NovelToon NovelToon

3 Ratu Sakti

1. Pendekar dan Lima Abdi

“Hahaha…!” gelak tawa Kentang Kebo yang duduk di kereta kuda terbuka, dengan payung janur menjadi pemberi bayangan peneduh dari panasnya mentari siang.

Kentang Kebo adalah lelaki berusia enam puluh tahun dengan tampilan fisik yang masih perkasa. Perawakannya tidak mewakili dari namanya. Intinya dia tidak seperti kerbau. Dia mengenakan baju bagus lagi mahal berwarna biru terang dengan hiasan sulaman benang emas pada tepian baju yang tidak berkancing itu. Model pakaian itu membuat badan berototnya sesekali tersingkap.

Meski bajunya bagus dan dia berkendara kereta kuda, tetapi tidak ada perhiasan emas atau perak yang melekat di kepala, leher, pinggang atau di kedua tangan dan kakinya.

Dia tertawa menertawakan dua lelaki yang tidak tertawa di depannya. Kedua lelaki duduk di posisi kusir, tepatnya di belakang bokong dua kuda yang menarik kereta tersebut. Kedua lelaki itu memakai pakaian bagus layaknya seorang bangsawan, meski wajah keduanya sangat kontras dengan kemewahan pakaiannya yang berbahan sutera.

Dua lelaki itu seperti saudara kembar karena sama-sama lelaki dan usianya sama-sama kepala tiga, meski wajah mereka jauh dari kata mirip. Bentuk mata, hidung, bibir dan jumlah gigi mereka berbeda. Lelaki yang memegang tali kendali kuda bernama Suoto, statusnya Abdi Nomor Satu. Lelaki rekannya yang masih tetangga dekat satu kampung, bernama Marno. Statusnya Abdi Nomor Tiga, meski otaknya lebih encer dari Suoto.

Selama perjalanan, keduanya sering berdebat tidak pintar meski keduanya bukan ahli pikir. Dua orang abdi itulah yang membuat Kentang Kebo selaku majikan sering tertawa tanpa terpancing untuk mengomentari. Kentang Kebo memang tidak suka menjadi ikan, dia lebih mensyukuri wujudnya saat ini, meski ketampanan sudah tidak ia miliki.

Ternyata kereta kuda itu tidak sendirian, ada pedati kuda yang mengikuti di belakang karena memang satu rombongan. Pedati yang ditarik oleh seekor kuda itu dikusiri oleh seorang lelaki yang berpenampilan mahal karena pakaian dan asesoris yang dikenakannya memang mahal. Tidak jauh berbeda dengan penampilan Suoto dan Marno yang juga seumuran, tetapi beda hari dan tanggal lahir. Kusir pedati kuda itu bernama Puyul. Dia memiliki status Abdi Nomor Empat.

Di belakang, di bak pedati duduk manis dua orang wanita, tetapi sangat jelas bahwa mereka sudah bukan gadis. Kedua wanita berusia kepala tiga itu berpakaian mewah pula dengan warna yang cerah, merah dan kuning, secerah riasan wajah mereka yang tebal dan menor. Bibir keduanya pun sudah lebih merah dari warna merah. Kedua wanita itu bernama Indah dan Ampila.

Indah adalah istri Puyul yang memiliki status Abdi Nomor Dua. Sedangkan Ampila adalah Abdi Nomor Lima selain berstatus sebagai istri sah Suoto.

Jadi, selain Kentang Kebo dan para kuda, kelima manusia lain itu adalah abdi dari sang pendekar sakti. Mereka jadi abdi karena mereka bukan orang sakti, tetapi ingin jadi orang kaya mendadak. Sebagai orang yang sudah menaklukkan beberapa kademangan dan telah membunuh para demangnya, Kentang Kebo butuh sejumlah abdi yang mau patuh disuruh-suruh.

“Marno, sepertinya kaki-kaki kuda itu gatal. Lihat, jika dia berjalan selalu mengangkat kakinya,” kata Suoto dengan kening berkerut memandang kaki-kaki kuda yang sedang berlari.

“Tuan Abdi Nomor Satu, kau pikir jika kuda berjalan kakinya diseret?” tanya Marno menahan kesal.

