NovelToon NovelToon

Diikuti Makhluk Ghaib

Terjebak Di Lift

'Hari yang buruk.' keluhku.

Aku menengok ke langit gelap, kilat dan petir menyambar bergantian. Sedangkan hujan deras disertai angin kencang. Suara Guntur bergemuruh seolah menertawakan pejalan kaki yang basah kuyup menerobos lebatnya hujan.

'Apa aku harus menerobos juga?' gumamku sambil melirik payung lipat di tangan kananku.

Tidak! tidak! Payung kecil ini tidak akan menyelamatkanku dari badai. Dan aku tidak punya baju salin. Aku tidak mau memakai baju basah seharian di kantor.

Aku melirik jam di handphone. Aku mulai bekerja jam 6 dan sekarang baru jam 5:15. perjalanan ke kantor hanya memakan waktu 5-10 menit jadi masih ada waktu. Kurasa tidak masalah jika menunggu sebentar lagi.

Aku berdiri memandang sekitar area stasiun. Beberapa orang sudah berkerumun menawarkan ojek payung. Seorang bocah laki-laki menggunakan jas hujan berwarna kuning terang, berdiri di tengah hujan sambil membawa payung yang besar.

Payung itu terlihat kebesaran untuk anak yang usianya tidak lebih dari 5 tahun. Dan wajahnya yang putih hampir pucat. Sesekali dia bermain air hujan, mencipratkannya dengan sepatu bootnya.

'Apa dia tidak kedinginan? Apa yang dilakukannya di tengah hujan begini? Di mana orangtuanya?' Kepalaku dipenuhi banyak pertanyaan tanpa jawaban. Sambil menatap prihatin pada sosok kecil yang sedang berdiri di tengah guyuran hujan.

Tanpa sadar pandangan kami bertemu. Aku tersentak, dan segera mengalihkan pandanganku darinya. Matanya yang bundar menatapku tanpa berkedip.

Dia memperhatikanku? sejak kapan?

Aku melirik kembali dan dia masih menatapku. Pandangannya entah mengapa membuatku tidak nyaman. Aku bergerak maju menyusup di antara orang-orang di depan.

Sekali lagi aku melirik ke tempat bocah tadi berdiri. Tetapi, dia tidak ada.

Rasa penasaran mendorongku untuk mencarinya. Di antara orang-orang di sekitar stasiun.

Aku menengok ke kiri dan ke kanan bahkan ke belakang. Sayangnya dia tidak ditemukan di mana pun. Ke mana dia? Dan saat aku berbalik..

Hah ??

Aku terkejut. saat bocah laki-laki yang kucari-cari tadi muncul tepat di depanku. Dan wajahnya jauh lebih pucat dari yang tadi.

"Kakak! Payung!" seru bocah itu sambil mengarahkan payungnya padaku.

'Apa dia sedang menawarkan ojek payung padaku?' pikirku.

"Tidak, Adik kecil. Kakak sudah bawa payung." Aku menolak baik-baik. Sambil menunjukkan payung di tanganku agar dia paham.

Dia tampak kecewa. Si kecil menunduk sedih sambil berbalik pergi.

"Ah tunggu sebentar!" Aku memanggilnya lagi. Dia menoleh dan menunggu.

Aku teringat sesuatu lalu merogoh tasku. Ada beberapa permen lollipop yang masih kusimpan. Aku memberikan padanya. Dia tampak senang menerimanya. Senyumnya mengembang lebar, tampak gigi-gigi kecil putih berderet.

Entah mengapa senyumnya terlihat aneh. Tawanya menggema bercampur dengan deras hujan. Dia berlari pergi sambil melambaikan tangan dari jauh. Dan menghilang di antara orang-orang.

'Dia hanya anak normal.' pikirku.

Jadi mengapa aku merasa merinding sejak tadi?

'Mungkin karena dingin. Ya, Pasti karena dingin.' Aku mencoba meyakinkan diriku sendiri. Sambil mengusap kedua lenganku. Merasakan udara dingin yang semakin menusuk kulit.

30 menit menunggu.

Kakiku mulai terasa pegal berdiri. Aku menengok kiri-kanan tak ada tempat duduk ataupun bersandar. Kejengkelanku pun bertambah melihat hujan yang tak juga reda.

Akhirnya aku nekat menerobos juga. Aku berhasil melindungi wajah dan kemejaku. sedangkan rok yang kukenakan basah.

