NovelToon NovelToon

Dosenku Canduku

Gayboy

Suara desahan mengisi ruangan, semakin lama semakin keras terdengar. Jemari tangannya memainkan rambutku. Dia menahan berat badannya dengan sikut yang di topang di bawah ketiakku.

Sumpah, aku ingin tangannya menyentuhku. Lalu kulepaskan bibirnya dan mendorong tubuhnya hingga dia terlentang. Dia kaget dengan tindakanku itu, namun dia tidak melarang.

Tapi, ahhh. Jeansnya mengganggu! Aku ingin merasakan ereksinya, bukan Jeansnya. Cepat-cepat kubuka kain tebal itu sambil memandang matanya yang membulat melihat perbuatanku yang begitu agresif.

Setelah menurunkan Jeansnya separas lutut, akupun turut melakukan hal yang sama.

****

"Winda! Kenapa tadi tidak angkat telepon papa? Tahu tidak mama dan papa khawatir!"

Suara papa keras menegurku, tapi aku tetap berjalan masuk melewati pintu depan.

"Khawatir kenapa? Winda kan sudah besar?" jawabku enteng.

"Siang tadi Papa jemput kamu di kampus, tapi kamu tidak ada. Papa telpon tidak di jawab. Why?" Papa semakin memuncak, berdiri dengan satu tangan di pinggang.

Aku keluarkan ponsel dalam tas dan memeriksa.

12 missed calls

3 text messenger

Nafas panjang kuhela dalam-dalam menyimpan lagi ponsel ke dalam kantong celana jeans.

"3 tahun papa kirim Winda ke London, perasaan nggak ada tuh papa kuatir Winda sendiri di sana?  So, sekarang nggak perlu lah seperti orang peduli gitu," balasku santai lalu melanjutkan langkah mendaki tangga menuju kamar. Kuhiraukan teriakan papa yang meyeru namaku.

Sesampainya di kamar, aku periksa kembali teleponku. Semua missed calls dari papa. Lanjut kuperiksa pesan salah satunya juga dari papa menanyakan keberadaanku siang tadi. Ada juga dua pesan dari Adri--teman lelakiku.

Baby, malam ini aku tunggu di Starbuck jam 08.00. Kita ngumpul dulu baru make. Oke.

Baby, where are you?

Hah? Jam delapan, sedang jam di tanganku sekarang sudah menunjukkan pukul 20.30. Aku balas pesan dari Adri, menyatakan sedang dalam perjalanan sebelum berlalu ke kamar mandi.

***

Dugaanku benar, papa bertanya macam-macam waktu aku hendak keluar. Tapi, kuberikan alasan pergi belajar kelompok di rumah teman dan papa mengangguk meski wajahnya terlihat ragu. Segera kuambil kunci mobil, lalu berlari keluar.

Aku tiba di Starbucks lewat pukul sembilan. Dari jauh, aku sudah lihat John bersama Adri sedang asyik menghisap vape di booth luar. Aku hampiri mereka dan beradu pipi tanpa canggung. Kemudian, Adri menarikku agar duduk di dekatnya dan mencium bibirku rakus.

"Baru sehari gak ketemu, tapi aku udah rindu banget sama kamu, baby," rengeknya di telingaku.

"Aww. Miss you, too." Aku menyandar di bahunya dan dia memeluk pinggangku dari sisi.

"Woi, Ad! Kasih tau gue, jurus apa yang Lo pake sampai bisa dapat cewek seseksi si Winda ini? Gue juga pengen, bro," celetuk John sambil mengisap vapenya. Adri hanya mengangkat bahu.

"Rehan mana?" tanyaku sambil meraih latte es di depan Adri.

Adri, John dan Rehan merupakan teman satu kampus dan juga tinggal di satu rumah kontrakan. Mereka mahasiswa semester 4, tapi tidak satu kampus denganku. Daerah asal Mereka pun berbeda-beda, ada yang dari Bandung, Surabaya, sedang Adri dari sendiri dari Banten.

Aku kenal mereka 4 bulan lalu di sebuah klub malam. Waktu itu aku baru beberapa minggu pulang dari London, tapi malah mendengar papa dan mama bertengkar hebat. Untuk menenangkan pikiran, aku mengunjungi klub malam di pusat kota.

Adri tiba-tiba datang mendekatiku, dia mendengar segala curhatku dan membuatku kembali happy karna merasa ada yang peduli. Malam itu, aku juga ikut pulang kerumah kontrakannya dan dia memelukku erat hingga kami tertidur.

Berawal dari perkenalan itu, kami semakin dekat dan aku tertarik dengan perhatian yang Adri berikan. Sering aku ikut pulang ke rumahnya, tapi tidak sekalipun dia melakukan sesuatu tanpa izinku. Mungkin disebabkan dia menghargai privacy-ku, aku pun tidak menolak saat dia  memintaku jadi kekasihnya.

Setelah menjadi pasangan kekasih sejak 14 Februari lalu, hubunganku dengan Adri semakin bebas. Perhatiannya yang begitu besar, membuat aku merasa berhutang budi dan makin sayang padanya. Disebabkan itu juga aku sering menghabiskan waktu di rumah kontrakannya dan akhirnya aku juga dekat dengan John dan Rehan.

Beberapa bulan lalu, Adri mengenalkanku dengan 'permen neraka'. Berawal dari situlah, apabila aku merasa stres, aku akan mengajaknya untuk memakai barang haram tersebut, karna hanya dengan itu pikiranku kembali tenang. Terkadang di bawah pengaruh barang haram itu, aku pasrah saat Adri memuaskan nafsuku dengan handjob.

"Rehan pergi. Katanya sih ngajemput temannya."

Jawaban John menghentikan lamunanku.

