NovelToon NovelToon

Wings & Fate

Fae God

Stop! Jangan baca dulu! Author mau kasihtau lagi, kalau Wings & Fate ini season 2 dari Wings & Dust, jadi bagi yang belum membaca Wings & Dust, jangan dilanjutin ya! Dan untuk para pembaca yang sudah membaca season 1 tapi agak lupa dengan ceritanya, boleh mampir ke rekapan ceritanya di Wings & Dust eps 51.

Selamat membaca! XD

.

.

.

Sudah satu bulan tepatnya aku melakukan ini, dan selama itulah perasaanku tidak pernah berubah.

"Lagi!" Teriak gadis Ventus itu dari kejauhan. Aku mendesah, kemudian mengangkat kedua tanganku. Selama satu bulan ini, kemampuanku dalam mengontrol sihir baruku makin meningkat, tetapi hal ini tidak membuatku bangga. Cahaya pelangi mulai merekah dari telapak tanganku, kemudian memancar ke segala arah, menciptakan semacam pelangi di langit pada tengah musim dingin.

Ella berteriak kegirangan. Ia bersama sekelompok anak yang kira-kira seusianya terbang mengelilingi pelangi yang baru saja kuciptakan. Sebagian mencoba untuk mendudukinya, namun tak lama cemberut karena pelangiku tidak berbentuk padat. Ella terbang mengelilingi pelangi itu, sambil merentangkan tangannya untuk menyentuh cahaya hangat tersebut. Angin topan kecil sampai terbentuk karena perbuatannya.

"Ella! Kontrol sihirmu!" Teriak Flora dari sampingku. Fae Blossom itu segera menumbuhkan bunga pada pohon terdekat. Pohon yang semulanya kering mulai mekar karena akibatnya. Bunga-bunga itu rontok dan terbawa oleh angin yang diciptakan oleh Ella, menghambat pergerakannya. Setidaknya Fae Blossom yang satu ini mempunyai cara yang unik untuk menghentikan angin topan ini sebelum menyerang istana Amarilis.

Begitulah. Sudah satu bulan aku memberikan pertunjukan kepada anak-anak tersebut. Lebih tepatnya, kepada semua Fae yang tinggal di istana Amarilis. Awalnya aku hanya mengeluarkan seberkas cahaya agar bisa menunjukkan kepada mereka sihir baru yang belum pernah dilihat sebelumnya. Lama kelamaan, berita bahwa diriku ini mempunyai bakat tersendiri menyebar sampai ke telinga Fae yang tinggal di Kerajaan Bougenville. Sekarang, semakin banyak saja Fae yang berdatangan dari segala tempat, hanya untuk menyaksikan cahaya pelangi unik milik seorang Alena.

Fae God. Golongan Pencipta. Golongan yang bisa menciptakan semua macam sihir. Mungkin aku terlalu melebih-lebihkan sihirku, namun pada dasarnya, sihir baruku ini jauh lebih rumit daripada kedengarannya. Kadang aku bisa mengeluarkan cahaya merah, ungu, dan sebagainya. Cahaya pelangi ini kuciptakan saat orang lain memintanya saja.

"Alena!" Ella berlari menghampiriku. Roknya berkibar-kibar seiringan dengan rambut panjangnya yang terikat setengah ke belakang. Rambutnya berwarna coklat agak ikal, sama seperti ibunya. Tenggorokanku langsung tercekat. Ibunya, Mella, yang sudah mati di tangan adikku sendiri.

Gadis kecil itu memberikan senyumannya yang menurutku paling manis. Ia menggandeng tanganku, kemudian menarikku ke dalam istana. Semenjak ia melihat sihirku, Ella langsung tertarik kepadaku. Setiap hari ia pasti akan menghampiriku. Sebenarnya aku tidak keberatan. Bisa dibilang cahayaku ini menjadi mainan kesukaannya. Pasti sulit saat ibumu sudah tidak ada, batinku setiap kali memikirkannya. Gadis manis ini tidak layak mendapatkan ketidakadilan seperti ini. Namun, Lexy juga korban pada saat itu. Ia berkata kepadaku bahwa tubuhnya serasa dikontrol, bahwa kekuatannya sebagai Egleans bagaikan tumor dalam tubuhnya; yang terus mengembang dan, semakin lama semakin tidak terkontrol.

Ella menuntunku ke kamar barunya. Aku menoleh dan melihat pintu berwarna putih di seberang. Ruangan tempat Naomi berbaring saat terluka karena serangan Egleans. Ruangan itupun sekarang digunakan oleh Naomi sendiri.

"Alena, Fae Blossom itu menyebalkan," katanya saat aku sudah duduk di atas lantai. Aku meluruskan kedua kakiku dan bersandar pada papan kayu tempat tidurnya. Ruangannya kecil, namun desainnya bagus dan cocok untuk anak-anak. Aku tersenyum melihat hasil kerja keras Callum. Pangeran itu sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menghibur Ella saat ia bersedih hati karena ibunya telah tiada.

