Alena
ADEGAN 1 — Alena Merayakan Ulang Tahun dengan Rasa Kosong
Alena
(duduk sendiri, menatap kue dengan lilin menyala, suaranya lirih)
“Dua puluh satu tahun… tapi rasanya aku belum benar-benar hidup.”
Karina
(memasukkan piring ke meja, berusaha ceria)
Nak, jangan bicara seperti itu. Ini hari ulang tahunmu... setidaknya tersenyumlah untukku.
Alena
(tatapannya tak berpaling dari nyala lilin)
Senyuman itu seperti cermin, Bu... bisa dipaksa, tapi tak selalu jujur.
Karina
(tersenyum canggung, lalu membelai rambut Alena)
Ada hal-hal yang tak bisa kamu mengerti sekarang. Tapi Ibu ingin kau bahagia, sungguh.
Alena
(mata mulai berkaca)
Kenapa aku merasa seperti ada bagian dari diriku... yang hilang?
(Lilin tiba-tiba padam. Angin tipis melintas. Suara berbisik terdengar samar di telinga Alena.)
Suara Bisikan
(dari jauh)
Alena... waktumu hampir tiba...
Alena
(melirik sekeliling, terdiam kaku)
Apa itu barusan?
Karina
(mendadak pucat, mencoba menutupi kekhawatirannya)
Kau hanya lelah. Mungkin kau perlu istirahat, sayang.
Alena
(berdiri perlahan, menyentuh jendela yang mulai berkabut dari dalam)
Tidak, Bu. Aku merasa ada sesuatu... atau seseorang... yang memanggilku.
(Bayangan muncul perlahan di pojok ruangan. Sosok pria tampak samar, lalu menjelma nyata.)
Arka
(suaranya dalam namun hangat)
Akhirnya... kau mendengarku.
Alena
(mundur satu langkah, matanya membelalak)
Siapa kamu? Bagaimana kamu bisa—
Arka
(melangkah maju, tak menakutkan, hanya menyiratkan misteri)
Aku adalah bayangan yang menunggu dalam doamu... suara yang terperangkap di antara dunia.
Karina
(panik, berdiri cepat dan menahan Alena)
Jangan dengarkan dia! Kau tak boleh mempercayainya!
Alena
(memandang ibunya dengan kebingungan)
Ibu… kenapa kau terlihat takut? Siapa dia sebenarnya?
Arka
(memandang Karina dengan tatapan yang dalam)
Kau tahu waktunya sudah dekat, Karina. Kau tak bisa menyembunyikannya lagi.
Karina
(dengan suara hampir pecah)
Tidak… belum sekarang...
Alena
(berdiri di antara keduanya, jiwanya terguncang)
Tolong... seseorang jelaskan padaku... siapa aku sebenarnya?
(Hening. Angin kembali berbisik. Arka menatap Alena dengan penuh iba, Karina menunduk dengan beban yang lama dipendam.)
ADEGAN 2 — Bayu (Ayah Tiri) Semakin Keras pada Alena
Bayu
(berdiri di ambang pintu, suaranya tajam)
Apa lagi sekarang? Kau menatap kosong seperti orang kerasukan.
Alena
(tak menoleh, suaranya datar namun terluka)
Aku hanya... merasa tempat ini bukan milikku.
Bayu
(mendekat, suara meninggi)
Kau tinggal di rumah ini, makan dari uangku, dan masih berani bicara seperti itu?
Karina
(coba menenangkan, berdiri di antara mereka)
Bayu, tolong... dia baru saja mengalami sesuatu yang membuatnya bingung.
Bayu
(tangan mengepal, menahan emosi)
Bingung? Dia selalu seperti ini. Diam, melamun, seolah dunia ini tak pantas baginya.
Alena
(berdiri pelan, menatap Bayu dengan mata yang mulai berkaca)
Karena memang bukan duniaku… dan bukan pula keluargaku.
Bayu
(sinis)
Ah, akhirnya keluar juga. Kau tak pernah anggap aku ayah, kan?
Alena
(bergetar, tapi tegas)
Kau bukan ayahku. Ayahku meninggal saat aku masih terlalu kecil untuk mengingat senyumnya... dan kau tak pernah berusaha mengisi ruang itu.
Karina
(menangis perlahan)
Alena, cukup...
