tapi tegas. “Kita bukan ke sini buat cari mati. Fokus aja. Kalau ada apa-apa, dengarkan perintah tentara. Jangan sok pahlawan.”

“Ya ngomong ke diri lo sendiri, Ra,” Amar mendecak. “Lo yang paling gampang sok pahlawan.”

Yura menoleh cepat, menatapnya sekilas. Amar langsung pura-pura menatap jendela.

Suasana hening beberapa detik, hanya suara mesin dan ranting yang patah dilindas roda. Tentara di depan memberi aba-aba singkat lewat radio. “Wilayah aman. Lanjut.”

Namun, ketenangan itu hancur.

DUARRR!!

Ledakan keras mengguncang udara. Mobil pertama yang memimpin konvoi terlempar ke samping, api menyembur dari kap mesinnya. Tanah dan batu beterbangan. Suara teriakan tentara memenuhi udara.

“Serangan!” teriak sopir mobil kedua. Kendaraan berhenti mendadak. Tentara segera keluar, menodongkan senjata ke segala arah.

Fara langsung menunduk, memeluk ranselnya. “Gue tau… gue nggak mau ikut!”

Amar menatap ke luar jendela. “Wah, fix kita disergap. Seru nih.”

“Diam, Mar!” Yura sudah menyiapkan tas medisnya. Napasnya cepat, tapi matanya fokus.

Dari balik hutan, puluhan sosok berseragam hitam keluar dengan langkah teratur. Senjata otomatis terarah. Mereka bergerak rapi, berbeda dari pemberontak biasa. Suasana mendadak hening saat seorang pria muncul di depan barisan.

Tinggi. Tegap. Jas tempur hitam berbeda dari pasukannya. Wajah tegas, rahang kokoh. Rambut hitam sedikit berantakan, namun matanya—mata hijau tajam—berkilat seperti baja.

Mark Valen.

Ia berjalan pelan, tapi setiap langkahnya terasa berat, mendominasi. Suaranya terdengar jelas meski tanpa pengeras suara, berat dan bergema.

“Drop your weapons.”

Tak ada teriakan. Tak ada ancaman tambahan. Hanya perintah. Dan entah bagaimana, semua tentara pemerintah di sana ragu-ragu menurunkan senjata.

Amar berbisik nyaris tak terdengar ke Yuda, “Suara cowok itu… kayak bass speaker. Gue aja pengen nurut.”

Yuda tidak menoleh. “Diam, atau kita beneran mati.”

Sementara semua orang kaku, Yura mendengar suara lain—rintihan. Seorang tentara tergeletak beberapa meter dari mobil, darah deras mengalir dari perutnya.

Yura tahu otaknya berkata diam di tempat, tapi tubuhnya bergerak tanpa pikir panjang. Ia meraih tas medis, berlari ke arah prajurit itu.

“Yura!” Fara berteriak dari belakang.

“Balik! Lo mau mati?!”

“Ra, gila apa lo?!” Amar ikut berteriak.

Yuda mengumpat pelan. “Dia beneran nekat…”

Yura berlutut di samping prajurit itu. Tangan cekatannya langsung bekerja—mencari sumber perdarahan, menekan luka, menyiapkan perban darurat. Ia menutup telinganya dari suara tembakan di kejauhan. Fokus hanya pada denyut nadi pasien.

Tiba-tiba, cahaya di atasnya tertutup bayangan besar.

Yura mendongak.

Mark berdiri tepat di hadapannya.

Jarak mereka tak sampai dua langkah. Senjata otomatis Mark diarahkan ke bawah, tepat ke Yura. Semua tentara dan dokter menahan napas.

Yura bisa mendengar detak jantungnya sendiri. Tapi tangannya tidak berhenti menekan perban di tubuh tentara yang hampir pingsan.

“Please… dia harus dibawa ke tenda. Dia bisa mati kalau—”

Mark menunduk sedikit. Tatapannya menusuk, mata hijaunya menyapu wajah Yura dari atas ke bawah, bukan sekadar mengancam—tapi menilai.

