NovelToon NovelToon

Blue Light

PROLOG

Solana tahu,dia sedang melakukan hal yang tidak berguna. Tapi ia tak tahu lagi apa yang harus dilakukannya selain berlari.

Ia terus memacu kakinya sampai pada batas paru-parunya terasa seperti akan meledak. Air mata dan keringat bercampur menjadi satu memenuhi wajah tirus bermata abu-abu pucat miliknya.

Sudah hampir setahun ia tinggal di kota kecil ini. Penduduknya sangat ramah dan hal itu membuatnya lengah. Dengan bodohnya, dia mulai berteman dengan beberapa orang yang ditemuinya.

Solana berteman dengan Beth, wanita yang beberapa tahun lebih tua darinya, sangat ramah dan dengan baik hati menemaninya, saat ia terserang flu berat tiga bulan lalu di rumah sakit.

Tubuh Beth yang tebal, selalu memberinya rasa hangat saat memeluknya. Dan percayalah, Beth sangat suka memeluknya, terutama saat mereka bertemu di pagi hari ketika memulai shift.

Ia juga berteman dengan Aaron, lelaki tampan berambut pirang, yang selalu tersenyum lebar saat mereka berpapasan di pintu maupun di lorong apartemen. Aaron tak pernah absen menyapanya, sambil melambaikan tangannya yang besar, bahkan saat ia mencoba menjauh.

Wajah Aaron sering mengingatkannya akan Rozh, karena itu pada awalnya Lana tak ingin sering-sering menemuinya. Tapi setelah mengenalnya lebih jauh, sifat riang Aaron sangat berbeda dengan Rozh dan membuatnya nyaman. Dan tentu saja itu adalah kesalahan.

Dan sekarang Aaron sedang menanggung akibatnya.

Masih terbayang jelas dalam ingatan Solana, wajah Aaron yang memucat, suhu tubuhnya menurun drastis, nafasnya menjadi dangkal dan tersengal. Dan Solana sangat tahu itu adalah kesalahannya.

Setelah memanggil ambulance,  Solana berlari meninggalkan kamar Aaron. Ia harus segera pergi, jika tidak keadaan Aaron akan semakin memburuk. Adalah percuma, jika ia ingin menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada Aaron, mereka tidak akan percaya!

Solana akan langsung pergi meninggalkan kota ini begitu mencapai mobil bututnya yang terparkir di lapangan. Seharusnya ia melakukan hal ini lebih cepat.

Solana tidak seharusnya merasa nyaman, karena hal itu hanya akan membawa nasib buruk, yang akan mendorongnya menjauh

Sekarang musibah itu terjadi lagi! Dan dengan terpaksa, Solana harus pergi.

Otot kaki yang telah dibawanya berlari sekuat tenaga sejauh beberapa ratus meter mulai tak bisa lagi bekerja sama. Dari sudut matanya ia sudah bisa melihat mobil sedan birunya, maka dengan seruan tertahan, ia mencoba menarik kekuatan terakhir yang dimiliki tubuhnya untuk mencapai mobil itu.

Solana berhasil!!

Dengan tangan bergetar, ia memasukkan kunci mobilnya, sambil memohon agar mobil itu menyala sesuai dengan harapannya. Mesin mobil itu langsung menggerung nyaring, memecah jalanan malam yang sunyi.

Tanpa berpikir lagi, ia menginjak pedal gas dan memacu mobil menyusuri jalan.

Maafkan aku Beth, aku tak akan hadir di acara pernikahanmu, Solana membatin dengan sedih.

Beth akan menikah dua minggu lagi, dan seharusnya ia mengantar Beth untuk mencoba baju pengantinnya besok.

Terbayang bagaimana Aaron dengan riang meminjamkan beberapa buku koleksinya yang langka kemarin. Ia harus mencari cara agar buku itu kembali kepada Aaron, buku itu terlalu berharga jika harus dibuang bersama barang-barang miliknya di apartemen.

Ketika langit di hadapannya bersemburat merah, Solana menepikan mobilnya dan menarik nafas lega. Jaraknya sudah cukup jauh dari kota.

Dengan pelan, Solana meletakkan kepalanya di atas stir mobil. Tak lama dia terisak pelan.

Solana bukan wanita yang cengeng, kerasnya kehidupan yang dijalaninya selama ini, memaksanya untuk menjadi tegar.

Tapi kesedihan, amarah dan rasa tak berdaya membuatnya tak sanggup menahan lagi perasaannya.

Membayangkan bahwa ia tak bisa bertemu lagi dengan dengan kehidupannya yang lalu, menghancurkan hatinya. Ia benar-benar menyukai teman yang baru yang dibuatnya. Ia tidak ingin pergi, ia ingin tinggal dan menikmati sisa hidupnya di kota itu. Tapi Solana tahu itu tak mungkin.

Ia tak bisa kembali lagi ke sana. Semua temannya akan berada dalam bahaya jika ia terus berada di sana.

Ia harus mencari tempat baru untuk memulai kehidupannya dari nol lagi. Dan kali ini ia tak akan melakukan kesalahan seperti sebelumnya. Ia akan menjauh dan menyendiri seperti seharusnya.

Karena dia tidak ingin menambah daftar kematian orang terdekatnya menjadi lebih panjang!

SATU

Rumah itu tepat berdiri tepat di cerukan lereng, sehingga memberinya pemandangan klasik pegunungan hijau penuh dengan pohon dan bunga.

Di sampingnya, terhampar hutan mini yang dipenuhi oleh pohon pinus dan cemara.

Tak jauh dari hutan itu, Lana bisa melihat tanah pertanian yang ditandai dengan tanaman sayuran berderet rapi.

Pemandangan yang ditawarkan, menyegarkan mata Lana yang terbiasa melihat hutan beton berwarna suram.

Lana mungkin puas dengan pemandangan yang menjadi latar belakang rumah itu, tapi bangunan rumah tua yang ada di hadapannya seolah meneriakkan kata 'pergi' pada Lana, karena sebagian besar  kayu yang membangunnya terlihat tua dan lapuk.

Cat putih yang seharusnya menempel di dinding, justru mengelupas dan menampakkan urat kayu pucat dibaliknya.