"Kenapa memangnya?" Aku memiringkan kepalaku, lalu menatapnya kebingungan. "Kupikir kamu menyukai Flora."

"Hah! Dia tukang ngatur!" Ella melipat kedua tangannya. "Setiap hari dia selalu melarangku untuk melakukan ini-itu! Ella, gak boleh main ini! Ella, kamu harusnya kayak gini! Ella, blablabla," gadis itu terus-terusan mencemoohnya. "Kupingku jadi sakit."

Aku tertawa. "Flora memang memiliki sikap keibuan." Aku mengambil sebuah pajangan yang terletak di atas meja. Pajangan itu berupa piala yang tentu saja berukir lambang mahkota, tanda bahwa ini masih milik Callum. Aku menutup mulut piala, kemudian cahaya pelangi sudah mengisi piala itu. Aku memberikannya kepada Ella.

"Ini apa?" Ella mengintip ke dalam isi piala itu, kemudian terkesiap. "Cahaya pelangi ini buatku sendiri?!"

"Iya," balasku sambil tersenyum. "Tapi berjanjilah satu hal padaku."

"Apa?" Ella masih sibuk memperhatikan bola pelangi yang menggelinding di dalam piala. Wajahnya sampai bersinar karena terpantul oleh cahaya di dalamnya.

"Beri Flora kesempatan. Berbaikanlah dengannya." Aku mengelus rambutnya, kemudian hendak berjalan keluar ruangan. "Dan jangan ciptakan angin topan sembarangan lagi."

"Siap, Miss!" Ella bangkit berdiri dan sengaja membungkuk dalam-dalam. Sikapnya yang berlebihan itu membuatku memutar bola mata. "Akan kusimpan baik-baik piala ini!"

Aku pun tersenyum dan menutup pintu kamarnya.

***

Malam sudah tiba. Aku sibuk melamun di balkon kamar Callum, memandangi pemandangan luar istana dengan tatapan kosong. Sudah hampir sebulan sejak aku melihatnya. Karena kekacauan yang sudah dibuat oleh Sang Ratu Peri Lebah waktu itu, Callum jadi kerepotan membereskannya. Ia mau tak mau harus bekerjasama dengan Ledion dan bawahannya. Tentu saja, bukan hanya Wilayah Amarilis dan Hutan Greensia yang terkena imbas Sang Ratu. Rupanya ia sudah hampir menerobos keamanan Kerajaan Bougenville. Berita mengenai keburukan dan kejahatan wanita itu sudah terdengar oleh Raja dan Ratu.

Dan yang paling merepotkanku adalah para Ketua Golongan.

"Alena, sudah waktunya." Aku menoleh dan mendapati pelayan Cosmos yang waktu itu ikut membantuku untuk mendandaniku saat malam Pesta Topeng Amarilis diadakan. Pelayan itu bernama Giselle. Aku lebih menyukainya sebagai pelayanku dibanding Lilies. Tentu saja Ketua Cosmos itu tidak pernah menggangguku semenjak peristiwa di gua. Rasanya beban di pundakku berkurang satu.

Aku tidak mengatakan apa-apa dan membiarkan diriku dipersiapkan oleh Giselle. Setiap malamnya, aku harus melakukan satu hal, yaitu berbicara di depan publik, di depan banyak Fae penting dan juga Ketua Cosmos. Mereka perlu melihat perkembangan kekuatan sihir seorang Fae God.

Aku berjalan menyusuri koridor istana dengan perasaan gugup. Perasaan ini masih terus menghantuiku, padahal sudah sebulan aku melakukan hal ini. Dan setiap aku melakukan hal ini, pasti ada ekspresi dingin yang akan kudapatkan dari beberapa Ketua Golongan.

Telingaku berkedut. Aku dapat mendengar suara keramaian dari dalam ruang pertemuan. Giselle membantu mengetuk pintu, setelah itu aku memasuki ruangan.

Semua orang terdiam dan langsung memperhatikanku. Rasanya sama seperti waktu itu, saat Callum mengundangku untuk mengikuti rapat yang membahas insiden penyerangan Egleans. Bedanya, pangeran itu tidak hadir saat ini karena masih mengurus kekacauan di luar sana.

Aku tetap mengangkat daguku. Hatiku terasa lebih tenang saat melihat kehadiran teman-temanku; Xiela dan Naomi. Naomi disini menggantikan peran ibunya yang merupakan Ketua Melody. Sementara Xiela adalah utusan kepercayaan sang pangeran termuda. Sepertinya semua orang cukup mengenal baik dirinya.

Tempat duduk paling ujung milik pangeran termuda dan tempat duduk milik Ketua Ripper tidak diduduki oleh siapapun. Meskipun Callum tidak hadir, Val tetap berdiri di samping kursi itu. Mungkin ia akan menggantikan peran Callum, pikirku.

Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, namun tidak dapat menemukan tempat kosong selain kursi sang pangeran. Aku langsung panik dan keringat mulai bercucuran. Apakah mereka sengaja tidak menyiapkan tempat untukku? Aku menggeleng-geleng, mencoba mengusir pikiran buruk itu.

Val tiba-tiba terbang rendah dan menghampiriku. Mataku terbelalak saat Fae Light itu membungkuk dan memberiku hormat. "Miss Alena, silahkan duduk pada tempat yang telah disediakan." Ia menunjuk ke arah kursi Callum.

Yang benar saja?! "Aku harus duduk di kursi Cal-maksudku, di kursi milik sang pangeran?!" Aku mendengar suara dengusan dari Lilies. Val mengangguk. "Yang Mulia Pangeran memintaku agar menyampaikan hal ini kepadamu. Ia mau kamu menggantikan perannya untuk sementara ini."

Ini jelas belum pernah terjadi sebelumnya. Ada apa dengan Callum tiba-tiba? Kapan ia menyempatkan diri dan memberi pesan kepada Val? Kenapa ia tidak pernah sekalipun mengunjungiku, barangkali sebentar? Aku tidak mau memikirkannya lagi dan hanya menurut.

"Jadi, mari kita mulai," Ketua Fire yang bernama Bora itu mengangkat bicara. Tentu saja. Mentang-mentang sang pangeran tidak hadir, ia merasa dirinya yang paling berkuasa dan seenaknya mengatur orang lain. Yang lain hanya menurut.

Aku bangkit berdiri dan seperti biasa memperkenalkan diri. "Namaku Alena Sherman, usia 17 tahun. Aku adalah seorang Fae God, Golongan Pencipta. Dan pertama-tama, aku akan merepresentasikan cahaya pelangiku." Aku membuka telapak tangan, membiarkan cahaya menyelimuti segenap ruangan. Masih ada banyak Fae yang terkagum melihatnya, padahal aku sudah melakukan hal ini setiap malamnya.

Setelah Bora terlihat bosan, aku baru berhenti. "Dan seperti biasa, aku akan menjelaskan asal usul aku mendapatkan warna sayapku." Dan kira-kira inilah yang terjadi. Aku menjelaskan secara singkat penyerangan Sang Ratu di gua waktu itu, saat aku dan Callum terjebak. Lebih tepatnya bukan terjebak, pikirku. Callum tidak bisa melakukan teleport jika harus membawaku.

Dengan berat hati, aku juga menjelaskan saat sihir Sang Ratu hampir membunuh Callum. Aku tidak menggunakan kata 'sudah membunuh', karena aku sendiri juga tak sanggup mengatakannya. Setiap kali aku berbicara mengenai hal ini, jantungku seperti tersayat-sayat oleh pisau tak terlihat. Lagipula, para Fae disini tidak perlu mengetahui hal privasiku dan Callum.

Aku menyakinkan mereka bahwa kondisi Callum lah yang membangkitkan semangat dan jiwaku, sehingga akhirnya aku mendapatkan bakatku sebagai seorang Fae God. Saat akhirnya aku selesai menjelaskan, keheningan lah yang menjadi balasanku. Aku duduk dan melipat tangan di atas meja.

"Jadi..." kata Bora selesai aku berbicara. "Mulai sekarang, ada golongan baru."

"Perlukah kita mengadakan upacara pemahkotaan Alena sebagai Ketua God?" Tanya Naomi secara tiba-tiba. Aku dibuat terkejut karenanya. Baru kali ini ia mengusulkan ide buruk itu.

"Ketua dimana anggotanya hanya satu orang?" Lilies tertawa mengejek. "Kurasa tidak perlu."

"Menurutku, ide yang bagus," timpal Ketua Aqua. Pria yang kukagumi karena mata birunya yang sejernih air. "Kita perlu mengadakan upacara besar-besaran. Semua orang perlu melihat keajaiban yang telah dihadiahkan dari Dewa Pengampun."

"Hooh, semua orang sudah melihatnya setiap hari." Ketua Ventus memutarkan bola matanya. "Sejujurnya, aku tidak mengerti kenapa kita terus-terusan mengadakan pertemuan ini. Hanya untuk melihat kekuatan milik seorang Fae God?"

"Kekuatan yang tak biasa, lebih tepatnya," balas Xiela. Ia sempat tersenyum kepadaku sebelum melanjutkan ucapannya. "Alena ini berperan penting dalam menghilangkan kekuatan Sang Ratu-"

"Ya ya, aku mengerti," potong Bora. Pria itu bersandar dengan malasnya, ingin menunjukkan bahwa ia tidak tertarik dengan kekuatan baruku. "Hal penting yang akan kita bahas disini, adalah saat gadis ini menghilang begitu saja, padahal ia sudah diberi kepercayaan sebagai mata-mata." Mata pria itu melirikku, kemudian menyengir. Gigi kuningnya membuatku salah fokus. "Bagaimana, Miss? Sebaiknya Anda jelaskan persis kejadiannya, jangan lupa menambahkan adik Anda yang sekarang dipenjara di bawah tanah karena wujud rupa aslinya sebagai Egleans."

