NovelToon NovelToon

Buku Petualangan Ajaib

[Prolog 1 & Bab 1-1] Hadiah Gila Dari Tama

"Rawang!" Jauh di dalam perut bumi, teriakan peringatan agar menjauh itu menggema. Disusul ledakan kencang yang menghancurkan reruntuhan batu cadas.

Kelima petualang yang dipimpin seorang pemuda tampan bermata coklat, berteriak senang. Jalan mereka menuju harta terpendam di kota yang hilang sudah terbuka.

Setelah debu ledakan menipis. Mereka memasuki lorong yang tercipta dari ledakan. Sampai di ujung jalan, empat orang asli daerah situ, yang berprofesi sebagai penjarah makam, tercengang melihat tumpukan emas dan batu berharga yang terhampar di hadapannya.

Berbeda dari yang lainnya. Pemuda berhidung mancung dan berwajah oval itu justru tidak peduli dengan gunungan harta karun, yang dia lewati begitu saja. berjalan sampai ke ujung ruangan, di mana sebuah peti batu berada.

"Ini dia," ucapnya dengan senyuman lebar.

dari kantongnya, dia keluarkan sebuah kunci emas. Memasukkannya ke dalam lubang di bawah tutup peti, yang kemudian dia putar beberapa kali. Tak lama, kotak batu itu terbuka lebar.

"Hei, Genius Boy!" panggil salah satu penjarah makam yang berbadan besar. "Kau yakin hanya mau mengambil sampah itu?"

Pemuda itu tidak menggubris sampai selesai dia memasukkan seluruh isi peti ke dalam tasnya. "Ya, hanya sampah ini. Tidak lebih. Lagi pula, tidak mungkin kan aku bawa harta itu keluar dari negara ini."

Pria berbadan besar itu tertawa. "Kau terlalu merendah, untuk ukuran orang yang bisa membuat pejabat daerah kami menunduk hormat di depanmu. aku yakin kalau kau mau, kau bisa membawa pergi semua harta ini sampai ke rumahmu."

"Hei, Bos. Jangan-jangan yang dia ambil itu adalah harta yang paling mahal dari semua yang ada di sini," bisik salah seorang penjarah makam yang berkaki pincang. Tidak sadar kalau suaranya dapat didengar yang lain karena gema.

"Hahaha. Kata mahal dan berharga memiliki arti yang berbeda-beda bagi setiap orang. Ya, ini adalah harta yang mahal dan paling berharga bagiku. Tetapi, aku pastikan kalau ini hanyalah sampah bagi kalian." Si pemuda berambut kuncir itu menyampirkan tasnya ke pundak.

"Tidak usah dengarkan si bodoh ini, Genius Boy. Seandainya pun kau minta setengah bagian harta ini, pasti akan aku berikan. Aku berhutang budi padamu karena telah menyelamatkan istri dan anakku." Pria berbadan besar berkata dengan senyum di wajah. Setelah menempeleng kepala anak buahnya.

"Tidak perlu berterima kasih. Justru aku yang seharusnya yang berterima kasih. Karena, dengan ini aku dapat memenuhi janjiku kepada si Cebol." Pemuda itu menghampiri si pria berbadan besar, lalu bersalaman dan merangkulnya sebagai tanda perpisahan. "Aku duluan, Sobat. Bai laew na ka."

Tanpa beban, pemuda itu pergi meninggalkan keempat rekannya yang mulai mengangkut harta berharga di sana. Tidak ada penyesalan sedikitpun di wajahnya. Hanya ada senyum lebar yang menggambarkan kebahagiaan karena telah menemukan harta yang dia inginkan. Harta yang bukan untuk dirinya, tetapi seseorang, yang sekali lagi akan menjadi korban keusilannya.

***

[Beberapa minggu kemudian, jauh dari tempat si pemuda berada]

Aku Wanara, seorang murid SMP, yang baru saja merayakan ulang tahun ke empat belas. Setelah pesta kecil di rumah selesai--yang sebenarnya tidak aku inginkan--tinggal tersisa satu bagian paling penting dari perayaan ini. Membuka kado dari teman, tetangga, dan saudara! Ini yang aku tunggu-tunggu.

Satu momen yang akhirnya memberikanku kejutan tidak terkira. Lebih dari apa yang bisa kalian bayangkan dan juga alami sendiri. Entah aku harus marah atau berjoget kegirangan karenanya.