Suara Mark rendah, dalam, dan terasa bergetar di dada.

“Name.”

Yura menelan ludah. “Yura.”

Mark menatapnya lama, lama sekali. Hening di sekeliling. Bahkan desingan peluru di kejauhan terasa menjauh.

Amar berbisik sangat pelan ke Yuda. “Gue rasa cowok itu nggak bakal nembak dia. Lo liat nggak tatapannya?”

Yuda balas berbisik, “Itu bukan tatapan musuh… itu tatapan predator.”

Mark akhirnya menurunkan senjatanya. Ia menoleh ke pasukannya dan berkata singkat.

“Fall back.”

Seolah perintah itu hukum mutlak, semua pasukan hitam mundur teratur tanpa suara. Tak ada tembakan lagi. Dalam beberapa detik, mereka menghilang ke balik hutan, meninggalkan medan yang hening.

Mark tidak langsung pergi. Ia menatap Yura sekali lagi—tatapan yang membuat bulu kuduknya berdiri. Ada sesuatu dalam sorot mata itu: dingin, berbahaya… tapi juga seperti menandai.

Baru setelah puas, Mark berbalik dan berjalan pergi, langkahnya mantap, pasukannya mengikuti dari kejauhan.

---

Mobil-mobil konvoi akhirnya bergerak lagi, membawa tentara yang terluka dan para dokter kembali ke pos utama. Fara duduk di samping Yura, wajahnya pucat.

“Ra… lo tau nggak tadi nyawa lo setipis rambut?”

Amar bersandar lemas. “Gue sumpah… gue hampir pipis di celana.”

Yuda hanya menatap Yura. “Lo sadar, kan? Itu jenderal musuh. Dan dia nggak bunuh lo. Malah mandang lo… kayak…”

“Jangan dilanjutin,” potong Yura cepat. “Aku cuma dokter. Itu aja.”

Tapi di dalam hatinya, jantung Yura masih berdegup kencang. Bukan karena takut… tapi karena tatapan mata hijau itu masih terpatri jelas di benaknya.

Di pos medis, suasana menegang lagi. Kenzi menatap Yura tajam, kedua lengannya bersilang.

“Kau sadar betapa bodohnya lari ke tengah medan tembak?”

Yura menatap balik. “Kalau aku diam, prajurit itu mati.”

“Kau bisa ikut mati. Dan aku tidak suka kehilangan anggota tim.”

Dari sudut tenda, Mina bersandar santai, menyunggingkan senyum miring.

“Atau mungkin… dia nggak akan mati. Jenderal musuh itu kan… sepertinya punya minat khusus.”

Yura menoleh cepat. “Mina, jangan bercanda.”

“Siapa yang bercanda?” Mina tertawa pelan. “Mata hijau, tatapan tajam… aku yakin dia nggak lihat siapa-siapa selain kamu.”

Kenzi menatap Mina dingin, lalu kembali ke Yura.

“Kalau dia muncul lagi… kau jangan jauh dariku. Mengerti?”

Yura mengangkat alis. “Kau takut aku diseret?”

Kenzi mendekat setengah langkah, suaranya rendah. “Aku hanya tidak mau, tim ku dalam bahaya”

2. Jejak di bayangan

Kenzi berpatroli lebih lama dari biasanya, mata elangnya terus menatap ke arah hutan seolah mengantisipasi gerakan musuh. Mina mendekatinya, membawa dua cangkir kopi.

“Kau benar-benar khawatir pada Yura, ya?”

Mina menyodorkan cangkir, senyum samar terlukis. “Padahal selama ini kau selalu bersikap… tak peduli.”

Kenzi tidak menoleh, hanya menerima cangkir itu tanpa banyak bicara. “Aku peduli pada semua orang di pos ini. Bukan hanya dia.”

Mina meneguk kopinya pelan, menahan tatapan sinis. “Kalau begitu… kau juga akan peduli kalau aku yang diculik, kan?”