“Hahaha!” Itulah yang membuat Kentang Kebo, sang majikan, tertawa pendek.

“Seperti kau,” kata Suoto.

“Seperti aku? Aku seperti kuda atau kuda yang seperti aku?” tanya Marno lagi dengan ekspresi serius menengok kepada Suoto yang ketika berkata wajahnya fokus ke depan, dia tidak mau hanya karena menengok, kedua kuda penarik itu ikut menengok.

“Jelas kau sepeti kuda. Hahaha! Kau punya mata seperti kuda, kau punya hidung seperti kuda, kau punya telinga seperti kuda, kau punya kepala seperti kuda, kau punya perut seperti kuda. Tapi, kuda tidak seperti kau. Kuda kakinya empat tidak sepeti kau, kuda punya ekor tidak seperti kau, kuda makan rumput tidak seperti kau…”

“Kenapa kau tidak balik?” hardik Marno sewot. Ingin rasanya dia menepak kepala Suoto, tetapi tidak mungkin itu dia lakukan di depan majikan mereka yang tertawa panjang di belakang, lebih-lebih Suoto yang otaknya ada di bokong itu berstatus Abdi Nomor Satu.

“Otakmu kau taruh di mana, Marnooo … Marno. Jika kudanya aku balik, dia pasti jatuh dan gayanya pasti seperti kecoa terbalik,” jawab Suoto dengan nada seolah-olah Marnolah orang tololnya.

“Hahaha…!” Kian panjang tawa Kentang Kebo mendengar perdebatan yang tidak bermutu dan berkutu itu.

Puyul yang mengendalikan pedati kuda di belakang, sangat ingin ikut tertawa agar sang majikan tahu dan senang atas dukungannya, tetapi dia tidak tahu tema yang ditertawakan karena audio perdebatan Marno dan Suoto tidak terdengar secara seksama olehnya.

Sementara Indah dan Ampila bergeming. Mereka menikmati kenyamanan dalam perjalanan sebagai seorang abdi rasa nyai demang.

Hingga akhirnya mereka memasuki Karang Lindur, ibu kota Kadipaten Ombak Lelap.

Namun, ketika rombongan itu baru masuk sejauh lima lemparan sepatu, ada empat orang prajurit kadipaten yang menghadang dengan tujuan menghentikan laju kereta dan pedati kuda. Keempat prajurit berseragam biru-biru itu menunggang kuda, sehingga mudah bagi mereka dalam menghadang.

Satu orang prajurit mendekatkan kudanya ke sisi kereta kuda, lebih dekat kepada Kentang Kebo yang tersenyum tipis melihat tindakan prajurit yang satu itu.

Sementara kelima Abdi tidak memiliki rasa khawatir atau ketar-ketir sedikit pun karena dihadang oleh aparat keamanan. Itu karena pengalaman situasi yang lebih buruk pada hari-hari sebelumnya telah mendidik mental mereka. Bukan karena mereka sakti, tetapi karena mereka bersama orang sakti, yaitu majikan mereka.

“Siapa kau, Kisanak? Dari mana asal kalian?” tanya si prajurit tanpa intro mukadimah lebih dulu. Bahkan tanpa senyum.

“Kami dari Kademangan Pantekubi,” jawab Kentang Kebo datar.

Deg!

Bukan satu prajurit yang bertanya itu saja yang tersentak jantungnya karena terkejut mendengar jawaban itu, tetapi ketiga rekannya yang lain juga terkejut dalam tempo yang bersamaan. Ternyata jawaban Kentang Kebo itu membuat keempat prajurit menjadi tegang, terlihat sekali dari ekspresi wajah mereka.

Seketika itu juga, tanpa disepakati sebelumnya, mereka kompak menduga bahwa orang yang mereka hadapi saat ini adalah Kentang Kebo, pendekar sakti yang telah membunuh para demang dan menguasai beberapa kademangan di kadipaten tersebut.

Prajurit yang bertanya tadi lalu menengok kepada satu dari ketiga rekannya yang menghadang di depan kuda kereta. Dia memberi kode satu gerakan alis kepada rekannya tersebut. Prajurit yang mendapat kode alis membalas dengan anggukan pelan.