Rumah itu berbentuk pondok mungil dengan atap segitiga, khas rumah pedesaan yang asri. Lana yang sudah lama tertarik dengan arsitektur, akan langsung menyukai rumah seperti itu, seandainya rumah itu dalam keadaan yang lebih baik.

Halaman rumah itu juga lumayan luas, tapi sayang rumput liar merajai sebagian besar wilayahnya. Tinggi rumput itu memberi tanda pada Lana, bahwa ia harus bekerja keras, saat membersihkannya nanti.

Belum lagi di sudut yang agak tinggi dibelakang rumah kecil itu, terlihat kebun yang seharusnya berisi tanaman sayur, telah dipenuhi oleh semak lebat. Satu lagi pekerjaan bertambah dalam daftarnya.

Lana tahu, dengan jumlah uang yang dimilikinya, dia tak bisa berharap banyak. Properti yang dibelinya memang berada di pedesaan, tapi ini bukan desa biasa.

Desa ini adalah Grindelwald, yang terletak di kaki gunung Eiger, Swiss.

Pemandangan disini sangat indah, dan Grindelwald adalah salah satu tujuan wisata favorit turis asing. Karena itu properti yang dibelinya berharga mahal.

Lana hanya mampu membeli rumah bobrok itu, walaupun ia telah bersusah payah menabung selama hampir delapan tahun.

Beruntung masih ada sisa beberapa ribu dollar di tabungan. Karena dia yakin biaya perbaikan rumah ini akan menghabiskan banyak uang.

Tapi ia tetap bersyukur, karena atapnya masih terlihat utuh. Dan saat ini masih bulan Juli. Lana masih memiliki beberapa bulan sebelum udara menjadi benar-benar dingin saat salju datang nanti.

Lana berharap bisa bertahan ditempat ini sampai musim dingin, karena dia tak tahu lagi harus pergi kemana jika ternyata tempat ini tak sesuai dengan apa yang dibayangkannya.

Berapapun sisa uang yang dimilikinya, setelah ia melakukan semua perbaikan pada rumah itu, jumlahnya tak akan cukup untuk membeli tiket kemanapun.

Ia mempertaruhkan semua harta yang dipunyainya pada tempat ini, tak ada rencana cadangan.

Tapi Lana sudah menyelidiki tempat ini dengan seksama dan teliti.

Ia tahu negara ini memiliki catatan kriminal terendah di seluruh dunia. Menurut data tambahan yang dibacanya untuk kesekian kalinya beberapa minggu yang lalu, tidak pernah terjadi pembunuhan di desa ini selama hampir 50 tahun.

Dan lagi Swiss tak pernah ikut dalam perang dunia. Itu berarti tak ada korban perang di sekitar sini. Fakta itu semakin membuat Lana memimpikan tempat yang bisa ditinggali dalam waktu lama.

Tempat ini terlihat bagai surga untuk Lana.

Karenanya, semenjak delapan tahun yang lalu, Lana menabung dengan sangat cermat untuk bisa pindah dan memiliki rumah di daerah ini.

Lana menabung hampir seluruh gaji yang diperolehnya dan menghemat biaya makan, dengan memakan roti sisa atau makanan apapun yang bisa dibawa pulang dari tempatnya bekerja.

Dia hanya menggunakan uang untuk membayar sewa kamar kumuh yang ditinggalinya, serta untuk membeli beberapa hal yang dirasa sangat penting.

Untuk pakaian, ia biasa memungut baju sisa yang masih pantas pakai di tempat pembuangan. Sampai sekarang ia tak pernah mengeluarkan sepeserpun uang untuk membeli baju, kecuali baju dalam, karena memakai baju dalam bekas pakai, akan membahayakan kesehatan, jika sampai dia tertular suatu penyakit.

Gaya hidupnya yang tak biasa, mengharuskan Lana untuk selalu sehat.

Tapi Lana tetap membatasi diri, dengan membeli baju dalam jenis yang paling murah, walaupun kadang bahannya yang kasar membuat kulitnya lecet. Kulit lecet bukan penyakit berat, dia masih bisa menanggungnya.

Menurut Lana penampilannya masih terlihat baik-baik saja. Dia sering tidak mengerti, kenapa orang bisa membuang baju yang masih pantas dengan begitu saja. Tapi-- ia memang tak mungkin mengerti jalan pikiran orang-orang kaya.

Selama delapan tahun itu, Lana berpindah tempat, lebih dari tujuh belas kali, dan selalu mengulang hal yang sama setiap kalinya. Pertama, dia akan mencari kamar dengan sewa paling murah dan yang terpenting tak ada siapapun yang meninggal di sana sebelumnya.

Kemudian dia akan mencari pekerjaan yang memungkinkannya untuk membawa makanan sisa. Pernah sekali waktu ia bekerja di dua tempat sekaligus, yaitu toko roti pada pagi hari dan malam hari ia bekerja di restaurant sebagai tenaga kasar.

Lana tak perlu menghabiskan delapan tahun untuk menabung, jika saja ia bisa bekerja di kota itu lebih lama, tapi tentu saja tidak. Lana hanya bisa tinggal di kota itu selama tiga bulan.

Setelah perpisahan dengan Beth dan Aaron delapan tahun yang lalu, Lana tak pernah lagi mencoba untuk mengenal siapapun dengan lebih dekat.

Di tujuh belas kota yang disinggahinya selama ini, Lana hanya menyapa seperlunya kepada rekan kerjanya.

Dia juga tak pernah mengangkat pandangan saat berjalan, sehingga tak perlu menyapa siapapun. Dan tentu saja selalu berpura-pura tak mendengar, saat salah satu tetangganya mencoba beramah-tamah.

Pada awalnya mereka sangat heran dengan sikapnya, tapi setelah beberapa hari hanya ditanggapi dingin oleh Lana, mereka biasanya akan menjauh dengan sendirinya .

Ia lebih sering dikenal sebagai pekerja rajin yang tidak ramah, dan itu cukup.

Lana hanya harus memastikan dia tidak akan dipecat, karena itu Lana selalu memastikan semua pekerjaan yang dilakukannya selesai dengan baik.

