Quinisa putri kecilku...
Nisa, cintailah Bintang Kecil seperti Papa mencintaimu, jaga Bintang Kecil seperti dulu Papa menjagamu, jangan pernah melepaskannya sampai dia bisa menentukan jalan hidupnya sendiri, Papa sangat percaya padamu. Namun demi keamanan kalian berdua Papa mempercayakan hak sepenuhnya atas diri kalian berdua kepada Dewi purnama, dengan cara itu kelak tidak ada satu orangpun yang sanggup memisahkan kalian berdua.
Jikalau kelak ada pihak yang mengatasnamakan keluarga Akbar yang akan berusaha merebut Bintang darimu, maka Papa tegaskan dalam surat ini padamu, bahwa Bintang Kecil bukanlah keturunan Akbar. Gandhi Akbar dan Anggraeni Akbar sesungguhnya bukan orang tua kandung Papa, jadi otomatis Bintang Kecil bukan keturun mereka.
Papa yakin setelah kepergian Papa nanti mereka akan berusaha merebut Bintang Kecil darimu, maka sebagai orang yang paling Papa percaya, kamu harus berusaha membuktikan bahwa Papa bukan keturunan keluarga besar Akbar.
Nisa putriku sayang...
Papa mohon padamu sekali lagi karena ini adalah kata-kata terakhir Papa, berjanjilah untuk selalu melindungi Bintang Kecil minimal sampai usianya dua puluh satu tahun saja, karena di usia dua puluh satu tahun cukup bagi si kecil untuk menentukan pilihan hidupnya sendiri.
Untuk menjaga keamanan kalian Papa tegaskan mulai hari ini Dewi Purnama akan menjadi lbu asuh kalian, Papa memberinya wewenang penuh atas diri kalian berdua pada Dewi Purnama, sementara rumah beserta isinya sepeninggalan Papa kelak yang akan menjadi milik kalian berdua untuk sementara waktu tidak boleh ditempati sampai usiamu delapan belas tahun, karena di usia itu Papa yakin kamu bisa bertanggung jawab atas dirimu dan adikmu.
Toko Roti yang akan menunjang kehidupan kalian ke depan untuk sementara waktu, Papa kuasakan pada Ibu asuh kalian sampai kamu sanggup mengaturnya.
Papa mencintai kalian...
Papa.
\#\#\#\#\#\#\#\#\#\#\#\#\#\#\#\#\#\#
QUINISA duduk risi dan harap-harap cemas di tengah sidang, ketika keputusan Hakim atas anak laki-laki berusia sepuluh tahun yang selama ini jadi obyek yang diperebutkan hendak dibacakan.
''Dikarenakan dari pihak Dewi Purnama dan Quinisa, tidak dapat membuktikan Bintang Akbar bukan darah daging dari Gandi Akbar beserta Anggraeni Akbar, dan dianggap tidak mampu lagi bagi Dewi Purnama dan Quinisa untuk memberinya tempat tinggal dan penghidupan yang layak, maka surat wasiat yang dibuat Bintang Akbar dianggap cacat hukum. Oleh karena itu hak atas Bintang Kecil beralih pada pihak Anggaeni Akbar."
Nisa demikian nama panggilan gadis ini menangis pecah dalam pelukan ibu asuhnya, yang juga merasa sedih karena tidak sanggup mempertahankan Bintang Kecil.
Inilah hasil akhir dari perjuangannya, ketukan palu tiga kali berhasil memati kutukannya, ketegangan, keresahan, ketakutan, dan air mata yang menetes selama tiga kali persidangan, membuahkan hasil yang terburuk, kehilangan adalah inti dari semuanya.
Pihak lain ada yang dimujurkan, yang memiliki kekuasaan material tetap yang berhak, tapi ini sesuatu yang tidak adil bagi Nisa.
Nisa melangkah gontai keluar mimbar dalam iringan Dewi Purnama, langkah mereka terhenti ketika pihak yang diuntungkan sudah berdiri di hadapan mereka, dialah Anggraeni Akbar.
Perempuan separuh baya itu nampak mendelik puas menatap Nisa, sementara di sampingnya berdiri sosok yang sangat Nisa kenal. Pemuda tampan berusia dua puluh tiga tahun, justru nampak sedih dan murung menatap ke arahnya.
Nayaka Akbar yang selalu ia dewa-dewakan sebagai sosok pangeran yang selalu membuatnya terjaga sudah menjadi tempo lama, karena pangeran yang ia puja karena kebaikan hati dan kesempurnaan fisiknya, dia telah kembali bersama ibundanya.
Nisa segera menghapus air matanya ketika wanita hampir paruh baya itu berkata,
"Lihatlah, kenapa kalian keras kepala khususnya, kamu,'' menatap Nisa dingin. "Bukankah akan lebih baik jika kamu menyerah sebelum ini, sudah ku pastikan padamu sebelumnya, kamu akan mendapat hasil akhir seperti ini tapi kamu lebih suka melawanku, pada akhirnya kamu tidak mendapatkan apa-apa."