Decision

Ruangan menjadi hening. Aku tahu dengan kondisi Lexy sekarang, jadi Bora sebenarnya tak perlu mengingatku lagi. Sepertinya Fae Fire ini suka sekali menjatuhkanku.

"Sebenarnya aku tidak mengerti, kenapa Miss tak langsung membunuhnya," lanjut Fae Fire itu lagi. "Jelas-jelas dia Egleans, monster pembunuh kaum Fae. Jangan mentang-mentang dia dulunya adikmu, kamu jadi mengampuninya."

"Aku tidak mengampuninya." Tenggorokanku jadi tercekat atas ucapanku yang terasa menyakitkan. "Sudah kukatakan berulang kali, Lexy itu berbeda. Kalau dia benar adalah Egleans, dia pasti sudah membunuh banyak Fae sejak dulu."

"Tapi dia sudah membunuh Mella!" Bentak Ketua Ventus. "Dia sudah membunuh salah satu anggotaku! Dia pantas dihukum mati!"

"Dia tidak bermaksud untuk membunuhnya," kata Naomi pelan. Baru kali ini aku melihat gadis itu berbicara dengan lesu. "Dia tidak menyadari perbuatannya. Aku melihatnya waktu itu. Ekspresi wajahnya saat Mella terbunuh."

"Tidak ada alasan," kata Fae Ventus itu lagi. Pria itu tampak sangat marah. "Mari ambil suara. Hukuman apa yang pantas didapatkan oleh dua gadis kembar ini?"

"Hey, maksudmu Alena juga salah?!" Teriak Ketua Aqua. "Dia berjasa bagi kaum kita!"

Semua orang mulai meneriaki satu sama lain. Seperti inilah cara kerja rapat. Banyak pendapat yang berbeda dikeluarkan oleh masing-masing Fae sehingga membuat telingaku sakit. Apalagi mereka tidak mendengarkan satu sama lain.

Aku teringat bagaimana cara Callum membuat mereka semua terdiam. Aku belum pernah mengontrol banyak orang, dan aku takut akan gagal melakukannya. Walau begitu, kurasa aksi itu patut dicoba. Maka, aku mengangkat kepalan tanganku. Mereka tidak menoleh sedikitpun ke arahku.

"Diam," bisikku marah. Tak lama, cahaya mulai muncul dari tanganku. Bukan cahaya pelangi yang biasa diciptakan untuk sekedar hiburan, namun cahaya ungu milik Melody. Cahaya itu meredam suara secara total, sehingga ruangan kembali hening. Tiada satupun Fae yang dapat mengeluarkan suara mereka, meskipun mereka berteriak.

Aku melepaskan cahaya itu dan membiarkan suara mereka kembali terdengar. "Alena..." kata Xiela sambil menatapku terkejut. Ia tersenyum puas dan mengacungkan jempol padaku. Aku hanya mengangkat bahu sebentar.

"Baiklah," aku angkat bicara. "Karena rapat ini diadakan bersama-sama, maka kurasa semua orang disini berhak menyampaikan pendapatnya." Aku menjentikkan jari, lalu kertas dan tinta muncul di hadapan setiap Fae. Aku belum terbiasa menggunakan sihir seperti Callum, namun itu sudah mempengarah seisi ruangan.

Akhirnya selama beberapa detik, setiap Fae menuliskan suara mereka. Aku tetap memasang ekspresi tenang, padahal dalam hati aku takut melihat hasilnya.

Saat semua kertas sudah kukumpulkan, Xiela dan Naomi membantuku untuk menghitung. Jantungku berpacu saat melihat sudah hampir sebagian orang memilih untuk menjatuhkan Lexy hukuman mati. Hanya sisa satu suara untuk menentukan nasib kehidupan Lexy. Sementara untuk nasibku sendiri, banyak yang mengusulkan agar aku tetap menjadi mata-mata.

Akhirnya tiba saatnya bagiku untuk membuka kertas terakhir, yaitu kertas yang kuduga milik Lilies. Aku takut akan melihat hasil yang tidak kuinginkan. Lexy juga korban dan dia tidak berhak dijatuhkan hukuman kejam seperti itu.

"Alena, tidak apa-apa," kata Xiela dalam suara kecil. "Mungkin ini yang terbaik untuk masa depan Fae."

Tidak. Aku menggeleng-geleng. Tidak ada masa depan untukku kalau Lexy sampai meninggalkanku.

Naomi meremas lenganku, kemudian mengambil kertas itu dari tanganku. "Aku saja yang bacakan hasilnya." Maka ia membuka kertas itu, lalu mendesah. Saat ia melihat coretan di atas kertas, matanya langsung terbelalak.

"Ada apa?" Para Fae sudah tidak sabaran mendengarkan hasilnya. "Jangan berlama-lama."