Aku berdiri sejenak di depan lobi. Mengibaskan payungku lalu melipatnya kembali. Aku melepas sepatuku untuk membuang air yang tertampung di dalamnya. jari-jari kakiku tampak pucat berkerut karena kedinginan.

Saat aku sampai di lobi rintik hujan mulai reda.

'Haaah!' Aku menghela napas sedih. 'Harusnya kutunggu saja sebentar lagi.' sesalku.

Dua security memeriksaku di lobi sebelum naik ke atas. Aku segera berjalan menuju lift dan menekan tombol panah atas. tetapi, tombolnya tidak merespon. Aku menekannya berkali-kali tetapi tetap sama.

'Gedung tua! tombolnya pasti rusak!' keluhku dalam hati mengumpat.

"Pak, apa tombol liftnya rusak?" tanyaku pada security gedung.

"Tidak, Bu" jawab security berbadan gempal itu berbalut seragam biru gelap.

Dia menghampiriku dan membantuku menekan tombolnya.

Lho?? Aku heran. Begitu security menekan tombolnya, tanda panahnya langsung menyala.

Tak lama menunggu pintu lift terbuka. Udara dingin terasa berhembus dari ruang kosong itu menerpa wajahku. Lampu lift berkedip sesekali. Keheningan sesaat membuatku ragu untuk masuk.

"Silakan, Bu!" Security itu mempersilahkan.

Aku tidak mau memikirkan lebih lanjut dan langsung masuk ke lift.

"Lantai berapa bu ?" tanya security itu lagi.

"Lantai 14 pak " sahutku

Petugas itu menekan angka 14 dan pintu lift pun tertutup, meninggalkanku sendirian dalam kotak besi itu. Lampu liftnya masih berkedip-kedip.

'Apa karena tanganku basah ya jadi tombol liftnya tidak mau merespon?' gumamku, memikirkan kejadian tadi. Sambil menyandarkan kepalaku di sisi lift.

Lampu lift masih berkedip-kedip.

Aku mengusap tengkukku, merinding. Aku sendirian di sini, tetapi entah mengapa aku merasa tidak sendiri.

Aku mendengar suara seperti orang bernafas. Bukan! Seperti suara mendesah di dekatku. Aku merapat ke dinding lift, mencoba menahan ketakutanku. Lalu, aku sadar. Aku sudah cukup lama di dalam lift.

kenapa masih belum sampai di lantai 14 juga?

Aku mendengak ke atas. Aku terkejut melihat angka di atas pintu lift masih menujukkan lantai 1. Sedangkan tombol lantai 14 menyala.

Liftnya tidak bergerak?? Kok bisa ??

"Dasar! Sudah kuduga liftnya rusak!" Umpatku kesal.

Aku menekan tombol tanda panah buka berkali-kali tetapi pintu lift tidak mau terbuka. Aku mulai panik. Aku tidak ingin lama-lama di dalam sini. Terjebak di dalam lift sendirian atau bersama sosok yang tidak terlihat.

Saat akan menekan tombol bantuan, saat itulah pintu lift tiba tiba terbuka.

Napasku tertahan. Aku menyipitkan mata menajamkan pandangan dan memerhatikan sosok yang berada di depan lift..

Jho.

Aku menghela napas lega, mengenali sosok yang ada di depan lift. Dia rekan kerjaku. Pria berkulit sawo matang dengan rambut ikal.

"Baru datang?" tanyanya sambil melangkah masuk.

"Sudah dari tadi cuma ketahan di stasiun gara-gara hujan." jawabku. Dalam hati aku merasa tenang. Keberadaanya mengusir ketakutanku.

Lift bergerak naik. Aku memperhatikannya dari samping. Dia menjinjing helm hitam di tangannya. Jaketnya tampak agak basah.

Berbeda denganku, Jho menggunakan motor pribadinya untuk berangkat ke kantor. Aku yakin dia sudah menggunakan jas hujan. Namun mengingat derasnya, kurasa air hujan berhasil merembas masuk dan membuat jaketnya basah.

Kami sampai di lantai 14. Lorong depan lift masih gelap. Sepertinya security lantai ini masih belum datang.

Jho menghidupkan lampu dan berjalan menuju ruangan kerja kami. Jho mendorong pintu kaca dan melongok ke dalam ruangan.

Kami terkejut dan saling berpandangan.

Di Kantor Sendirian

Jam di dinding sudah menunjukkan hampir setengah 7 pagi. Padahal jam segini biasanya sudah ramai.