Nisa mengerti apa maksud dari kalimat itu? Sebelum kasus ini dibawa ke pengadilan tepatnya tiga bulan lalu, wanita itu pernah memberinya dua pilihan.
Pertama?
'Berdamai' Artinya tidak berusaha membuktikan Bintang Akbar atau ayah dari Bintang Kecil, bukan darah daging Gandi Akbar dan Anggraeni Akbar, namun Nisa mendapat uang satu Miliyar dan Bintang Kecil jadi milik Anggraeni.
Kedua?
'Perang di pengadilan' Berusaha membuktikan Bintang Akbar bukan darah daging Gandi Akbar dan Anggraeni Akbar, dengan hasil akhir gagal, dan tidak mendapatkan uang satu persen pun.
Itulah kedua pilihan Anggraeni saat itu dan Nisa memilih pilihan yang kedua, meski wanita separuh tua itu sudah memprediksi kekalahannya saat ini. Saat itu Nisa merasa ia perlu berjuang sekuat tenaga, untuk bisa mendapatkan Bintang Kecil sesuai surat wasiat yang ayah angkatnya inginkan.
Namun seorang Anggraeni telampau sulit untuk dilawan, entah bagaimana bisa hasil Lab mengatakan kalau ayah angkatnya adalah anak kandung dari Anggraeni Akbar, otomatis Bintang Kecil adalah cucu kandung dari Anggraeni Akbar.
Nisa tidak percaya. Itu tidak mungkin, bagaimana bisa? Ayah angkatnya sendiri yang menulis surat wasiat itu yang menyatakan dia bukan keturunan keluarga Akbar. Tidak mungkin ayahnya bohong, dalam hal ini telampau kejam jika benar ia tidak mengakui ibu kandungnya sendiri, bahkan hingga ditegaskan dalam surat wasiat terakhirnya.
Nisa yakin dalam hal ini Anggraeni telah curang bisa jadi ia sudah mengganti hasil laboratorium, atau bisa juga ia sudah membayar hakim, bukankah uang bisa melakukan segalanya?.
Untuk mencapai ini memang
sudah banyak hal yang sudah Anggraeni lakukan, termasuk membakar rumahnya yang sudah satu tahun ini ditempati Nisa bersama adiknya.
Kecurigaan yang beralasan, karena saat itu ketika Anggraeni datang ke rumah memberinya dua pilihan, dan Nisa memilih pilihan yang ke dua, yaitu 'Perang di pengadilan' saat itu Nisa melihat Anggraeni nampak kecewa dan marah.
Hari berikutnya tiba-tiba rumah beserta harta benda miliknya terbakar habis, tanpa sebab musabab yang jelas, dan sekarang Nisa kalah karena poin itu. Hukum mengharuskannya memiliki tempat tinggal dan kehidupan yang layak, untuk bisa memiliki si kecil.
Hati Nisa semakin terkoyak pedih, seperti ada sebuah pisau yang menusuk perutnya, kemudian pisau itu merobek-robek di bagian dalam perutnya, ketika Anggraeni menambahkan kalimatnya dalam bentuk ejekan.
"Dan mengenai cinta, jangan terlalu percaya dengan kata-kata menggelikan seperti itu, karena bagi keluarga Akbar cinta adalah kedudukan. Apa kamu sudah memiliki itu untuk dapat memikat hati Nayaka? Jangan naif karena sebenarnya sejak pertama kali Nayaka masuk dalam kehidupanmu, itu sudah terencana dengan matang, dan Nayaka berada di bawah kendaliku."
Nisa terpaku lemas hingga kakinya terasa bergetar. Nisa tatapi pria di samping wanita itu. Pria itu nampak murung dan pucat tak ada sangkalan dari bibirnya, artinya dia membenarkan tuduhan itu.
Oh Tuhan...!
Artinya masuknya pria itu dalam kehidupannya enam bulan lalu bukanlah hal yang kebetulan, kebaikan pria itu, perhatiannya, serta pernyataan cintanya, semua itu adalah palsu, kenapa Nisa tidak melihat semua itu? Pernyataan cintanya yang selalu ia dengar ke kupingnya, sungguh tampak nyata.
Pengakuan Anggraeni menambah kehancurannya ke titik terdalam, ini tak bisa dipercaya, dari pria yang selama ini diakuinya sebagai pangeran, karena tampak tulus mencintainya, justru kini menjadikannya sosok yang paling kejam kepadanya. Mulai detik ini Nisa tidak akan percaya lagi dengan cinta semacam itu? Tak ada cinta yang tulus antara pria dan wanita, dan ini sebuah pembelajaran Nisa ke depan.
Nisa kembali menatap Anggraeni dan berkata dengan lirih.
"Sekarang aku mengerti, semua yang terjadi padaku selama ini, Anda sudah mengaturnya, berarti kecurigaanku selama ini benar, Anda juga yang sudah merencanakan kebakaran rumah dan toko rotiku. Benarkan?"
