"Horeeee..," teriak beberapa mahasiswa, saat nama mereka disebutkan dalam satu kelompok untuk menjalani KKN bersama.
Bukan tanpa sebab, hal itu karena mereka ditempatkan didaerah yang eksotis. Dimana pemandangan alamnya sangat indah, tentu saja itu sebuah keberuntungan bagi mereka.
Disisi lain. Seorang gadis bernama Andana, masih harap-harap cemas ,untuk mendengar namanya disebut, apakah ia juga akan berada dilokasi yang eksotis?
"Kelompok Sepuluh, atas nama, Andana, Yuli, Yudi, Darmadi, Yayuk, Emy, Fitri, dan Kiky ditempatkan di desa Pahang." terdengar suara moderator membacakan namanya yang tergabung dalam dua fakultas, dengan tiga prodi.
Andana melirik pada Emy, dan Yuli. Mereka satu Fakultas dengan prodi yang sama, yaitu Pendidikan Agama Islam (PAI) yang bertujuan menjadi guru. Sedangkan Darmadi dan Yayuk pada program Kependidikan Islam (KI) yang mendalami tentang Agama Islam. Lebih ke seorang Ulama.
Sedangkan untuk Yudi dan Kiky, ia berada pada Fakultas Syariah, dan mengambil prodi Hukum Keluarga Islam (Ahwal Al-Syakhshiyyah, atau disingkat AHS): fokus mendalami hukum keluarga dalam islam, yang membahas tentang pernikahan, perceraian, waris, dan perwalian.
Demikian penjelasan singkat tentang prodi dalam fakultas Tarbiyah dan Syariah.
"Desa Pahang? Dimana itu?" gumam gadis manis tersebut, dengan rasa penasaran. Ia mengerutkan alisnya, mencoba mencari tahu tentang nama desa yang asing baginya.
Saat bersamaan, Emy, dan Yuli menghampirinya. "Yeeay, kita satu kelompok," ucap Emy, sembari mencolek lengan Andana yang masih memikirkan nama lokasi tempat mereka akan dikirim kesana.
"Kalian tau gak, dimana lokasinya?" tanya Andana, kepada kedua sahabatnya, dan kebetulan juga mereka satu kelas.
"Enggak," jawab keduanya serentak.
"Yang pastinya didesa," celetuk Yuli, sembari mengunyah permen karet.
"Ya, desalah, masa iya harus kota. Namanya juga Desa Pahang," Emy menyahut.
Saat ketiganya masih sibuk mencari keberadaan lokasi mereka, moderator kembali meminta agar mereka mencari nama rekan kelompoknya, agar dapat berdiskusi untuk hal apa saja yang akan mereka lakukan, dan setelahnya mereka mendapatkan pembekalan, sebelum nantinya akan dikirim kedaerah masing-masing tempatan.
"Yang namanya Yudi dan Darmadi yang mana?" tanya Emy dengan rasa penasaran. Sebab mereka tidak mengenal nama dari kedua laki-laki itu.
Yuli mengangkat kedua pundaknya. "Entahlah, coba tanya sama yang lain," usulnya.
Mereka akhirnya bertanya kepada mahasiswa lainnya, tentang nama-nama pemuda yang akan menjadi satu tim mereka nantinya.
Setelah bertanya kesana dan kesini, akhirnya mereka bertemu dengan semuanya. Lalu pembekalan untuk KKN dimulai, dan mereka mendengarkannya dengan seksama.
*****
"Bang, namamu Darmadi, ya?" tanya Andana pada pria pendiam dan irit bicara itu.
Ia hanya menganggukkan kepalanya. Membuat Andana merasa kesal. "Kalau ditanya itu jawab, Bang. Jangan cuma angguk-angguk doank." gadis itu terlihat sewot, pengen rasanya ia menggetok kepala sang pemuda yang terlihat diam, sembari memikirkan sesuatu..
"Iya, jawab gitu, kek!" Emy tak kalah sewot melihat sikap Darmadi yang terkesan cuek. Lalu ketiganya berbisik, dan merencanakan sesuatu.