Kentang Kebo membiarkan permainan kode isyarat itu. Dia pun membiarkan ketika prajurit yang mendapat kode segera memutar balik arah kepala kudanya dan segera menggebah.

“Heah heah!” gebah si prajurit yang langsung melarikan kudanya dengan kencang pergi ke arah pusat Ibu Kota Karang Lindur.

“Hahaha! Dia kebelet kencang!” tawa Suoto sambil menunjuk prajurit yang pergi, membuat ketiga prajurit lainnya melotot memandangnya.

“Bukan kebelet kencang, tapi kebelet kencing, Suoto,” ralat Marno dengan nada mode berbisik tapi tetap kencang terdengar.

“Hahaha!” tawa pendek Kentang Kebo mendengar dua abdinya.

“Kisanak, kau belum menyebutkan namamu!” Prajurit yang di samping kereta setengah membentak Kentang Kebo.

Sebelum menjawab, Kentang Kebo lebih dulu tersenyum lebar pamer gigi.

“Sepertinya kalian sudah mengenali aku. Aku memang….”

“Heah heah!” Tindakan menggebah yang dilakukan oleh si prajurit membuat Kentang Kebo memangkas kata-katanya.

Prajurit itu dengan gestur terburu-buru yang terkesan panik, memutar arah kepala kuda yang kemudian menggebahnya. Langsung kencang.

“Mundur!” peritahnya kepada kedua rekannya, sambil berlalu lewat lebih dulu.

“Heah heah!” Kedua prajurit lainnya cepat bertindak sama. Mereka putar arah lalu kabur sebelum ada kondisi yang mengancam.

“Hahaha…!” tawa Suoto lebih kencang dari sebelumnya. “Yah, semuanya kabur. Larinya kencing sekali!”

“Hahaha…!” tawa Marno juga yang menyertai tawa Kentang Kebo.

“Hahaha…!” tawa Puyul pula di belakang. Kali ini dia tahu jelas alasannya untuk tertawa.

Namun, Marno tetap merasa punya kewajiban untuk meluruskan ketersesatan otak dan lidah sahabat dan tetangganya.

“Yang kencing itu yang kebelet. Kalau lari, pakai yang kencang. Jangan ditukar guling,” jelas Marno dengan ekspresi wajah yang sabar dan tulus.

“Hahaha! Mukamu yang kencing!” Suoto justru melunjak kepada Marno yang dua bulan lebih tua darinya itu.

“Hahaha…!” Kian meledak tawa Kentang Kebo mendengar makian Suoto.

Marno hanya melirik sebentar kepada majikannya dengan wajah mengiba menerima nasib. Sejak merasa kedudukannya paling tinggi dari keempat abdi lainnya, Suoto kini berani memaki Marno. Padahal dulu….

“Lanjutkan perjalanan!” perintah Kentak Kebo.

“Suap, Pendekar!” pekik Suoto patuh. (RH)

2. Kencang di Celana

Setelah empat prajurit yang sempat menghadang melarikan diri dengan dalih “mundur”, kereta dan pedati kuda rombongan Kentang Kebo melanjutkan perjalanan menuju pusat Kota Karang Lindur, ibu kota Kadipaten Ombak Lelap, salah satu kadipaten pesisir yang dimiliki oleh Kerajaan Pasir Langit. Namun, Karang Lindur termasuk agak jauh dari pantai.

Ketika jalan di depan menikung dan tertutup oleh kebun tebu plus pagar bambunya, terdengar suara keramaian karena banyaknya manusia yang bergerak, seperti suara lari kaki, suara gesekan benda, hingga suara napas yang terengah-engah. Suara terengah itu bukan jenis kepuasan, tetapi suara terengah karena jiwa yang tegang.

Namun, hanya Kentang Kebo yang mendengarnya. Adapun kelima abdinya yang bertingkah OKB alias Orang Kaya Baru, tidak mendengar sama sekali, seolah-olah mereka sedang berada di alam jin. Itu terjadi karena indera pendengaran Kentang Kebo selaku orang sakti sesensitif pendengaran ayam. Jangan ditanya seberapa tajam pendengaran seekor ayam, yang pasti tidak bisa dibandingkan dengan tajamnya sembilu.