Kenzi menatapnya sekilas. “Kalau kau yang diculik, aku yakin kau bisa menanganinya sendiri. Kau tidak pernah takut apa pun… kecuali kalah dari Yura.”

Senyum Mina memudar. Ia menatap jauh ke arah tenda medis, di mana cahaya lampu samar terlihat. “Mungkin… kau benar.”

---

Di dalam tenda medis, Yura duduk di ranjang lipat, menatap tangannya sendiri. Fara duduk di sebelahnya, memegang bahunya.

“Kau nggak mau cerita detailnya?” tanya Fara pelan. “Aku tahu kau nggak baik-baik saja. Dari caramu menggenggam tanganmu aja… kelihatan.”

Yura menghela napas, suaranya nyaris berbisik. “Dia… Mark… dia bilang setiap langkahku akan dia lihat. Seperti… aku ini target, tapi bukan untuk dibunuh.”

Fara menatapnya kaget. “Dia… tertarik padamu?”

“Entahlah. Tapi matanya… aku belum pernah lihat tatapan seperti itu. Bukan cuma ancaman. Ada sesuatu yang… membuatku merasa dia nggak akan berhenti sampai dapat apa yang dia mau.”

Amar yang duduk di kursi dekat pintu mendengar percakapan itu, menyandarkan kepalanya ke dinding. “Kita udah cukup punya masalah sama pemberontak. Sekarang ada jenderal musuh yang naksir dokter kita. Keren banget, kan?”

Yuda, yang berdiri di sudut, berbicara dengan nada datar. “Itu bukan sekadar ‘naksir’. Itu cara seorang predator menandai mangsanya. Kita harus waspada.”

Yura menutup matanya sebentar. Di balik kelopak matanya, tatapan hijau Mark terus terbayang, bersama suaranya yang berat dan dingin. Kata-kata terakhirnya bergema di pikirannya:

"Kau akan melihatku lagi… saat aku mau."

Dan entah kenapa, bagian dari dirinya tahu… ancaman itu bukan sekadar kata-kata.

*

Langit Namura berwarna kelabu sejak pagi. Kabut tebal turun dari pegunungan, menutup pandangan hingga jarak lima meter. Pos medis terasa lebih sunyi dari biasanya. Hanya suara langkah prajurit yang sesekali terdengar di luar tenda.

Yura berdiri di depan cermin kecil di sudut tenda, merapikan seragamnya. Matanya sayu, kurang tidur. Setiap kali ia memejamkan mata, tatapan hijau dingin itu kembali menghantui—Mark, berdiri hanya sejengkal dari wajahnya, dengan suara beratnya yang terus menggema: “Kau akan melihatku lagi… saat aku mau.”

Fara masuk, membawa secangkir kopi. “Kau belum tidur, kan? Lingkar matamu udah kayak panda.”

Yura mengambil cangkir itu pelan. “Sulit tidur… rasanya seperti ada yang mengawasi. Bahkan di dalam pos.”

Fara menatapnya serius. “Jujur aja, Ra… kau takut dia datang lagi?”

Yura menghela napas. “Bukan takut. Lebih ke… aku tahu dia akan datang. Aku cuma nggak tahu kapan, atau untuk apa.”

Sebelum Fara sempat menanggapi, Yuda masuk dengan ekspresi tegang. “Kalian berdua harus lihat ini.”

Mereka bertiga keluar tenda, mengikuti Yuda ke pagar pos bagian timur. Kabut masih tebal, tapi di tanah dekat pagar, ada sesuatu yang membuat bulu kuduk berdiri: sebuah pisau militer tertancap di tanah, dengan kain putih terikat di gagangnya.

Kain itu berlumur lumpur, dan ada tulisan samar dengan tinta merah: “Masih hidup? Bagus. Aku lihat kau.”

Fara mundur selangkah, wajahnya pucat. “Ini… jelas pesan untukmu, Ra.”