Anggraeni tidak bergeming atas tuduhan Nisa, tidak membantah ataupun mengiyakan, Anggraeni hanya membalas pandangan Nisa dengan beku. Lalu ia pergi dari hadapan Nisa tanpa protesan. Bagi Nisa sendiri itu cukup sebagai jawaban, kalau kecurigaannya selama ini benar.
Jika ditilik kebelakang waktu itu setelah kebakaran rumah. Keesokan harinya Anggraeni datang bukan lagi memberinya tawaran, melainkan saat itu ia datang bersama pengacaranya, untuk merebut Bintang Kecil darinya, dan memberitahukan kasus pengasuhan Bintang Kecil sudah dibawa ke pengadilan, dengan gugatan surat wasiat yang ditulis ayah angkatnya cacat hukum, karena tak ada lagi jaminan material untuk kehidupan Bintang Kecil.
Yah saat itu Nisa berpikir Anggraeni sudah memulai perangnya, dan Nisa merasa tak boleh tinggal diam.
Hari itu melalui pengacara Almarhum ayah angkatnya, Nisa menyerang balik dengan gugatan status Bintang Akbar dalam keluarga Akbar adalah anak angkat, artinya Anggraeni tak memiliki kewenangan apapun atas Bintang Kecil. Dalam hal ini Nisa dan ibu asuhnya lebih berhak, karena diwasiatkan langsung oleh ayah kandung dari Bintang Kecil itu sendiri, tapi kekuasaan material dan kecurangannya berhasil mengubah surat wasiat itu menjadi lemah di dalam hukum. Ada dua poin yang menjadikanya lemah.
Pertama?
Nisa dinilai lemah, karena sudah tidak memiliki harta benda lagi untuk kenyamanan si kecil.
Kedua?
Nisa tidak bisa membuktikan, kalau ayah kandung Bintang Kecil bukan dari keturunan Akbar, dan itu tidak sesuai dengan yang diwasiatkan sang ayah.

Hari ini tepat satu minggu Nisa kehilangan Bintang Kecil, setelah sidang terakhirnya atas kegagalannya di pengadilan melawan seseorang yang berpengaruh di negeri ini.
Berjam-jam Nisa berdiam diri di dalam rumahnya yang sudah jadi bangkai. Tiang-tiangnya nampak rapuh temboknya hitam pekat, lantainya kotor dan hangus, tak ada satupun yang tersisa dari rumah ini, namun Nisa akan selalu merekam dengan mata dan pikirannya mengenai apa saja yang terjadi di dalam rumah ini?
Setiap sudut ruangan rumah ini menghantarkan Nisa pada si kecil, tangisannya, senyumannya, dan kemanjaannya, yang dulu mengisi rumah ini sepertinya ikut terbakar habis, karena na entah kapan Nisa bisa melihat keceriaannya, sikap polos dan kemanjaannya setelah ia resmi kehilangannya satu minggu lalu di pengadilan.
Nisa menyandarkan punggung ke tembok hitam pekat yang ada di belakangnya, menyusutkan tubuhnya yang lusuh ke lantai yang kotor dan ber abu. Kedua tangannya memeluk kedua kakinya, sementara kepalanya ia sandarkan miring di atas kedua lututnya, tatapannya hampa dan nyalang mengekpresikan pikirannya yang mulai jauh dan panjang tentang rumah ini.
Ketika usianya sembilan tahun Nisa kecil melewati rumah ini sebagai pengamen cilik, saat itu seorang ibu muda nan cantik dan sedang hamil tua muncul dari pintu rumah ini,
sepertinya ia sangat menyukai lagu yang Nisa nyanyikan, ia benar-benar terpaku menikmatinya, padahal yang Nisa kecil nyanyikan saat itu hanya lagu anak-anak berjudul Bintang Kecil, karya ibu Meinar Loeis. Dan sampai sekarang Nisa memang selalu menyukai lagu itu.
Setelah ia bernyanyi ibu muda itu menanyai identitas dan orang tuanya? Saat itu Nisa kecil hanya menangis sesenggukan, tentu saja ia sedih, karena kata almarhum neneknya sebelum ia meninggal mengatakan, kalau kedua orang tuanya meninggal saat dirinya berumur satu minggu, akibat kecelakaan mobil. Nisa kecil sama sekali tidak kenal siapa orang tuanya, yang Nisa ingat saat kecil Nisa hidup sebatang kara, hanya punya seorang nenek renta yang saat usianya tujuh tahun meninggal karena sakit.
Kisahnya membuat ibu muda itu menangis, mungkin karena ia merasa kasihan? Ibu muda itu memanggil suaminya, memohon pada suaminya untuk mengangkatnya sebagai putrinya.
Bintang Akbar, nama suami dari ibu muda yang cantik itu, lelaki tampan dan gagah seorang papa yang perkasa, yang sebelumnya selalu Nisa dambakan memiliki papa seperti itu, akhirnya terkabulkan saat itu juga.
Bintang Akbar menyetujui permintaan istrinya, untuk mengangkat Nisa kecil jadi bagian keluarga itu, sejak saat itulah Nisa kecil memperoleh keluarga dan nama baru, Quinisa.
