Jam sudah menunjukkan pukul 9 pagi dan Calista baru saja akan bersiap untuk ke kampus. Sebenarnya dia sudah bangun sangat awal dimana semua keluarganya belum bangun, dia sudah menyelesaikan semua pekerjaan rumah seperti menyapu, mengepel bahkan menyiapkan sarapan untuk Ayah, Ibu juga saudara tirinya.
"Astaga, kenapa jam cepat sekali berputar. Aku bisa telat ke kampus hari ini."Calista terus berucap seraya bersiap.
Dia menyambar tas dan juga beberapa buku, lantas berlari keluar kamar. Jam 10 pagi dia ada kelas dan sekarang sudah pukul 9.30 yang hanya ada waktu 30 menit dia harus sampai di kampus jika tidak mau terlambat.
Tak,,
Tak,,
Tak,,
Dia terus berlari menuruni tangga, berlari keluar dan langsung menuju gerbang rumah. Ojek pesanannya pun sudah menunggu di sana.
"Atas nama Mba Calista."
"Iya betul, Ayo Mas saya sudah telat."
"Ini helm-nya Mba."
Calista menerima dan memakainya.
"Cepet ya Mas, saya sudah telat. "
"Baik Mba."
Calista terus menatap jam di tangannya, padahal dia sudah bangun pagi tapi selalu saja dia telat.
20 menit perjalanan akhirnya sampai di depan Kampus. Setelah membayar Calista berlari masuk berharap belum ada dosen yang masuk ke dalam kelasnya.
"Syukurlah aku gak telat." Gumamnya saat sampai di dalam kelas.
"Ehem,, baru nyampe Lo."
Calista menoleh dan memutar bola matanya malas melihat Talita bersama kedua temannya.
"Setidaknya gue gak telat."
Talita tersenyum dan berjalan mendekat. "Hari ini Lo gak telat, tapi siapa tau besok, luda atau seterusnya Lo bakal sering telat." Ucapnya berjalan melewati Calista di ikuti dua temannya.
Calista memejamkan matanya, menahan emosinya karena Talita yang selalu saja membuat masalah dengannya.
Dulu, hubungan mereka sangat dekat bahkan sejak SMP. Namun, setelah status mereka yang menjadi saudara tiri karena sang Papa menikah dengan Mama Talita membuat hubungan mereka jauh. Talita bersama Mamanya selalu memfitnah dirinya apalagi di depan sang Papa. Dan sialnya, Papanya sama sekali tidak membelanya dan selalu percaya dengan semua ucapan mama tirinya.
Sejak saat itu, kehidupan Calista berubah total.
"Ca, Lo baru dateng?"Ucap Bela sahabatnya.
"Ya bel."
"Pasti karena Talita sama nyokap nya?"
Calista mengangguk, Bela sangat tau bagaimana kehidupan Calista sekarang.
"Sabar ya Ca."
"I'am Oke Bel, thanks ya."
"Sama-sama."
Calista tersenyum, setidaknya ada Bela yang selalu ada buatnya.
**********
Setelah tiga jam dengan dosen killer di kelasnya, kini Calista berada di kantin bersama Bela. Calista tampak menyedot Boba, minuman yang selalu dia pesan.
"Gila otak gue panas banget tadi, Pak Dodo benar-benar killer banget mana dia kasih tugas kelompok gak kira-kira."
Calista tersenyum dan menggeleng.
"Sudah biasa kan? Lagian Minggu depan baru di kumpulkan jadi masih ada waktu buat selesaikan."
"Dan untungnya gue satu kelompok sama Lo juga Abian, jadi gue tenang karena satu kelompok dengan orang-orang pintar."
Calista terkekeh dan kembali menikmati Boba miliknya. Entahlah dia sangat suka dengan es Boba. Menurutnya minuman itu bisa menghilangkan rasa lelah juga kesedihannya.
"Calista."
Talita datang dan langsung menghampiri meja mereka dia melirik Bela yang duduk di sana.
"Ikut gue."
"Ck, apalagi sih Lo. Gak lihat Calista lagi makan."
"Gue gak ngomong sama Lo ya Bel."
Calista menghela napasnya dan menatap Talita.
"Apalagi.?"
"Ikut gue, cepet." Ucap Talita menarik tangan Calista dan membawanya menuju taman kampus.
"Lo mau ngomong apa?"Ucap Calista melepaskan tangannya.
