BLLLAAAAMMMMMM!!!!
Suara meriam cetbang terdengar menggema di dinding benteng pertahanan prajurit Kertabhumi yang berada di barat batas Kota Anjuk Ladang, ibukota Mandala Kertabhumi, tepatnya di Pakuwon Waringinanom yang merupakan daerah penyangga kotaraja. Bukan dari meriam milik mereka tetapi dari musuh yang yang menyerbu dari barat.
Satu sisi benteng pertahanan yang terbuat dari batang kayu gelondongan sebesar betis orang dewasa itu hancur karena nya. Meskipun tidak hancur karena hantaman bola meriam, tetapi ini membuat benteng pertahanan ini semakin rusak, tinggal menunggu waktu saja untuk roboh.
"Pertahankan posisi!! Jangan biarkan benteng pertahanan kita hancur! ", teriak perwira prajurit berpangkat Tumenggung yang memimpin pasukan Kertabhumi.
Dia adalah Tumenggung Kidang Sampir, salah satu dari tiga tumenggung andalan Kertabhumi yang bukan hanya memiliki ilmu kanuragan yang mumpuni tetapi juga terkenal pintar mengatur pasukan.
Ratusan prajurit bertubuh besar terus memegangi patok dan tiang pancang benteng pertahanan yang terbuat dari kayu kayu besar. Badan mereka sudah penuh dengan keringat. Rasa lelah nampaknya juga tersirat dari wajah mereka yang kuyu tetapi sebagai prajurit Kertabhumi yang kondang pantang menyerah, mereka tidak akan pernah meninggalkan posisinya sampai titik darah penghabisan.
"Bagaimana pertahanan kita, Tumenggung Kidang Sampir? Apa masih sanggup untuk bertahan lebih lama lagi? ", tanya Werdhamantri Gajah Mungkur, pimpinan tertinggi dari pasukan Kertabhumi yang ditugaskan oleh Bhre Sindupati, raja Mandala Kertabhumi, untuk menghancurkan pasukan pemberontak.
Lelaki tua bertubuh gempal ini nampak khawatir setelah berulang kali benteng pertahanan mereka digempur oleh meriam cetbang dari pasukan pemberontak.
Dua pekan ini gelombang penyerangan pasukan pemberontak mulai bergerak ke arah Kota Anjuk Ladang. Berawal dari wilayah perbatasan dengan Caruban yang masuk wilayah Mandala Jagaraga, mereka bergerak menguasai desa-desa di barat hingga akhirnya menguasai seluruh wilayah Pakuwon Wilangan.
Beberapa desa bahkan menyerah pada pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Mahesa Sura yang didukung oleh para pendekar dari beberapa perguruan dan beberapa orang suruhan pejabat Jagaraga dan Pandanalas yang diam-diam membantu mereka dengan prajurit juga senjata seperti meriam cetbang maupun senjata tajam buatan pandai besi terbaik di mereka.
Satu purnama yang lalu setelah peristiwa pemusnahan Padepokan Bukit Rawit...
Mahesa Sura tiba di tepian sungai kecil yang ada di tapal batas Pakuwon Caruban. Dia benar-benar letih setelah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk menggunakan Ajian Halimun demi menyelamatkan Tunggak, Cempakawangi, Sempani dan Nyai Landhep setelah mereka terkepung oleh ratusan prajurit Kertabhumi.
Tewasnya Pusparini di tangan Si Jerangkong Hitam dan Tumpaksuru di ujung pedang Senopati Kebo Bang benar-benar membuat mereka larut dalam kesedihan hingga meskipun selamat setelah munculnya bantuan tak terduga yang sama sekali tidak mereka harapkan, mereka semua hanya diam tanpa berkata apa-apa.
"Hiks hiks hiks, Kakang Mahesa Pusparini hiks.. ", tangis Cempakawangi lirih sambil menatap ke arah Mahesa Sura yang duduk selonjoran dan menata ulang pernafasan nya yang masih ngos-ngosan.
"Aku tahu apa yang kau rasakan, Cempaka.. Aku pun juga merasakan hal yang sama.
Yang terpenting sekarang, kita masih hidup. Masih banyak waktu untuk membalas dendam pada Bhre Sindupati dan Werdhamantri Gajah Mungkur di hari berikutnya", ucap Mahesa Sura setelah bisa bernafas lega.
"Iblis Wulung benar, Nimas Cempakawangi..