"Kurasa hujan lebat tadi membuat mereka terjebak di jalan. Jadi banyak yang akan terlambat." ucapku menduga-duga, sambil melangkah masuk mendahului Jho.

"Bisa jadi begitu" Jho setuju lalu menghidupkan lampu ruangan.

Aku berjalan menuju ke loker yang ada di ruang terpisah, aku menaruh tas lalu menguncinya. Dan saat aku kembali ke ruangan..

Jho tidak ada.

'ke mana dia?' Aku mengamati sekitar ruangan.

"Jho!" Aku coba memanggil. Tidak ada yang menyahut.

"Apa dia ke toilet ?" Aku menduga-duga.

Ruangan ini sebetulnya tidak begitu besar. Terdiri dari sekat-sekat berbentuk cube yang menampung dua puluh karyawan staf call center di sini.

Aku memberanikan diri berjalan ke meja kerjaku, merapikan dan menyiapkan semuanya. Headset sudah kupakai. Aku mulai online untuk mengusir ketakutanku. Paling tidak aku terhubung dengan seseorang di luar sana.

Panggilan pertama masuk. Aku menjawab panggilan layaknya staf call center dengan baik. Namun, suara keresek dari headsetku mengganggu.

Headsetnya rusak, pikirku dalam hati. Aku mencoba fokus untuk sesegera mungkin menyelesaikan pembicaraan dengan customer lalu memperbaikinya. Begitu pembicaraan berakhir aku segera melepaskan headsetku.

tetapi,

Srek srek srek

Suaranya masih terdengar di telingaku ?!

Aku mendengarkannya lagi baik-baik mencari sumber suarannya.

'Suara itu bukan dari headset ku!' pekikku dalam hati.

Sesuatu itu terdengar jelas seolah berada sangat dekat di telinga kananku. Tepatnya ada sesuatu di sampingku. Seperti suara sesuatu yang diseret.

Aku menengok ke samping.

Tidak ada!

Tidak ada apapun! Kecuali bayanganku yg terpantul di dinding kaca berwarna gelap itu. Aku menghela napas lega sesaat.

Kreeeat!

Kali ini suara berbeda dari arah belakangku. Aku mengenali suara apa itu.

Itu seperti suara kursi yang baru diduduki. Aku yakin tidak ada seorangpun di sini tadi.

'Haruskah aku menengok ke belakang, memastikan tidak ada apapun di sana?'

Aku berbalik dan lampu ruangan tiba-tiba padam.

Aku memerhatikan dalam gelap. Ada seseorang yang sedang duduk di kursi di depanku, menatapku dalam gelap. tetapi karena jaraknya agak jauh dan gelap aku tidak bisa melihat dengan jelas wajahnya.

"Siapa di sana?" Aku berseru.

Orang itu diam tidak menjawab.

"Jho?" Aku memanggil lagi. Menduga itu mungkin Jho yang sedang mengerjaiku, tetapi tidak ada jawaban.

"Berhenti bercanda Jho! Ini tidak lucu!"

Aku berjalan ke tembok menghidupkan kembali sakelar lampunya. Aku menatap ke kursi tadi. Kosong?

Tidak ada seorangpun. tetapi kursinya berputar putar seolah baru saja ada yang duduk tadi. Ketakutan mulai menggerayangiku.

Kring! Panggilan masuk berbunyi.

Aku berjalan ke mejaku lagi untuk menjawabnya.

"Selamat pagi dengan melya bisa dibantu?" Sesaat aku sadar suara dering telepon itu bukan dari mejaku.

Aku berjalan ke arah dering telepon itu. Kurasa seseorang yang bertugas di shift malam lupa mematikan tombol online. Tombol online dihidupkan jika kita siap menerima panggilan telepon masuk. Sedangkan offline untuk menolak semua panggilan masuk.

"Hallo?" Telponnya sudah ditutup.

"Ring!" Suara telepon dari arah lain berbunyi. Belum sempat beranjak dari tempat itu, suara dering telepon dari arah lainnya berbunyi. aku mengecek dari layar komputer. Semua line telepon status online?

"Ring! Ring!" Sekarang semua dering telepon berbunyi saling bersahutan. Membuat suara berisik yang memekakan telinga.

Firasatku tidak enak. Aku menutup telingaku dab berlari cepat menuju pintu tanpa menoleh. Dan bug!

Aduh!