Yuda menyapu pandangan ke hutan. “Tak ada jejak langkah selain yang menuju kembali ke arah hutan. Dia sengaja datang mendekat… hanya untuk meninggalkan ini.”

Yura meraih pisau itu pelan, menggenggam gagangnya. Rasanya dingin, berat, dan entah kenapa, seperti ada sesuatu dari Mark yang tertinggal di sana.

“Dia benar-benar mengawasi,” gumamnya pelan.

---

Siang harinya, suasana pos memanas. Kenzi memeriksa perimeter dengan tatapan tajam, lebih lama dari biasanya. Mina berjalan di sampingnya, membawa map laporan pasien.

“Kau benar-benar khawatir pada Yura, ya?” Nada Mina terdengar ringan, tapi matanya menyipit tajam. “Jenderal musuh itu sepertinya hanya mengincarnya, bukan kita. Jadi… apa yang kau takutkan sebenarnya, Kenzi? Kehilangan dia… atau kalah darinya?”

Kenzi berhenti berjalan, menatap Mina dingin. “Ini bukan soal dia. Ini soal keamanan seluruh tim. Kalau Mark bisa masuk sejauh ini tanpa terlihat, berarti kita semua dalam bahaya.”

Mina mendekat satu langkah, suaranya lebih pelan. “Atau mungkin… kau takut karena dia menandai Yura, dan kau tak bisa menghentikannya.”

Kenzi tidak menjawab. Ia hanya berbalik, melanjutkan patroli sambil menggenggam radio di tangannya lebih erat.

---

Malam itu, kabut semakin tebal. Yura duduk di meja medis, memeriksa catatan pasien, tapi pikirannya melayang. Amar masuk sambil membawa termos teh.

“Lo kelihatan kayak zombie, Ra. Minum, biar nggak pingsan.

Yura tersenyum samar. “Terima kasih… rasanya aku cuma bisa hidup dari kafein akhir-akhir ini.”

Amar duduk di kursi seberang. “Gue tahu lo takut ngaku… tapi gue lihat cara lo liat ke luar tenda. Lo nunggu dia, kan?”

Yura menatap Amar kaget. “Nunggu? Bukan. Aku cuma… waspada.”

Amar mengangkat alis. “Kalau lo cuma waspada, lo nggak akan gelisah setiap kali ada suara ranting patah di luar. Ra, jujur aja, ada bagian dari lo yang… penasaran sama dia, kan?”

Yura diam lama, lalu akhirnya berkata pelan, “Penasaran… atau takut. Aku sendiri nggak tahu bedanya lagi.”

Sebelum Amar sempat menjawab, suara ledakan keras terdengar dari sisi utara pos. Lampu-lampu mati seketika. Sirine darurat meraung.

Yuda menerobos masuk. “Kita diserang! Semua dokter ke bunker sekarang!”

Hujan peluru dan teriakan menggema di udara. Pos medis berubah jadi kekacauan. Yura, Fara, dan Amar berlari mengikuti Yuda ke arah bunker, tapi di tengah jalan, suara ledakan kedua mengguncang tanah.

Yura terpisah dari yang lain, terjatuh ke tanah becek. Kabut, asap, dan suara tembakan membuat pandangan kacau.

Saat ia berusaha berdiri, bayangan besar muncul dari kabut di depannya. Seragam hitam. Mata hijau berkilat di balik asap.

Mark.

Ia berjalan pelan mendekati Yura, sementara di belakangnya, beberapa prajurit hitam bergerak cepat, menembak ke arah musuh yang tak terlihat. Mark berhenti hanya beberapa langkah dari Yura..

“Aku bilang… kau akan melihatku lagi saat aku mau,” suaranya rendah, nyaris tak terdengar di tengah ledakan, tapi cukup untuk membuat Yura merinding.

Yura mundur satu langkah. “Apa… kau yang memimpin serangan ini?”

Mark tersenyum samar. “Aku yang memimpin segalanya di wilayah ini. Tapi malam ini… aku hanya ingin memastikan kau tetap hidup.”