Semua kado dipindahkan oleh ayah ke atas, ke kamarku, agar Chiya--adikku yang kepo dan super usil--tidak mengganggu saat aku membukanya. Dengan sedikit mengomel, ayah mengabulkan permintanku. Terburu-buru karena sore ini dia berencana menonton pertandingan sepakbola, antara tim kesayangannya melawan musuh bebuyutan, demi merebut peringkat klasmen teratas.

Selesai semua kado dipindahkan, aku bertengkar dengan Chiya yang memaksa masuk ke kamar. Meminta dan memohon dengan paksa agar aku mau mengijinkannya membantu membuka kado. Harap dia sih bisa meminta satu atau dua hadiah yang disukainya. Tetapi tidak!

Bocah kelas empat sekolah dasar itu baru menyerah saat Mama datang. Merayunya dengan mengiming-imingi biskuit coklat kesukaannya, dan janji untuk membelikan boneka beruang madu raksasa untuk ulang tahunnya nanti. Dia menjulurkan lidahnya kepadaku sebelum pergi. Masa bodo. Dasar pipi bakpao.

Satu persatu aku buka bungkus beraneka warna dan pola yang terhampar di kamar. Di dalamnya, aku mendapatkan bermacam-macam hadiah.

Ada komik dibungkus sampul buku sekolah, yang aslinya punyaku (Kerjaan Zacky pasti, karena dulu dia yang meminjam komik ini), kaset video game dari tante Sophie, hingga selembar slayer butut, yang ternyata terdapat tanda tangan personel Band Kamvret Hitam, band metal yang sedang terkenal sekarang. Aku yakin ini hadiah dari sahabat Ayah yang suka mengurusi konser musik.

Semua hadiah telah aku buka. Dari yang kecil hingga besar. Semua selesai aku periksa, kecuali satu kotak besar, yang sengaja aku sisakan untuk dibuka terakhir. Berukuran seratus sentimeter persegi, dan dibungkus kertas coklat tebal, yang di atasnya terdapat sehelai pesan dilapisi plastik transparan, dengan tulisan tangan;

"Hei, Wanara! Selamat ulangtahun. Ini hadiah spesial dariku. Kudoakan kau sehat selalu dan semoga tinggimu bisa bertambah saat aku kembali ke sana. -Tama di Pedalaman Asia."

Tama. Dia sepupuku yang terpaut umur sepuluh tahun, namun kalau sudah bertemu, kami akan seru bermain dan mencoba berbagai macam hal, yang dia dapatkan selama perjalanannya sebagai Travel Blogger. Saudara sekaligus teman yang asyik, walau berbeda usia, jika saja sifat usilnya yang suka meledekku "Si Cebol" dihilangkan.

Tidak sabar, aku langsung merobek kertas pembungkusnya, hingga kardus tebal tersingkap. Di dalam pikiranku, hadiah yang diberikan pasti luar biasa. Entah seri papan permainan dunia yang selalu dia tunjukan setelah mengunjungi negara tertentu, (beberapa diberikan kepadaku sebagai kenang-kenangan), atau mungkin artefak kuno seperti yang pernah aku lihat di saluran Discovery Channel (tapi setahuku itu kejahatan, jadi tidak mungkin). Entah apa, tetapi aku tahu pasti, ini bukan hadiah biasa.

Semangatku tiba-tiba gembos hingga mengkerut, saat mengetahui isi di dalamnya. Di sana hanya ada sederetan buku bersampul kulit beraneka warna. Tidak ada yang menarik, kecuali garis-garis hiasan timbulnya yang tercetak berwarna emas di punggung buku. Terlihat seperti hasil bordiran.

Saat aku bilang tidak menarik, itu kesimpulanku pribadi, karena aku sama sekali tidak suka membaca buku. Mungkin jika ini dihadiahkan kepada Fiona, si kutu buku penguasa perpus dan ketua kelas tergalak seantero sekolah, dia pasti akan melonjak kegirangan. Tidak bagiku yang lebih menyukai permainan, apapun bentuknya.

Aku meninggalkan hadiah Tama, yang aku pikir bagian dari keusilan dan kegigihannya dalam mengajak aku menyukai membaca. Jendela dunia yang akan membawa pembacanya menyelami dunia pikiran si penulis yang luas. Itu promosinya saat menawariku membaca buku Si Penyihir Petir setebal lima ratus halaman! Tidak pernah aku baca, dan tersimpan rapi di bagian terdalam lemari pakaian. Lagi pula buat apa membaca cerita yang filmnya sudah aku tonton? Itu adalah kegiatan percuma ya kan?

"Aku akan memberikan hadiah luar biasa di hari ulangtahunmu nanti. Janji."