Semua kerja keras itu terbayar sekarang, rumah yang diimpikannya berdiri di hadapannya. Tidak sempurna tentu saja, tapi hal itu bukan apa-apa jika dibandingkan dengan perjuangannya selama ini.

Lana melihat ke arah langit, dan melihat matahari sebentar lagi akan tenggelam. Maka dengan menyeret koper besarnya, dia melangkah menuju pintu rumah.

Dia harus memperkenalkan diri kepada penghuni rumah itu saat malam tiba nanti. Dan ia harus mempersiapkan diri agar mereka tidak terkejut atas keberadaannya.

-------------0O0-------------

Sebagian besar lampu di rumah itu masih berfungsi, sayangnya lampu di dalam kamar utama mati. Itu berarti ia harus tidur di ruang tamu nanti. Lebih baik terjaga semalaman dari pada harus tidur di kegelapan. Lana tak suka tidur dalam gelap.

Sambil merapikan rambut panjangnya dengan jari, Lana duduk di sofa reyot di tengah ruangan. Sofa itu langsung melengkung ke dalam, tapi karena berat tubuh Lana yang tak seberapa, sofa itu bertahan dan tidak patah.

Tubuh Lana kurus. Makanan sisa bukan nutrisi yang akan membuat siapapun gemuk. Cukup untuk menjaganya tetap hidup, tapi tidak dalam bentuk tubuh yang prima.

Dengan gugup mata Lana melirik ke arah jendela. Matahari akan tenggelam beberapa detik lagi.

Lana memejamkan mata erat-erat, begitu langit di luar jendela benar-benar gelap. Ia sudah melakukan hal ini berulang kali, tapi rasa takut tetap saja merasukinya.

Tangannya mulai bergetar saat hawa dingin yang sangat kontras dengan musim panas di luar ruangan menghampirinya. Ruangan itu masih sunyi, tapi kulit Lana semakin lama semakin dingin.

Dengan perlahan, bisikan lembut mulai tertangkap oleh telinganya. Bisikan itu segera membuat jantungnya berpacu. Ia masih takut jika mereka datang dalam jumlah banyak sekaligus, dan jelas bisikan itu menandakan jumlah mereka lebih dari satu.

Suara mereka semakin keras, dan Lana meremas sofa yang didudukinya untuk mengumpulkan keberanian. Dengan pelan ia membuka matanya.

Dan Lana nyaris menangis bersyukur karena lega. Uangnya tak terbuang percuma, ia bisa tinggal di disini, mereka hanya berdua. Ini awal yang bagus.

Penghuni rumah ini terlihat baik-baik saja dan normal.

Normal untuk ukuran orang mati tentu saja!

Tubuh mereka terlihat utuh tanpa darah dan juga luka yang menganga.

Sosok yang sekarang berada di hadapan Lana nyaris terlihat seperti manusia pada umumnya. Hanya saja Lana tahu mereka bukan makhluk hidup, karena mereka memiliki kepadatan tubuh yang tidak sama.

Ada bagian yang padat seperti biasanya, tapi ada beberapa bagian yang terlihat seperti tabir transparan. Dan bagian transparan itu biasanya berpindah-pindah, menghasilkan efek seperti seperti wujud hologram yang terus berkedip.

Ia kadang bisa melihat menembus tubuh mereka, seperti saat ia melihat dari balik kain yang tipis. Agak sedikit sulit membedakan warna, tapi tetap ia bisa dengan jelas menyebut benda apa yang ada dibalik tubuh mereka.

Melihat kerutan yang memenuhi wajah mereka, Lana menyimpulkan mereka meninggal karena usia tua. Cara mati yang menjadi favoritnya.

Hantu yang meninggal karena usia tua biasanya masih memiliki sifat yang sama seperti saat mereka hidup. Melihat dari wajah mereka, Lana membayangkan mereka berdua adalah tipikal warga pedesaan biasa, yang menghabiskan masa tuanya dalam lingkaran keluarga yang hangat.

Saat ini, mereka berdua memandangnya dengan sangat tertarik. Bukan sesuatu yang luar biasa, Lana bisa menjelaskannya dengan mudah.

Setiap malam tiba, tubuhnya akan memancarkan sinar temaram berwarna biru yang hanya bisa dilihat oleh makhluk yang sudah mati.

Salah satu hantu ramah yang ditemuinya dulu menjelaskan padanya dengan suka rela.

Hantu  ramah itu bernama Hans. Ia menghuni salah satu kamar kumuh yang disewanya.

Berbeda dengan hantu lain yang menolak membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan kematian, dengan baik hati Hans menjelaskan semua hal yang menjadi sumber rasa penasaran Lana.

Sinar biru yang dipancarkan tubuh Lana menarik perhatian para hantu.

Karena itulah, biasanya para hantu penasaran akan mulai mengikuti Lana sepanjang tubuh tipis mereka mengijinkan. Pada jarak tertentu mereka memantul kembali kepada benda atau ruangan tempat mereka terikat.

Lana mengetahui hal ini, juga dari Hans.

Dengan sabar ia menjelaskan bahwa semua hantu yang berkeliaran di dunia, memiliki keterikatan dengan suatu objek. Biasanya yang menjadi objek obsesi para hantu adalah rumah atau harta dan juga keluarga.

Jika hal yang mengikat mereka adalah rumah, mereka tak akan bisa pergi jauh berkeliaran, karena rumah tak bisa berpindah tempat.

Mereka yang terikat kepada manusia sedikit lebih beruntung, karena bisa berkeliaran mengikuti manusia itu. Tubuh transparan hantu bisa menembus tembok atau halangan apapun, selama masih berada dalam jarak tertentu dari objek itu.

Dan untuk pasangan yang berada di depannya, jelas mereka terikat pada rumah ini. Seperti yang sudah diperkirakan.

Pasangan itu mulai berbisik dengan lebih ribut, membahas cahaya biru yang tak bisa dilihat oleh Lana. Mereka berbisik dalam bahasa Jerman yang tebal.

Lana mengerti tentu saja. Selama delapan tahun ini, ia mempelajari bahasa Jerman, Perancis dan Italy dengan gigih, begitu tahu bahwa bahasa yang digunakan di Swiss adalah tiga bahasa itu.