Semenit kemudian. "Bang, kamu kami angkat jadi ketua Tim, kita semua setuju!" Andana menatap pada Yayuk, Fitri, Kiky dan juga Yudi, agar menyetujui rencana mereka, tanpa ada bantahan.
Keempat mahasiswa yang belum sempat berkenalan itu akhirnya menganggukkan kepalanya, menyetujui ajakan Andana, yang mana ucapannya sebuah intimidasi pada mereka.
Tanpa persetujuan Darmadi, mereka resmi mengangkatnya sebagai ketua Tim, dan sepertinya pria itu hanya tercengang, mendengar keputusan yang sepihak, dan tidak dapat diganggu gugat.
"Bang, desa Pahang dimana? Lokasinya pinggir pantai atau pegunungan?" cecar Emy dengan tak sabar.
"Pinggir kali," jawabnya dengan datar. Sepertinya ia mengambil kesempatan atas jabatan yang disandangnya.
Ketujuh mahasiswa itu saling pandang satu sama lain. "Seriusan?" tanya Yayuk yang sedari tadi diam bungkam.
"Ya, pinggir kali, tapi kalinya sangat besar dan panjang, dan disana terkenal dengan...," Darmadi menghentikan ucapannya. Ia seperti memikirkan sesuatu.
"Terkenal dengan apanya?" desak Kiky yang tak sabar dengan kelanjutan ucapan Darmadi, yang mana terlihat sedang menyimpan sebuah rahasia.
"Lupakan saja. Kita angkat saja sekretaris dan bendahara, untuk membuat Tim ini agar lebih teratur," pemuda itu mengalihkan pembicaraannya.
"Sebagai ketua Tim, aku mengangkat kamu sebagai sekretaris." tunjuknya pada Andana, sebagai bentuk balas dendamnya.
Dan sialnya, anggota menyetujuinya. Gadis itu membolakan kedua matanya. Sepertinya ia masuk dalam jebakannya sendiri.
"Dan sebagai bendahara, aku memilihmu." Darmadi menunjuk Emy. Lalu pandangannya tertuju pada Yayuk dan Yuli,. "Kalian tim memasak, pasti jago masakkan? Kelihatan kok, dari wajah-wajah kalian," ucap Darmadi menimpali.
Kali ini ia benar-benar menggunakan jabatannya untuk memberikan mandat yang tak bisa dibantah. Itu tidak salahnya--bukan?
"Tunggu!" Andana melirik pada Yudi dan Kiky, yang belum mendapatkan tugas. "Mereka berdua belum mendapatkan tugasnya,"
Darmadi menoleh ke arah Yudi, dan juga Kiky. "Yudi dan aku akan bertugas mengambil air, sedangkan, dia." Darmadi menoleh kearah Kiky, gadis berparas cantik, dengan hidung mancung, namun terlihat lemah. "Dia dan juga Fitri, akan membersihkan rumah kost," ucapnya dengan penuh penegasan.
Ia mengenal para mahasiswa itu karena sering bertemu saat dalam acara panitia seminar kampus.
Emy terlihat memikirkan sesuatu. Ada yang janggal baginya, dari perkataan Darmadi barusan.
"Kenapa harus ada acara ambil air? Apakah tidak ada air PDAM disana?" tanyanya dengan intens.
Darmadi mendekatinya, menatapnya dengan dingin. "Sudah ku katakan, desa itu terletak dipinggir kali, dan bahkan kamar mandi mereka berada diluar, dipinggir kali," jawabnya dengan nada penuh penekanan.
"Hah?!" sontak saja ke enam gadis itu tersentak kaget mendengarnya.
"Ya kalau begitu, cari rumah kos yang ada kamar mandinya dan juga toiletnya didalam," protes Fitri. Ia bergidik membayangkan, jika saja malam hari harus kebelet, dan membuang hajat dipinggir kali, maka hal itu akan sangat menakutkan baginya.
Tetapi bayangan buruk itu, tak hanya dirasakan oleh Fitri saja. Tetapi juga para gadis lainnya.