Kalimat Tama empat bulan lalu, sebelum dia berangkat untuk melanjutkan perjalanannya mengelilingi dunia, tiba-tiba saja terngiang. Mengusik konsentrasiku dari game teka-teki kayu di tumpukan hadiah.

Rasa penasaranku menang. Aku beranjak kembali ke kotak kardus, dan mengambil satu buku yang memiliki sampul kulit berwarna merah.

"Wa!" jeritku sambil melempar buku itu ke sembarang arah.

Aku terkejut karena saat mengambil buku dari dalam kotak, aku melihat motif emas di punggung buku bergerak. Bukan sekadar ilusi mata, karena telapak tanganku pun turut merasakannya.

Sialan! Apa yang Tama berikan sebenarnya? Jangan bilang itu sejenis barang yang digunakan untuk prank seperti yang kusaksikan di internet.

Aku mendelik ke arah buku bersampul merah yang tergeletak terbuka di sana. Membelalak saat melihat halaman putih buku tersebut.

Kosong! Tidak ada sedikitpun tulisan tertera di sana, apalagi gambar. Putih bersih tanpa noda sedikitpun. Hei, itu buku cerita atau buku tulis?

Aku benar-benar kesal. Di hari istimewa ini, dia malah mengerjaiku dengan prank konyol tidak lucu seperti ini. Lihat saja kalau nanti bertemu, akan aku buat dia membayar semuanya.

Tapi tunggu. Sekonyol dan seabsurd apa pun Tama, dia tidak pernah sekalipun mengingkari janji. Jika dia bilang akan memberikan hadiah istimewa dan spesial, pasti akan dia berikan. Bagaimanapun caranya, dan seperti apa pun bentuknya.

Dan juga, ada sifat dia yang tidak pernah hilang. Selalu menyukai misteri, permainan, petualangan, dan teka-teki--juga usil yang kelewatan. Pasti ada sesuatu di sana yang dia sembunyikan untuk menuruti sifatnya itu.

Aku mengambil penggaris panjang dari meja belajar. Mendekat secukupnya, sejauh penggaris yang kupegang menyentuh deretan buku di dalam kotak. Hal yang wajar kan aku bertingkah seperti itu? Karena mungkin saja motif emas di punggung sampul akan melompat keluar seperti ular lalu membelitku.

Aku geser satu persatu buku yang tersisa di sana. Berharap ada sesuatu yang tertinggal di dasar kotak. Dua kali bolak-balik aku melakukan itu, tetapi tidak sedikit pun kumenemukan petunjuk. Kosong.

Ada sedikit niat untuk mengeluarkan semua buku, agar dapat memeriksanya lebih detil lagi. Aku jadikan opsi terakhir saja sepertinya. Mungkin di tempat lain yang bisa dijadikan Tama untuk meninggalkan petunjuk. Di kotak, di kertas pembungkus, atau ....

Aku memungut kembali sobekan kertas pembungkus itu. Mengacak-acaknya untuk menemukan apa yang kucari. Ketemu! Secarik pesan yang dilapisi plastik. Kalau aku perhatikan lagi, kertas itu seperti dilipat, bukan sekadar sobekan kecil berisi tulisan tangannya yang seperti ceker ayam.

Srak!

Aku robek kertas pembungkus yang dikelilingi selotip, lalu mengeluarkan kertas itu dari tempatnya berada.

Tepat! Itu adalah lipatan kertas yang di baliknya terdapat satu pesan lagi dari Tama. Lebih panjang dari yang ada di depan.

"Hahahaha... Kau pasti kaget, takut, bercampur kesal kan, Adik Kecil? Aku berani bertaruh kau bisa memecahkan teka-teki dariku dalam waktu singkat. Itu pun kalau kau tidak mengompol sebelumnya. Oh iya, soal janjiku yang akan memberimu hadiah istimewa. Sekarang kau buka buku itu, yang kutebak pasti kau lempar karena terkejut, di halaman manapun juga. Tunggu sesaat, sampai muncul tulisan di halaman kosong yang kau buka, lalu ikutilah instruksi yang tertera. Selamat berpetualang, Sobat."

Ya, begitulah Tama. Orangnya sangat menyebalkan, sampai-sampai Mama pernah memarahinya karena bersifat kekanak-kanakan, dan tidak sesuai dengan umurnya yang sudah dewasa.

Akan tetapi, lepas dari ledekannya di surat yang jujur membuatku sedikit emosi, keterangan soal buku yang dia berikan sedikit ganjil.