Tiba-tiba, suara tembakan dari sisi lain membuat tanah di dekat Yura meledak.

Refleks, Mark menarik Yura ke arahnya, memeluk bahunya erat, membawa mereka berdua berlindung di balik reruntuhan.

“Kau tak akan bertahan lama tanpa perlindungan,” katanya datar. “Dan sayangnya… hanya aku yang bisa memberikannya di sini.”

Yura menatapnya tajam. “Kau… musuh. Kau membunuh prajurit kami. Kenapa aku harus percaya padamu?”

Mark menatap balik, mata hijaunya tajam, suaranya berat. “Karena kau tahu, bahkan musuh bisa lebih jujur daripada sekutu yang pengecut. Aku tak akan menyakitimu… kecuali kau memaksa.”

Beberapa detik, mereka hanya saling menatap, di tengah suara perang yang mengguncang di sekitar mereka. Mark kemudian melepaskan genggamannya, berdiri tegak.

“Pergilah ke bunker. Katakan pada Kenzi… peringatan dariku jika dia tak menjaga perimeter lebih baik, aku akan datang lagi. Dan kali berikutnya… mungkin aku tak hanya bicara denganmu.”

Sebelum Yura sempat bertanya lagi, Mark memberi isyarat tangan. Dalam hitungan detik, ia dan pasukannya menghilang ke kabut, seolah mereka tak pernah ada.

Yura akhirnya sampai di bunker, basah kuyup, wajahnya tegang. Kenzi langsung menghampiri.

“Di mana kau?!” suaranya keras, lebih dari biasanya.

Yura menarik napas, mencoba menenangkan diri. “Dia… Mark… dia ada di luar. Dia menyelamatkanku. Dan dia bilang… dia akan datang lagi.”

Kenzi mengepalkan tangan, matanya menyala dengan amarah terpendam. “Kalau dia datang lagi… aku pastikan pertemuan itu akan berakhir berbeda.”

Di sudut ruangan, Mina tersenyum tipis, hampir tak terlihat. “Sepertinya… perang ini bukan cuma antara dua negara. Tapi juga… dua pria yang sama-sama menginginkan hal yang sama.”

Fara dan Amar saling pandang, keduanya sama-sama menyadari

Ancaman terbesar di Namura… mungkin bukan hanya perang, tapi perburuan sunyi yang baru saja dimulai.

Namura

Langit Namura dipenuhi awan hitam sejak fajar. Angin lembab membawa bau logam dan tanah basah, tanda hujan besar akan turun. Tapi hari itu, tak seorang pun di pos medis memikirkan cuaca. Semua mata tertuju pada peta besar yang terhampar di meja komando.

Garis merah dan biru bertabrakan di utara Namura. Di sisi biru, bendera Indonesia. Di sisi merah, simbol pasukan asing.

Jenderal Farhan berdiri tegak di depan peta. Sosoknya berusia akhir 40-an, tubuh tinggi bidang, seragam hijau lorengnya rapi. Matanya tajam, sorotnya penuh kewaspadaan. Suara beratnya memecah hening.

“Mark mulai mengerahkan pasukan elitnya ke sektor utara. Gerilya mereka menghancurkan tiga konvoi kita dalam dua hari terakhir. Jika Namura jatuh… jalur logistik Kalimantan bisa lumpuh total.”

Di sisi lain meja, Kolonel Adi bertanya, “Instruksi, Jenderal?”

Farhan menunjuk area hutan dekat desa kecil. “Kita tahan mereka di sini. Bentuk barikade, jebakannya sudah dipasang. Aku sendiri akan memimpin. Tidak ada penundaan.”

Di belakang ruangan, Yura, Fara, Amar, dan Yuda berdiri bersama tim medis. Mereka diundang hanya untuk menerima pengarahan evakuasi. Tapi begitu mendengar nama Mark, Yura tak bisa menahan diri.

“Jenderal… Mark yang Anda sebut… dia memimpin sendiri?” suaranya ragu, namun terdengar.