"Hasilnya..." Naomi menggigit bibir bawahnya. Ia lalu menyunggingkan senyum. "Lexy bebas dari hukuman mati."

***

Aku berjalan melewati terowongan gelap, sambil menciptakan cahaya dari tanganku untuk menerangi jalan. Penjara bawah tanah sangat gelap, dan terdengar suara cicitan tikus. Tempat ini juga berbau dan sesak.

Aku melewati jeruji besi yang terpagar di samping kiri-kananku, sambil memfokuskan penglihatan agar tidak tersandung batu kerikil. Suara langkah kakiku terdengar sangat keras dan menggema.

"Alena?" Terdengar suara parau. Aku berhenti pada salah satu ruangan kecil, dan mengintip lewat celah jeruji. Aku bisa melihat siluet seseorang di ujung ruangan, serta tubuh kecil yang sibuk melambaikan ekornya. Anjing kecil itu masih setia menemaninya.

"Lexy."

Gadis itu menguburkan kepalanya diantara kedua lututnya. Ia menengadah, dan hatiku sakit saat melihat wajahnya dengan jelas. Berkat cahaya di telapak tanganku, aku bisa melihat pipinya yang sangat tirus, kemudian tatapan matanya yang kosong. Ia masih berwujud rupa sebagai seorang Fae, lebih tepatnya mayat hidup.

Lexy bahkan harus merangkak. Kedua kakinya makin mengecil, tulang tungkainya bahkan bisa kulihat. Ia meremas besi jeruji yang dingin, dan aku segera meraup pipinya yang kasar.

"Lexy," ujarku pelan. Gadis itu menarik sudut bibirnya yang pecah-pecah. Rambut panjangnya yang kusut dan tidak terawat sama sekali tidak mengurangi kecantikannya. "Aku datang."

Aku mengunjunginya hampir setiap hari, saat aku ada waktu luang. Ini membantuku mengatasi rasa kekosongan di hatiku, saat aku merasa sendirian karena Callum tak kunjung kembali. Namun, di atas itu semua, aku perlu memastikan bahwa ia dirawat dengan baik, meskipun kutahu itu tidak memungkinkan karena masih banyak Fae yang takut dengan dirinya.

Kecuali aku.

Aku ikut duduk di atas tanah yang kotor. Awalnya kami terdiam, saling berbagi kehangatan tubuh. Aku menyandarkan kepalaku padanya, kemudian memejamkan mataku. Bagaimana caranya Lexy dapat melawan rasa kesunyian di bawah sini? Untuk sebulan pula?

Saat kami kembali ke Amarilis waktu itu, aku mendapati Bora yang ternyata selama ini mengambil alih tugas Callum untuk memerintah para Ripper. Kami semua dipaksa untuk menjelaskan semuanya yang telah terjadi, dan tiba-tiba Lexy yang mengatakan sendiri bahwa ia adalah Egleans, dan ia takut akan membahayakan kami.

Aku mengingat dengan jelas diriku yang sampai memberontak saat Lexy diseret ke bawah tanah. Aku berteriak, mengatakan bahwa ini bisa diperbaiki dan Lexy tidak pantas diperlakukan demikian, setelah apa yang sudah dialaminya. Ia tidak berhak dipenjara disini, dan tidak berhak mendapat perlakuan busuk dari para Fae pengikut Bora.

"Bagaimana rapatnya?" Tanyanya dengan lembut. Biasanya aku menghabiskan waktu berkunjungku, hanya untuk mendengarkan suaranya. Namun untuk melakukan itu, tentu saja aku harus ikut berbicara. "Buruk, seperti biasa. Aku masih belum mendapat kesempatan untuk menghajar Fae Fire tua itu."

Lexy tertawa kecil. Aku tersenyum mendengar suara indahnya. "Aku yakin kau bisa menghajarnya dalam tidurmu. Kau kan, seorang Fae God."

Aku menunduk, tidak berani menatapnya. Aku tahu ia tidak bermaksud untuk menyinggung kekuatan baruku, namun rasa bersalah terus saja meruak-ruak dalam diriku. Kalau kami memang benar makhluk penemuan Sang Ratu, kenapa hanya aku yang mendapat kekuatan besar seperti ini, sementara Lexy tidak?

"Aku akan membunuhnya, lalu ditempatkan di penjara, jadi aku bisa menemanimu."

"Jangan lakukan itu, Alena," balasnya sambil tertawa geli. "Kau gila."

"Aku serius." Aku kembali menciptakan cahaya Fire untuk menghangatkan tubuhnya. Lexy memandangi sihirku dengan takjub. Ia mengulurkan tangannya dan menyentuh cahaya itu. Seketika cahaya itu meledak, dan butiran-butiran cahaya kecil tiba-tiba menghujani kami. Aku terkesiap, menengadah dan melihat cahaya mirip kunang-kunang yang menyilaukan mataku. Aku menoleh ke Lexy, ingin menanyakan bagaimana caranya ia melakukan itu. Namun, ia malah kembali ke dalam bayangan dan menjauhiku.