Bagaimana mungkin bisa muncul tulisan dari kertas yang kosong seperti itu? Beda hal kalau itu adalah tablet dan ponsel pintar sejenisnya. Atau mungkin, itu adalah teknologi baru yang membuat kertas biasa memunculkan tulisan secara otomatis?

Kalau ada yang seperti itu aku bersyukur sekali. Tidak perlu lagi capek-capek menulis, dan tinggal pikirkan saja. Voila! Catatan dan tugas bisa selesai dalam sekejap.

Percuma menebak.

Aku merangkak mendekati buku yang tergeletak itu. Menyentuhnya dengan ujung penggarisan--yang kuambil lagi dari lantai--beberapa kali. Tidak ada yang terjadi.

Bugh!

Aku tutup buku itu dengan bantuan penggaris. Memicingkan mata dengan dahi berkerut. Berpikir keras.

"Alkisah Naga Bersisik Merah Delima."

Walau sekilas, aku jelas sekali mengingatnya. Tulisan berwarna emas itu sama sekali tidak ada di sampul depannya. Dan, bukankah huruf yang tersusun membentuk judul itu, persis sekali dengan motif yang ada di punggung buku.

Benar saja. Motif itu hilang dari tempat awalnya berada. Mungkin benar berpindah dan tersusun menjadi huruf bertuliskan "Alkisah Naga Bersisik Merah Delima" yang bisa saja judul buku tersebut. Ajaib!

Perlahan aku kembali mendekati buku itu. Mengambilnya, setelah meletakkan penggaris di sembarang tempat. Sesaat aku teringat soal petualangan di surat yang dituliskan Tama. Petualangan seperti apa? Apakah itu hanya pengandaian saja?

Sebelum makin banyak tanda tanya bermunculan di kepala, aku membuka halaman buku "Alkisah Naga Bersisik Merah Delima," seperti perintah Tama.

Aku pelototi halaman kosong tersebut. Sedikit berharap apa yang dituliskan Tama benar terjadi, walau ada keraguan juga tersempil di hati.

Napasku tertahan.

Demi apa! Sebaris demi sebaris kalimat muncul di atas kertas putih di depan mataku. Seakan ada tangan tak terlihat sedang menuliskannya. Setengah tidak percaya, aku mengucek mata berulang kali, namun deretan kata itu terus muncul hingga akhir halaman. Ini nyata! Bukan ilusi!

Benar apa yang dikatakan Tama.

"Engkau adalah Sam Daker, si petani miskin yang sebatang kara di kerajaan Capitor. Suatu hari kerajaan tiba-tiba gempar, karena Putri Asaru hilang diculik seekor naga bersisik merah delima. Raja mengadakan sayembara untuk menemukan Putri Asaru. Bagi siapa saja yang dapat membawa putri kerajaan kembali dengan selamat, maka dia akan diberikan hadiah besar sesuai yang ditentukan sayembara.

Untuk kau yang akan menjadi Sam Daker. Sentuhlah halaman buku lalu ucapkan di dalam hatimu dengan bersungguh-sungguh, 'Aku (sebutkan namamu) berjanji sepenuh hati, jiwa, dan raga, untuk menjadi Sam Daker si petani miskin. Menuliskan cerita Alkisah Naga Bersisik Merah Delima hingga selesai, dan tidak akan melanggar janji, walau apa pun yang terjadi.'

Masukilah dunia Alkisah Naga Bersisik Merah Delima, dan selamat berpetualang hingga akhir cerita. Semoga beruntung."

Aku terdiam dihinggapi perasaan antara percaya dan tidak percaya. Mungkin akan langsung aku buang buku di tangan ini seperti tadi, jika seandainya kejadian munculnya tulisan tadi tidak diberitahukan Tama di suratnya.

Takut, ya. Namun, akhirnya itu dikalahkan oleh rasa penasaran yang besar. Aku mulai mengikuti instruksi di dalam buku. Apa pun hasilnya, tidak ada salahnya mencoba kan?

"Aku Wanara berjanji sepenuh hati, jiwa, dan raga, untuk menjadi Sam Daker si petani miskin. Menuliskan cerita Alkisah Naga Bersisik Merah Delima hingga selesai, dan tidak akan melanggar janji, walau apa pun yang terjadi."

Sejenak lengang. Tidak terjadi apa pun juga. Apa hanya seperti ini? Lalu di mana asiknya?

Sehembusan napas. Semua berubah!

Tenaga tak kasat mata yang besar keluar dari buku itu. Mencengkeram lalu berusaha menarikku masuk. Terkejut dan tanpa bisa melawan, tubuhku dihisap masuk ke dalam buku.