Dengan begitu total ada enam bahasa yang dikuasainya, termasuk bahasa Spanyol, Jepang, dan ia sedang dalam proses mempelajari bahasa Rusia.

Ia mempelajari semua itu dengan cara otodidak melalui buku. Lana mengunjungi toko loak untuk mendapatkan buku dan kamus murah.

Tak jarang Lana mendapatkan buku gratis dari para penjual, karena ia sengaja memilih buku yang sudah nyaris rusak.

Dengan buku-buku tua itulah, dia berhasil menguasai semua bahasa itu dengan fasih. Hanya mungkin agak sedikit kaku dalam pengucapan karena ia sangat jarang mempraktekannya.

Lana termasuk murid yang cerdas sebelum ia keluar dari sekolah, saat berumur lima belas tahun. Ia masuk dalam kategori murid pintar kesayangan para guru di sekolah, sebelum akhirnya mereka menyebutnya gila.

Lana tak selalu seaneh ini. Ia gadis normal yang tumbuh dalam keluarga biasa sampai ia berumur empat belas tahun. Hidupnya berbalik seratus delapan puluh derajat setelahnya.

Ia tak menyalahkan siapapun yang menyebutnya gila, karena pada awalnya Lana juga mengira bahwa ia sudah gila.

Tapi itu semua adalah masa lalu, dan kini Lana sudah tahu makhluk transparan yang dilihatnya adalah hantu.

Lana berdehem kecil untuk membuat mereka berhenti saling berbisik.

"Guten tag!" desis Lana dengan suara bergetar.

Lana sengaja memandang mereka tepat di wajah, untuk memberi tanda bahwa ia memang menyapanya.

Mereka langsung membelalakan mata mendengar sapaan Lana.

"Kau bisa melihat kami?"  hantu yang berwujud perempuan tua melesat mendekat kepadanya.

Tubuh Lana meremang karena dingin yang dihasilkan oleh hantu itu. Ia bisa merasakan kakinya mulai gemetar.

Lana menjawab dengan anggukan kecil.

"Oh, ini luar biasa"  hantu laki-laki yang dari tadi hanya melihat, ikut mendekatinya.

Hawa dingin sekarang membuat Lana menggigil, dua hantu membuat Lana merasa seperti sedang berada di jalanan saat musim dingin tanpa memakai mantel.

"Oh.. maafkan kami" hantu perempuan tua itu rupanya sangat pengertian.

Ia melihat tubuh Lana bergetar pelan, karena itu ia bergeser menjauh sambil menarik agar hantu satu lagi mengikutinya.

"Kami tak pernah melihat manusia sepertimu, nona. Maaf, karena telah membuatmu tidak nyaman karena rasa penasaran kami." lanjutnya, sambil menundukkan kepala dengan sopan.

Lana sekali lagi merasa lega. Ia sudah pernah bertemu hantu ramah, tapi wanita itu bahkan sangat sopan.

Haru dan bahagia, karena dia tidak salah memilih rumah kembali merasuki hatinya. Ia bisa bertahan jika mereka yang menghuni rumah ini. Semoga saja!

"Nama saya Solana, Solana Fayra. Senang bertemu dengan anda berdua" Lana menyapa dengan ramah.

"Oh.. kami adalah Faxon. Aubrey dan ini suamiku Barnabas" Aubrey dengan bersemangat memperkenalkan diri.

"Senang berkenalan dengan anda Mrs. Faxon, Mr. Faxon" Lana dengan sopan kembali sedikit menganggukkan kepala.

"Tak perlu sesopan itu kepada kami, kau bisa memanggilku Aubrey saja, dan panggil dia Barnabas"

Aubrey mengibaskan tangan transparan-nya pertanda ia tak suka dengan sikap Lana yang kaku.

Lana tersenyum "Tentu saja, terima kasih. Dan maafkan aku sebelumnya, tapi mulai hari ini aku akan menempati rumah ini. Aku harap kalian tidak keberatan"

"Memangnya apa yang bisa kami lakukan jika keberatan?" Kali kedua Barnabas berbicara.

Lana menjadi tahu bahwa ia tak seramah Aubrey.

"Oh jangan pedulikan dia. Tentu saja kau bisa tinggal di sini. Kau sudah membeli tempat ini bukan? Sayang sekali tak ada cucu kami yang mau tinggal di sini. Tapi aku senang mereka mendapatkan pembeli sepertimu. Bayangkan kau bisa melihat dan berbicara pada kami"

Aubrey langsung menceritakan panjang lebar soal keluarganya yang hampir semua kini tinggal di Bern. Hanya ada dua orang cucunya yang tinggal di desa, dan mereka sudah memiliki rumah sendiri. Karena itu bangunan rumah ini menjadi terbengkalai.

Lana mendengarkan semua itu dengan sabar.

Ia tidak terkejut dengan perilaku Aubrey yang bercerita panjang lebar soal kehidupannya tanpa diminta. Menjadi hantu juga berarti tak akan ada yang mendengarmu berbicara.

Sebenarnya Aubrey cukup beruntung karena suaminya ada disini, tapi melihat sikap diamnya, Lana menebak Barnabas bukan tipe yang banyak bicara, sangat kontras dengan Aubrey.

Hantu yang sering ditemuinya di kamar sewaan, rata-rata terdampar di sana sendirian.

Kadang Lana harus mendengarkan cerita mereka semalaman sebelum mereka puas dan membiarkannya tidur. Cerita Aubrey masih bisa dibilang singkat jika dibandingkan dengan mereka.

Setelah beberapa jam bercerita, Barnabas menarik tangan Aubrey dengan keras. Mata Lana langsung terbuka lebar saat melihat gerakan itu.

Perjalanannya menuju kesini sangat panjang. Ia sudah sangat lelah, tapi ia tetap mendengarkan cerita Aubrey sedari tadi. Tapi saat ini sudah tengah malam lewat, ia nyaris tak sanggup membuka mata lagi.

"Dear... maafkan aku, kau pasti  sudah sangat lelah. Tapi aku malah mengajakmu mengobrol. Tidurlah, kita akan berbicara kembali besok" Aubrey langsung menjauh menuruti tarikan tangan Barnabas, saat sadar mata Lana sudah sangat merah karena mengantuk.