Aku menubruk sesuatu dan terjatuh ke lantai. Setelah kuperhatikan lagi ternyata aku bertabrakan dengan Sofi yang hendak masuk sementara aku ingin keluar.

"Kamu ini apa-apaan sih, Mel?" tanya Sofi terkejut, sambil mengusap kepalanya.

Aku bangkit. "Maaf! Tadi aku buru-buru jadi gak lihat kamu masuk."

"Kalian sedang apa di pintu? Bukannya masuk?" kata Jho bingung memerhatikan kami berdua tertahan di ambang pintu.

"Jho!" Seruku. "Ke mana saja tadi? Aku mencarimu?"

"Aku baru kembali dari toilet. Ada apa ?" jawabnya.

Aku tahu mereka berdua memperhatikanku dengan perasaan bingung. Sesaat mereka saling berpandangan lalu menatap kembali padaku dengan curiga. Mereka menyeringai.

"Kamu takut ya Mel ?" goda Sofi sambil menyikutku pelan.

"Tidak." Aku menyangkal.

"Jujur aja deh. Tadi kamu buru-buru mau keluar karena ketakutan 'kan ?" Lanjut Sofi. Kami bertiga masuk ke dalam.

"Gak ada apa-apa, sof." aku menjauhinya dan kembali ke meja kerjaku.

Sofi duduk di sampingku. Suara kursi berderit saat Sofi mendudukinya. Mengingatkanku pada suara tadi.

"Yakin gak mau cerita?"

Aku menggeleng. Tidak ada gunanya juga kalau kuceritakan.

"Apa? Apa? " Neni yang tidak tau kapan datangnya sudah muncul dari balik cube di depanku. Ikut nimbrung percakapan kami. Kepalanya yg kecil bertengger di atas dinding cube.

berberapa karyawan sudah mulai berdatangan.

Sofi bercerita tentang aku yang berlari ketakutan keluar sampai bertabrakan dengannya. Dan Neni menimpali dengan cerita lain.

"Eh, denger-denger katanya pak security waktu jaga malam juga.." Mereka berdua pun asyik bergosip.

Neni memang suka cerita cerita seperti itu. Terlebih, lantai tempat kami bekerja terhitung baru.

Ruangan yang dulunya gudang tua disulap menjadi ruang kerja yang bagus dan bersih. tetapi tetap tidak meninggalkan kesan angker. Cerita-cerita horor dan mistis laris di antara para karyawan. Sebuah cerita tanpa dasar yang jelas, yang menyebar dari mulut ke mulut.

Aku memerhatikan jam di dinding. Hampir menunjukkan pukul 7. Suasana ruangan mulai ramai. Sofi dan Neni sudah berhenti bergosip. Kami mulai fokus bekerja.

"Selamat pagi, dengan saya Melya , ada yang bisa kami bantu?" Aku menerima panggilan dan mencoba untuk fokus. Menyingkirkan semua yang tidak berguna dari pikiranku.

Tempatku bekerja adalah perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan online. Meski bukan perusahaan besar tetapi lumayan banyak digemari.

Satu jam berlalu. Hujan mungkin sudah reda namun ruangan tetap dingin. Aku melepas sepatuku. Jari-jari kakiku masih berkerut kedinginan. Pandanganku beralih ke layar komputer saat panggilan masuk terdengar di kepalaku.

'Apa ini?'

Aku berpikir keras memerhatikan sesuatu yang sulit kupercaya ada di layar komputerku.

Nomor telepon apa ini ?

Aku memerhatikan kembali nomor  telepon  yang terpampang di layar komputerku. Nomor telepon yang terlihat asing dan acak. Apa ada nomor telepon seperti ini? Atau ini panggilan dari luar negeri? Daripada nomor  telepon ini lebih seperti angka yang berderet acak.

"Selamat pagi?" Aku mencoba mencoba menjawab panggilan.

Sing..

Kesunyian terdengar dari seberang ruangan.

"Selamat pagi? Dengan saya Melya, ada yang bisa dibantu?" Aku mencoba menyapa kembali. Tetap tidak ada jawaban.

Hanya telepon iseng. Aku segera menutup panggilan.

Dan nomor telepon aneh itu pun masuk memanggil kembali.

Panggilan Telpon Dari Si Kecil Yang Misterius

Tak lama kemudian telpon berdering kembali. Aku menjawabnya dengan sopan. Kali ini aku tahu ada seseorang di seberang sana. Namun tidak mau bicara. Aku mendengar suara desahan nafasnya.