Tidak sakit. Namun, sekilas kemudian, kesadaranku menghilang. Semua hitam, dan benar-benar tak tahu apa yang terjadi dengan diriku.

Tama sialan!

[Bab 2-1] Alkisah Naga Bersisik Merah Delima

Dok! Dok! Dok!

Aku bangun tersentak mendengar suara gedoran kencang. Mengerjap lalu mengucek mata untuk mengembalikan penglihatanku yang kabur. Oh, pasti tadi aku tertidur di kamar saat sedang mencoba mainan yang diberikan sebagai hadiah ulang tahun.

Sekilas aku teringat juga komik hadiah Zacky, yang sialannya adalah komikku! Awas saja besok di sekolah, akan aku sebarkan cerita soal dia yang mau mendekati Fio. Pembalasan untuk buku kom...

Dok! Dok! Dok!

Suara gedoran terdengar lagi. Namun, bukan itu yang membuat pikiranku terhenti sesaat. Buku! Aku akhirnya ingat peristiwa yang terjadi sebelum kehilangan kesadaran. Buku ajaib pemberian Tama yang berjudul Alkisah Naga Bersisik Merah Delima.

Benar! Setelah aku mengucapkan sumpah seperti yang tertulis di sana, tiba-tiba saja aku tersedot masuk ke dalam buku. Semua gelap, dan seketika itu pula ingatanku terputus. Berakhir sampai di situ. Lalu, sekarang aku ....

"Sam! Bangun, dan ayo pergi ke alun-alun sekarang. Bukankah kemarin kita sudah janjian untuk mendengar sayembara yang akan dibacakan hari ini!?" Tiga kali suara gedoran yang lebih kencang menggema.

Sam? Sam ... Daker! Itu nama si petani miskin sebatang kara yang tertulis di buku! Orang yang entah siapa itu pasti salah memanggil orang. Aku Wanara! Bukan Sam Daker, si tokoh dalam buku!

"Bangun sekarang, Sam, atau aku dobrak pintu reyot rumahmu ini!"

Aku bukan Sam! Lagi pula siapa kamu?

"Pergilah duluan, Kord, aku akan menyusulmu nanti!" Aku melongo mendengar perkataanku sendiri, karena sedetik sebelumnya, aku bermaksud mengatakan, "Pergilah! kau salah orang!"

Sialan! Apa-apaan ini?

"Ya sudah. Pastikan kau pergi sebelum pasukan kerajaan menyeretmu paksa!"

Walaupun berbeda, tapi setidaknya efek yang dihasilkan sesuai keinginanku. Kord yang entah siapa itu, pergi dengan langkah diseret. Menimbulkan suara gemerisik panjang.

Aku mengedarkan pandang, demi melihat keseluruhan ruang yang kutempati. Sebuah bangunan berbentuk kubus, berisi dipan kecil reyot beralas jerami, yang dipisahkan dari ruang lain menggunakan kerai, dan sebuah gentong air di pojok ruangan. Prabotan seadanya dengan tambahan beberapa alat pertanian yang teronggok di pojokan, namun terasa terlalu penuh di ruang kecil seukuran 5×3 meter. Kira-kira sebesar itulah ruangan ini. Aku tidak tahu pasti karena tidak ada niat juga mengukurnya.

Ok! Satu hal yang berusaha aku pahami sekarang: apa mungkin aku benar-benar masuk ke dalam buku kosong pemberian Tama, lalu berubah menjadi tokoh cerita dongeng, sesuai deskripsi dari tulisan ajaib yang seketika muncul saat di halaman kosong buku itu?

Tapi bagaimana mungkin? Aku belum pernah dengar ada teknologi seperti ini ditemukan. Paling jauh hanya teknologi virtual reality, yang tidak sehebat penggambaran di game dan komik. Lagi pula semua ini terlalu nyata kalau hanya sekadar VR. Aku bahkan bisa merasakan kasarnya jerami di tangan, gatal menyengat di punggung, dan bau amis yang sejak tadi menusuk hidung.

Sihir kah? Di dunia modern ada sihir? Yah, mungkin saja sih. Soalnya di film "The Flush", dijelaskan teori kalau teknologi yang kelewat maju di jamannya akan dianggap sebagai sihir.

Ya begitulah. Tapi masa bodo! Yang penting sekarang, aku harus mendapatkan kejelasan tentang apa yang terjadi padaku!

Suara berisik rombongan orang di luar, mengagetkanku yang sedang termenung. Teringat ucapan Kord soal prajurit yang akan menarik paksa siapapun untuk hadir di alun-alun. Entah sungguhan atau hanya bualan kosongnya.