"Lexy..."

"Kurasa kau harus kembali, Alena."

"Kenapa?" Tanyaku dengan sedih. "Aku masih ingin bersamamu."

"Aku bisa menjelma kembali menjadi Egleans, Alena." Kini, tubuh gadis itu bergetar hebat. Ia semakin merapatkan tubuhnya ke dinding. "Kau lihat a...apa yang ba...baru saja kula...kukan?" Ia menatap kedua tangannya sendiri. "Aku tidak tahu aku bisa melakukan itu," lanjutnya lagi dengan suara kecil.

"Kau bisa belajar mengontrol dirimu, sama seperti aku," kataku untuk menenangkannya. "Kau lihat aku bisa mengontrol kekuatanku tadi, kan? Kau pasti juga bisa-"

"Aku gak bisa, Alena!" Teriaknya. Ia lalu menjambak rambutnya, dan menyembunyikan wajahnya. "Kau tahu apa yang harus kuhadapi setiap harinya?! Kadang kala, aku tiba-tiba berubah-"

Lexy terkesiap. Ia kemudian terbatuk-batuk, dan aku melihat muntahan darah di tanah. Aku menggoyangkan jeruji besi, memaksakan diriku untuk mencapainya. "Lexy! Tolong! Siapapun!" Aku terus berteriak, berharap siapa saja dapat mendengarku agar bisa membukakan pintu besi. "Bukakan pintu! Siapa saja!"

Lexy mengeluarkan muntahan darah, tak lama bayangan dirinya mulai berubah. Aku melebarkan mataku, tidak percaya apa yang baru saja kulihat. Sayap kecilnya mulai tumbuh membesar, dan terus membesar sampai mengenai tanah. Gadis itu pingsan di tanah, tidak bergerak sama sekali. Tak lama, aku melihatnya merubah wujud.

Change

Lexy bisa merasakan tangan serta kakinya yang bergetar hebat. Bulu-bulu putih mulai timbul dari kulitnya, dan tubuhnya mulai membesar.

Rasanya seperti ia ingin menangis, tidak mau menghadapi cobaan seperti ini. Tubuhnya lagi-lagi tak bisa dikontrol, dan suara raungan yang keluar dari tenggorokannya terdengar asing dan mengerikan.

Pandangan matanya mulai kabur. Segala sesuatu terlihat aneh di mata barunya. Ia ingat sebelumnya ia masih berada di dalam sel sempit, dan tahu-tahu tempat ini makin sesak saja. Ia mendengar suara jeritan seseorang, dan mendapati Alena yang sedang menatapnya dengan mata terbelalak.

Jangan lihat aku! Lexy ingin berteriak, namun lagi-lagi hanya terdengar suara raungan. Tiba-tiba tubuh barunya ini sudah mendobrak pagar besi. Lexy tak bisa melawan dirinya sendiri. Sebagian dirinya ingin menghentikan ini. Namun sebagiannya lagi ingin menghancurkan apapun yang menghalanginya.

Aku Egleans, setiap kali Lexy berkata seperti itu dalam hatinya, tubuhnya semakin bergerak sendiri tanpa bisa dikontrol. Ia sudah mengais dinding menggunakan cakar tajamnya, merasa kesal dan stres karena sudah dikurung seperti ini.

Cahaya merekah dari luar sel. Alena menciptakan sihirnya. Itu membuat matanya sakit dan rasanya ia ingin menghentikan Fae itu, melakukan apa saja agar cahaya menghilang, mungkin membunuhnya-

Tidak! Lexy berusaha melawan dirinya sendiri. Bunuh aku saja, Alena! Cepatlah! Ia menatap Fae itu. Untuk sesaat ia sedang memandangi Alena, kakak kembarnya yang selalu menemaninya disini. Namun saat ia berkedip, Fae itu berubah menjadi seseorang tak dikenalnya, yang menatapnya dengan horor dan jijik, yang sedang menggunakan sihirnya untuk menghancurkan dirinya-

Suara keras tangga besi terdengar dari kejauhan. Mereka datang. Lexy mengaum, lagi-lagi menggunakan lengannya untuk merusak pagar besi. Alena sampai mundur, masih mengeluarkan cahaya. Otot-otot lengannya mulai nyeri, dan darah menetes dari hidungnya, namun Lexy tak peduli. Ia terus-terusan menghancurkan pagar besi, tidak ingin dikurung lagi.

***

Mereka datang. Para Fae akhirnya datang. Aku terus mengeluarkan sihir Melody sekaligus Ventus, mengantar suaraku sehingga terdengar dari bawah sini. Monster itu masih menatapku penuh amarah dan dendam, dan aku tak bisa membayangkan jika pagar ini sampai hancur. Aku pasti akan mati diterkam olehnya.