Talita menatap sekeliling,dan berbalik menatap Calista.
"Soal kelompok Pak Dodi, gue mau kita tukeran. Gue satu kelompok dengan Abian dan Rasya."
Calista meniatkan alisnya. "Loh bukannya Lo satu kelompok sama Robi."
"Kita tukeran Ca, gue mau satu kelompok dengan Abian dan Lo bilang sama Abian kalau kita tukeran kelompok"
"Kalau gue gak mau?"
"Lo mau ngelawan gue?"
"Gue gak pernah takut sama Lo Talita, dan gue gak mau tukeran kelompok karena itu sudah di pilih oleh Pak Dodi."
"Oke kalau itu mau Lo Ca. Gue bakal bilang Papa soal ini."
"Silahkan gue gak takut."
Talita mengepalkan tangannya, menatap tajam Calista sebelum pergi meninggalkannya.
Calista menghela napas, dia tidak mau terus mengalah dengan Talita terus.
"Calista, Lo ngapain disini.?"
Abian berjalan mendekat dan berdiri di depan Calista.
"Gak kok Bi."
Abian mengangguk dan menatap wajah cantik Calista. Sebenarnya dia memiliki perasaan terhadap gadis di hadapannya itu namun Abian belum berani mengungkapkannya. Abian takut kalau nantinya hubungan pertemanan mereka akan hancur.
"Oh gue kira kenapa soalnya tadi gue lihat Talita juga dari sini."
"Gak Kok, gue gapapa."
Abian tersenyum dan masih menatap wajah cantik Calista.
"Kita ke kantin? Masih ada waktu buat nunggu kelas berikutnya."
"Ayo."
Abian tersenyum dan mereka berjalan berdampingan.
Sementara Talita, dia mengepalkan tangannya melihat Calista bersama Abian.
Talita menyukai Abian, namun Abian selalu saja dingin berbeda jika tengah bersama Calista. Abian sangat perhatian dan selalu tersenyum.
Abian memang salah satu mahasiswa yang di idolakan di kampus. Bukan hanya karena dia tampan, tapi juga karena dia pintar dan jago bermain basket.
Lo lihat aja Calista bagaimana Papa bakal hukum Lo lagi karena Lo gak mau turutin ucapan gue.
Dari dulu Talita memang selalu iri dengan Calista, padahal mereka sahabat dari SMP karena Calista selalu unggul darinya. Mulai dari Calista yang selalu berprestasi di sekolahnya, di kenal semua guru bahkan banyak murid. Di sukai banyak siswa di sekolah dan selalu menjadi primadona disekolah mereka. Bahkan di kehidupan sehari-hari pun Calista selalu membuatnya iri. Hidup di dalam keluarga yang harmonis, di manja oleh orang tuanya. Bisa membeli apapun tanpa harus mengumpulkan uang lebih dulu. Talita iri akan hal itu hingga dia bisa membalas dendamnya setelah kepergian Ibu Calista karena sebuah kecelakaan. Sampai akhirnya Mamanya dekat dan menikah dengan Papa Calista. Secara perlahan dia mulai merebut semua yang Calista punya termasuk kepercayaan dari Papanya.
Talita mengambil ponselnya dan menghubungi Papanya.
"Halo sayang,,"
"Papa."
"Talita kamu kenapa menangis Nak, apa yang terjadi.?"
"Calista Pa, dia gak mau ngalah sama aku."
"Astaga anak itu lagi. Papa bakal bilang Calista ya sayang, sekarang kamu jangan nangis oke."
"Iya Pa, makasih ya Pa."
"Sama-sama sayang."
Talita tersenyum dan menyimpan ponselnya.
Lihat saja Calista apa yang bakal Papa lakukan. Gue yakin Papa bakal marah besar dan minta Lo buat ngalah. Perlahan gue bakal rebut semua yang Lo punya termasuk perhatian dan kasih sayang Papa. Lo harus merasakan apa yang dulu gue rasakan. Hidup menderita dan harus menahan diri saat menginginkan sesuatu dan harus mengumpulkan uang untuk membelinya. Itu sangat menyakitkan. Dan gue, gue bakal bikin Lo merasakan itu semua.
Callista baru saja sampai di rumahnya. Dia membuka gerbang dan melihat mobil Papanya sudah terparkir didepan rumah.
"Non Calista baru pulang.?" Sapa Pak Ranto salah satu penjaga di rumahnya.