Farhan menoleh, menatap Yura sekilas. “Kau dokter muda itu? Ya. Katanya dia punya kebiasaan aneh—selalu muncul di garis depan. Bukan tipikal jenderal yang hanya duduk di belakang.”

Yura menggenggam tangannya erat di balik jas. Sorot mata hijau itu, suara beratnya, semua kembali membayangi.

Kenzi berdiri di sudut ruangan, bersandar pada tiang, mendengarkan dalam diam. Tatapan matanya tajam, wajahnya datar. Ia sudah mendengar nama Mark lebih dari cukup—dan setiap kali mendengar, nalurinya selalu mengatakan satu hal: pria itu berbahaya, dan bukan hanya bagi negara, tapi juga bagi Yura.

Kabut tebal menggantung rendah saat konvoi militer Indonesia bergerak ke utara. Kendaraan lapis baja memimpin, diikuti truk logistik dan mobil medis di bagian belakang. Yura dan timnya berada di salah satu mobil medis, bersama dua perawat tambahan. Mesin diesel menderu pelan, roda-roda berderak di jalan tanah.

“Kenapa aku merasa… kita bukan cuma tim medis, tapi umpan?” Amar berbisik pada Fara, yang duduk di depannya.

Fara melirik keluar jendela. “Karena memang begitu. Mereka taruh kita di tengah rute yang Mark incar. Kalau ada serangan… kita bisa jadi target sekalian alasan untuk menekan media internasional.”

Yuda yang duduk di belakang ikut bicara. “Diam. Fokus saja. Kita punya pekerjaan, bukan spekulasi.”

Yura diam, menatap hutan gelap di luar. Setiap batang pohon terasa seperti mata yang mengintai. Sesekali, ia mengira mendengar suara langkah… atau mungkin hanya angin. Tapi nalurinya berteriak: dia ada di luar sana.

Tak lama kemudian, letupan pertama terdengar. Ledakan ranjau di depan konvoi membuat kendaraan lapis baja terhenti.

Radio prajurit berisik dengan perintah. “Kontak di kiri! Kontak di kanan!”

Suara tembakan senapan otomatis memenuhi udara. Kabut pecah oleh kilatan api. Pasukan asing muncul dari balik pepohonan, bergerak cepat dengan kamuflase hitam. Gerakan mereka seperti bayangan—cepat, senyap, mematikan.

Mark muncul di garis depan, langkahnya mantap, helm tempur hitam menutupi sebagian wajah, tapi sorot mata hijaunya jelas terlihat dari kejauhan. Ia mengangkat tangan, memberi aba-aba, dan pasukannya mulai mengepung konvoi.

“Semua tim medis ke tanah!” teriak seorang prajurit Indonesia. Yura, Fara, dan yang lain menjatuhkan diri ke tanah becek, merunduk di balik roda truk. Suara peluru berdesing di atas kepala.

Yura menoleh sekilas—dan melihat Mark berdiri di atas gundukan tanah, matanya menatap lurus ke arahnya, bahkan di tengah kekacauan. Mereka hanya bertukar pandang sekejap, tapi cukup untuk membuat napas Yura tercekat.

Mark bukan hanya memimpin dari depan. Ia mengubah medan jadi senjata. Pasukannya meledakkan jembatan kecil di belakang konvoi, memutus jalur mundur. Mereka juga menebang pohon besar untuk menghalangi jalan utama. Semua gerakan dihitung presisi, membuat pasukan Indonesia terjepit.

Di pusat komando sementara, Jenderal Farhan menerima laporan radio. “Konvoi Alpha diserang! Mereka terjebak di sektor timur!”

Farhan meraih radio dengan tangan kuat. “Semua unit cadangan, bergerak sekarang! Jangan biarkan Mark menguasai rute! Aku sendiri yang akan pimpin serangan balik.”