'Hah! Pagi pagi udah dapat telpon iseng begini. Bikin badmood aja!' gerutuku lalu menutup telpon.

Suara telpon berdering kembali.

Nomor itu lagi?!

"Tenang mel! Ini bukan pertama kali kamu dapat telpon iseng kayak gini!" Aku menyemangati diri sendiri

Aku menjawab panggilan

"Halo kakak." kali ini ada yg menjawab tapi anak kecil. Suara anak kecil yang cekikikan.

"Iya, Dik. Ada yang bisa kakak bantu?" tanyaku

"Mau beli." kata anak itu lagi.

"Ada papa atau mama di rumah?" tanyaku.

"Emm.. gak ada. Papa kerja jauh. Mama lagi pergi"

"Dik, kamu tunggu papa mama dulu ya. Nanti kamu bilang sama papa mama apa yang kamu mau. Kakak akan bantu." bujukku.

"Iya" sahutnya semangat.

"Kalau gitu kakak tutup telponnya ya?"

Saat aku hendak mematikan panggilan, anak itu memanggil kembali.

"Kakak ayo main." ajak anak itu lagi.

Aku menghela nafas, "Dik, kakak gak bisa temani kamu main"

"Kenapa? Ello pintar sembunyi, jadi ayo main!"

"Kakak lagi kerja, jadi gak bisa ikut main." Aku mulai habis kesabaran.

"Kalau udah gak kerja bisa ikut main ?" tanyanya lagi.

"Gak bisa juga. kakak ini sibuk sekali." jawabku lagi agak ketus.

"Kalau gitu Ello mau bantu."

'kamu bisa bantu apa, anak kecil?! kalau kamu mau bantu cepat matikan telponnya dan jangan telpon lagi!' gerutuku dalam hati.

"Kalau kamu mau bantu. Kamu harus jadi besar dulu baru bisa bantu kakak."

Dia diam.

Saat aku akan menutup telpon, dia memanggilku lagi untuk kesekian kalinya.

"Kakak. Permennya enak. Aku mau lagi" ucapnya mengejutkanku

Hah? Permen? Kapan aku kasih dia permen?

Anak itu tertawa. Aku teringat pada bocah laki-laki di depan stasiun itu.

Tidak mungkin?!

"Kakak kedinginan, ya? Aku lihat jari kaki kakak berkerut semua." ucapnya sambil tertawa cekikikan.

Seketika udara dingin merambat dari ujung kaki sampai ke leherku, membekukanku tanpa bisa berkata apa-apa. Sedangkan keringat dingin menetes dari pelipisku.

Suara yang tadinya terdengar jauh. Kini terdengar sangat dekat. Seolah dia ada di sini. di ruangan ini. Di bawah.. mejaku..

Rasa penasaran mendorongku untuk melihat ke kolong meja. Tapi rasa takut menahanku. Takut akan menemukan sesuatu. Takut melihat sesuatu.

Akhirnya, aku memberanikan diri mengintip ke kolong dan ..

Tidak ada apa apa.

Aku menyandarkan diri di kursi menghela nafas lega. Sampai ..

"kakak! " Dia memanggilku lagi.

Aku baru sadar ternyata panggilannya masih tersambung.

"Aku pegang kakinya ya. biar hangat. Boleh kan?"

Seketika itu aku merasakan sesuatu menyentuh punggung kakiku. Dingin sedingin es.

"Huaaaaa!" Aku berteriak mendorong diriku menjauhi meja, panik. kursiku terjungkir dan aku terjatuh ke lantai.

Ruangan mendadak sepi. Semua menatapku bingung.

"Ada apa, Mel?" Tanya pak Boby, atasanku menghampiriku.

"Ada.. itu.." Aku ingin mengatakannya tapi suara tersendat-sendat. Nafasku tak beraturan.

Aku memandang kembali ruang kosong di bawah mejaku. Tidak ada apapun.

Pak Boby masih menatapku menunggu jawaban. Aku menarik nafas dalam-dalam.

"Ada kecoa." akhirnya malah kata itu yang keluar dari mulutku. Itu lebih baik. Aku tidak ingin membuat resah rekan kerjaku dengan sesuatu yang 'tidak jelas'.

"Kecoa? Hiii? Mana? Mana? " Kiki salah seorang rekan kerjaku yang membenci serangga terbang, panik dan melompat ke atas kursi.