Aku juga ingin menuntut balas atas kematian Tumpaksuru kawan karib ku. Mereka harus menerima buah dari perbuatan jahat yang mereka lakukan", sahut Sempani segera.
" Aku setuju dengan pendapat kalian semua, kita memang harus membalas dendam atas perbuatan keji mereka yang membantai para murid ku. Tetapi kita harus menyiapkan sebuah rencana jika ingin melakukan nya. Mereka adalah para penguasa Mandala Kertabhumi, tidak mudah untuk membunuh mereka berdua.
Sekarang yang harus kita lakukan sekarang ini adalah mencari sebuah tempat perlindungan sambil memulihkan kembali tenaga kita. Aku yakin orang-orang Istana Anjuk Ladang akan segera melakukan pencarian terhadap kita ", ucap Nyai Landhep yang membuat mereka semua mengangguk setuju.
" Sepertinya kita ada di tapal batas wilayah Kertabhumi dan Jagaraga, itu tugu perbatasan nya..
Apa kita tidak sebaiknya ke Pakuwon Caruban untuk mencari tempat perlindungan? ", Tunggak yang sejak tadi diam, ikut bicara.
Nyai Landhep mengerutkan keningnya tanda berpikir keras. Tiba-tiba ia teringat sesuatu yang langsung membuat wajahnya sumringah.
" Aku tahu suatu tempat yang aman untuk kita. Ayo ikuti aku.. ", ucap Nyai Landhep sembari melangkah ke arah utara. Tak punya pilihan lain selain itu maka Mahesa Sura, Cempakawangi, Tunggak dan Sempani pun segera mengikuti langkah perempuan tua itu.
Menyusuri jalan setapak yang membelah Alas Saradan yang ditumbuhi oleh pohon jati yang sedang meranggas, mereka akhirnya sampai di sebuah perkampungan kecil yang letaknya tersembunyi dari jangkauan para prajurit Kertabhumi.
Kampung kecil ini di kelilingi oleh sungai, rawa dan hanya menyisakan satu jalur darat yang sulit ditembus karena harus melewati bukit berbatu-batu. Kampung ini adalah Kampung Widas, sesuai dengan nama sungai yang mengalir di sebelahnya.
Di ujung kampung terpencil ini terdapat sebuah tempat pemujaan Dewa Siwa yang juga menjadi tempat tinggal sang kepala kampung yang bernama Rakai Pamutuh. Kesana lah tujuan Nyai Landhep dan rombongan Mahesa Sura.
Matahari telah bergeser ke arah barat menjadikan terik matahari yang sempat membuat panas berangsur mendingin dan udara menjadi bersahabat untuk tubuh. Seorang lelaki tua dengan rambut penuh uban nampak sedang asyik membersihkan bokor kuningan yang biasa digunakan untuk menaruh air suci petirtaan upacara pada kolam yang ada di sebelah bangunan suci pemujaan Dewa Siwa. Tetapi kejap berikutnya ia menghentikan pekerjaan nya kala seorang cantrik pemujaan Dewa Siwa datang sambil memberitahukan kepada nya bahwa ada orang yang sedang mencarinya.
"Kau kenal dengan mereka? ", tanya lelaki tua itu segera.
"Tidak Ki, mereka bukan warga kampung sini ataupun kampung terdekat. Dan yang aneh beberapa bagian bajunya masih ada noda darah yang lupa dibersihkan.
Apa mereka jangan-jangan gerombolan perampok yang ingin mengacau di kampung Widas ini Ki Rakai? ", ucap cantrik itu dengan takut-takut.
Memikirkan sesuatu hal yang buruk, lelaki tua yang bernama Rakai Pamutuh itu segera meninggalkan bokor kuningan nya dan segera menoleh ke arah cantrik nya itu.
"Ayo kita temui mereka... "
Keduanya bergegas menuju ke arah pintu gerbang sanggar pamujan itu. Beberapa muridnya nampak berkerumun di dekat pintu masuk untuk berjaga-jaga jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
"Kakang Rakai Pamutuh, kau semakin terlihat tua sekarang ya.. ", ujar Nyai Landhep sambil tersenyum lebar kala Rakai Pamutuh datang.
Lama Rakai Pamutuh menatap wajah Nyai Landhep seolah-olah mencoba untuk mengorek ingatan lamanya. Saat ia mengingat kembali kenangan lamanya, senyum tipis terukir di wajahnya.
" Landhep, kau kah itu? ", mendengar pertanyaan Rakai Pamutuh, Nyai Landhep menganggukkan kepalanya segera.