"Kalau mau toilet yang ada didalam, maka bawa toilet sendiri dari dalam rumah," jawab pemuda itu santai.
tentu saja hal itu membuat para gadis merasa kesal padanya. Satu kesalahan mereka, mengangkatnya menjadi ketua.
Dengan perasaan dongkol, mereka harus menerima nasib, karena ditempatkan didesa terpencil, dan bahkan tanpa toilet yang memadai.
Sedangkan rrkan-rekan yang lainnya yang mendapatkan lokasi eksotis, seperti pegunungan dengan air terjun yang menarik, pantai, dan pedesaan yang sesuai kriteria mereka, tentu sangat berbahagia sekali.
"Tetapi kenapa dia banyak tahu tentang desa itu?" Andana bergumam dalam hatinya, sembari memandang pemuda yang ia anggap sangat misterius, menyimpan sejuta rahasia, yang ia sembunyikan.
Meski para gadis merasa sangat jengkel, namun mereka tak dapat menolak keputusan kampus, bahwa mereka ditempatkan didesa yang bahkan mereka tak pernah mendengar sebelumnya.
Bus yang mengangkut para mahasiswa KKN berhenti didesa Pahang. Ketujuh mahasiwa yang mendapatkan penempatan dilokasi itu turun dengan barang bawaan mereka.
Kemudian bus kembali berjalan, untuk mengantarkan mahasiswa lainnya, yang menuju desa selanjutnya.
Terlihat rumah-rumah penduduk cukup ramai. Sepertinya ini pusat desa, dimana banyak toko dan kedai yang berjejer. Jalanan belum beraspal, hanya sudah tahap pengerasan, menggunakan tanah merah dan kerikil.
Disepanjang desa, mereka melihat hamparan pohon kelapa yang berada dibelakang rumah-rumah penduduk. Sepertinya masyarakat desa berpenghasilan dari kelapa, atau disebut kopra.
Banyak ibu-ibu berkumpul pada beberapa titik lokasi. Mereka bukan hanya sekedar berkumpul, tetapi bekerja sebagai pengupas kulit luar pada daging kelapa, yang mana nantinya akan diambil oleh agen, untuk dijadikan santan instan.
Sekilas penggambaran tentang desa Pahang, ini nama desa Karangan Author, agar tidak menyinggung sebuah desa yang dimaksudkan.
Namun, desa ini nyata, hanya disamarkan saja namanya..
"Kemana Bang Darmadi? Kenapa dia gak ikut sama rombongan? Udah jadi ketua, tapi gak bertanggung jawab banget," ucap Emy ketus. Ia mengedarkan pandangannya ke segala arah, mencari sosok Darmadi yang akan memimpin mereka untuk pelaksanaan KKN.
"Iya, mana kita gak mengenal desa ini," celetuk Yayuk, dengan wajah mepas, sebab kelelahan karena jauhnya perjalanan.
"Kita cari saja Pak Kades, kita minta informasi dari beliau," Andana mengambil tindakan, sebab Darmadi tak juga memperlihatkan dirinya.
"Iya. Ayo, kita gerak. Lagian desanya gak seseram.yang diceritakan oleh Bang Darmadi," sahut Kiky, yang menggunakan kerudung hitam.
"Iya, kalau cuma begini, biasa aja, kalleee." Yuli menyahut. Lalu menenteng tas kopernya yang cukup sedang, sembari membungkuk sedikit, dengan melempar senyum ramah pada para ibu-ibu yang menatapnya dan juga rekan-rekannya..
Kemudian mereka akan bergerak, mencari rumah pak kades, yang akan memberikan informasi kepada mereka, mengenai desa ini, serta mencari rumah kos untuk tempat mereka tinggal.
Saat bersamaan, dosen pendamping tiba dengan mobilnya. Seorang pria berpakaian koko, berwajah bersih, dan penuh kharisma itu turun dari mobil.
"Assalammualaikum, Buya," ucap mereka serentak.