Nisa sendiri diambil dari nama bawaannya, sedangkan Quin diambil dari Nama Quin Alipa nama ibu muda itu. Mereka bilang pemberian nama itu sudah terencana dengan matang, sejak diketahui mama Quin mengandung anak pertamanya. Jika anak dalam perutnya itu perempuan, akan diberi nama depan seperti nama ibunya, dan kalau ia laki-laki, akan diberi nama depan Bintang seperti nama ayahnya.
Pada bulan april mama Quin melahirkan sungsang, yang membuat proses kelahirannya susah dan harus menempuh jalan oprasi cesar.
Seorang bayi laki laki berbintang aries terlahir sehat, dan papa langsung menamainya Bintang seperti namanya, namun tanpa Akbar di belakangnya, tapi justru kebalikan dari nama Akbar itu sendiri yaitu Kecil. Yah, nama 'Bintang Kecil' Itu adalah nama lahir yang diberikan papa Bintang, nama itu seolah penegas kalau bayi kecil itu bukan keturunan Akbar, yang artinya besar. Bintang Kecil nama yang terkesan aneh, unik seperti sebuah lagu yang sering Nisa nyanyikan.
Tiga hari setelah oprasi mama Quin masih dalam proses pemulihan. Seorang wanita cantik dan apik yang belum terlalu tua, saat itu masuk melalui pintu rumah ini bersama seorang anak laki-laki berusia sekitar tiga belas tahun.
Kedatangan wanita itu tidak bermaksud baik, terlihat jelas di wajahnya yang dingin. Nisa kecil terkejut ketika wanita itu datang berusaha merebut bayi itu dari mama Quin.
Terjadi keributan dan kepanikan saat
itu dan mama Quin menangis memohon agar bayinya dikembalikan, tapi tangan wanita itu justru malah mendorongnya ke tembok, hingga mama Quin jatuh dan tersungkur.
Nisa kecil berusaha membantu, tapi ia hanya bisa menangis memeluk ibunya yang sudah lunglai. Dan perempuan itu pergi membawa bayi kecil di tangannya. Nisa masih ingat bagaimana wanita itu berkata sebelum ia pergi.
"Itulah yang kurasakan, ketika bagaimana kau mengambil Bintangku, kematian mungkin lebih baik dari pada harus menderita berkepanjangan karena kehilangan anak.''
Lima menit kemudian papa pulang dia sangat panik, di hadapkan dengan Istrinya yang tak berdaya, Nisa kecil yang histeris dan bayi kecil yang tidak ada.
Setelah mengantarkan istrinya ke rumah sakit, papa Bintang melesat pergi meninggalkan rumah sakit, dalam tiga puluh menit papa Bintang datang dengan membawa bayi kecil di tangannya. Seolah menjadi sia-sia karena baru ia sampai untuk mengembalikan bayi itu kepada istrinya? Seorang dokter berpakaian hijau keluar dari ruangan ICU, dan memberitahukan kalau istrinya telah tiada.
Astaga....!
Bayi kecil itu hampir terjatuh dari tangan papa, untung Nisa kecil berada di dekatnya berhasil menahan dan mengambil alih bayi itu, mendekapnya erat, meski saat itu tubuh kecil Nisa belum siap merangkul bayi dengan benar.
Sejak saat itulah ayah angkatnya yang selalu hangat berubah pendiam, waktunya di habiskan untuk bekerja tanpa henti, dan jika pulang ia mengurung diri di dalam kamar, kematian istrinya membuatnya seolah ikut mati bersamanya.
Setelah kematian mama, papa seolah melupakan bayi kecil yang dulu di harapkannya, entah apa yang dipikirkannya? Sejak saat itu papa tidak pernah mau menyentuh bayi itu. Dari situlah Nisa kecil mulai belajar bagaimana cara mengasuh bayi, dan ibu Dewi Purnama yang membantu mengajarkan Nisa dalam hal ini.
Bencana kembali datang saat Nisa SMP kelas satu, sementara Bintang Kecil saat itu masih berusia lima tahun. Papa Bintang sakit keras, dokter memvonisnya kanker otak, yang membawanya pada tidur panjang mama Quin.
Sesuatu yang tidak terduga datang dari seorang pengacara, pengacara itu menyatakan kalau sebelum papa Bintang meninggal, dia membuat surat wasiat terakhirnya, yang menyatakan rumah beserta semua harta benda miliknya, seperti toko roti yang cukup terkenal menjadi atas nama Quinisa, diharuskan juga untuk Nisa menjaga Bintang Kecil hingga usianya dua puluh satu tahun, namun ia dan adiknya di bawah hak asuh Dewi Purnama pemilik Yayasan Sumber Kasih.
Dewi Purnama sendiri adalah adik angkat dari mama Quin, walau ia tinggal di yayasan tapi dia sudah menjadi bagian dalam keluarga ini sejak dulu.