"Iya Pa Ranto, Papa sudah pulang ya."
"Sudah Non, sekitar 30 menit yang lalu."
"Aku masuk dulu Pa."
"Silahkan Non."
Calista mengangguk dan berjalan masuk, dia sempat kaget karena tidak biasa Papanya pulang lebih awal seperti ini.
Ceklek.
Pintu utama terbuka dan Calista berjalan masuk. Baru beberapa langkah terdengar suara Papa yang memanggilnya.
"Calista."
Calista memejamkan matanya dan menoleh. Bagas sang Papa berjalan mendekat.
"Dari mana saja kamu?"
"Dari kampus Pa."
"Sejak kapan kamu belajar bohong?"
"Maksud Papa?"
"Talita bahkan sudah sampai dari tadi, habis keluyuran kemana kamu.!"
"Caca engga keluyuran Pa, tadi Caca telat dapet bus pertama dan harus nunggu bus berikutnya."
"Itu cuma alasan kamu saja Calista? Kamu pasti pergi bersama pacar kamu." Lanjut Silvia.
"Maksud Tante."
"Mama benar Pa, tadi aku lihat Calista pulang bareng cowok."
"Benar-benar kamu Calista, Papa kerja cari uang buat biaya kuliah kamu. Tapi kamu malah asik pacaran."
"Talita bohong Pa."
"Sekarang masuk kamar kamu dan siapkan makan malam."
"Tapi Pa, Caca capek."
"Pacaran saja kamu tidak mengeluh bukan?"
Calista menatap Talita yang tersenyum, dia pun berjalan menuju kamarnya.
"Anak itu selalu saja membantah." Kesal Bagas memijat pelipisnya.
"Sabar Mas, mungkin Calista masih belum bisa terima aku dan Talita jadi dia berusaha mencari perhatian kamu." Silvia mengusap bahu suaminya.
"Harusnya dia terima kalian, Padahal kamu juga sudah menganggap dia seperti anak kamu sendiri."
"Perlahan, aku pasti bisa mengambil hati Calista."
Bagas tersenyum dan menggenggam tangan Silvia.
"Makasih ya Sayang, aku ke kamar dulu."
"Iya Mas."
Talita mendekat dan tersenyum melihat bagaimana sekarang Calista tidak bisa mendapatkan kepercayaan Papa kandungnya.
"Perlahan sayang, perlahan kita bisa bikin papa kamu membenci Calista dan mengusirnya dari rumah ini."
"Iya Ma, aku pengin lihat bagaimana Calista merasakan apa yang pernah aku rasakan dulu. Menderita dan tidak bisa membeli apapun yang aku inginkan."
Silvia menatap putrinya, dia merasa bersalah dengan kehidupan mereka dulu.
"Maafin Mama ya Nak, dulu kamu selalu menderita tapi Mama janji, kamu tidak akan pernah merasakannya lagi."Ucap Silvia dan memeluk putrinya.
Setelah selesai berganti pakaian. Calista sudah berada di dapur. Mengambil beberapa bahan untuk membuat makan malam. Sebenarnya dia sangat lelah tapi diapun tidak bisa berbuat apa-apa atau sekedar istirahat.
"Non Caca ngapain di dapur?"
"Caca mau masak Bik."
"Biar Bibi saja ya Non, Non Caca istirahat saja pasti capek kan baru pulang kuliah."
"Gak kok Bik."
Bik Iyem mengusap bahu putri majikannya.
"Non yang sabar ya."
Calista tersenyum dan mengangguk.
"Bibi bantu, Non mau masak apa?"
"Sup ayam aja Bik."
"Bibi cuci sayurannya dulu."
"Makasih ya Bik."
"Sama-sama Non."
Bik Iyem masih menatapnya, dia sudah bekerja di rumah itu dari Calista kecil dan dia sangat menyayangi putri majikannya itu seperti anak sendiri. Dulu kehidupan Calista tidak pernah seperti ini, sangat di sayang dan selalu di manja, namun berubah setelah papanya menikah lagi.
Semua masakan sudah matang dan sudah berada di meja makan. Tentunya Calista yang di bantu oleh Bik Iyem.
Akhirnya selesai juga masaknya, lebih baik aku mandi dulu sekarang. gumam Calista berjalan menuju kamarnya.
Baru saja sampai di depan kamarnya, Calista kaget saat pintu kamar malah terbuka. Dia lantas berjalan masuk dan melihat Talita membuka lemari pakaiannya.