" Adik seperguruan ku, sudah lama sekali kita tidak bertemu ya. Sudah hampir 20 tahun berlalu. Ayo kita masuk...
Banar, Kuruwelut..
Siapkan makanan untuk adik seperguruan ku ini. Aku menunggu mu di pendapa ", yang disebut segera mengiyakan sebelum meninggalkan tempat.
Sesampainya di pendapa, Rakai Pamutuh mempersilahkan para tamu nya untuk duduk. Melihat keadaan Nyai Landhep dan kawan-kawan yang sepertinya baru bertarung, Rakai Pamutuh segera bertanya.
"Kalau boleh tahu, angin apa yang membawa mu kesini Landhep? Bukankah kau sekarang adalah pimpinan Padepokan Bukit Rawit? Kenapa penampilan mu malah mirip orang yang baru dirampok seperti ini? "
Nyai Landhep menghela nafas panjang. Lalu ia menatap wajah tua Rakai Pamutuh yang terlihat sangat penasaran dengan keadannya.
"Padepokan Bukit Rawit sudah tidak ada lagi Kakang.. "
APPAAAAAAAAAAA???!!!
Rakai Pamutuh terlonjak dari tempat duduk nya saking kagetnya mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Nyai Landhep. Sebagai salah satu lulusan dari Padepokan Bukit Rawit, tentu saja ini merupakan kabar terburuk yang ia dengar.
Nyai Landhep segera menceritakan tentang hancurnya Padepokan Bukit Rawit termasuk tuduhan palsu dari pemerintah Kerajaan Kertabhumi tentang pemberontakan yang akan dilakukan oleh mereka. Rona wajah tua Rakai Pamutuh berubah-ubah ketika Nyai Landhep menceritakan terbakarnya padepokan hingga akhirnya mereka sampai ke tempat itu.
"Lantas apa rencana mu kedepannya, Landhep? ", tanya Rakai Pamutuh setelah Nyai Landhep mengakhiri ceritanya.
" Aku tidak tahu, Kakang. Untuk saat ini aku hanya mencari tempat perlindungan dari kejaran prajurit Kertabhumi saja. Selain itu, aku juga ingin mencari tahu tentang asal usul pemuda ini", perhatian Rakai Pamutuh segera teralihkan pada Mahesa Sura setelah Nyai Landhep menunjuknya.
Sekilas Rakai Pamutuh menatap wajah tampan Mahesa Sura dan wajah seseorang dari masa lalunya pun segera terlintas di benak lelaki tua itu. Wajah seorang bangsawan yang pernah ia ikuti selama beberapa tahun sebelum akhirnya ia menetap di Kampung Widas ini.
Tiba-tiba mata tua Rakai Pamutuh terpaku pada sebuah kalung berbandul perak dengan ukiran kepala gajah. Tanpa basa-basi lagi, ia langsung bertanya,
"Pendekar Muda,
Darimana kau dapatkan kalung itu? "
Mahesa Sura menoleh ke arah Nyai Landhep dan ketika Nyai Landhep menganggukkan kepala nya sebagai isyarat agar Mahesa Sura bicara, pendekar muda berjuluk Iblis Wulung ini pun segera menghela nafas panjang.
"Benda ini adalah peninggalan dari orang tua ku, Kisanak..
Ia sudah ada bersama ku sejak aku masih bayi dan diselamatkan oleh orang tua angkat ku. Kata mereka, ketika benda ini dalam genggaman tangan ku ada sebuah bendera berwarna merah dengan lambang api di tengah-tengah. Itu saja yang aku tahu tentang benda ini Kisanak. Apakah Kisanak mengetahui sesuatu tentang bandul perak ini? ", tanya Mahesa Sura segera.
" Apa boleh aku melihatnya lebih dekat? ", tanpa pikir panjang, Mahesa Sura melepaskan kalungnya setelah Rakai Pamutuh berbicara.
Begitu tangannya menyentuh bandul perak ini, mata tua Rakai Pamutuh langsung nanar seketika.
" I-ini ini huhuhu...
Setelah sekian lama akhirnya aku melihat lagi bandul kalung ini huhuhuhuhu... ", tangis haru Rakai Pamutuh pecah seketika.
" Kakang Pamutuh, kenapa kau malah menangis? Apa sebenarnya rahasia dari kalung perak itu? ", tanya Nyai Landhep segera.