Saat itu Nisa belum mengerti kenapa papa menulis surat terakhirnya seperti itu? Seakan-akan ia begitu khawatir kalau keluarga Akbar akan kembali datang membawa Bintang Kecil seperti dulu, dan sebelum itu terjadi maka ia tegaskan dalam wasiatnya. Dari situ Nisa cukup tahu kalau sebenarnya selama lima tahun ini papa tidak melupakan Bintang kecilnya, walau tidak menunjukan kasih sayangnya tapi papa menghawatirkan putranya secara diam-diam.
Sejak papa meninggal Nisa dan adiknya pergi meninggalkan rumah yang selama ini ditempatinya sesuai wasiat, dan kembali bersama adiknya menempati rumah ini saat usianya delapan belas tahun, saat itu Nisa baru lulus SMA.
Nisa dan adiknya saat itu memang berada di bawah perlindungan Dewi Purnama, tapi Nisa menekan diri kalau ia tidak boleh bergantung penuh pada ibu asuhnya, meski ibu Dewi Purnama sangat menyayangi ia juga adiknya, Nisa berpikir ia akan melewati waktu lima tahun saja di yayasan itu, selanjutnya ia harus kembali ke rumahnya setelah usianya delapan belas tahun, dan mengurus adiknya sendirian tanpa bantuan siapapun.
Untuk mengurus si kecil tanpa bantuan siapapun, di yayasan itu Nisa harus mulai mandiri, belajar bagaimana cara merawat anak kecil dengan baik? Nisa kembali ke rumah ini setelah lima tahun kemudian.
Hari-hari yang rapuh serta beban besar di pundaknya membuat Nisa dewasa sebelum waktunya.
Bintang Kecil yang memang sejak lahir tidak pernah merasakan kasih orang tua, namun Nisa memberinya banyak cinta, sehingga dia tidak akan merasa kekurangan kasih sayang sedikitpun. Menurutnya ia dan Bintang ditakdirkan sama, sama-sama tidak merasakan cinta orang tua, bedanya Nisa pernah merasakan cinta itu melalui kedua orang tuanya Bintang Kecil. Baginya memberi cinta pada si kecil adalah budi baik yang harus ia balas. Hutang budi lama-kelamaan Nisa mengubah pandangannya.
Nisa menyadari kalau cinta yang ia hadirkan untuk si kecil, bukan sekedar balasan untuk membayar kebaikan kedua orang tuanya, tapi selama satu tahun mengisi rumah ini bersama adiknya berdua saja, Nisa pun menyadari, kalau si kecil adalah kado terindah yang diberikan orang tuanya untuk menemaninya. Nisa berjanji sejak saat itu kalau ia akan melindunginya, dan mencintai Bintang Kecil untuk seumur hidupnya.
Bintang Kecil adalah anak yang sangat manis, ia sangat manja tapi tidak cengeng, Ia nakal tapi sangat mudah diatur, senyumannya yang nakal, bawaannya yang riang adalah warna bagi kehidupannya. Nisa tak sanggup membayangkan bagaimana kalau warna-warna itu redup dan menghilang.
Nisa tersadar dari lamunan panjangnya mengenai rumah yang sudah jadi bangkai ini, ketika tiba-tiba sepasang kaki menggunakan sepatu bagus, sudah berdiri di hadapannya?
Nisa mengangkat kepala dan pandangannya, dan berhenti di sepasang mata pria yang sangat di kenalnya? Saat menatapnya Nisa ingin sekali memakinya, memukulnya bahkan membunuhnya, tapi ia tak punya kekuatan untuk itu, berdiri pun ia merasa berat, tubuhnya terasa akan roboh, mengingat bagaimana pria ini masuk dalam kehidupannya sebagai sosok Malaikat, lalu mendorongnya ke dasar jurang seperti Iblis.
Nisa memurkai dirinya sendiri, seandainya enam bulan lalu ketika pertama kali orang ini datang dalam kehidupannya, Ia menyadari kalo orang ini adalah anak berusia sekitar tiga belas tahun, yang dulu dibawa Anggraeni ketika merampas bayi kecil dari mama Quin, dan mendorongnya hingga mama Quin terjatuh dan meninggal, Nisa tidak akan membiarkan pria itu masuk dalam kehidupannya, dan Nisa tidak akan terperangkap dalam cinta palsunya.
"Apa kamu datang untuk melihatku seperti ini? Menyedihkan bukan? Sekarang kamu puas? Pergilah! Aku mohon pergi dari hadapanku...!"
Nisa menitikkan airmata dan ia benci bagaimana cara pria itu menatapnya.
Nayaka menatap pedih ketika menyaksikan gadis di hadapannya duduk rapuh. Matahari senja yang menyelinap masuk menyinari tubuhnya yang lusuh, nampak berterbangan di atasnya sapuan debu-debu bangunan ini, gadis itu seolah ikut menjadi bagian dari bangunan ini yang ikut mati terbakar bersamanya.
"Maafkan aku...."