"Waalaikum salam,, Warahmatullahi wabarakatu." sahutnya dengan nada yang sangat menyejukkan.
"Apa kabar, Kalian?"
"Baik Buya," jawab mereka serentak.
Pria itu mengeluarkan sesuatu. Sebuah kertas yang sudah ditulis dengan tulisan tangan yang cukup rapih.
"Kalian akan ditempatkan dilokasi yang ini." tunjuknya pada sebuah peta yang memperlihatkan tentang penggambaran denah.
Andana melihat sebuah sungai yang panjang dan sangat lebar dalam denah lokasi tersebut. "Ini sungai, Pak?" tanyanya dengan rasa penasaran.
Dan pertanyaannya itu, menjadi perhatian bagi mahasiswa yang lainnya.
"Ya, ini sungai Asahan, sungai terpanjang di Sumatera Utara, dengan panjang 147 kilo meter," jelas sang dosen.
Sontak saja, hal itu membuat para mahasiswa merasa kaget. Bukankah tandanya, jika mereka tidak KKN didesa yang saat ini tempat mereka diturunkan dari bus?
"Kenapa harus disana, Buya? Bukan disini?" tanya Emy mulai was-was. Bayangan toilet dipinggir kali, yang seperti dikatakan oleh Darmadi mulai menghantuinya.
"Ya, karena disini sudah banyak para ulama, para cendikiawan. Jadi untuk apa kalian melakukan penyuluhan agama? Ilmu kalian tidak akan berguna ditempat terang, maka pergilah ketempat yang gelap, meskipun cahayamu hanya sebatang lilin, tetapi setudaknya dapat menjadi penerang," pria itu mencoba memberikan semangat kepada para mahasiswanya.
Setelah memberikan penjelasan, sang dosen berpamitan, meninggalkan mereka yang masih dalam kebimbangan.
Setelah dosen pendamping mereka pergi. Kini tinggal mereka bertujuh yang masih dalam kekalutan. "Sebaiknya kita tanya warga desa, dimana desa ini, kita akan berjalan kaki menuju kesana," Andan mencoba menenangkan para rekannya.
Ia harus dapat bersikap mengayomi. Sebab, jika ia kalut, maka rekan-rekannya akan kehilangan harapan.
Gadis itu menghampiri perkumpulan ibu-ibu yang sedang mengupas kulit ari dari daging kelapa. Ia mencoba bertanya, dimana letak desa itu.
Terlihat keramahan warga desa, yang menyambut mereka bagaikan tamu. Setelah mendapatkan informasi, Andana mengajak para rekan mahasiswanya untuk menuju ke lokasi, dengan diiringi tatapan penuh kekhawatiran dari para ibu-ibu.
"Beneran, nih? Tujuh kilometer bukan dekat, loh?" keluh kiky, yang terlihat keberatan menyeret kopernya. Entah apa saja yang dibawanya.
"Kalau dari petunjuk, sih, udah bener," sahut Andana.
"Kalian tunggu disini. Aku coba cari ojek untuk mengantarkan kita," Yudi angkat bicara. Kemudian pergi menemui warga, dan meminta mereka untuk mengantarkan ke desa tersebut.
Ia berjalan menghampiri seorang bapak-bapak yang sedang berada diwarung kopi. Ia meminta diantarkan ke desa yang dimaksud.
Setelah bernegosiasi, akhirnya hanya mendapatkan 3 ojek saja, itu tandanya, mereka harus berbonceng tiga.
Pemuda itu kembali kepada rekan-rekannya. Lalu menginformasikan hal tersebut, beserta tarif yang akan mereka keluarkan.
"Kita harus mencari satu ojek lagi, karena tidak mungkin bonceng empat," Andana terlihat berfikir keras. Ditambah hari sudah mulai menunjukkan pukul sebelas siang.
Sedangkan dangan rekan-rekan yang lainnya, mereka sudah naik keojek masing-masing, dengan cara bertukaran. Dimana kang ojek berbonceng tiga, sedangkan Yudi membonceng Kiky dan Emy. Lalu Yuli, Fitry, dan Yayuk berbonceng bersama. Andana tertinggal, tidak ada ojek yang dapat mengantrkannya.