Baiklah, aku pergi sekarang dari pada dapat masalah di dunia asing yang entah ada di mana ini. Lagi pula dengan pergi keluar, mungkin saja aku bisa menemukan jalan untuk kembali ke dunia asal.

Tunggu! Aku merasa lebih tinggi saat berdiri dan beranjak dari dipan reyot. Aku tatap kedua tangan yang kasar dipenuhi kapalan. Otot tangan dan perutku pun menonjol dalam enam lipatan otot yang keras. Aku berlari menuju gentong air dan membuka penutupnya untuk bercermin.

Rambut hitam kemerahan yang kaku bagai ijuk, hidung panjang dengan bekas luka patah, wajah berbentuk oval dengan bekas luka gores di dahi, dan mata sayu berwarna hijau tua. Itu yang terlihat dari pantulan air di dalam gentong. Aku Wanara, di dalam tubuh seorang pria bernama Sam Daker!

Suara langkah kaki orang-orang di luar sudah semakin surut. Jika tidak cepat keluar, mungkin benar akan ada prajurit yang datang untuk menyeretku. Aku bergegas menuju pintu, sejenak menyingkirkan perkara ganjil yang tengah kualami, sambil membereskan baju terusan kusut, yang menjulur sampai setengah paha, dengan tali terikat melingkar sebagai penahan celana panjang kebesaran.

Hidungku langsung tergelitik saat membuka pintu. Udara amis yang sebelumnya samar, kini terhirup langsung memuakan di depan rumah, yang bersebelahan dengan pasar ikan. Aku tidak bisa membayangkan, bagaiman jadinya jika harus menghabiskan sisa hidup di dunia ini. Tinggal di sepetak rumah kecil, yang bersebelahan dengan sumber bau busuk. Mungkin setiap hari harus menahan muntah seperti yang tengah aku lakukan sekarang.

"Hei, kau! Cepat pergi ke alun-alun kota!" bentak seorang prajurit membawa tombak, yang menggiring beberapa penduduk dari belakang.

Sepertinya benar apa yang dikatakan orang bernama Kord itu.

Aku bergegas menyusul. Bukan karena mau mengikuti perintahnya, tetapi lebih kepada keinginan untuk segera menjauh dari jangkauan aroma tidak mengenakkan di sekitar pasar ikan.

Aku menyusuri pasar hingga ke bagian yang dipadati rumah berbentuk kubus, keluar dari area berbau busuk, yang dindingnya berwarna coklat alami. Mungkin rumah-rumah itu dibangun dengan bantuan tanah liat sebagai semen perekat, tanpa ada yang berniat mau mengecatnya dengan warna yang lebih cerah. Entahlah. Aku tidak peduli, karena sekarang yang lebih menyita perhatianku adalah celana di balik baju terusan ini. Perlahan mulai melorot, sehingga terpaksa aku pegangi sambil membetulkan ikatan tali yang menahannya, tanpa menghentikan langkah. Perbuatan yang akhirnya membuatku terjatuh karena menabrak sesuatu.

Menabrak seorang pria tua kumal, dengan baju gombel. Menatap pasrah rotinya yang menggelinding sebelum masuk ke dalam selokan.

"Ma-maafkan aku. Aku tidak sengaja." Aku berdiri mendekati si pria tua sambil mengulurkan tangan.

Pria kumal dengan brewok putih dan rambut kusut panjang itu tidak menggubris. Dia terpaku menatap rotinya yang sudah menggenang di dalam selokan dengan mata berkaca-kaca.

"Hei! Cepat bergerak! Tinggalkan saja gembel tidak berguna itu!" Prajurit yang baru saja melewatiku membentak tanpa menghentikan langkahnya.

Aku mau meninggalkannya, tetapi ada rasa bersalah karena telah membuat si pak tua kumal kehilangan makanannya, yang mungkin menjadi satu-satunya santapan untuk hari ini. Berharap bisa menemukan sesuatu, tanganku merogoh ke dalam saku celana dan mendapati lima koin tembaga dan tiga keping koin perak. Tanpa pikir panjang, aku raih tangan si Pria Tua Kumal untuk menyerahkan semua koin di tangan, sebelum berlalu meninggalkannya.

"Terima kasih, Nak! Akan aku balas kebaikanmu nanti."

Aku menoleh karena ucapan lirih si pak tua kumal. Kosong! Jalan di belakang sudah lenggang tanpa keberadaan si pak tua. Pria ringkih itu hilang tanpa jejak begitu saja dalam sekedipan mata. Ya Tuhan, kenapa di dunia ini aku harus bertemu hantu segala!?