Yura berlari dari satu truk ke truk lain, membantu prajurit yang terluka meski peluru terus menghujani sekitar mereka. Darah, teriakan, bau mesiu bercampur dalam udara. Fara menekan luka di bahu seorang prajurit dengan perban darurat.

“Yura! Kita nggak bisa bertahan di sini! Harus mundur!” teriaknya.

“Tapi kalau kita mundur sekarang, yang lain mati!” balas Yura keras, tangannya sibuk menghentikan pendarahan di kaki seorang tentara.

Dari balik asap, sosok tinggi berjaket tempur hitam mendekat. Mark. Ia berjalan tenang, seakan peluru tak menyentuhnya, tatapannya hanya fokus pada Yura.

“Pergi dari sini, Dokter,” suaranya rendah tapi terdengar jelas. “Sektor ini akan kubersihkan. Kau tidak ingin melihatnya.”

Yura menatapnya tajam. “Kau… akan membunuh semuanya di sini?”

Mark menunduk sedikit, mendekat. “Aku akan membunuh siapa pun yang menghalangi. Tapi kau… bukan salah satunya. Pergi.”

Kenzi tiba-tiba muncul dari sisi kanan, senapan di tangan, berdiri di antara Yura dan Mark. Matanya menyipit tajam, nada suaranya dingin.

“Jangan sentuh dia.”

Mark melirik sekilas, senyum samar muncul di sudut bibirnya. “Kenzi… prajurit yang jadi dokter. Menarik.”

Mereka saling tatap, ketegangan di udara begitu pekat hingga bahkan suara perang terasa meredam sejenak.

“Kau bukan lawanku hari ini,” kata Mark tenang. “Tapi jika kau terus menghalangi… aku akan memastikan kau jadi targetku berikutnya.”

Kenzi mengangkat senapan, siap menembak. Tapi sebelum sesuatu terjadi, suara ledakan besar mengguncang medan. Pasukan cadangan Indonesia yang dipimpin Jenderal Farhan tiba, membuka jalur dengan kendaraan berat. Mark memberi aba-aba cepat, dan pasukannya mundur ke hutan seperti bayangan, seakan menghilang.

Sore itu, setelah pertempuran reda, Jenderal Farhan berdiri di antara reruntuhan kendaraan. Wajahnya tegas, tapi matanya menyala marah.

“Mark bermain kotor. Gerilya, sabotase… tapi besok, aku yang akan memburu dia. Namura bukan miliknya.”

Di sisi hutan, Mark berdiri di atas tebing kecil, menatap ke arah medan yang baru ditinggalkan. Ia melepas helmnya, rambut gelapnya berantakan karena angin.

“Farhan… prajurit kehormatan. Tapi kehormatan tak akan menyelamatkan wilayah ini dariku,” gumamnya pelan, suaranya nyaris terdengar seperti bisikan pada angin.

Lalu matanya beralih ke arah pos medis yang jauh di bawah. Senyum samar muncul. “Dan kau, Dokter… aku belum selesai denganmu.”

Malam itu, Namura sunyi. Pos medis dipenuhi korban luka. Yura bekerja tanpa henti bersama timnya, tangannya berlumur darah, matanya berat tapi tetap fokus. Kenzi menjaga di pintu, senapan tergantung di punggung, waspada pada setiap suara di luar.

Di kejauhan, di hutan gelap, dua mata hijau mengamati dari balik teropong. Mark duduk di cabang pohon besar, tenang seperti bayangan.

“Tidurlah, Dokter,” gumamnya pelan, suaranya hanya terdengar oleh dirinya sendiri. “Kita punya banyak malam panjang menanti.”

**

Malam itu, pos medis Namura sunyi. Kabut tebal menyelimuti sekitarnya, membuat suara-suara kecil dari hutan terdengar lebih menakutkan dari biasanya. Lampu-lampu tenda berkelip pelan, beberapa hampir padam karena generator yang mulai melemah.