Saat bersamaan, sebuah sepeda motor menghampiri mereka. Ketika jarak sudah semakin dekat, mereka tercengang melihat siapa yang datang. "Dasar, ketua tak berguna!" omel Andana dengan geram.
"Jangan ngomel, aku akan berguna pada waktu yang tepat!" jawabnya dengan santai. Lalu berhenti tepat disisi sang gadis yang memasang wajah masam.
Andana masih ngambek, bercampur kesal. Ia enggan untuk naik keboncengan. "Mau naik, gak? Kalau gak mau alu tinggal." pemuda itu akan menarik gas motornya, dan membuat Andana terpaksa naik ke boncengan.
****
Perjalanan mereka disuguhi oleh pohon kelapa yang tumbuh disepanjang desa. Parit-parit selebar tiga meter yang digali dari hulu hingga kehilir, menjadi sarana bagi warga desa untuk berangkat kedesa sebelah.
Para warga menggunakan sampan tradisional dan juga sampan mesin, untuk berangkat bekerja, dan juga bersekolah.
Bagi para Mahasiswa yang tinggal diperkotaan, tentu saja hal ini merupakan pemandangan yang sangat asing bagi mereka.
Disisi lain, terdapat rimbunan pohon sagu, yang tumbuh subur, dan juga merupakan tanaman bermanfaat bagi mereka.
Andana yang tadinya berwajah masam, mulai memperhatikan lingkungan sekitar. Rumah-rumah warga menggunakan tungkai yang cukup tinggi. Halaman mereka selalu basah, dan bahkan disepanjang halaman hingga kejalan, disediakan titian yanga terbuat dari papan. Hal itu bertujuan, agar kaki mereka tidak lengket saat menginjak tanah.
Gadis itu berfikir, bagaimana mereka dapat hidup dalam kondisi yang seperti itu? Tanah mereka tidak pernah kering, bahkan terdapat banyak siput bercangkang hitam yang memenuhi halaman rumah.
Sesaat ia merasa penasaran tentang sang pemuda. Sikapnya sedikit misterius, yang membuatnya ingin mencari tahu lebih banyak. "Kenapa abang tidak ikut dalam rombongan bus?" tanyanya dengan nada penasaran, serta ingin mencairkan suasana.
"Karena aku gak mau jalan kaki," jawabnya santai. Andana mendenguskan nafasnya dengan kesal, lalu memilih bungkam, ketimbang bertanya lebih jauh.
Saat bersamaan, terlihat seseorang dibalik pohon sagu, menatap rombongan para mahasiswa yang sedang melintasi jalanan dusun.
Mereka tiba didusun yang sesuai dengan petunjuk dari sang dosen. Mereka membayar jasa ojek, dan kini berdiri termangu menatap sekelilingnya.
"Kok perasaanku gak enak, ya?" Kiky merasa sangat tak nyaman dengan kondisi dusun. Ada banyak rerumputan yang tumbuh dihalaman rumah.
"Iya, apalagi sungainya. Liatnya kok serem banget, takut buaya," sahut Emy, sembari menatap sungai yang berair jernih kehijauan. Hal itu disebabkan oleh musim kemarau, jika musim penghujan, ia akan keruh.
Rumah-rumah panggung milik penduduk berhadapan langsung dengan sungai. Bahkan ada yang berada tepat dipinggir sungai. Terlihat sangat mengerikan, sebab airnya memiliki kedalaman yang tidak terukur.
Yuli menggunakan rok plisket berwarna coklat tua, dengan sepatu snakers berwarna putih. Ia mengira akan berada didesa yang penuh dengan keindahan, namun bayangan itu sirna sekejap.
Sementara Mahasiswi yang lainnya menggunakan setelan celana, sebab lebih praktis dan sesuai kondisi alamnya.