" Ini adalah kalung milik Dyah Pitaloka yang merupakan barang pemberian dari istri Mapatih Gajah Mada, Landhep...
Dengan adanya benda ini dulu, orang yang memegang nya akan dianggap sebagai kerabat dekat Mapatih Gajah Mada dan tak seorangpun yang akan berani mengusiknya. Ini adalah hadiah pernikahan Dyah Pitaloka dengan Dyah Mahisa Rangkah cucu Raden Cakradhara dari selirnya", ucap Rakai Pamutuh yang membuat semua orang terkejut mendengarnya.
"Jadi maksud Kakang Pamutuh pemuda ini adalah anak Dyah Pitaloka dengan Raden Mahisa Rangkah? ", tanya Nyai Landhep segera. Rakai Pamutuh pun segera menganggukkan kepala.
" Tidak salah lagi, anak muda ini adalah putra dari Dyah Pitaloka dengan Raden Mahisa Rangkah. Wajahnya sangat mirip dengan Raden Mahisa Rangkah saat ia masih muda", jawab Rakai Pamutuh penuh keyakinan.
Wajah Mahesa Sura memerah mendengar omongan Rakai Pamutuh. Dia pernah mendengar cerita orang tentang sebuah keluarga bangsawan Daha yang di bantai oleh perampok setelah sepekan kelahiran anak semata wayang mereka. Tak dinyana bahwa keluarga bangsawan yang dia dengar beberapa tahun yang lalu adalah keluarganya sendiri.
Api dendam yang sempat mendingin beberapa waktu lalu kini seolah membara kembali. Dia ingin menuntut keadilan atas nasib kedua orang tuanya yang telah melahirkan nya ke dunia ini.
Rakai Pamutuh lalu menceritakan tentang kisah masa lalu nya kala ia masih menjadi pengikut setia Mahisa Rangkah. Selama bertahun-tahun, Rakai Pamutuh terus mendampingi hidup sang majikan hingga akhirnya sang majikan menikahi putri sulung Bhre Kertabhumi yang bernama Dyah Pitaloka.
Setelah majikannya menikah, Rakai Pamutuh memutuskan untuk juga memulai hidup baru dengan istrinya di kampung terpencil ini atas seizin Bhre Kertabhumi dan Dyah Mahisa Rangkah. Ia baru mendengar kabar mengejutkan dari bekas majikannya itu setelah berdagang ke Pakuwon Wilangan. Berpuluh-puluh tahun ini ia menyesali tindakan nya memulai hidup baru dengan meninggalkan majikannya itu.
"Andai aku tahu bahwa di kemudian hari nasib buruk akan menimpa majikan ku Raden Mahisa Rangkah, aku pasti akan tetap bersama nya hingga maut menjelang", pungkas cerita Rakai Pamutuh sembari menyeka air mata nya.
" Jadi aku benar-benar anak dari Dyah Pitaloka dengan Raden Mahisa Rangkah, Ki Rakai?", tanya Mahesa Sura sembari menatap kedua mata tua Rakai Pamutuh seperti sedang berharap bisa mendapatkan apa yang ia cari selama ini.
"Benar, Anak Muda..
Kau adalah putra semata wayang dari Dyah Pitaloka dan Dyah Mahisa Rangkah. Bandul kalung perak bergambar kepala gajah itu adalah bukti nya", jawab Rakai Pamutuh seraya menganggukkan kepalanya.
" Jika Ki Rakai Pamutuh tahu, siapakah sebenarnya nama asli ku? Nama Mahesa Sura adalah nama pemberian orang tua angkat ku Mpu Randu dan Nyai Ringgit, aku juga ingin menggunakan nama asli pemberian dari orang tua kandung ku Ki..", lanjut Mahesa Sura kemudian.
"Dulu aku pernah mendengar nama anak dari majikan ku itu, Anak Muda.
Seingat ku, nama anak Raden Mahisa Rangkah itu adalah Dyah Mah... sebentar aku ingat ingat dulu, Dyah Mah.. Ya, Dyah Mahisa Danurwenda. Ya itu nama asli mu, anak muda. Dyah Mahisa Danurwenda, kau adalah titisan darah biru yang sebenarnya....", ucap Rakai Pamutuh penuh keyakinan.
Semua orang yang ada disitu langsung menatap ke arah Mahesa Sura penuh arti. Sungguh, terbukanya jati diri Mahesa Sura yang selama ini menjadi misteri bagi sang pendekar merupakan sebuah titik terang tentang asal usul dari pendekar yang berjuluk Si Iblis Wulung ini.