"Tentu saja Aubrey. Kita akan berbincang lagi besok malam" Lana tersenyum, dan seiring dengan lambaian tangan, sosok mereka berdua semakin samar, sampai akhirnya Lana tak bisa melihatnya, karena mereka menembus tembok yang memisahkan ruangan.

Dengan sisa tenaga yang ada, Lana menarik keluar selimut tebal dari koper dan menempatkan dirinya senyaman mungkin di sofa reyot itu.

Perkenalan tadi cukup lancar, dan karena itu, Lana memastikan ia akan tidur nyenyak malam ini. Ia tak perlu takut lagi pada Aubrey dan Barnabas.

Kegiatan perkenalan dengan hantu yang menghuni tempat tinggalnya adalah hal rutin yang harus dilakukannya, jika ia ingin hidup tenang.

Lana pada awalnya memilih untuk tidak mengacuhkan mereka, tapi ia tak bisa terus melakukan hal itu dalam waktu lama.

Gangguan kecil berupa wujud mereka yang biasanya tidak normal, sering membuat Lana terperanjat dan membongkar kepura-puraannya.

Dan sudah pasti setelah kemampuannya terbongkar, hidupnya tak akan tenang.

Hans yang mengajarinya untuk lebih berani berkenalan, dan menjelaskan semua keadaanya dengan jujur.

Tapi tentu saja perbuatan ini mengandung resiko, jika hantu yang menghuni kamar sewanya ternyata tidak bisa menerima Lana, ia harus bersiap pergi. Tapi jika Lana sedang beruntung seperti hari ini, ia bisa dengan tenang tinggal di tempat itu.

Sambil tersenyum lega, Lana memejamkan mata dan tertidur pulas.

DUA

Dan seperti yang sudah diduga Lana, pekerjaan membersihkan rumah dan halaman, sangat melelahkan.

Tapi Lana cukup lega, karena hampir seluruh bagian dalam rumah itu, sudah tertata rapi. Ia juga sudah melakukan sedikit perbaikan pada bagian pipa dan lampu sehingga ia bisa tidur di kamar nanti malam.

Walaupun terlihat tidak meyakinkan untuk ditinggali, tapi sebenarnya rumah itu masih dalam kondisi yang cukup lumayan. Kebutuhan listrik dan air tak akan menjadi masalah bagi Lana.

Setelah sekian lama hidup sendiri, Lana mempunyai sedikit keterampilan untuk memperbaiki instalasi rumah. Mungkin tidak serapi ahlinya, tapi ia tetap berhasil memfungsikan seluruh instalasi rumah dengan baik.

Dan bagi Lana itu cukup, karena yang paling penting, dia tak ingin memanggil siapapun ke sini, walaupun hanya seorang tukang ledeng.

Pekerjaan yang masih tersisa untuk hari ini adalah, membersihkan halaman.

Dan kenyataannya, Lana sangat payah dalam hal ini.

Dia tidak pernah lagi tinggal di rumah yang mempunyai halaman selama hampir sepuluh tahun. Pengalamannya tentang berkebun sangat minim.

Terlihat dari hasil kerjanya, jajaran rumput yang ada di halaman rumah jauh dari kata rapi. Ia mungkin sudah membabat sebagian besar rumput yang ada, tapi tinggi rumput yang sekarang tak beraturan malah membuat pemandangan halaman itu semakin mengenaskan.

Lana sudah berusaha sekuat tenaga, dengan menggunakan peralatan sederhana yang ditemukannya di gudang. Tapi hasilnya, sama sekali tak mencerminkan usahanya.

Tetapi Lana menolak menyerah, ia masih ingin berusaha dan kembali berjongkok, mencoba membabat rumput tinggi di dekat teras.

Lana mencurahkan seluruh perhatiannya pada pekerjaan, sehingga tak mendengar, saat beberapa ranting dibelakangnya, patah karena injakan.

"AAAGHHHH!!!"

Lana berteriak nyaring sekuat tenaganya, saat sebuah sentuhan kecil hinggap di bahunya. Dengan seketika ia mengacungkan parang yang ada di tangannya ke belakang, sambil berbalik.

Kehidupan penuh roh orang mati, membuat Lana gampang sekali terkejut.

"Wow.... wow.... Relax. Aku bukan orang jahat"

Lana langsung merasa bodoh saat menyadari bahwa yang menepuk bahunya adalah manusia, lagi pula makhluk yang ditakutinya tidak akan terluka walaupun ia mengayunkan parang itu ribuan kali.

"Maaf.. maafkan aku" Lana menurunkan parang itu dengan segera sambil menundukkan kepala meminta maaf.

"Tidak apa, aku pasti sudah membuatmu terkejut. Jeritanmu kencang sekali"

Lana tersenyum canggung sambil memperhatikan pria yang berdiri di depannya dengan lebih baik.

Usianya berkisar antara empat puluh sampai lima puluh tahunan. Badannya sedikit tambun dengan rambut cokelat, dilihat dari baju yang dipakainya yaitu denim dan kemeja, Lana menyimpulkan ia adalah penduduk dari sekitar rumahnya.

"Erich... ada apa? Aku mendengar teriakan" suara berseru panik mengalun dari balik pohon di tepi halaman.

Dan tak lama diiringi  suara gemerisik daun, muncul wanita berambut panjang yang memandang mereka berdua dengan cemas.

Wanita itu memiliki paras wajah yang sangat tegas, dengan hidung tinggi. Mengingatkan Lana akan guru sekolah yang galak.

"Ah.. tidak apa-apa, jangan khawatir. Aku tadi membuat tetangga baru kita terkejut, sehingga dia berteriak" Pria yang dipanggil Erich itu mengangkat tangan menenangkan wanita itu.

Saat wanita itu tersenyum lega, hilang sudah bayangan Lana tentang guru yang galak, wajah itu langsung berubah hangat.

"Oh... kau pasti telah membuatnya takut karena tubuh besarmu itu" Wanita itu berjalan mendekati Lana sambil tersenyum geli.

Erich terlihat tidak terima dengan tuduhan tubuh besar itu, tapi ia menelan bantahannya, karena wanita itu mulai memperkenalkan diri pada Lana.