Nayaka meneteskan air matanya, ia tak sanggup melihatnya seperti ini, karena semua yang terjadi pada gadis ini adalah kesalahannya yang disengaja, pertemuannya sekitar enam bulan lalu sudah direncanakan, menjadi bagian dalam kehidupan gadis ini adalah sketsa perencanaan ibunya, tujuannya untuk menyelidiki kehidupan Bintang Kecil, dan mencari celah untuk bisa merebut kembali keponakannya, dan memasukannya ke dalam anggota baru keluargga Akbar.
Namun tidak semudah itu bagi keluarga Akbar untuk bisa merebutnya dengan mudah, surat wasiat yang dibuat ayah mereka menjadi penghambat, untuk bisa membawa Bintang Kecil pada keluarga yang sebenarnya.
Selama tiga bulan Nayaka masuk dalam kehidupan gadis itu, namun ia tak pernah menemukan celah itu. menurutnya gadis itu telampau sempurna dalam merawat keponakannya, saat dia lelah tak sedikitpun ia mengeluh, saat dia sakit, ia berusaha untuk tetap mengasuh dan tak mengabaikannya, namun dia hanya akan menangis panik jika sesuatu yang buruk terjadi pada si kecil.
Nisa benar-benar mengabdikan hidupnya untuk Bintang kecilnya, semua pekerjaan rumah ia tangani dengan baik, bahkan ia juga ikut bekerja di toko roti, peninggalan ayah nya yang memiliki lima belas karyawan. Namun sesibuk apapun situasinya, Nisa selalu berusaha menjaga si kecil dalam kondisi apapun.
Sudah satu tahun ini Nisa mengurus si kecil seorang diri, tanpa bantuan Dewi Purnama, padahal ia dan adiknya masih dalam perlindungan Dewi Purnama, namun Nisa tidak membebankan hal itu, menurutnya yang paling berkewajiban mengurus si kecil adalah dirinya, Dewi purnama hanya sebuah pertahanan diri, agar surat wasiat tidak bisa diganggu gugat.
Seorang diri, Nisa sanggup melakukannya, dari mulai antar jemputnya sekolah, karena
walau usia Bintang Kecil sudah dua belas tahun tapi dia sangat manja berbeda dengan anak- anak seumurannya yang sudah merasa malu diantar jemput sekolah, kemanapun ia pergi harus ditemani Nisa, bahkan si kecil tidak pernah mau makan kalau tidak disuapi Nisa. ( Hmmm manja bangetkan?)
Nayaka mengagumi cara gadis itu mengurus si kecil, cara yang hangat lembut dan penuh kasih, hanya akan sedikit tegas kalau si kecil bermain yang bisa membahayakan dirinya.
Hanya tiga bulan Naya ikut menjadi bagian dari kehidupan Nisa sebagai pacar pertamanya, tapi itu sudah cukup bagi Naya mengenal gadis itu, sipatnya yang penyayang dan keibuan, membuat Bintang Kecil sangat bermanja kepadanya, kepribadiannya yang lembut dan bertanggung jawab, membuat Bintang Kecil tidak mau jauh darinya, tapi justru karena itulah Nayaka tidak setuju kalau gadis itu bertanggung jawab penuh atas si kecil, masa depannya masih panjang, sayang kalau harus dihabiskan dengan mengurus anak kecil, itu sama sekali tidak adil bagi gadis itu.
Nisa masih sangat muda usianya baru sembilan belas tahun, tahun lalu ia baru lulus SMA, tapi karena harus mengurus si kecil dia tidak melanjutkan sekolah ke jengjang yang lebih tinggi, padahal Nisa sangat cerdas, dia lulus sebagai juara umum di sekolahnya, bahkan ia menang beasiswa untuk meneruskan sekolahnya ke Universitas paling ternama di Jakarta, tapi Nisa menolak semua itu karena keharusannya mengurus Bintang Kecil.
Saat seperti ini Nayaka ingin sekali memeluknya, menciumnya, menenangkannya, dan mengatakan padanya.
"Jangan bersedih Nisa, aku selalu ada bersamamu."
Atau kalimat lain yang saat diucapkan, Nisa akan tersenyum.
"l love u. Nisa."
Tapi kalimat-kalimat itu sekarang tidak boleh keluar, meski hanya satu kali, gadis itu sudah tahu kalau kedatangannya dalam hidupnya adalah perencanaan, demikian pula alur ceritanya, hanya saja Nisa tidak pernah tahu akhir dari ceritanya, dan Nayaka sendiri tidak berniat mengatakannya. Ini di luar rencananya.
Nayaka tidak pernah menyangka kalau ia akan terjebak dengan lingkaran cinta yang ia buat sendiri, tadinya hanya mencari celah untuk bisa merebut kembali keponakannya yang hilang, namun kebaikan hati dan kepribadiannya yang penyayang, membuat pria yang biasa dipanggil Naya itu jatuh cinta kepada Nisa.
Selain itu Nisa terbilang sosok yang menarik dan juga cantik, dia memiliki mata yang anggun dan indah, hidungnya mancung dan lancip, bibirnya kecil namun seksi, tubuhnya bagus proposional, dia tak pernah berdandan meski hanya memakai bedak, tapi justru itu sangat alami, dia nampak seperti batu permata murni yang belum terasah.