"Lexy, tolonglah," pintaku padanya. "Sadarlah." Sekilas monster itu menyentak, tidak lagi melempar tubuhnya sendiri ke pagar besi. Namun lagi-lagi ia mengaum keras dan mencakar-cakar, berusaha untuk menggapaiku dari dalam.

"Apa yang terjadi?!" Aku mendengar suara Bora. Fae itu terkejut saat melihat Lexy, dan hendak menyerangnya dengan sihir apinya saat aku menghalanginya dan menciptakan sihir Aqua untuk mematikan api yang muncul dari tangannya.

"Apa-apaan?!"

"Jangan ganggu dia!" Teriakku. "Atau kubunuh kalian semua!" Aku mengancam puluhan Fae yang berbondong-bondong datang dari atas. "Aku memanggil kalian agar bisa melepaskannya!"

"Kau sudah gila?!" Teriak salah satu Fae. "Dia akan membunuh kami!"

"Lepaskan dia sekarang!" Teriakku, lalu mengancam mereka dengan cahaya pelangiku. Mereka tetap tidak menurut. "Kalau begitu, biarkan aku bersamanya!"

"Aku tak bisa melakukan itu," Xiela muncul dari belakang Bora. "Ini berbahaya, Alena! Dia bukan lagi Lexy!"

"Apa katamu?" Aku mengelak tak percaya. "Xiela, mungkin saja ini belum terlambat-"

"Alena, lihat." Naomi sudah menatap ke arah Lexy. Aku mengikuti arah pandangannya. Lexy masih berwujud rupa monster, namun ia tak lagi mendobrak pagar sel. Ia sudah pingsan, lengannya terluka parah akibat perbuatannya sendiri. Genangan darah membasahi bulu-bulu putih indahnya. Aku mencengkeram jeruji sel yang dingin. "Buka pintunya! Sekarang!"

"Maaf, Miss, tapi waktu berkunjungmu sudah habis," kata Bora mengingatkanku. Aku menatapnya kesal. "Ini bahkan belum sampai 30 menit-"

"Mulai dari sekarang, waktu berkunjungmu akan kupotong," lanjutnya lagi. Naomi langsung terkesiap, sementara Xiela hanya terdiam. "Apa?!"

"Kalau lebih dari 10 menit, makhluk itu akan kembali menjelma, dan ini berbahaya untukmu." Bora buru-buru menjelaskan sebelum Xiela dan Naomi memprotes. "Berbahaya untukku?! Bora, makhluk itu adalah adikku!"

"Alena benar," Naomi mendukungku. "Dia adalah Fae God. Mungkin dia bisa mengontrol Lexy." Sebenarnya bukan itu yang akan kulakukan. Mengontrol Lexy seperti hewan piaraan lainnya.

"Egleans tetaplah Egleans dan tidak bisa diampuni." Wajah Fae itu sudah memerah karena emosinya. "Miss Alena, kamu sudah beruntung makhluk itu tidak dihukum mati. Sebaiknya camkan perkataanku ini, bahwa Egleans tetaplah Egleans." Ia menekankan kalimat itu padaku, kemudian membalikkan badan dengan angkuhnya.

***

"Aku bersumpah akan mencabik-cabik wajah sombongnya," kataku untuk yang kesekian kalinya. Aku sedang duduk di balkon kamarku, memandangi matahari yang baru saja terbit. Kemarin malam, aku mengunjungi Lexy dan itu sama sekali tidak berjalan dengan baik.

"Kemarin, apakah kamu melihatnya berubah?" Tanya Xiela kepadaku. Gadis itu membenarkan rambut merahnya yang beterbangan. Aku mengangguk. "Apa yang kamu lihat?" Tanyanya lagi dengan ragu.

Aku mendesah. Tidak akan mudah melupakan kejadian yang sudah kulihat dengan kedua mataku sendiri. Aku masih mengingat sayapnya yang menjadi besar, mirip seperti sayap kelelawar. Lalu bulu-bulu putih dan tubuh besar seperti beruang. Wajah Lexy pun ikut berubah, meskipun warna matanya masih sama. "Mengerikan," bisikku.

Gadis itu tidak berkata apa-apa lagi. Ia sibuk memandang matahari dari kejauhan. "Alena, waktu itu yang sudah kukatakan-"

"Jangan." Aku mengangkat tanganku dan memotong pembicaraannya. Baru kali ini aku bisa melihat raut wajahnya dengan jelas. Ekspresi penuh rasa penyesalan. Ia sempat mengatakan kepadaku bahwa makhluk mengerikan di dalam sel bukan lagi Lexy. "Aku tahu kau tak bermaksud untuk mengatakan itu."

Xiela menggigit bibir bawahnya. Ia menahan napasnya dan berkata, "Maaf."

Aku terdiam, tidak menatapnya. Tak biasanya gadis ini meminta maaf kepadaku. Sebenarnya kata-katanya masih terngiang di kepalaku. "Ini berbahaya, Alena! Dia bukan lagi Lexy!"