"Dyah Mahisa Danurwenda...
Kanjeng Romo Mahisa Rangkah, Biyung Dyah Pitaloka. Aku Dyah Mahisa Danurwenda pasti akan mencari keadilan untuk kalian. Aku bersumpah atas nama Hyang Batara Siwa, mereka yang sudah mencelakai kalian akan ku balas berkali-kali lipat!!", ucap Mahesa Sura sambil mengepalkan tangannya erat-erat.
"Aku akan mendukung mu, Raden..
Puluhan tahun aku hidup dengan penyesalan yang selalu menghantui setiap malam ku. Apapun yang Raden inginkan, saya akan ikut serta. Termasuk jika Raden Dyah Mahisa Danurwenda ingin meminta hak yang seharusnya menjadi milik Raden", lanjut Rakai Pamutuh kemudian.
"Hak? Hak apa Ki? ", Mahesa Sura menatap Rakai Pamutuh penuh pertanyaan.
" Tentu saja hak atas tahta Kerajaan Kertabhumi.. "
Kembali ucapan Rakai Pamutuh mengejutkan Tunggak, Cempakawangi, Nyai Landhep dan Sempani. Jelas bahwa jika Mahesa Sura ingin meminta hak nya sebagai putra dari Dyah Pitaloka sang putri mahkota Kerajaan Kertabhumi, maka ini juga merupakan sebuah pemberontakan melawan penguasa Mandala Kertabhumi yang sekarang, Dyah Sindupati.
"Kita mau memberontak Ki? ", sela Cempakawangi seolah-olah mengungkapkan perasaan semua orang yang ada disitu.
" Kalau itu adalah jalan satu-satunya untuk mendapatkan hak yang seharusnya menjadi milik Raden Dyah Mahisa Danurwenda, kenapa tidak?
Dyah Sindupati Bhre Kertabhumi sekarang adalah penguasa yang lalim dan sewenang-wenang dalam menjalankan tugasnya sebagai kepala negara. Sudah banyak rakyat dan orang yang tidak bersalah menjadi korban dari kelaliman nya. Dia terlalu mendengarkan omongan Werdhamantri Gajah Mungkur yang merupakan penjahat sebenarnya dari semua tindakan busuknya. Kalian sendiri sudah merasakan kesewenang-wenangan nya bukan? "
Nyai Landhep pun langsung teringat akan peristiwa yang baru saja dialaminya. Pemusnahan Padepokan Bukit Rawit dengan alasan akan memberontak yang jelas-jelas itu hanyalah sebuah rekayasa para penguasa Kertabhumi untuk menghancurkan perguruan silat yang sudah ada selama ratusan tahun ini. Rasa marah pun langsung membara di hatinya.
"Aku juga akan mendukung mu jika kau ingin memberontak melawan kekuasaan paman mu, Nakmas..
Dengan pengaruh ku dan para lulusan dari Padepokan Bukit Rawit yang sudah membaur dengan masyarakat, aku bisa mengumpulkan ratusan pendukung untuk rencana mu dengan cepat", ucap Nyai Landhep segera.
Cempakawangi pun segera menoleh ke arah Sempani yang sedari tadi hanya diam mendengarkan.
"Paman Sempani, apakah kita bisa meminta bantuan pada Romo Dewa Pedang untuk membantu niat Kakang Mahesa Sura ini? ", Cempakawangi menatap wajah Sempani penuh harap.
" Jika Iblis Wulung menginginkan hal ini, aku pasti akan membujuk Pimpinan untuk ikut serta. Tumpaksuru tidak boleh mati sia-sia. Aku akan ikut serta jika Iblis Wulung ingin memberontak terhadap Bhre Kertabhumi ", jawab Sempani penuh semangat.
" Kakang Mahesa, kau dengar sendiri bukan? Lembah Seratus Pedang akan turun tangan jika kau ingin meminta hak mu atas tahta Kertabhumi.
Apakah kau benar-benar ingin mengambil kembali tahta yang seharusnya menjadi milik mu? ", pertanyaan Cempakawangi ini seolah-olah mewakili semua orang yang ada. Sebab sejak ucapan Ki Rakai Pamutuh ini terucap, Mahesa Sura diam dan terus mendengarkan omongan mereka. Sepertinya ia sedang berpikir keras.
Ruangan itu menjadi sunyi, semua mata tertuju pada Mahesa Sura. Semuanya menunggu setiap kata yang akan terucap dari bibirnya.