"Talita? Lo ngapain di kamar gue?"
"Gue mau pinjem baju Lo."
"Baju apalagi Ta, baju-baju yang Lo pinjem bahkan gak pernah Lo balikin."
Talita berbalik menatap Calista kesal.
"Oh jadi Lo gak ikhlas pinjemin?"
"Bukan gak ikhlas tapi-
"Ada apa sih nih ribut-ribut?"
"Ini Pa, aku cuma mau pinjem baju tapi gak boleh."
"Bukan gitu Pa._
"Talita itu adik kamu, harusnya kamu bisa pinjamkan ke dia."
"Tapi Pa, dia gak pernah balikin."
"Bukan gak balikin, tapi belum aku balikin Pa."
"Papa gak pernah ajari kamu pelit Calista. Sekarang kasih apa yang adik kamu mau."
"Tapi Pa-
"Calista.!" Bentak Bagas membuat Calista mengalah dan memberikannya.
"Makasih Papa.." Ucap Talita saat sudah mendapatkan bajunya.
"Sama-sama sayang."
Calista menghela napasnya dan matanya mulai berkaca-kaca menatap punggung Bagas yang berjalan keluar dari kamarnya. Sudah lama dia merindukan pelukan Papanya. Sudah lama dia tidak merasakan kasih sayang Papanya. semua kenyamanan yang ada dalam rumahnya hilang.
Calista merindukan sikap Papanya dulu yang selalu memeluknya, memanjakannya, tidak pernah membentaknya.
Papa berubah sekarang Ma. Caca kangen hidup seperti dulu saat Mama masih ada. Caca kangen Mama, Caca pengin nyusul mama..
Calista menyeka air matanya dan mulai membereskan kamarnya.
"Non Caca.."
Calista menoleh, Bik Iyem masuk dan langsung membantu Calista.
"Astaga Non, kenapa berantakan seperti ini."
"Gapapa Bik."
"Pasti karena Non Talita lagi kan? Non yang sabar ya."
Calista mengangguk "Caca capek bik."
Bik Iyem menatapnya, dia tidak tega melihat Calista selalu menderita seperti ini.
"Non Caca jangan nangis." Ucap Bik Iyem memeluknya.
"Caca capek Bik, Caca pengin ikut Mama."
"Non jangan bicara seperti itu, Mama pasti sedih lihat non menangis. Non Caca anak yang kuat."
"Tapi Papa berubah Bik, Papa gak sayang lagi sama Caca."
"Tidak ada orang tua yang tidak sayang anaknya Non, mungkin Papa sedang capek kerja hari ini."
Calista terdiam dan masih dalam pelukan Bik Iyem.
"Sekarang non mandi terus makan malam, biar bibi yang beresin."
Calista mengusap air matanya.
"Makasih ya Bik."
"Sama-sama Non."
Calista beranjak bangun dan masuk kamar mandi. Bik Iyem masih terus menatapnya, dia tau bagaimana perasaan Calista sekarang. Dia pun tidak kalah sedih. air matanya menetes.
Non Caca pasti kuat, bibi janji bakal selalu ada buat non dan akan selalu jaga Non Caca.
Di dalam kamarnya, Talita tersenyum menang saat bisa mendapatkan gaun yang dia incar selama ini.
"Sayang, kamu kenapa senyum-senyum seperti itu."
Silvia berjalan masuk dan menghampiri putrinya yang berdiri di depan cermin.
"Aku bahagia banget Ma."
"Bahagia kenapa? cerita dong sama Mama."
"Mama lihat ini, ini baju yang Minggu lalu aku pengin karena limited edition tapi malah Calista yang dapetin"
"Iya terus kenapa bisa ada di kamu sayang."
"Aku rebut lah Ma."
Silvia tersenyum dan mengusap wajah putrinya.
"Bagus sayang, kamu rebut apapun yang kamu mau."
"Pasti dong Ma, aku gak mau ya hidup kayak dulu lagi. Menderita dan enggak bisa beli apapun."
"Maafin Mama ya sayang, karena dulu kamu hidup menderita."
"Itu hanya mimpi buruk Ma, dan sekarang aku bakal hidup bahagia karena Mama sudah menjadi istri pengusaha kaya raya."
Silvia mengangguk dan memeluk putrinya.