Meski bisa menduga kondisi yang terdengar tapi belum terlihat itu, Kentang Kebo tetap duduk bersandar santai di kursi keretanya. Maklum, orang sakti. Akan lucu jadinya jika orang sakti terlihat panik atau gelisah.

Akhirnya kereta dan pedati kuda itu bergerak menikung mengikuti jalan tanah yang kering. Pemandangan yang awalnya terhalang oleh kebun tebu, akhirnya terbuka lebar. Suoto, Marno, Puyul, Indah dan Ampila memandang serius apa yang ada di depan sana, tetapi Kentang Kebo tetap santai karena dia sudah menduganya.

Suoto dan Puyul selaku pengendali kuda dua kendaraan tersebut, menghentikan laju kuda.

Di depan sana, sejauh dua kali lemparan mangga muda, ada puluhan prajurit berseragam biru-biru bersenjata tombak sebagian dan sebagian lagi bersenjatakan pedang. Semuanya memegang tameng kayu tebal berpola lingkaran, seperti tameng superhero Kapten Kasarung.

Formasi dari pasukan kadipaten itu menunjukkan bahwa mereka siap berperang. Itupun artinya mereka telah menunggu kedatangan rombongan Kentang Kebo yang beberapa menit lalu sempat dihadang oleh empat prajurit dari mereka.

Formasi itu sangat ketat karena menutup jalan. Seekor tikus pun mungkin tidak bisa lewat, apalagi para prajurit itu tidak geli terhadap hewan pengerat.

Di belakang barisan pasukan prajurit yang dua lapis, ada satu regu pasukan prajurit berkuda yang dipimpin oleh seorang perwira. Perwira itu terlihat menonjol, tapi bukan karena otot dadanya yang lebih besar dan keras, melainkan terlihat dari asesoris yang dia kenakan di kepala dan kedua lengannya. Senjatanya pun hanya sebilah keris yang diselipkan di depan perut. Semakin tinggi kesaktian dan kedudukan seorang prajurit, biasanya senjatanya semakin lebih kecil dari anak buahnya.

Meski kelima abdi Kentang Kebo memandang serius kepada pasukan yang menghadang, tetapi kelima orang itu lagi-lagi tidak cemas. Lagi-lagi pula, mereka sudah pernah melihat jumlah pasukan yang lebih banyak dari yang mereka lihat saat ini. Mereka pun sudah pernah mengurusi lebih seratus mayat yang dibunuh oleh Kentang Kebo dalam waktu singkat.

“Wuahahaha! Cari mata!” teriak Suoto yang didahului dengan tawa yang tidak tulus alias tawa yang dipaksakan.

“Cari mati, Suoto!” ralat Marno. “Bukan cari mata karena mereka semua punya mata.”

Kali ini Kentang Kebo tidak tertawa mendengar kekeliruan Suoto yang memang terjadi secara alami.

“Terserah aku mau berkata apa, Marno. Mulut mulutku sendiri. Aku ini Abdi Nomor Satu!” debat Suoto arogan.

“Huh! Nomor satu saja bangga, padahal nomor tiga itu lebih besar dari satu,” dengus Marno mendumel.

“Eh?” terkejut Suoto mendengar kata-kata Marno, sampai-sampai dia menengok kepada rekannya itu.

Kali ini dia berani menengok, karena kuda penarik kereta sedang tidak berjalan. Jikalau pun kedua kuda itu menengok, setidaknya kereta kuda tidak ikut berbelok arah.

“Iya ya, nomor tiga lebih besar dari satu, ya,” ucap Suoto pelan dengan kening mengerut, serius berpikir. Otaknya membenarkan perkataan Marno.

“Jadi, kau jangan sombong,” kata Marno dengan lirikan sinis dan merasa menang karena berhasil mengerjai pikiran Suoto, yang dia sudah tahu serendah apa tingkat kecerdasannya.

Kentang Kebo sendiri tidak mempedulikan perdebatan dua abdinya itu.

Srek srek srek!

“Wuaah!” pekik Suoto dan Marno kompak saat tiba-tiba mereka dikejutkan oleh kemunculan mendadak sejumlah prajurit dari dalam kebun tebu.