Bayu
(mendekat ke Alena, suaranya tajam)
Kau pikir dunia ini tentang puisi dan perasaan? Bangun! Dunia tak peduli pada anak-anak yang suka melarikan diri!
(Suasana menegang. Alena memejamkan mata, mengambil napas dalam. Di latar belakang, suara angin berdesir lembut.)
Arka
(suaranya hadir hanya di kepala Alena, lembut seperti desir hujan)
Jangan takut... Kau tidak sendiri.
Alena
(berbisik, nyaris tak terdengar)
Kenapa mereka selalu ingin aku menjadi orang lain?
Arka
(bisikan batin, penuh ketenangan)
Karena mereka tak mengenal siapa kau sebenarnya.
Bayu
(melihat Alena berbicara sendiri)
Apa-apaan ini?! Kau gila? Kau bicara dengan siapa?!
Alena
(memandang Bayu, matanya tenang)
Bukan denganmu. Bukan dengan siapa pun di dunia ini.
Bayu
(mundur selangkah, bingung dan kesal)
Kau... sungguh anak yang aneh.
Karina
(memeluk Alena dari belakang, suaranya patah)
Maafkan Ibu...
Alena
(menepis pelan, tanpa marah)
Ibu tak perlu minta maaf... Aku hanya ingin tahu siapa aku sebenarnya.
(Bayu keluar dari ruangan dengan kemarahan tertahan. Alena berdiri sendiri di tengah ruang, dikelilingi sunyi dan suara batin dari dunia lain.)
ADEGAN 3 — Senja, Sahabat Ceria Alena, Muncul dan Menyemangati
Alena
(duduk termenung, memeluk lutut di bangku taman)
“Mengapa langit senja selalu indah… padahal sebentar lagi gelap?”
Senja
(muncul dari belakang dengan senyum lebar dan suara ceria)
Karena langit tahu, bahkan kepergian pun bisa jadi karya seni.
Alena
(tersenyum kecil, tak menoleh)
Kau selalu tahu kapan harus muncul.
Senja
(duduk di samping Alena, membawa dua gelas teh)
Dan kau selalu tahu cara membuat segalanya terasa berat, meski hanya dengan tatapan.
Alena
(menatap teh yang diberikan)
Terima kasih... rasanya seperti minum kehangatan.
Senja
(bercanda sambil menyesap tehnya)
Dan rasanya lebih murah dari terapi.
Alena
(tertawa kecil, lalu hening sejenak)
Kenapa semua terasa tak nyata, Senja? Seolah aku hidup di tengah mimpi yang tidak kutulis.
Senja
(memandang langit)
Karena kadang hidup memang tidak butuh logika. Ia hanya ingin kita merasa.
Alena
(menunduk, suaranya pelan)
Aku merasa sendiri... meski banyak yang mengelilingi.
Senja
(melirik Alena tajam tapi lembut)
Kau tidak sendiri. Kau hanya lupa bahwa hatimu masih berfungsi.
Alena
(berusaha tersenyum, menahan air mata)
Banyak hal yang ingin kutanyakan. Tentang mimpi, tentang suara yang datang saat lilin padam, tentang dia...
Senja
(kepalanya miring penasaran)
"Dia"? Jangan bilang kau mulai halusinasi karena terlalu banyak baca puisi.
Alena
(tiba-tiba serius, matanya menatap jauh)
Tidak. Dia nyata. Muncul dalam bisikan, dalam keheningan, dalam hatiku yang mulai retak.
(Dari kejauhan, Arka terlihat berdiri di antara pohon-pohon, samar namun nyata bagi Alena.)
Arka
(dalam bisikan yang hanya didengar Alena)
Kau sedang membuka matamu... akhirnya.
Alena
(berbisik, hampir tak terdengar)
Kenapa aku merasa... dunia ini bukan satu-satunya?
Senja
(tak mendengar bisikan itu, tapi menangkap kegelisahan sahabatnya)
Mungkin karena jiwamu terlalu luas untuk dunia yang kecil ini.
Alena
(memalingkan wajah ke Senja, dengan senyum yang belum utuh)
Kau selalu tahu cara menyulam patah hati jadi sesuatu yang berharga.
Senja
(menepuk pundak Alena)
Dan kau selalu tahu cara membuatku ingin menangis pakai puisi.
(Keduanya tertawa pelan, lalu kembali menatap langit senja yang kini mulai meremang. Arka menghilang perlahan di antara angin.)
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!