Gadis itu merasa gatal dibagian betisnya. Lalu mencoba menggaruknya, dan Yayuk melihat, jika rok tersebut penuh bercak darah
"Yul, kenapa rok-mu ada darah?" tanya Yayuk dengan rasa penasaran.
Gadis itu melihat kearah bawah, dan ternyata ada seekor binatang melatah jatuh diatas tanah rerumputan, bertubuh licin, dengan perutnya yang kembung.
Yuli membeliakkan kedua matanya, lalu mengangkat sedikit rok-nya, dan terlihat beberapa hewan pacat hinggap dikakinya.
Sontak saja hal itu membuat ia berteriak ketakutan dan juga geli. Hal itu membuat para gadis lainnya ikut menyingkap celana mereka, dan ternyata ada beberapa pacat disana.
"Aaaaaaa...," pekik mereka secara bersamaan. Lalu berlarian menubruk Yudi dan juga Darmadi, yang menjadi sasaran mereka, sembari berlompatan.
"Stop!" teriak Darmadi. Hingga membuat para gadis berhenti berteriak.
Pria itu menghampiri Emy, lalu menatapnya dengan dingin. "Berikan tas mu." ia mengulurkan tangannya.
"Buat apa?" tanyanya ditengah rasa takutnya.
Darmadi menghela nafasnya. Lalu menarik tas sandang berisi perlengkapan sembako. Ia mengambil garam halus, lalu mengambil isinya, dan memberikan kepada para gadis. "Taburkan pada hewan tersebut, nanti terlepas sendiri," titahnya.
Para gadis yang tadi memucat karena ketakutan, akhirnya menuruti sang Ketua Tim. Lalu menaburkan garam pada binatang menggelikan tersebut.
Benar saja, hewan menjijikkan itu terjatuh, dan tubuhnya terpecah, dengan cairan darah pekat.
"Sudah. Hari semakin sore, kita harus cari rumah kos, sebelum gelap." Darmadi memberikan tas berisi bahan keperluan dapur itu kepada Emy.
Keenam Mahasiswi itu masih sangat trauma dengan binatang licin tersebut. Berharap kejadian itu tidak lagi terulang.
Akhirnya mereka menuju rumah salah satu warga, untuk bertanya, apakah ada rumah kosong yang dapat mereka sewa.
Terlihat deretan rumah warga cukup ramai. Diperkirakan ada sekitar dua ratus Kepala Keluarga, namun tampaknya, kehidupan mereka masih terbilang cukup sederhana.
Rumah mereka terbuat dari bilah papan pohon kelapa, sebab itu yang sangat murah, namun ada tempat untuk berlindung.
"Assalammualaikum," ucap Darmadi dengan sesopan mungkin. Mereka semua mengenakan almamater yang berlogo kampus sebagai pengenal, jika mereka adalah Mahasiswa yang sedang melakukan Kuliah Kerja Nyata sebagai program yang harus dijalani, sebelum mereka mendapatkan gelar sarjana.
"Waalaikum salam." Seorang pria berpakaian kaos oblong berwarna putih, dengan kain sarung yang bermotif kotak-kotak, datang menyambutnya.
"Permisi, Pak. Maaf jika mengganggu. Kami Mahasiswa yang sedang melakukan KKN dari kampus 'A'. Kami ingin bertanya, apakah ada rumah kosong yang dapat kami sewa?"
Pria itu terdiam sejenak. Memandangi kedelapan para mahasiswa yang sedang menunggu diujung halaman.
"Ada, tapi sudah lama terbengkalai, dan itu milik anak saya," ucap sang pria, yang bernama Atok Adi.
"Oh, tidak apa-apa, Pak. Kami akan membersihkannya, dan kalau boleh tau, berapa biayanya? Kami hanya dua bulan saja," Darmadi mencoba menjelaskan, jika mereka tidak lama tinggal.
"Kalau lima ratus ribu, Bagaimana?" tanyanya dengan nada hati-hati.
Sontak saja Darmadi terkejut. Sebab harganya terlalu murah. Tapi mungkin karena berada didusun, jadi wajar segitu.