Nayaka menelan ludahnya, berusaha kembali mengeluarkan kalimatnya, hal penting itu harus segera ia sampaikan, meski Naya tak tega untuk mengatakannya, tapi Nayaka tekankan, gadis ini harus tahu supaya ia bisa menyiapkan diri lebih awal.
"Aku datang ingin memberitahumu. Besok lusa... ?" Naya menarik napas berat. "Kami akan membawa si kecil ke luar negeri."
Naya melihat gadis itu mulai berdiri, menatapnya penuh ketakutan.
Naya kembali melanjutkan.
"Hanya tiga bulan saja Nisa, setelah itu kami akan kembali pulang ke sini Dalam hal ini aku butuh pengertianmu. Suasana baru sangat ia butuhkan, aku khuatir masalah yang kita hadapi selama tiga bulan ini, dapat mengganggu perkembangan jiwanya. Sebelum kami membawanya pergi aku minta temuilah dia, satu minggu ini dia sangat merindukanmu."
Nayaka tak kuasa melihat bagaimana gadis di depannya menitikan air matanya lagi, mungkin itu sangat menyakitkan, karena selama tiga bulan ia tidak akan melihat lagi adiknya. Bagi Nisa ini waktu yang sangat panjang.
"Nisa tak sanggup hidup tanpa Bintang. Naka..." lirih Nisa.
Nisa menyenderkan kembali punggungnya ke tiang, menyusutkan tubuhnya duduk ke lantai hitam dan berabu. Keterangan Nayaka seolah jarum suntik mati yang menusuk tubuhnya, membuatnya sangat lemah tak bertenaga.
Nisa menangis memeluk tubuhnya sendiri. Tiga bulan adalah waktu yang sangat panjang, Nisa tak sanggup hidup tanpa si kecil begitupun si kecil ia tak akan sanggup hidup tanpa dirinya.
"Maaf." ucap Naya parau. "Hanya tiga bulan Nisa, itu tidak lama, kamu harus menunggu, kamu akan bertemu Bintangmu lagi setelah tiga bulan, kamu harus mengerti, ini demi Bintang." lirih Naya meneteskan air matanya.
Nayaka tak sanggup lebih lama lagi menatap Nisa, penderitaan Nisa saat ini sangat membantai perasaannya, segera ia melesat meninggalkan bangkai rumah itu.
Malam sudah pekat ketika Nayaka sampai di rumahnya, sambutan liar terdengar gaduh dari kamar si kecil. Nayaka melesat, ia tahu keponakannya mengamuk lagi, dan itu hampir setiap malam. Sudah berbagai macam cara Naya berusaha membuatnya tenang, tapi ia selalu bersikap sama, setiap hari setiap malam, ia hanya menyebut satu nama.
"Kak Nisa...!"
"Paman janji, besok kalau Kak Nisa tidak datang ke sekolah menjengukmu, Paman pasti mengantarkanmu ke Kak Nisa."
"Bintang mau pulang! Sekarang...!" teriaknya pada Nayaka lalu memegang tangannya. "Bintang tidak suka di sini. Di sini tidak enak..." lirihnya memohon.
Keadaan keponakan nya sebenarnya satu minggu ini tidak lebih baik dari Nisa, keduanya sama-sama menderita, dan Nayaka ikut terluka karena tidak sanggup meringankan keadaan keduanya.
Naya segera memeluk tubuh kecilnya, berusaha menenangkannya,sambil
terus berusaha meyakinkan.
"Paman tahu. Kamu rindu sekali pada Kak Nisa, tapi rumah ini sekarang adalah rumahmu."
"Tidak!" Melepas pelukan pamannya.
"Bintang tidak mau tinggal di sini. Bintang mau pulang ke Kak Nisa....!" teriaknya menangis.
Nayaka hanya bisa menangis sakit setiap kali keponakannya seperti ini, sejak ibunya merampasnya dari tangan Nisa tiga bulan lalu, si kecil memang menolak tinggal di sini, namun saat itu Nisa masih selalu datang, setiap hari menemuinya di sekolah, dan setiap malam Nisa datang ke rumah ini, untuk sekedar memeluk dan menyanyikan lagu tidur sampai si kecil terlelap.
Keponakannya yang satu ini memang benar-benar sangat manja, Bintang kecil tidak mau tidur kalau Nisa tidak memeluk dan menyanyikan lagu untuknya, sulit dipungkir kalau keponakan kecilnya sangat bergantung dengan kasih sayang Nisa.
Setelah persidangannya kalah satu minggu lalu, Nisa mulai tak datang lagi, dan itu membuat si kecil terus-terusan ngamuk setiap malam karena sulit tidur, ketegasan dan kelembutan sudah Nayaka lakukan untuk menenangkannya, tapi yang ia butuhkan bukan itu, tapi Nisa.