Hemmmmm...
Helaan nafas panjang terdengar dari mulut Mahesa Sura memecah keheningan ruang pendapa sanggar pamujan yang juga merupakan rumah Rakai Pamutuh, kepala Kampung Widas. Usai menghela nafas, Mahesa Sura pun segera berkata,
"Selama ini kita sudah kerap dianiaya oleh para pejabat pemerintah Kertabhumi karena kita tidak memegang tampuk kekuasaan. Maka mulai hari ini dan seterusnya, aku Dyah Mahisa Danurwenda putra Dyah Pitaloka dan Dyah Mahisa Rangkah, penerus sah dari penguasa Kertabhumi sebelumnya...
Akan merebut kembali apa yang seharusnya menjadi milik ku!!!!"
Semua orang yang ada di ruangan pendapa sanggar pamujan Kampung Widas itu langsung menganggukkan kepalanya mendengar omongan Si Iblis Wulung. Dalam hati mereka, semuanya mengucapkan sumpah setia akan berjuang bersama demi mengembalikan tahta Kertabhumi kepada pemilik sahnya.
Malam semakin larut. Dingin musim kemarau mulai mencekik kulit para penduduk Kampung Widas hingga mereka harus menggunakan selimut dan kain yang tebal untuk menghangatkan tubuh. Bulan sabit yang menggantung di langit barat seolah menjadi saksi akan sebuah babak baru dalam sejarah Mandala Kertabhumi.
Dua hari kemudian...
Pagi itu di kediaman Rakai Pamutuh, usai sarapan pagi bersama Sempani mendekati Cempakawangi dan Mahesa Sura.
"Pagi ini juga aku akan berangkat ke Lembah Seratus Pedang, Nimas..
Masalah ini harus secepatnya kita selesaikan. Aku akan membujuk para sesepuh Lembah Seratus Pedang untuk memberikan bantuan kepada Iblis Wulung. Aku mohon undur diri, Nimas Cempaka. Secepatnya aku akan kembali lagi dengan membawa bantuan dari Lembah Seratus Pedang ", ucap Sempani sembari membungkuk hormat.
"Hati-hati Paman..
Sampaikan kepada mereka bahwa aku tidak mendukung Kakang Mahesa Sura hanya karena aku adalah kekasihnya tetapi aku mendukungnya karena aku melihat penderitaan rakyat Kertabhumi", balas Cempakawangi sembari menganggukan kepalanya sebagai isyarat setuju dengan permintaan pengiringnya itu.
Sempani menatap ke arah Mahesa Sura sesaat sebelum ia melompat ke atas punggung kuda pemberian Rakai Pamutuh.
"Aku titip Nimas Cempaka, Iblis Wulung. Jika sampai terjadi sesuatu pada nya, aku akan mengejar mu meskipun hingga ke ujung dunia sekalipun", ucap Sempani segera.
" Kau tak perlu khawatir, Paman. Aku akan menjaganya dengan nyawa ku", sahut Mahesa Sura sembari tersenyum.
Sempani menggebrak kuda tunggangan nya melesat ke arah barat, meninggalkan Kampung Widas. Debu-debu jalanan beterbangan mengiringi derap kaki kuda mencecah jalanan setapak yang membelah hutan di barat kampung terpencil itu.
"Aku juga akan mencari dukungan dari bekas murid Padepokan Bukit Rawit, Raden..
Aku ingat beberapa orang murid kesayangan ku menetap di beberapa wilayah yang berada di sekitar Pakuwon Wilangan ini. Aku sangat yakin mereka akan bersedia untuk bergabung dengan kita", ujar Nyai Landhep yang nampak sudah bersiap untuk pergi. Buntalan kain hitam khas seorang pengembara yang berisi bekal perjalanan sudah tersandang rapi di pundaknya.
"Apa kau tidak ingin membawa seseorang untuk menemani perjalanan mu Nyai? ", tanya Mahesa Sura yang segera dibalas dengan gelengan kepala Nyai Landhep.
" Tidak perlu, Raden..
Itu malah akan memperlambat laju pergerakan ku. Jika bertemu dengan para prajurit Kertabhumi pun aku juga tidak akan sembarangan bertindak. Jangan khawatir, aku akan baik-baik saja. Aku permisi dulu.. "
Usai berkata demikian, Nyai Landhep menjejakkan kakinya ke tanah dengan keras. Tubuh perempuan paruh baya itu langsung melenting tinggi ke angkasa dan sekejap mata kemudian ia sudah menghilang dari pandangan mata Mahesa Sura dan Cempakawangi.