"Alena-"

"Tidak apa-apa." Aku tersenyum. "Sebaiknya kita awali hari ini dengan latihan. Bagaimana?"

Xiela masih agak ragu menjawab, jadi aku menyakininya lagi. "Naga Api. Ingat permainan itu? Aku ingin meningkatkan keterampilanku." Aku lalu berjalan masuk ke kamar, tanpa menoleh untuk melihat jika gadis itu mengikutiku.

***

"Taruh disini."

"Baik, Pangeran."

Callum menyeka keringatnya, lalu menengadah ke langit. Matahari pagi sudah mulai terlihat. Dan sisa-sisa reruntuhan bangunan ini masih belum selesai untuk dibereskan. Mungkin ia harus mengistirahatkan kedua sayapnya dan berjalan menggunakan kedua kakinya saja.

Sudah sebulan ia melakukan ini. Mengawasi pembangunan gedung-gedung yang telah hancur. Area terluar Amarilis ternyata sempat terkena serangan dari Ratu, dan ia tidak bisa menahan amarahnya saat melihat orang-orangnya sendiri yang tertimpa musibah.

Ia sekarang berada di gerbang masuk Amarilis. Ketua Ripper itu sedang memerintahkan anggotanya untuk memindahkan puing-puing bangunan berat. Ia menghampiri mereka dan segera mengangkat sebuah pohon yang tumbang.

"Pangeran, sebaiknya Anda beristirahat," kata Ledion dari belakang. Callum menggeleng-geleng. "Tidak. Aku masih sanggup."

"Anda sudah bekerja paling keras."

"Kita semua sudah bekerja sangat keras."

"Kemarin malam aku melihat Anda. Anda tidak tidur semenit pun."

"Itu karena aku tidak bisa tidur," kata Callum dengan jujur. Itu memang benar. Tidur tak lagi senyenyak saat ia masih berada di istananya, saat Alena berada di dekatnya. Sudah berhari-hari mereka membangun tenda dan menggunakan perlengkapan seadanya. Meskipun ia telah diberi kasur paling nyaman dan empuk, itu tidak membuatnya tenang.

"Nanti Anda bisa jatuh sakit," lanjut Ledion lagi. Callum tahu apa maksudnya. Fae itu pernah menjadi pengawal pribadinya sebelum Val, jadi ia tahu kelemahan dirinya.

"Aku akan beristirahat." Ia tersenyum, kemudian membubarkan para Ripper. "Istirahat sejenak!" Perintahnya kepada bawahan Ledion. Sontak semua langsung menurut.

Mereka duduk di atas hamparan rumput. Callum bisa merasakan tatapan dari Fae lainnya yang tinggal di wilayah sini. Ia berusaha untuk mengabaikan mereka dan menyusun rencana berikutnya bersama Ledion. Meskipun hubungan mereka tidak sedekat dulu, Callum tetap nyaman bekerja bersama Fae itu, karena ia jauh lebih tua dan berpengalaman dari dirinya.

"Diperkirakan nanti sore, area ini sudah bersih," kata salah satu Ripper. Callum mengangguk. Jarinya menelusuri area selatan pada peta. Ia lalu berhenti pada wilayah di sekitar Bougenville. "Bagaimana dengan pusat kerajaan? Sudahkah kalian mengecek kondisinya?"

"Untungnya, Ratu tidak sempat menyerang wilayah itu karena lebih fokus ke area sekitar Alther Suavis," jawab Ledion. "Seperti dugaan kita, ia harus mengawasi pergerakan Egleans yang berhasil menembus wilayah Fae. Mungkin ia juga tahu Anda tidak akan menjelajahi bagian utara."

Hatinya langsung menjadi lega. Setidaknya Ayah Ibunya beserta kedua kakaknya tidak perlu menghadapi hal ini, meskipun sepertinya berita sudah menyebar cepat dalam hitungan hari. Berkat badai musim salju yang kadang masih menyerang pada tengah malam, pergerakan warga Fae Amarilis akan terhambat sampai ke Bougenville.

Namun bukan berarti berita mengenai Sang Ratu akan menghilang begitu saja. Ia harus segera pergi ke hadapan Raja dan Ratu Fae seorang diri.

"Berapa lama lagi kita mengurus ini semua?" Tanyanya sambil meluruskan kedua kakinya di atas rumput yang menggelitik. Ledion tampak sedang berpikir, kemudian menjawab, "Sepertinya besok Anda sudah bisa kembali ke istana Anda."

"Bagus." Ia tersenyum puas. Ia sudah bisa membayangkan wajah Alena yang akan menyambutnya. Namun sebelum itu, ia harus menemui Raja dan Ratu, Ayahanda dan Ibundanya sendiri.

"Aku mau kamu menjaga wilayahku sampai aku kembali dari Bougenville," kata Callum sebelum ia bangkit berdiri dan melanjutkan pekerjaannya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!