"Perkenalkan, dia adalah Erich Yoder, dan aku Joan Yoder. Rumah kami berada persis di sebelah kebun ini" kata Joan sambil menunjuk hutan mini tak beraturan di sebelah rumah Lana.

Lahan itu tidak termasuk tanah yang dibeli Lana. Uangnya hanya mampu membeli lingkungan disekitar rumah. Lahan itu masih milik cucu dari Aubrey dan Barnabas.

Lana mengangguk mengerti kemudian menyambut uluran tangan ramah Joan dan Erich.

"Maafkan aku, karena belum sempat memperkenalkan diri, Solana Fayra" kata Lana pelan.

Ini bohong tentu saja, ia tak pernah berkeinginan memperkenalkan diri pada siapapun tetangganya. Lana mengucapkannya, hanya karena itu adalah kalimat basa-basi paling umum.

"Ah... tak perlu sungkan seperti itu, kami tahu kau pasti sangat sibuk. Rumah itu sudah lama terbengkalai. Aku heran mereka menjualnya dalam kondisi seperti itu"

Joan menanggapi basa-basi Lana dengan sangat serius. Ia menjadi merasa sedikit bersalah.

"Aku rasa itu hal yang bagus, aku tidak akan mampu membelinya jika rumah ini berada dalam kondisi bagus" Tanpa berpikir Lana menjawab pernyataan Joan dengan jujur.

"Hmm.. itu benar, tapi sekarang kau harus mengeluarkan banyak biaya untuk perbaikannya" Erich menebar tangannya ke arah rumah.

"Aku cukup puas dengan keadaan rumah ini, bagian dalamnya tidak terlalu buruk" jelas Lana. Aubrey telah merawat rumah itu dengan baik.

"Aku tak bisa mengingat kapan rumah ini terakhir dihuni, karena sudah sangat lama. Bagaimanapun aku gembira karena akhirnya aku mempunyai tetangga dekat"

Joan menepuk tangan Lana dengan gembira sambil memandangnya dengan mata berbinar,

Lana secara tak sadar membalas senyuman ramah itu dengan tulus. Sudah lama tak ada orang yang tersenyum seramah itu padanya.

"Sebaiknya kita pulang Joan, Solana masih sangat sibuk. Kita akan kembali jika kau selesai membereskan rumah itu"

"Lana, just Lana--please" Lana tak terlalu suka jika seseorang memanggil namanya dengan lengkap.

"Baiklah Lana. Kami permisi dulu. Ingatlah untuk meminta bantuan pada kami jika kau menemui kesulitan. Hidup di tanah asing seperti Grindelwald pasti tak akan mudah untukmu. Apalagi kau berasal dari Amerika"

Joan menepuk pelan punggung Lana sambil berpamitan.

"Bagaimana kalian tahu?" Lana bertanya dengan kaget. Ia mengobrol dengan bahasa Jerman yang sempurna sedari tadi.

Joan terkekeh geli.

"Lana, Grindelwald itu desa yang sangat kecil. Setiap warga desa sudah tahu soal kedatanganmu sekitar seminggu yang lalu. Pendatang baru adalah hiburan manis bagi warga desa yang bosan" katanya, sambil terus tertawa renyah.

Lana hanya bisa tersenyum masam menanggapi berita itu. Ia biasanya mendatangi suatu kota dengan diam-diam dan pergi dengan secepat kilat. Menjadi pusat perhatian membuatnya tak nyaman.

"Jangan peduli dengan gosip warga, Lana. Bersikaplah biasa dan kau akan baik-baik saja" Erich memberinya semangat sebelum menyusul Joan keluar dari halaman.

Lana membalas lambaian mereka, dan menunggu sampai mereka tak terlihat lagi sebelum menjatuhkan diri dengan lelah di atas rumput.

Bersosialisasi lebih membuatnya letih daripada membersihkan rumah ini seharian.

Jika dihitung dengan pasti, selama sepuluh tahun kebelakang, ia lebih banyak berbicara kepada hantu dari pada manusia.

Lana kembali bimbang, Joan dan Erich sangat baik.

Ia merasa menjadi orang yang sangat jahat karena harus menolak keramahan mereka setelah hari ini. Tapi ia tak bisa membuat mereka menanggung resiko jika hubungan mereka menjadi dekat nantinya.

Ia berencana tinggal lama di desa ini, tapi ia tak pernah berencana untuk menjalin hubungan apapun dengan siapapun.

Desa ini sangat damai, tapi Lana harus tetap waspada. Kelengahannya bisa berarti nyawa tak bersalah akan melayang.

 

 

-------------0O0-------------

 

 

Menjadi pusat gosip di Grindelwald ternyata tak seburuk bayangan Lana, ia masih bisa dengan bebas berkeliaran di desa tanpa ada yang menunjuk ke arahnya dengan penasaran.

Karena seperti yang Lana bayangkan sebelum datang kesini, Grindelwald sebenarnya adalah desa wisata yang sibuk.

Turis asing banyak berkeliaran di jalan-jalan desa.

Kehadirannya tak terlalu mencolok di jalanan. Dia baru akan dikenali ketika membeli makanan untuk mengisi kulkas atau ketika membeli beberapa pot tanaman untuk menghias teras. Turis tidak akan membeli barang seperti itu.

Dengan mudah para pemilik toko mengidentifikasi Lana, dan biasanya mereka langsung sibuk memperkenalkan diri.

Dan semua kejadian itu, masih tak membuat kemampuan Lana bersosialisasi menjadi lebih baik. Ia masih sama canggungnya seperti yang biasa.

Tapi entah mengapa, ia merasa penduduk desa ini tak terlalu peduli dengan sikap tak acuhnya. Sudah hampir sebulan ini ia tinggal di sana dan ia masih bisa mendengar sapaan ramah para pemilik toko setiap kali ia lewat.

Sapaan yang sangat jarang ia jawab.

Yang paling parah adalah Joan dan Erich, mereka dengan sangat gampang tidak mempedulikan sikap dingin Lana.

Tanpa lelah, Joan mengunjungi rumahnya hampir setiap minggu, sekedar untuk mengucapkan halo, memberinya setumpuk sayuran atau mengantarkan makanan.