Sebanyak belasan prajurit berseragam biru-biru muncul di sela-sela pohon tebu di samping kiri jalan. Tangan mereka langsung berbekal anak panah yang sudah terpasang di busur dan telah ditarik kencang. Tinggal menunggu perintah pelepasan. Bidikan terarah jelas kepada Kentang Kebo dan kelima abdinya. Jarak bidik pun terbilang dekat, sejauh dua galah yang biasa digunakan untuk mencuri mangga tetangga.

“Hahahak!” tawa Suoto dan Marno setelah sempat terkejut.

Meski kemunculan pasukan prajurit panah sangat mengancam, tetapi itu tidak membuat Suoto dan Marno takut, terbukti mereka tertawa. Seolah-olah kondisi itu hanyalah prank. Sikap Abdi Nomor Satu dan Tiga itu membuat Kentang Kebo hanya tersenyum.

Namun, berbeda dengan Puyul dan dua istri yang bersamanya. Bukan Puyul istrinya dua, tetapi dua wanita yang berstatus istri. Jangan salah paham.

Mereka bertiga dilanda sedikit rasa cemas. Suoto dan Marno bisa tetap tenang karena Kentang Kebo satu kendaraan dengan mereka. Namun Puyul, Indah dan Ampila, mereka bertiga tidak satu kendaraan dengan sang majikan. Meski sudah mengakui kesaktian sang majikan, tetapi kondisi saat itu membuat mereka kembali memiliki keraguan bahwa mereka akan aman apa pun kondisi dan cuacanya.

Wajah Puyul, Indah dan Ampila terlihat agak tegang, tidak seperti Suoto dan Marno yang sangat rileks dengan tawanya.

“Panah!” teriak komandan berkuda di belakang pasukan dua baris di depan sana.

Set set set!

Ketika mendengar teriakan komando itu, Suoto dan Marno seketika berhenti tertawa karena ada rasa khawatir yang muncul saat itu juga, seperti percikan listrik yang korslet. Mereka khawatir jika majikannya telat menggunakan kesaktiannya.

Sementara Puyul, Indah dan Ampila sudah memikirkan mati karena pada saat yang sama para prajurit yang ada di sisi kiri mereka melepaskan anak panahnya.

Sebanyak kurang dari dua puluh anak panah melesat sangat cepat meninggalkan busurnya. Namun, dunia seperti berhenti beroperasi. Belasan anak panah itu mematung dan melayang di udara. Belum ada satu pun anak panah yang sampai kepada target. Para anak panah itu terhenti hanya satu jengkal dari wajah, dada dan tubuh Kentang Kebo dan kelima abdinya.

Komandan dan semua prajurit kadipaten yang hadir hanya bisa terkejut melihat kejadian aneh tapi nyata itu.

Nyaris copot jantung Puyul, Indah dan Ampila melihat batang-batang anak panah yang diam melayang sangat dekat dengan mereka.

Wajah Suoto dan Marno pun terkejut dengan mata terbeliak.

“Haha! Hahaha!” tawa Suoto. Awalnya hanya dua kali “ha” dia tertawa sebagai transisi dari keterkejutan kepada tertawa. Setelahnya, barulah dia tertawa yang terdengar canggung dan dipaksakan.

“Hehehe!” Sementara Marno hanya cengengesan melihat nyawanya hampir melayang.

Kelima abdi itu tahu bahwa kesaktian Kentang Kebo sedang mode aktif. Kelimanya sudah berangsur kembali tenang karena fakta menunjukkan bahwa majikan mereka melindungi.

“Puyul!” panggil Kentang Kebo tanpa menengok ke belakang.

“Hamba, Gu-gusti Pendekar!” sahut Puyul yang ada di pedati kuda di belakang kereta kuda. Namun, sangat jelas terdengar suaranya gemetar dan tergagap.

“Punguti anak panah itu!” perintah Kentang Kebo, lagi-lagi tanpa menengok. Pandangannya tertuju lurus kepada komandan prajurit di depan sana.

“Baik, Gusti Pendekar!” sahut Puyul.

Puyul lalu meraih satu anak panah terdekat. Setelah itu, dia berdiri hendak menjangkau anak panah lainnya yang menggantung di udara. Namun, Puyul terkejut. Pasalnya, ketika berdiri, kedua kakinya gemetar di tempat.