Calista membuka matanya perlahan karena cahaya yang mulai memancar masuk lewat jendela kamarnya. Weekend, membuat Calista tidak harus buru-buru bangun dan menyiapkan sarapan. Dia beranjak bangun dan menyambar ponselnya.
Abian.
Pagi Ca, jangan Lupa jam 10 kita ketemu di Cafe buat bahas tugas Pak Dodi.
Calista tersenyum dan menatap jam yang baru pukul 7 pagi, dia beranjak bangun dan akan bersiap.
Di dalam kamar, Talita masih bergelut dengan selimut tebalnya. Membuka handphone dan mulai bergulir bermain beberapa aplikasi di sana. Sampai akhirnya dia membuka salah satu media sosial miliknya dan apa yang dia lihat membuatnya harus menahan emosi. Dimana Abian membuat stori jika hari ini dia akan bertemu dengan perempuan yang dia sukai di sebuah Cafe. Talita menggeleng, tidak bisa. Dia tidak mau Abian bersama cewek lain.
Talita beranjak bangun dan keluar kamarnya, namun dia berpapasan dengan Calista yang sudah bersiap.
"Mau kemana Lo?"Ucapnya menghampiri Calista.
Calista menoleh dan menghela napasnya. "Bukan urusan Lo."
"Ini bukan urusan gue selama gue gak adu ke Papa."
Calista berbalik menatap saudara tirinya, selalu saja Talita akan mengancamnya.
"Bukannya sudah biasa Lo ngadu ke Papa."
"Lo.-
"Calista, Talita, ada apa ini.!"Bagas datang bersama Silvia.
"Ini Pa, tadi aku cuma tanya Kaka Caca mau kemana tapi malah aku di marahin padahal aku cuma tanya biasa." Adu Talita membuat Calista memutar bola matanya malas.
Bagas beralih menatap Calista. "Mau kemana kamu pagi-pagi."
"Belajar kelompok Pa, ada tugas di kampus."
"Belajar.?" potong Talita dan sedikit berpikir dan membulatkan matanya saat teringat dengan stori Abian.
"Aku ikut ya, lagian juga kan aku ada beberapa bab yang belum ngerti, boleh kan Pa."
"Boleh sayang."
"Tapi kan Lo bukan kelompok gue, kenapa Lo gak sama kelompok Lo."
"Calista, apa salahnya adik kamu ikut."
"Tapi Pa ini -
"Ya sudah sayang, kamu siap-siap Papa kasih ijin."
"Yes,, makasih Papa."
Calista menghela napasnya, selalu saja dia harus mengalah dengan Talita.
"Jaga adik kamu, Papa gak mau lagi liat Talita pulang ngambek apalagi nangis."
"Dia udah gede."
"Calista, Mama tau kamu belum mau terima Talita sebagai adik kamu sayang. Tapi pelan-pelan ya Nak." Silvia berucap dengan dramanya.
"Mulai lagi dramanya."
"Calista.! Jaga bicara kamu."
"Terus aja Papa belain mereka, memang selalu Caca yang salah di sini."
"Calista.!"
"Mas udah, ini masih pagi jangan marah-marah oke."
Bagas memijat pelipisnya, dia mengangguk dan berjalan masuk kamar.
Calista masuk ke dalam mobilnya, mengepalkan tangannya kesal. Selalu saja dia yang salah, selalu saja dia harus mengalah dengan semua hal.
Brak.!
Pintu mobil tertutup, Talita duduk di kursi samping dan tersenyum.
"See, gue lagi yang menang kan?"
"Silahkan lanjutkan drama kalian, dan lihat endingnya gimana nanti." Ucap Calista tersenyum dan melajukan mobilnya.
Cafetaria.
Abian juga Bela sudah berada di sana menunggu Calista yang sudah mengabarkan jika sudah di jalan.
"Udah di jalan." Ucap Bela saat membaca pesan dari Calista.
"Oke kita tunggu."
Bela mengangguk dan mengaduk jus alpokat miliknya. Sedangkan Abian terlihat berbeda membuat Bela menatapnya.
"Bi.."
"Kenapa Bel."
"Gue lihat Lo beda hari ini."
"Beda gimana maksud Lo."
"Lo wangi banget dan Lo- Ucapan Bela terputus dan menatap tampilan Abian. mulai dari potongan rambut juga cara berpakaiannya.
"Lo naksir Calista.?" Imbuhnya membuat Abian kaget.
"Gak usah ngarang Bel."