Nayaka menemui ibunya setelah keponakannya tidur karena kelelahan, begitulah cara bagaimana keponakannya tidur setiap malam, saat tak ada Nisa di sampingnya, dan Naya mulai bosan dengan situasi ini.
"Ibu apa tidak sebaiknya kalau Nisa kita ajak tinggal di sini, dengan begitu Bintang tidak akan terus-terusan mengamuk lagi. Jujur Bu, Aku merasa lelah menghadapinya." Pinta Naya pada ibunya yang sedang duduk menempel di tempat tidurnya.
"Mengajaknya tinggal di sini? Apa bicaramu tidak berlebihan?"
"Bintang Kecil sangat membutuhkan Nisa, Bu."
"Apa kamu tahu, jangankan mengajaknya untuk tinggal bersama kita di sini, melihatnya saja Ibu sudah tak sudi lagi. Karena ....?" Menghentikan kalimatnya dan tatapannya berubah perih.
"Karena Nisa mengingatkan Ibu pada Quin. Itukan yang hendak Ibu katakan?" timpal Nayaka
Nayaka tahu itu alasannya, bisa ditebak wajah ibunya akan berubah setiap kali diperdengarkan nama Quin, menurutnya Quin adalah orang yang memporak-porandakan hidupnya, Ia telah kehilangan putra kesayangannya karena nama itu, dan Nisa memang mirip dengan Quin, sama-sama cantik dan sama-sama melawan seorang Anggraeni.
"Jangan sebut nama itu lagi di depanku!" Anggraeni marah. "Nama itu sudah lama mati. Ibu tak mau mendengarnya lagi. Kamu paham?"
"Kalau begitu jangan samakan Nisa dengan Quin, Bu? Nisa bukan Quin, Nisa hanyalah anak angkat mereka, Dia hanyalah korban pertikaian antara Ibu dan kakak." Kemudian Nayaka menjatuhkan badannya di depan kaki ibunya, bersujud memohon. "Aku mohon jangan benci Nisa, jangan pisahkan mereka, biarkan Nisa tinggal di sini. Aku mohon, Bu..."
Nayaka menitikan air matanya sambil memohon. Anggraeni menurunkan pantatnya dari tempat tidur, ia berjongkok mengikuti putranya, kemudian ia pegang kedua pipi Nayaka, ia tatap pandangannya, di sana Anggraeni menemukan sesuatu hal yang menurutnya tidak baik.
"Apa kamu sekarang sedang memohon demi Nisa?" ucapnya penuh selidik. "Kurasa tidak hanya keponakanmu saja yang membutuhkan Nisa untuk tinggal di sini, sepertinya...," menyipit menilai. "Kamupun begitu?"
Nayaka terkejut setengah mati ketika ibunya menebak seperti itu, tiba-tiba ia merasa gugup dan takut. Bagaimanapun ibunya tidak boleh tahu perasaannya pada Nisa, karena itu hanya akan menambah kebencian ibunya pada Nisa.
"Itu tidak benar. Aku hanya... ?"
Nayaka terhenti ia gugup hingga kehilangan kalimatnya untuk mengelak, dan sepertinya ia gagal menyembunyikan perasaannya dari ibunya, karena kemudian setelah itu ibunya berdiri lalu berkata.
"Ibu batalkan rencana liburan tiga bulan."
Tangan Anggraeni meraih kedua tangan Nayaka, menggiringnya berdiri, setelah saling berhadapan ia meneruskan kembali kalimatnya dengan tenang.
"Tapi, kita pindah dan tidak perlu kembali."
Ya Tuhan Naya terpukul mendengar keputusan dadakan ibunya. Rencana tiga bulan seketika berubah jadi kata pindah, itu karena ibunya sudah menebak pasti tentang perasaannya pada Nisa, dan itu artinya ibunya saat ini sedang marah besar.
Naya mengutuki dirinya karena ia sudah tak sengaja membuka perasaannya pada Nisa, dan ia sadar kalau ia telah ceroboh. Ini bukan waktunya lagi protes atau mengelak tuduhannya, yang harus ia lakukan adalah mengakui kesalahannya dan meminta maaf.
"Maafkan aku, Bu. Semua salahku, Aku yang sudah jatuh cinta pada Nisa, Nisa sama sekali tidak tahu. Aku mohon jangan ubah rencana liburan kita, karena itu terlalu kejam buat mereka, Bu."
"Tinggalkan. Ibu. Sendiri." Nadanya datar.
Nayaka tak bisa memohon lagi kalau ibunya sudah memerintahkanya untuk pergi. Nayaka melangkah lemas meninggalkan ibunya, sambil memurkai diri karena kesalahannya mencintai Nisa. Tapi memutuskan pindah gara-gara hal ini dinilai keterlaluan, dan Naya harus berusaha mencegahnya.
Memisahkan mereka sudah sangat berat bagi Nisa dan Bintang Kecil, apalagi kalau sampai menjauhkan keduanya hingga tak diberikan kesempatan lagi untuk bertemu, bukankah itu terlalu kejam bagi mereka.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!