Aku berlari kencang dengan bulu kuduk meremang ketakutan. Berharap sosok itu tidak muncul kembali dalam wujud yang menyeramkan.

[Bab 3-1] Sayembara yang Harus Diikuti

Aku bernapas lega begitu sampai di lapangan luas, yang di seberangnya berdiri sebuah istana megah. Dari balkon istana yang dihiasi umbul-umbul dan bendera berlambang kerajaan--gambar tombak berwarna perak dan pedang berwarna merah saling bersilangan--dua pasang pasukan mengangkat trompet lalu meniupnya kencang dan panjang, saking panjangnya, aku sempat berpikir kalau mereka semua mempunyai paru-paru ekstra.

Seiring bunyi terompet, Sang Raja yang digandeng Ratunya berjalan keluar istana. Diiringi para punggawa dan pejabat kerajaan.

Tunggu! Sosok Raja itu kenapa jauh berbeda dari bayanganku? Biasanya, seorang raja kalau tidak berbadan tambun dengan wajah cerah yang selalu ceria, pasti tubuhnya kekar dan tegap dipenuhi wibawa. Tetapi, orang yang mengenakan mantel bulu tebal bermahkota emas bertabur mutu manikam itu, terlihat tirus dengan pandangan mata mengawang seperti seseorang berpenyakit parah stadium akhir. Tangannya pun gemetaran saat terangkat untuk menenangkan hiruk pikuk rakyat. Begitu kepayahan, seakan membawa beban berat yang terikat di tangan.

Sosok sang raja sungguh sangat berbeda jauh dengan ratu disebelahnya. Wajah tirus dengan mata tajam yang lebar dan hidung mancung. Ditambahi riasan wajah yang pastinya dilakukan oleh para ahli, sudah mirip benar dia seperti artis Hollywood yang banyak berperan di film box office. Bertubuh langsing dan tinggi yang mengenakan gaun putih mewah, maka pas betul dirinya untuk dipanggil ratu.

Setelah suara mereda, seorang menteri yang sejak awal berjalan mengiringi, maju dengan langkah sengaja dihentak--hingga pipinya yang bergelambir mengelepak seperti saat seekor buldog gemuk sedang berlari--sampai berada di samping raja. Penuh khidmat, menteri itu membuka gulungan surat yang dibawa. Dia menarik napas panjang, hingga perutnya yang sudah buncit, semakin menggembung. Membuat ikat pinggang bersepuh emas dan berhias batu permata yang dia kenakan tertekan kencang keluar. Aku bayangkan, jika dia nekat mengembungkan lagi perut buncitnya, ikat pinggang itu akan menclos dari ikatan, disusul celana beludru merahnya yang melorot.

Aku geli membayangkannya. Namun, niatku untuk tertawa disela oleh suara si Menteri yang (ternyata) lantang membacakan gulungan surat. Pasti dia ikut les olah vokal dengan penyanyi opera terkenal.

"Wahai segenap rakyat kerajaan Capitor! Dengarkan sayembara ini! Bagi siapa saja yang dapat mengalahkan Naga Bersisik Merah Delima, dan berhasil menyelamatkan Putri Asaru, maka baginya akan diberikan hadiah besar berupa tanah subur di timur kerajaan, sepuluh peti besar berisi emas dan perhiasan berharga, juga gelar sebagai bangsawan tertinggi. Mengabdi kepada kerajaan Capitor, dengan pangkat dan gelar yang akan diturunkan ke anak cucunya. Sayembara ini dilakukan terbuka, dan resmi di bawah cap kerajaan, dan disetujui langsung oleh yang mulia raja Solas!"

Sekilas lewat setelah terompet kembali dibunyikan untuk mengiringi raja berikut ratu memasuki istana, mayoritas pria di kerumunan bergegas bubar jalan. Bersiap pergi melaksanakan sayembara. Mereka begitu bersemangat, seakan lupa kalau yang akan dilawannya adalah seekor naga.

Dari sini, sedikit banyak bisa kupahami alur cerita ke depannya, yang mungkin dapat membawaku keluar dari dunia di dalam buku ini. Untuk permulaan, pastinya aku harus pergi mengikuti sayembara, lalu menemukan tempat persembunyian si naga dan mengalahkannya, demi menyelamatkan Putri Asaru. Cerita berakhir bahagia. Putri selamat, dan aku mungkin bisa keluar dari dunia ini, untuk kemudian membakar semua buku terkutuk kiriman Tama!