Tak lama setelah Sempani dan Nyai Landhep pergi, Rakai Pamutuh datang bersama dengan Tunggak dan beberapa orang kepercayaan nya. Lelaki tua yang rambutnya telah memutih itu nampak celingak-celinguk mencari sesuatu.
"Nyai Landhep kemana Nakmas Pangeran?", tanya Rakai Pamutuh segera.
" Dia sudah pergi, Ki..
Katanya ingin meminta bantuan dari bekas murid Padepokan Bukit Rawit yang tinggal di sekitar Pakuwon Wilangan sini", sahut Cempakawangi yang diamini dengan anggukan kepala Mahesa Sura.
"Hadehh perempuan itu tetap saja keras kepala semaunya sendiri seperti dulu..
Huuuhhhhh, sudahlah terserah mau apa dia. Sasongko, Banyak Reksa..!
Kalian berdua aku tugaskan untuk menghubungi Akuwu Caruban dan Gemarang juga pada Tumenggung Lembu Ijo di Jagaraga. Yakinkan mereka untuk membantu kita jika ada pertanyaan setelah membaca nawala yang ku kirimkan. Ingat, jika mereka tidak bersedia untuk memberikan bantuan berupa prajurit, lebih baik kalian terima jika bantuan nya berupa harta benda yang bisa kita gunakan sebagai modal awal perjuangan kita. Kalian mengerti?", Rakai Pamutuh menatap wajah dua orang kepercayaan nya itu lekat-lekat.
"Kami mengerti Lurah e.. ", jawab Sasongko dan Banyak Reksa bersama-sama.
Dua orang kepercayaan Rakai Pamutuh itu bergegas pergi dengan menaiki kuda yang sudah disiapkan sebelumnya. Keduanya bergegas menuju ke arah wilayah Pakuwon Caruban yang ada di sebelah barat.
Setelah mereka pergi, Tunggak mendekati Mahesa Sura yang masih berdiri di tempatnya didampingi oleh Cempakawangi dan Rakai Pamutuh.
"Para utusan itu sudah pergi. Lantas apa yang kita lakukan selanjutnya Sura? Masak cuma berdiam diri saja menunggu mereka kembali? ", tanya Tunggak segera.
" Pertanyaan yang bagus, Anak Muda..
Melihat keadaan kalian yang masih belum pulih sepenuhnya setelah pertarungan lalu, sebaiknya kalian beristirahat. Aku sudah mengumpulkan para pemuda dan tokoh masyarakat Kampung Widas, dan mereka sudah setuju untuk membantu Nakmas Danurwenda untuk menyerbu Kotaraja Anjuk Ladang. Sambil menunggu mereka semua kembali, kita bisa melatih mereka semua juga sambil memulihkan kembali kesehatan kalian semua ", sahut Rakai Pamutuh segera.
" Begitu juga baik Ki..
Dengan adanya dukungan dari seluruh masyarakat Kampung Widas dan Ki Rakai, aku yakin keinginan kita untuk membantu Kakang Mahesa akan bisa terwujud segera ", timpal Cempakawangi yang membuat Mahesa Sura tersenyum tipis.
Maka mulai hari itu, para pemuda Kampung Widas dilatih untuk menjadi seorang prajurit oleh Mahesa Sura bersama dengan Rakai Pamutuh. Sebanyak seratus orang pemuda dilatih menggunakan senjata berupa pedang dan tombak. 50 gadis desa lainnya di ajari menggunakan anak panah dan diberi nama pasukan Srikandi. Dengan tekun mereka berlatih, mempelajari tentang ilmu pertarungan dengan baik.
Sedangkan para sesepuh desa dan para wanita tua dibawah pimpinan Tunggak mulai mengumpulkan bahan makanan yang bisa digunakan untuk keperluan penyerbuan. Mereka mencoba untuk membuat makanan yang tahan lama agar bisa digunakan sebagai pangan saat peperangan terjadi. Selain dengan mengeringkan singkong dari ladang mereka dan daging babi hutan yang mudah mereka dapat di hutan sekitar Kampung Widas, mereka juga mengumpulkan biji-bijian lain serta palawija dan juga pala kependem yang bisa ditemukan dalam hutan yang ada di barat dan utara perkampungan. Tak butuh waktu lama, lumbung desa Kampung Widas penuh dengan pelbagai jenis bahan pangan.