“Kakang Puyul!” pekik Indah terkejut kepada suaminya. Lalu tanyanya dengan tatapan seperti marah, “Kau kencing, Kakang?”

Terkejut Ampila serta Suoto dan Marno. Kali ini Kentang Kebo harus ikut terkejut. Dia dan kedua abdi lelakinya segera menengok ke belakang dan pandangan langsung ditembakkan ke celana Puyul.

“Jiahahahak!” Meledak tawa Suoto dan Marno.

Sementara di pedati kuda, Ampila hanya tertawa cekikikan sembari menutup giginya. Maklum, giginya merah karena terkena lunturan gincu. Sepertinya dia beli lipstik online yang paling murah dan gratis ongkir.

Mereka melihat ada warna basah pada celana Puyul, tepatnya di pusat markasnya.

“Hahaha! Puyul kencang di dalam celana!” teriak Suoto menertawakan suami Indah itu. (RH)

3. Mendadak Sakti

Akhirnya, Indah yang berinisiatif memunguti para anak panah yang melayang diam di udara. Sementara itu, Puyul hanya duduk di posisi kusir dengan wajah mengerenyit. Dia malu karena dipandangi celananya oleh sang majikan dan ditertawakan pula oleh Suoto, Marno dan Ampila.

Indah sampai pergi ke kereta kuda majikannya untuk memetiki anak panah itu.

Komandan Ulung Gabah dan pasukannya hanya diam dengan jiwa diselimuti ketegangan. Saking larutnya dalam ketegangan, Ulung Gabah lupa untuk memberi perintah kepada pasukannya. Mereka hanya menyaksikan Kentang Kebo pamer kesaktian dengan cara menghentikan lesatan anak panah. Mereka juga terbius oleh aksi Indah yang sejak berpenampilan mewah dan berdandan menor semakin indah di mata kaum batangan.

“Ditaruh di mana, Gusti Pendekar?” tanya Indah yang kedua tangannya memeluk belasan batang anak panah yang dia petik semua.

“Lemparkan kepada para prajurit panah itu!” perintah Kentang Kebo.

Terbeliak sepasang mata Indah, membuat Suoto ingin rasanya jatuh cinta lagi. Indah sangat mengerti kalimat perintah yang dia dengar. Namun, di dalam kepalanya timbul pertanyaan. Bagaimana caranya melempar belasan anak panah itu kepada para prajurit yang posisinya berderet menyamping? Jarak pun tidak memungkinkan panah akan sampai kepada para prajurit di sela-sela pohoh tebu.

Sebenarnya Indah bingung praktiknya.

“Panah lagi!” teriak Ulung Gabah yang akhirnya tersadar setelah dia mendengar perintah Kentang Kebo kepada Indah.

Para prajurit panah yang awalnya terpaku tegang melihat kejadian di depan mata mereka itu, segera bergerak ambil anak panah di punggung mereka dan memasangnya di busur yang masih terangkat.

Mendengar perintah pemimpin pasukan musuh, Indah jadi panik dan segera berbalik sambil melempar semua anak panah secara sembarangan, yang penting judulnya “melempar”.

Set set set…!

Belasan anak panah yang dihamburkan ke udara itu tiba-tiba melesat sangat cepat secara tararah, mendahului pelepasan panah para prajurit.

Tsuk tsuk tsuk…!

“Akk! Akh! Akk…!” jerit para prajurit panah ketika tubuh mereka lebih dulu ditusuki oleh anak panah yang dilesatkan oleh kesaktian Kentang Kebo. Anak panah yang belum sempat lepas dari senar, terlepas jatuh bersama busurnya yang disusul jatuhnya tubuh mereka tanpa nyawa. Tidak ada istilah hanya menderita luka, semua prajurit panah itu tewas.

Indah berdiri terpaku dengan tubuh dan perasaan yang gemetar menyaksikan kematian belasan prajurit tersebut.

Terkejut Komandan Ulung Gabah dan pasukannya di depan sana. Kejadian itu seketika membuat mereka kian tegang dan berdebar-debar. Ada rasa gentar yang muncul melanda diri mereka. Namun tiba-tiba….