Ekspektasinya memang terlihat mudah, tetapi aku merasa cerita petualangan Sam Daker ini tidak akan segampang kisah dongeng pengantar tidur. Hanya tebakan saja, tetapi seringnya tebakanku terbukti benar.

"Sam!" Tangan gempal menepuk pundakku dari belakang. "Kau pasti ikut sayembara ini kan? Kita akan pergi bersama untuk mengalahkan Sang Naga Bersisik Merah Delima!"

Entah bagaimana, lelaki gemuk yang tiba-tiba muncul itu, aku kenali sebagai Kord Nitor. Aku yakin sepenuh hati dialah orang yang tadi menggedor pintu rumah, walau sebelum saat ini, aku sama sekali tidak sempat melihat sosoknya.

Entah sihir atau teknologi macam apa yang dimiliki buku kiriman Tama, sampai bisa membuat memori asliku bercampur aduk dengan ingatan Sam Deker. Sumpah, ini gila!

"Tenang saja, jika nanti aku yang mengalahkan si Naga dan menyelamatkan Putri Asaru, aku jamin kau akan aku bagi setengah dari hadiah sayembara itu. Oh, atau seperempatnya saja. Itu pun sudah banyak kan," kata Kord penuh semangat. Kelakuannya mengingatkanku kepada Zacky yang kelewat percaya diri. Cenderung menyebalkan.

"Kau serius mau mengikuti sayembara itu?" Aku kembali berjalan tanpa memedulikan tingkah Kord yang mulai berkhayal sebagai kesatria penakluk naga.

"Tentu saja. Ini kesempatan kita untuk keluar dari kemiskinan, Kawan! Kau tidak mau kan selamanya menjadi petani miskin, yang hanya punya sepetak kecil tanah garapan?"

Aku memperlambat langkah, dan memikirkan kalimat apa yang harus kukatakan untuk menjawab pertanyaannya. "Kau benar, tetapi bagaimana cara kita mengalahkan naga itu? Bahkan untuk bekal perjalanan saja kita tidak punya." Kalimat itu meluncur dari mulutku, disebabkan intuisi milik Sam Deker yang muncul begitu saja.

"Kau masih menyimpan tabungan bersama kita yang berjumlah lima pegu dan tiga kep kan?"

Seketika aku teringat koin yang seluruhnya aku berikan kepada pengemis hantu di jalan tadi. Aku menghentikan langkah tanpa sadar, yang berikutnya diikuti tolehan Kord.

"Sobat, menurutmu apakah menolong orang yang membutuhkan merupakan suatu kesalahan?" tanyaku sambil menggeser posisi, didorong peringatan bahaya dari insting mempertahankan diri milik Sam Deker.

Kord memandangku dengan mata terpicing. "Jangan bilang kau menghilangkannya!"

Aku tersenyum garing. "Nanti aku ganti!" Detik itu pula aku berlari dikejar Kord yang memekik kencang memanggil nama Sam bagai orang kesurupan.

Walau memiliki tubuh tambun, cowok dengan pipi tembem itu ternyata bisa berlari cepat. Aku merasa bagai dikejar banteng ngamuk, yang siap menyeruduk dari belakang.

Untungnya, stamina Kord tidak sebanyak lemaknya. Sampai di belokan menuju rumah, larinya melambat dengan napas tersengal-sengal. Tidak aku sia-siakan kesempatan itu, dan langsung menuju pintu kayu rumah kubus kediaman Sam.

"Selamat datang, Nak. Silakan masuk, anggap saja rumah sendiri."

Aku bengong mendapati pengemis tua yang tadi menghilang begitu saja di tengah pasar, sedang duduk santai di atas dipan dengan sebelah kaki terangkat sambil mengunyah roti, ditemani sebotol minuman madu.

"Kena kau!" teriak Kord dari belakang.

Aku terjungkal dengan teriakan kencang disusul erangan kesakitan karena dihantam dan ditindih oleh tubuh tambun Kord Nitor.

"Hahahaha! Kalian lucu. Aku suka. Karena itu, aku akan berikan kalian rahasia tentang Naga Bersisik Merah Delima, berikut letak sarangnya."

Sekejap saja rasa sakit yang aku idap menghilang. Dihisap rasa ketertarikan pada omongan si tua misterius itu. Kami berdua serentak menatap sosok berjenggot putih di hadapan dengan mata berbinar penuh harap. Setitik harapan yang jujur aku akui kurang meyakinkan. Tetapi, tidak ada salahnya kan untuk dicoba.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!