Lana sungguh berharap semua ini tak akan berakhir buruk.

Dan seperti biasa, Lana mendapatkan pekerjaan di restoran, yang kali ini bernama Melina.

Restoran itu tidak terlalu besar, tapi selalu penuh dan ramai. Pemiliknya bernama Mr. Meier, adalah lelaki berumur lima puluh tahunan yang tegas tapi ramah kepada pelanggan. Dan ia bertubuh lebih besar dari pada Erich.

Ia gembira ketika Lana datang melamar pekerjaan padanya. Mr. Meier selalu merasa kekurangan tenaga, karena banyak generasi muda di Grindelwald yang lebih memilih untuk pergi ke kota.

Kehadiran darah muda seperti Lana akan menghidupkan atmosfer di dalam restoran katanya.

Mr. Meier sebenarnya ingin menempatkan Lana di bagian pramusaji, tapi Lana menolaknya.

Pramusaji berarti ia harus bertemu dan mengobrol dengan banyak orang. Itu adalah hal yang paling dihindarinya.

Keramaian restoran akan membuatnya lengah. Lana menjadi kesulitan untuk membedakan manusia hidup dengan yang mati, jika mereka telah bercampur dalam kerumunan yang ramai.

Bisa-bisa ia kembali dianggap sebagai orang gila, karena bertanya tentang menu makanan yang diinginkan pada kursi kosong.

Akhirnya seperti biasa, Lana bekerja sebagai tenaga kasar.

Tanggung jawabnya adalah membersihkan dapur sebelum semua chef datang, mencuci piring dan gelas bekas pelanggan serta mencuci semua peralatan dapur yang kotor sebelum akhirnya dia pulang.

Pekerjaan itu berat dan membutuhkan banyak tenaga. Tapi Lana tak keberatan, ini adalah pekerjaan yang selalu dilakukannya.

Pekerjaannya itu menjanjikan kesibukan sepanjang hari, Lana tidak akan memiliki waktu untuk beramah-tamah dengan rekan kerjanya. Dan itu sesuai dengan apa yang diinginkannya.

Ia kembali menjadi robot, dan meleburkan seluruh fokusnya kepada pekerjaan.

Chef dan juga sous chef yang bekerja di dapur Melina adalah laki-laki. Dan tentu saja mereka juga sangat sibuk seperti dirinya. Hampir tak ada percakapan berarti yang terjadi diantara mereka.

Paling sering bentuk komunikasi yang terjadi antara mereka adalah, suitan nakal menggoda yang berasal dari Petra.

Petra adalah sous chef yang disewa oleh Mr. Meier dari Bern.

Ia berumur sekitar tiga puluh tahun. Petra baru bekerja di Melina selama kurang dari setahun. Dan dari gosip yang didengar Lana secara tak sengaja, Petra sebenarnya jengkel karena posisinya di sini hanya sebagai sous chef, ia menginginkan jabatan Chef, tapi sayangnya Mr. Meier lebih mempercayai Marco, walaupun dia lebih muda dari Petra.

Marco mungkin bukan lulusan sekolah terkenal seperti Petra, tapi Lana mengakui kemampuan memasaknya sangat hebat.

Ia sudah mencicipi beberapa masakannya yang dihidangkan saat makan siang karyawan, dan dia langsung mengerti kenapa Mr. Meier mempertahankannya sebagai executive Chef.

Lagipula Marco memiliki istri dan anak yang tinggal di Grindelwald, ia tidak akan pergi begitu saja.

Untuk sebuah restoran hal itu penting, karena mereka harus mempertahankan konsistensi rasa masakannya. Chef yang baru bisa jadi mengubah semua hal yang telah berjalan baik selama ini.

Hidangan yang dibuat Marco untuk tamu juga lezat. Lana mengetahuinya karena telah mencicipi beberapa sisa makanan di dapur yang dia bawa pulang.

Lana sebenarnya tak perlu lagi menabung semua uangnya, tapi ia tetap berhati-hati dalam menghabiskan uangnya untuk makanan.

Ia tidak membatasi makan seperti dahulu dan tetap membeli beberapa bahan makan  segar, tapi bukan berarti ia menghamburkan seluruh uangnya begitu saja.

Insting Lana yang selalu was-was, membuatnya tidak bisa begitu saja mengubah kebiasaan. Sehingga kadang dia masih membawa makanan sisa itu pulang ke rumah. Lana tidak  tidak tahu kapan ia akan membutuhkan uang lagi, karena itu Lana memutuskan untuk tetap berhemat.

Selain gangguan dari Petra yang dengan mudah tak diacuhkannya, suasana Melina sesuai dengan apa yang diinginkan Lana.

Jam kerjanya sampai malam, dan Lana sempat ketakutan saat pertama kali pulang pada malam hari.

Tapi sekali lagi Grindelwald benar-benar tempat yang nyaman. Hantu yang berkeliaran di jalanan maupun bangunan yang disinggahinya, hampir semuanya dalam keadaan normal seperti Aubrey. Roh seperti itu tidak akan menimbulkan masalah bagi Lana.

Selama sebulan ini berada di Grindelwald, Lana hanya melihat dua hantu yang membuatnya bergidik, yaitu di sudut jalanan di dekat pasar makanan segar, dan juga hantu yang berada di menara jam di pusat kota.

Hantu yang ada di jalanan itu, jelas adalah korban kecelakaan. Lana bisa melihat luka di bagian kepalanya menganga lebar, di bawah sinar redup lampu jalan. Beruntun, Lana tidak harus sering melewati jalan itu.

Dan sekali lagi Lana takjub dengan fakta, bahwa hanya ada satu hantu di jalanan Grindelwald.

Jalanan kota tempat tinggalnya selama ini, selalu menyuguhkan parade hantu saat malam tiba yang berasal dari banyaknya korban meninggal karena kecelakaan lalu lintas.

Tapi kemudian dia tak lagi heran, karena jumlah mobil yang berlalu lalang di jalan desa memang sangat sedikit.

Kebanyakan turis tentu saja lebih memilih untuk berjalan kaki menikmati pemandangan gunung Eiger, karena itu untuk kenyamanan mereka, pemerintahan Swiss sengaja membatasi jumlah jalan yang boleh dilalui oleh mobil.