“Baris pertama, serang!” teriak Ulung Gabah mengejutkan pasukannya. Dia tidak mau memahami perasaan pasukannya yang justru dilanda kegentaran.

“Seraaang!” teriak para prajurit di barisan depan ramai-ramai sambil berlari maju. Mau tidak mau mereka harus melaksanakan perintah, meski mereka tahu risikonya adalah sama bahayanya jika selingkuh dengan istri junjungan.

Dengan tombak siap menusuk dan tameng siap menangkis, sekitar tiga puluh prajurit maju serentak dalam formasi dua baris yang berjarak, menuju ke posisi kereta kuda dan pedati kuda.

“Uwaaak…!” teriak Suoto kencang dan panjang karena dia terkejut, ketika tiba-tiba tubuhnya terlempar kencang mengudara ke depan tanpa dia kehendaki, tetapi dikehendaki oleh Kentang Kebo yang menggunakan kesaktiannya.

“Jiaaakk…!”

Belum lagi Suoto sampai ke tujuan, kejap berikutnya giliran tubuh Marno yang terbang melesat ke depan tanpa dia kehendaki, tetapi dikehendaki oleh Kentang Kebo.

“Kakang Suotooo!” pekik Ampila terkejut melihat suaminya melesat terbang menyongsong serbuan puluhan prajurit.

Suoto dan Marno dilempar oleh Kentang Kebo menyongsong kedatangan puluhan prajurit yang mendekat ke arah kereta kuda. Para prajurit yang juga terkejut sigap menusukkan mata-mata tombaknya menyambut kedatangan dua tubuh musuh.

Meski kejadiannya cepat, tetapi semua bisa melihat dengan jelas ketika beberapa tombak prajurit menyambut tubuh Suoto dan Marno. Puyul, Indah dan Ampila mengerenyit tanpa sakit menyaksikan tubuh Suoto dan Marno ditusuk sejumlah tombak.

Bruakr!

Namun, tubuh Suoto dan Marno yang diduga kuat akan menjadi sate manusia, menjadi sekeras baja. Mata-mata tombak prajurit nyatanya tidak mampu melukai kulit Suoto dan Marno yang seumpama sesosok batu besar.

Sejumlah prajurit yang dihantam oleh Suoto dan Marno jadi berpentalan seperti pion catur yang digebrak oleh Bambang Tamvan.

Melihat sepertiga dari rekannya berpentalan tidak karuan, pasukan yang menyerang itu jadi berhenti sebelum sampai kepada target. Perhatian mereka difokuskan kepada Suoto dan Marno yang jatuh bergulingan di tanah, senasib dengan para prajurit yang terpental.

Tanpa dikomando, para prajurit yang luput dari hantaman segera menombaki tubuh Suoto dan Marno yang masih tergeletak di tanah karena kehilangan arah dan pegangan. Para prajurit itu menusuki tubuh kedua abdi tersebut dengan bertubi-tubi seperti sedang menghakimi seorang pencuri burung betina.

Namun, lagi-lagi Suoto dan Marno mendadak sakti. Semua tusukan mata tombak kepada diri mereka tidak ada yang mempan. Tusukan-tusukan frustasi itu tidak melukai, tetapi hanya membuat Suoto dan Marno tidak dapat bangun dari tanah.

Kentang Kebo dan ketiga abdinya yang lain sampai tidak bisa melihat keberadaan Suoto dan Marno karena tertutupi oleh kerumunan prajurit yang mencoba peruntungan dengan terus menombak, meski sangat jelas bahwa mereka melihat korban tusukan tidak menderita luka segores pun.

“Gusti Pendekaaar!” teriak Marno kencang dari dalam kerumunan.

“Uaaak!” jerit kencang Puyul tiba-tiba, ketika tubuhnya terbang melesat dari posisinya.

“Kakang Puyuuul!” pekik Indah setengah histeris. Sepertinya dia masih memiliki rasa sayang kepada suaminya.

Meski teriakan dan ekspresi Puyul terkesan ketakutan saat dilontarkan oleh kekuatan kesaktian Kentang Kebo, tetapi penampilannya mirip pahlawan di kala sore.

Bruakr!

Puyul seperti sebatang rudal patriot menghantam kumpulan prajurit yang terus menombaki tubuh Suoto dan Marno.