Sementara Kampung Widas mempersiapkan diri untuk mengumpulkan kebutuhan pangan yang akan digunakan untuk rencana besar mereka, Nyai Landhep terus menghubungi bekas murid Padepokan Bukit Rawit. Rata-rata mereka mau bergabung dengan kelompok Mahesa Sura dan bersedia untuk memberikan bantuan dan harta benda sebagai modal awal perjuangan.
Siang itu, Nyai Landhep sedang asyik menikmati sajian makanan yang ada di warung makan setelah berhasil mengajak Liman Jinawi, salah satu adik seperguruan nya yang kini menetap sebagai pedagang beras besar di pinggiran kota Anjuk Ladang bergabung dalam kelompok Mahesa Sura.
Tiba-tiba ekor mata perempuan paruh baya ini melihat sesosok perempuan muda yang mengenakan cadar hitam untuk menutupi separuh wajahnya berjalan memasuki warung makan yang cukup ramai itu. Tentu saja kedatangan perempuan muda bercadar hitam itu sontak memantik keingintahuan dari beberapa orang termasuk dua orang anak muda yang sepertinya adalah pendekar.
"Kang Thukul, sepertinya perempuan bercadar itu cantik ya? Lihat saja kulitnya kuning langsat begitu, pasti akan menarik jika dia telanjang hihihi.. ", bisik seorang pemuda berbadan ceking pada lelaki bertubuh kekar yang menyandang sebuah pedang besar di punggungnya.
" Sudah ku bilang, jangan panggil aku Thukul lagi. Aku ini sekarang adalah Pendekar Pedang Mentawa. Nama ku sekarang adalah Ganggadara. Akan memalukan jika orang tahu nama asli ku, Dong!! ", geram lelaki bertubuh kekar itu segera.
" Oh eh iya lupa aku Kang Thu eh Kang Ganggadara hehehe maaf maaf Kang..
Sekarang apa Kakang Ganggadara tertarik untuk mendekati perempuan bercadar hitam itu? Kalau cantik, bisa dibawa pulang ke Berbek sebagai istri loh Kang. Guru pasti akan senang dengan hal itu ", bujuk Bodong yang membuat Ganggadara manggut-manggut setuju.
Dua pendekar muda itu, Ganggadara alias Thukul dan Bodong bergegas menuju meja dimana perempuan bercadar hitam itu duduk.
" Nisanak, sepertinya kau bukan orang sini ya hehehe..
Saudara ku ini adalah Ganggadara pendekar tersohor di sini, Si Pendekar Pedang Mentawa. Kau bisa mengenal nya adalah keberuntungan besar untuk mu. Apakah kau mau berteman dengan kami? ", ucap Bodong sembari memamerkan senyum mesumnya.
" Tidak tertarik.. ", jawab perempuan bercadar hitam itu singkat.
" Kau...!!! ", geram Bodong mendengar nada bicara ketus sang perempuan bercadar hitam ini. Dia segera menoleh ke arah Ganggadara yang membuat pria bertubuh kekar itu langsung menepak meja makan di depan perempuan bercadar hitam itu.
Brruuuaaaakkkkk..!!!
Meja makan itu langsung hancur berantakan setelah tepukan tangan Ganggadara mengenainya. Tetapi perempuan bercadar hitam itu langsung bergerak mundur dengan anggun dan berdiri tak jauh dari tempat Nyai Landhep berada.
Orang-orang di warung makan ini langsung berhamburan meninggalkan tempat itu, takut menjadi korban serangan nyasar. Hanya beberapa orang saja yang masih bertahan seolah-olah tak ada yang terjadi.
"Dikasih hati malah minta jantung. Kau harus diberi pelajaran!! ", teriak Bodong sambil menerjang ke arah perempuan bercadar hitam.
Dengan gesit, perempuan bercadar hitam itu berkelit dan tendangan Bodong langsung mengarah ke tempat Nyai Landhep berada. Dengan cepat, Nyai Landhep menangkap pergelangan kaki Bodong dan melemparkan nya ke arah lain.
Whhuuuuuuttttt...
Brruuuaaaakkkkk!!!!
Ganggadara alias Thukul langsung marah besar melihat saudara nya di lemparkan oleh Nyai Landhep. Pria bertubuh kekar itu langsung mencabut pedang besar di punggung nya dan mengacungkan nya pada Nyai Landhep sembari berkata,
"Kau cari mati..!!! "
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!