Sebagai gantinya pemerintah menyediakan sepeda yang bisa dipakai dengan gratis oleh siapapun. Dengan mudah Lana bisa menemukan tempat parkir sepeda berjejer di beberapa sudut jalan.

Ketika mengetahui semua hal itu, hati Lana semakin gembira. Ia tak perlu lagi menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk mencari rute berjalan aman yang bebas hantu.

Untuk hantu yang berada di menara jam itu, adalah hantu bunuh diri. Ia beberapa kali melihat jenis roh seperti ini sebelumnya. Dan masih saja tak terbiasa. Jenis hantu seperti itu selalu membuatnya ngeri lebih dari roh yang lain.

Hantu menara jam itu, membuatnya menjerit ketakutan, karena tiba-tiba jatuh menembus tubuhnya, saat Lana lewat tepat di bawah menara. Lana jatuh terjengkang saat sosok hantu itu menabrak permukaan batu di depannya.

Butuh beberapa detik sebelum Lana sadar, bahwa orang-orang yang berada di sekitar menara, sedang memandangnya, bukannya sosok berdarah dengan kepala pecah yang terkapar di dekat kakinya.

Lana langsung meminta maaf, saat beberapa orang dengan cekatan membantunya berdiri. Dengan menunduk dia menolak beberapa tawaran untuk membawanya ke rumah sakit. Orang yang berada di sekitarnya mengira Lana menjerit karena kesakitan.

Sementara di depan matanya, Lana melihat bagaimana sosok berdarah dengan tubuh dan kepala hancur itu secara perlahan bangkit, dan menyeret kakinya yang patah menaiki tangga.

Ia akan mengulang saat kematiannya untuk yang kesekian kalinya. Ciri khas hantu bunuh diri adalah, mereka akan mengulang saat kematiannya secara terus menerus.

Dengan secepat kilat Lana meninggalkan tempat itu, ia tak ingin melihat pemandangan mengerikan itu untuk kedua kalinya.

Setelah hari itu, Lana menghindari jalan di sekitar menara jam. Ia memilih rute yang lebih jauh tapi aman untuk pulang.

Saat siang hari ia berangkat ke Melina, Lana juga tetap memilih jalan lain. Dia tahu itu konyol, tapi bayangan hantu itu membuatnya bergidik.

Lana memang hanya bisa melihat roh saat malam hari. Saat siang hari, roh biasanya akan 'tertidur'. Hans menggunakan istilah itu untuk menggambarkannya.

Tapi hantu tidak tertidur seperti manusia, mereka sendiri tak menyadari bagaimana mereka melakukannya. Siang hari terasa seperti kedipan mata bagi mereka, dan saat membuka mata, malam telah kembali datang.

Selalu seperti itu. Sampai rasa keterikatan mereka kepada dunia fana terpuaskan.

Ketika keinginan atau rasa penasaran yang menjadi beban mereka selesai, biasanya hantu akan hilang begitu saja.

Atau Lana lebih suka menyebut peristiwa itu sebagai 'pelepasan'.

Lana tidak tahu dan tidak ingin tahu apa yang terjadi pada hantu-hantu itu setelah peristiwa pelepasan. Itu bukan urusannya, dan dia tak ingin memenuhi kepalanya dengan hal yang tak dia tahu.

Lana sudah membantu beberapa hantu untuk lepas dari keterikatan mereka pada dunia, dengan cara melakukan beberapa hal yang membuat kekhawatiran mereka hilang.

Hantu yang paling pertama ditolongnya adalah Hans.

Hans memiliki keinginan untuk terus melihat putrinya tumbuh besar. Tapi sayang, mantan istri Hans membawa putrinya pindah ketika dia menikah lagi.

Semua kebiasaan yang dilakukannya saat ini adalah hasil dari pelajarannya dengan Hans.

Karena itu, dengan sekuat tenaga ia berusaha menemukan putrinya. Perbuatan itu sebagai rasa terima kasih Lana pada Hans. Ia tak bisa melihat Hans terus tersiksa menanti putrinya muncul kembali.

Setelah bersusah payah mencari alamat putrinya, Lana mendapat kejutan karena putri Hans berumur hampir tujuh puluh tahun.

Wujud Hans yang dilihatnya selama ini masih sangat muda. Hans sudah meninggal jauh lebih lama dari pada yang disangka Lana.

Tentu saja putri Hans tak begitu saja mempercayai Lana dan mengikutinya. Bahkan seluruh keluarganya menuduh Lana penipu.

Namun Lana tidak menyerah, dengan perlahan Lana menceritakan seluruh masa kecilnya, seperti yang telah diceritakan Hans berulang kali.

Detail cerita dan wajah serius Lana akhirnya membuahkan hasil. Putri Hans setuju untuk pergi bersama Lana ke apartemennya.

Pertemuan haru itu tentu saja hanya bisa dilihat oleh Lana. Tapi putri Hans akhirnya mengerti situasi itu adalah nyata.

Ia melihat bagaimana air mata Lana mengalir deras sambil terus mengucapkan kata penuh kerinduan dari Hans yang disampaikan melalui Lana.

Hari itu Hans 'pergi' dari kamar Lana.

Lana dan putri Hans menangis bersama saat hal itu terjadi. Hans adalah teman yang sangat berharga bagi Lana. Ia yang mengajari Lana tentang segala hal yang diketahuinya saat ini.

Ia yang mengajarkan pada Lana bagaimana cara untuk mendengar bisikan hantu dengan lebih baik.

Sebelum itu, Lana hanya bisa mendengar bisikan dan geraman yang tak berarti apapun. Hans yang membuatnya lebih berani untuk mendengarkan suara orang mati yang memenuhi telinganya.

Setelah Hans, Lana menolong beberapa hantu lain. Sebagian besar adalah hantu yang menghuni kamar sewanya.

Lana sekarang sedikit heran, Aubrey dan Barnabas tak sekalipun pernah menyebut apa keinginan mereka pada Lana.

Padahal mereka tahu pasti Lana bisa mengusahakan agar keinginannya bisa tercapai.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!