Meski Puyul hanya menghantam satu punggung prajurit, tetapi yang terpental ke berbagai arah adalah semua prajurit, sehingga terlihat seperti adegan tarung di film-film Bollymood. Bukan hanya tubuh para prajurit itu yang berserakan di tanah jalanan, tombak dan tameng mereka pun berserakan.

Meski tidak ada yang berdarah dari para prajurit itu, tetapi mereka terlihat seperti pura-pura kritis karena tidak bisa bangkit berdiri lagi. Berbeda dengan Suoto, Marno dan Puyul. Mereka mampu segera bangun berdiri setelah bebas dari keroyokan. Hebatnya, Suoto dan Marno tidak menderita luka gores atau memar sedikit pun, kondisi yang membuat mereka mengangkat dagu lebih tinggi dari standar nasional.

“Hehehe!” kekeh ketiga lelaki abdi itu dengan arah pandangan kepada Komandan Ulung Gabah dan pasukannya yang hanya terbeliak.

Belum lagi habis rasa terkejut Ulung Gabah dan puluhan prajuritnya yang belum turun tangan, tiba-tiba….

“Aaak…!” jerit kencang dan histeris dua suara wanita.

Indah dan Ampila tahu-tahu sudah melesat terbang di udara. Keduanya juga dilempar oleh Kentang Kebo dari posisinya masing-masing. Arah terbang mereka sama, yaitu ke arah jauh ke depan, tepatnya ke arah posisi Ulung Gabah dan pasukannya yang belum maju.

Suoto, Marno dan Puyul terkejut mendengar jeritan nyaring itu. Cepat mereka menengok ke belakang, tetapi dua wanita kesayangan mereka tahu-tahu sudah melintas jauh di atas kepala mereka, melewati posisi mereka berdiri. Akhirnya mereka bertiga hanya mengikuti dengan pandangan, ke mana Indah dan Ampila akan mendarat.

Pada giliran Indah dan Ampila yang beraksi, ada yang berbeda dari aksi Suoto, Marno dan Puyul. Perbedaan itulah yang membuat aksi Indah dan Ampila terlihat menarik.

Ketika Suoto, Marno dan Puyul diterbangkan, mereka terbang seperti seorang Suparman. Berbeda ketika Indah dan Ampila diterbangkan, mereka terbang seperti lompatan jauh seorang Hulk, yakni kaki yang maju lebih dulu, yaitu gaya hendak melahirkan di udara.

Cara terbang itu membuat sarung Indah dan Ampila naik ke atas karena terdorong oleh angin. Kondisi itu membuat sepasang kaki putih mereka tersingkap bebas hingga ke paha-paha. Masih untung sarung yang mereka kenakan tidak melepaskan diri dari kunciannya.

Untung tak dapat ditolak, malang tak dapat diraih. Kira-kira seperti itulah pepatah untuk suami kedua wanita itu dan para prajurit yang sedang diserang.

Entah, apakah karena disuguhi empat paha putih lengkap dengan lorong guanya atau karena terlena takjub melihat kesaktian Kentang Kebo, Komandan Ulung Gabah dan pasukannya hanya terperangah mendongak melihat ke arah datanganya Indah dan Ampila.

Bugg! Bugg!

Bruakr! Bruakr!

Seperti pendaratan dua sosok Hulk raksasa di tengah-tengah pasukan musuh yang tidak bertindak apa-apa.

Tidak perlu menghitung berapa prajurit yang terhantam oleh injakan kaki kedua wanita bersuami itu ketika mendarat, yang jelas pasukan itu berpentalan ke segala arah oleh energi besar yang dibawa oleh Indah dan Ampila.

Kuda Komandan Ulung Gabah dan sejumlah kuda prajurit lainnya seketika meringkik liar karena terkena gelombang energi pendaratan Indah dan Ampila.

Kini, Indah dan Ampila berdiri kokoh dengan kaki mengangkang. Namun, keempat paha mereka sudah tertutupi sarung kembali dan wajah mereka mengerenyit banjir keringat, meski tidak merasakan sakit. Mereka mengerenyit karena jantung berdetak kencang akibat sensasi terlempar terbang jauh. (RH)

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!