Di dalam tenda utama, Yura duduk sendirian. Fara, Yuda, dan Amar sudah tertidur di ruang sebelah setelah hari panjang yang melelahkan. Kenzi sedang berpatroli di luar, meninggalkan Yura menulis laporan medis di meja kayu kecil. Suara penanya terdengar jelas di keheningan, beradu dengan suara desahan angin yang menyusup dari celah tenda.

Lalu, suara itu datang. Suara kain tenda bergeser perlahan. Bukan angin. Yura menoleh cepat. Lampu redup membuat bayangan panjang di lantai, dan sebelum ia sempat bereaksi, tangan kuat menutup mulutnya dari belakang.

“Jangan berteriak,” suara berat itu berbisik di telinganya. Dalam kegelapan, mata hijau berkilau menatapnya. Mark.

Jantung Yura berdetak liar. Ia ingin berontak, tapi tubuhnya kaku. Aura pria itu seperti mendominasi udara, membuat napasnya tercekat. Mark menunduk sedikit, wajahnya dekat sekali, suara rendahnya terasa bergetar di kulitnya.

“Aku bilang… aku akan melihatmu lagi, Dokter.”

Yura menggigit bibir, matanya menatap balik penuh keberanian meski tubuhnya gemetar. “Apa yang kau… inginkan? Kalau ketahuan kau di sini, pasukan Indonesia—”

Mark menekan telunjuknya ke bibir Yura, membuatnya terdiam. “Mereka tak akan mendengar. Aku tidak datang untuk perang malam ini… hanya untuk memastikan kau… aman.”

Tatapannya turun sejenak, meneliti Yura dari ujung kepala hingga kaki, lalu kembali menatap matanya. “Dan untuk mengingatkanmu… siapa yang benar-benar mengendalikan permainan di sini.”

Mark melepaskan tangan dari mulut Yura, tapi menggenggam pergelangan tangannya erat, menariknya mendekat hingga jarak mereka hampir tanpa sela. Nafasnya hangat di kulit Yura, tapi sorot mata itu tetap tajam, dominan, seolah setiap gerakan Yura ada di bawah kendalinya.

“Besok… darah akan mengalir di Namura. Farhan akan datang dengan semua yang dia punya. Aku akan menghancurkan mereka. Dan kau…” jari Mark menyentuh dagu Yura, mengangkat wajahnya agar menatap lurus ke arahnya.

“Kau akan tetap di sini. Aman. Karena kalau kau nekat ikut ke medan… aku tak bisa janji kau akan kembali dalam satu bagian.”

Yura menarik napas dalam, berusaha tak menunjukkan ketakutan. “Kau… mengawasi aku karena apa? Aku hanya dokter. Bukan bagian dari perang ini.”

Mark mendekat sedikit lagi, hingga bibirnya hampir menyentuh telinga Yura saat ia berbisik, “Kau bagian dari pertempuranku. Dan kau… tidak tahu seberapa dalam permainan ini berjalan. Tapi kau akan tahu… saat semuanya berakhir.”

Suara langkah dari luar mendekat. Kenzi. Mark menarik napas dalam, lalu mundur selangkah ke bayangan. Sebelum lenyap, ia meraih tangan Yura sekali lagi, membisikkan kalimat terakhir dengan nada perintah yang rendah namun jelas

“Jangan bilang siapa pun aku ada di sini. Bukan Farhan. Bukan Kenzi. Bukan siapa pun. Kau milikku untuk malam ini… dan untuk malam-malam berikutnya.”

Dalam sekejap, Mark menghilang di balik tenda, bayangannya larut bersama kabut malam. Yura berdiri kaku, jantungnya masih berpacu kencang. Saat Kenzi masuk beberapa detik kemudian, menanyakan apakah ada yang aneh, Yura hanya bisa menggeleng, menyembunyikan getaran di suaranya.

Namun di luar, di tepian hutan, mata hijau itu kembali berkilau. Mark berdiri di balik pohon, memperhatikan tenda dari jauh, senyum tipis tersungging di bibirnya.

“Malam ini… hanya permulaan, Dokter.”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!