"Udah ngaku aja deh Bi, bener kan Lo naksir Calista."
Abian tersenyum "Kelihatan banget ya."
Bela tertawa dan mengangguk.
"Gue bisa lihat tingkah Lo Bi, tapi gue seneng sih kalau Lo suka Calista secara dia kan-
"Hai sorry gue telat ya."
Abian juga Bela menoleh, namun mereka menatap Calista datang bareng Talita.
"Hai Abian.." Sapa Talita tersenyum.
"Ca dia.-
"Dia mau ikut belajar boleh kan?" Ucap Calista
"Oh ya boleh sih."
"Ada beberapa hal yang gak gue ngerti, jadi Abian, Lo mau kan bantu gue buat jelasin." Ucap Talita yang langsung duduk di samping Abian.
"Nanti gue jelasin, Ca, Lo mau pesena apa?" Ucap Abian menatap Calista yang duduk di samping Bela.
"Jus strawberry aja Bi."
"Oke sebentar ya, Mbak.-
"Jus strawberry 1 sama Lo apa Ta.?"
"Gue pesen Orange jus aja."
"Jus strawberry 1, Orang'e Jus 1 dan waffle coklat tapi coklat biasa ya Mba jangan ada kacangnya." Pesan Abian membuat Talita menoleh.
"Bi, gue suka kacang kok."
"Calista alergi kacang, iya kan Ca?"
"Iya Bi, thanks ya."
"Sama-sama, Sekarang kita mulai belajarnya aja gimana."
"Oke."
Talita terdiam, tangannya mengepal melihat bagaimana Abian yang selalu tersenyum saat menatap Calista dan bagaimana Abian yang tau jika Calista alergi kacang.
"Permisi pesannya."
"Terimakasih Kak."
"Ca Lo makan waffle nya dulu aja, Lo pasti belum sarapan kan tadi." Ucap Abian menyodorkan sepiring waffle coklat.
"Ciye,, perhatian banget Bi." Goda Bela membuat Talita semakin kesal.
"Iya nanti gue makan." Ucap Calista tersenyum.
Abian tersenyum dan terus menatap Calista yang berdiskusi dengan Bela dan semua itu tidak luput dari tatapan Talita yang sangat tidak suka. Dia mengepalkan tangannya. Awas saja dia akan adukan semuanya nanti dan membuat Calista kembali di siksa Papanya.
Talita merasa jenuh berada di sana, kalau saja tidak karena ingin ketemu Abian sudah pasti dia tidak akan ikut dan lebih memilik shoping atau cuma rebahan di rumah. Apalagi melihat Abian yang terus menatap Calista seperti sekarang. Saat Calista merasa ada yang belum paham, Abian tampak sabar dan penuh perhatian menjelaskannya.
"Oya Bi, gue juga masih gak paham deh. Lo mau juga kan ajari gue." Ucap Talita membuat Abian menoleh.
"Mana yang Lo gak paham?"
Talita tersenyum dan menggeser kursinya lebih dekat.
"Em- bagian ini gue gak paham gimana konsepnya."
Abian mengangguk dan mulai menjelaskannya, sedangkan Bela menautkan alisnya. Dia tau kalau sebenernya itu cuma akal Talita saja supaya bisa dekat dengan Abian.
"Bel, gue ke toilet dulu ya." Ucap Calista beranjak bangun membuat Abian mendongak.
"Ca, Lo mau kemana?"
"Toilet." Jawab Calista berjalan pergi, Namun Abian terus menatapnya membuat Talita kesal.
"Abian ,,"
"Sorry, kita lanjut."Ucapnya dan Talita mengangguk.
Calista berjalan menuju toilet yang berada di ujung Cafe, berjalan sedikit menunduk karena membenarkan pakaiannya.
Bruk.!
Tubuhnya tidak sengaja menabrak sesuatu, tubuhnya hampir saja terjatuh namun sebuah tangan kekar menahan pinggangnya.
Calista bisa mendongak dan tatapan matanya bertemu dengan mata seseorang yang sangat tajam, mata berwarna hitam, hidung yang sangat mancung, rahang keras.
"Sorry Sorry,," Ucap Calista mendorong tubuh laki-laki itu.
"Hati-hati." Ucap laki-laki itu dengan masih menatap Calista.
Calista mengangguk dan tersenyum.
Dia kembali berjalan melewatinya membuat Laki-laki itu tersenyum.
-My Little Girls-
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!