"Baiklah, Pak. Kami terima. Boleh kami lihat tempatnya?"
"Sebentar," ucap pria itu, lalu menuju ke dalam rumah, mengambil sesuatu, dan kembali dengan sebuah sapu.
"Ayo, nanti keburu malam." pria tua itu keluar dengan membenahi sarungnya, lalu berjalan menuju rumah yang dimaksudnya.
Terlihat bebrapa warga memperhatikan mereka, maklum saja, baru kali ini, dusun mereka dimasuki oleh para remaja yang berpendidikan.
Menit berikutnya. Sebuah rumah dengan bangunan yang terbuat dari batu, dengan cat berwarna putih menjadi perhatian mereka. Terlihat sangat asing, sebab yang lainnya terbuat dari palan. Namun, bangunan ini yang paling bagus, dengan dinding batu dan arsitek yang cukup modern.
"Ini dahulunya tempat anak saya praktik Bidan. Tapi karena gak mau tinggal didesa, dia memilih pergi ke kota. Meniti karir disana." pria itu membuka pintu, dan menjelaskan tentang bangunan tersebut.
Kedelapan Mahasiswa itu hanya menganggukkan kepalanya. Mendapatkan rumah kos yang bagus ditengah kondisi yang sangat mengerikan ini, tentu saja membuat mereka bersyukur.
Darmadi membayar uang kos. Kemudian pria tua itu berpamitan pergi.
Para Mahasiswa memasuki rumah. Ada aliran listrik, dan mereka membersihkan rumah tersebut.
"Aku kebelet pipis." Fitri nyelonong ke kamar mandi. Namun niatnya diurungkan, sebab tidak ada air disana. "Gila, sumurnya kering." omelnya dengan ketus. Lalu menenteng timba yang ada dikamar mandi, dan terpaksa pergi ke sungai.
"Aku ikut," Kiky mengekori dari arah belakang, sebab ia juga kebelet pipis.
Sedangkan mahasiswa yang lainnya, sedang sibuk membersihkan rumah yang tampak berdebu.
Hari terlihat mulai menggelap. Fitri menenteng ember, dia tidak membayangkan jika malam hari kebelet, maka habislah ia.
"Sengsara bener. Kenapa kita dikirim kemari, sih?" omel Kiky dengan kesal.
"Sudah nasib dan ujian."sahut Fitri, lalu mulai menimba dari pinggir kali.
Kemudian keduanya kembali ke kos. Namun seorang wanita berkerudung menghampiri keduanya. "Darimana, Dik?" tanyanya dengan ramah, namun terlihat wajahnya sangat datar.
"Dati Kampus 'A', jawab Fitri ramah.
Wanita itu menatap intens. "Oh, dari kota, ya?"
"Iya," jawab keduanya serentak.
"Jangan sembarangan makan, ya. Baca doa sebelum makan, dan berhati-hati dengan hidangan terbuka," pesannya, lalu pergi meninggalkan keduanya.
Sontak saja, hal itu membuat Fitri dan Kiky merasa heran.
"Apa, Maksudnya?"
"Mungkin dihinggapi lalat," sahut Fitri, lalu kembali ke kos, dan diikuti oleh Kiky.
Dibagian hulu Sungai Asahan berarus deras, hingga menjadi daya tarik wisata asing dari berbagai belahan dunia untuk berarung jeram. Hulu sungai Asahan yang berada di air Terjun Ponot, juga menjadi pemutar turbin, sebagai pembangkit Tenaga Listrik Tenaga Air.
Hilir sungai Asahan berarus tenang, tetapi menghanyutkan, banyak korban jiwa didalamnya. Ia memperlihatkan keindahannya, lalu menarik korbannya hingga terlena, Tentunya hal itu dengan sejuta pesona, hingga menenggelamkan siapa saja yang tergoda dan menjadi targetnya.
Sedangkan lokasi KKN bagi kedelapan mahasiswa, berada dibagian hilir, yang bermuara di kota Tanjungbalai.
Sekilas promosi tentang wilayah Sumut ya Guys.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!