Jho yang tepat berada di sampingnya memukul kepalanya. "Jadi cowok takut kecoa! Malu maluin!"

"Semua orang bisa takut sama kecoa. Itu normal tau. Emang cewek doang yang boleh!" Ucapnya membela diri.

"Udah! Udah! Jangan ribut! Kembali ke tempat kalian masing masing!" Pak Boby membubarkan kerumunan.

"Kamu gak apa apa, Mel?" T

ranyanya sambil membantuku berdiri.

"Iya pak." jawabku.

"Mau istirahat sebentar ?" ucapnya lagi menawarkan.

"Tidak perlu pak. Saya cuma kaget saja." jawabku sambil berusaha tersenyum.

Setelah memastikanku baik-baik saja, pak Boby kembali ke tempatnya untuk memonitor staf karyawan lain.

"Mau aku ambilkan air minum?" Tanya Sofi menawarkan.

"Terimakasih." Aku mengangguk. Lututku masih lemas. Aku menekan tombol offline untuk menolak panggilan masuk sementara waktu.

"Kamu yakin gak apa-apa?" tanyanya kembali sambil menyodorkan segelas air putih padaku. "Sepertinya tadi bukan kecoa biasa" ujarnya lagi cemas, menatapku curiga.

"Nanti kuceritakan." Aku berjanji padanya. aku dan Sofi memang cukup dekat karena sering dapat shift yang sama.

"Oke." Ucap Sofi mengerti.

Kami pun melanjutkan aktivitas kerja kami seperti biasa sampai waktunya jam makan siang.

Sekali-kali aku menekan kembali nomor telpon aneh tadi. Tapi tidak bisa dihubungi. Nomor telpon salah. Atau nomor telpon tidak dikenal. Begitulah kata operatornya. Meninggalkanku dalam tanda tanya besar.

"Apa mungkin hanya telpon iseng?" tanya neni pada kami semua yang ada di meja makan setelah mendengar ceritaku.

Aku, sofi, Neni, Molly dan Lea adalah teman makan siang bersama. Kami duduk di kantin. menikmati makan siang sambil bercerita.

"Mungkin saja. Seseorang di dalam mungkin sedang mengerjainya." sahut Molly berpendapat.

"Tapi bagaimana dengan permen itu?" bantah Neni.

"Oh ayolah! Bukan hanya Melya yang naik kereta!" Sanggahnya, "bisa jadi salah seorang di kantor melihat Melya memberikan permen itu kepada anak kecil dan ingin menjadikannya sebagai bahan lelucon untuk mengerjainya."

"Dan nomor telpon itu..?" balas Neni lagi menyerang. Sementara aku dan anak-anak yang lain memperhatikan keduanya.

"Zaman sudah canggih. Dan segala hal bisa dirubah. Apalagi yang berhubungan dengan sistem komputer. Dan anak-anak cowok kita di kantor adalah ahlinya dalam hal itu." balas Molly.

Dia memang orang yang lebih rasional. Bukan berarti dia tidak percaya, dia hanya lebih mengedepankan sesuatu yang lebih realistis ketimbang sesuatu yang abstrak.

Tapi, sepertinya Neni masih belum mau mengalah dengan perdebatan ini. Alisnya berkerut memikirkan sesuatu. Tanpa sadar aku jadi tersenyum.

"Jadi maksudmu salah seorang rekan kerja kita di dalam sedang mencoba mengerjai Melya?" tanya Sofi menegaskan kembali ke Molly.

Molly mengangguk. "Apa kamu ingat pernah berbuat salah pada salah seorang di dalam, Mel?" Tanya Sofi padaku.

Aku menggeleng. "Tidak sama sekali. Aku jarang berbicara dengan yang lain kecuali tentang pekerjaan"

"Bagaimana pendapatmu, Mel? Kamu yang mendengarnya langsung? Jadi, apa itu suara anak kecil yang dibuat-buat?" Tanya Sofi lagi.

"Sepertinya tidak. Suara yang kudengar di telpon nyaris sama dengan suara anak yang ada di stasiun."

"Nah!" Suara Neni mengejutkan. Kami semua memandangnya. "Aku ingat. Dulu saat ruangan kita masih gudang katanya ada anak dari salah satu karyawan gudang yang meninggal saat sedang bermain."

"Dia meninggal disini ?" tanya Sofi penasaran. Semua menatap Neni, menunggu jawabannya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!