Adri juga pernah memintaku melakukan blowjob, tapi aku tolak. Aku memang gadis liar, namun aku tidak mau tergesa-gesa dalam melanjutkan hubungan ketahap yang lebih intim. Hubungan percintaan kami terlalu mentah, baru tiga bulan.

***

Jam 11 malam, kami tiba di rusun yang memiliki 5 lantai, dimana Adri dan rekannya mengontrak rumah.

Suasana malam itu cukup hening. Pencahayaan di rusun itu tidak begitu terang, memudahkan Adri membawaku ke rumahnya yang berada di lantai 4.

John terlebih dulu naik, setelah dia memberikan signal clear, barulah Adri dan aku menyusul. Di lantai dua Adri berhenti dan mencium bibirku rakus. Takut ada orang yang melihat, maka aku tolak tubuhnya perlahan. Saat ini aku tidak ada mood.

"Baby, kenapa? Gak ada siapapun disini. Di Starbucks tadi kamu oke oke aja." Adri menjauhkan wajah. Ada riak kecewaij dari suaranya.

"Di dalam aja." Aku membujuknya sambil menarik tangannya. Untungnya dia menuruti kata-kataku.

Baru saja masuk kedalam rumah yang pintunya sudah di buka John terlebih dulu, Adri lansung menarik tanganku, menutup kembali pintu dan mengunci pergerakanku. Kedua tangannya memegang kepalaku dan bibirnya lansung melumat bibirku.

Permen neraka yang aku pakai di dalam mobil tadi sepertinya tidak begitu beraksi, tapi ciuman Adri yang semakin intens membuatku hanyut. Aku bahkan lupa sekarang masih berada di ruang tamu, bukan di dalam kamarnya. Aku semakin terbuai dengan ciuman yang semakin bergairah, malah kini lidah kami saling berpaut mencari sensasi tersendiri.

"Apa-apaan ini?"

Sebuah suara, keras dan tegas tiba-tiba menegur kami hingga aku dan Adri bergelinjak dan seketika melerai pergelutan lidah. Adri melepaskan bibirku dan menoleh kebelakang. Tangannya yang masih menangkup pipiku ku-alihkan perlahan dan Adri memutar tubuhnya menghadap suara itu.

"Lo siapa, hah?" tanya Adri tak bersahabat.

Aku lap bibirku yang basah dengan punggung tangan sebelum maju kedepan. Wajahku menunduk malu karna perbuatan kami barusan ketahuan orang lain. Adri melingkarkan tangannya di bahuku, menarikku lebih rapat ke sisinya dan kubalas dengan merangkul pinggangnya dengan sebelah tangan.

"Hai! Ad, Win! Kenalin ini teman gue, Adam. Dia mau numpang tidur di sini untuk beberapa hari. Gak apa-apa kan?" Rahan tiba-tiba muncul di belakang lelaki itu.

Kuangkat kepala ketika namaku di sebut, rangkulan tangan di pinggang Adri kulepaskan, lalu aku bergerak kedepan menyapa Rehan yang baru datang.

"Apa kabar, Re?" sapaku. Sama seperti yang kulakukan dengan John, kami juga beradu pipi. Ini sudah menjadi kebiasaanku selama tinggal di London. Lalu aku menoleh ke arah lelaki yang menegurku tadi. Dia sedang memandangku.

"Jadi ini teman yang Lo jemput tadi?" tanyaku pada Rehan.

"A..ah... Iya, ini teman yang gue jemput tadi. Namanya Adam."  Rehan kembali memperkenalkan rekannya itu. "Oh ya, Dam. Ini Winda. Pacar Adri." Rehan menepuk bahu lelaki itu yang masih memandangku.

Aku memberanikan diri menantang matanya dan entah kenapa jantungku berdenyut lebih cepat. Matanya sungguh tajam menyorotku.

"Hai, nice to meet you." Kusapa dia sambil tersenyum walau hati masih bergetar. Tangan ku-ulurkan untuk bersalaman, namun tidak di sambutnya.

Kerang ajar!

Tangan kanannya memegang botol minuman, padahal bisa saja dia memindahkan botol minum itu ke tangan kiri dan menyambut uluran tanganku.

"Errr...." Rehan yang mungkin merasa sungkan memandang tanganku, kemudian memandang wajah lelaki itu dan kembali memandangku, seperti salah tingkah.

"Baby, percuma! Dia gak akan melakukan itu." Adri memelukku dari belakang. Mataku masih melekat di mata lelaki itu, begitu juga matanya masih belum lepas dariku.

"Pacar?" Lelaki itu tiba-tiba bersuara dan matanya kini beralih pada Adri.

"Yes, dia pacar gue. Kenapa? Masalah buat Lo?" Adri seperti sengaja menantang lelaki itu. Tangannya lebih erat memelukku, seolah ingin membuktikan kata-katanya kalau aku ini kekasihnya.

Mata lelaki itu beralih ketangan Adri yang melingkar di perutku, jelas sekali seperti tidak suka.

"Dia bukan muhrammu, bro. Tidak baik seperti itu." Lelaki itu memberi teguran membuatku tiba-tiba ikut panas. Siapa dia? Sok alim?

"What? Lo bilang apa? Bukan mahram? Haha.... Lo pikir gue peduli?" Adri mengejek.

Rehan yang menyaksikan itu menggaruk kepala, merasa serba salah. Mungkin dia bingung harus membela siapa. Yang satu teman, yang satu lagi juga teman.

"Lebih baik nikah dulu. Jadikan Winda halal untukmu." Bukannya berhenti, lelaki itu malah semakin tegas mempertahankan pendapatnya. Tapi raut wajahnya seakan kesal.

"Nikah? Haha." Adri tertawa besar. "Eh, Lo lahir di abad berapa sih? Ini zaman milenium coy. Ngapain tunggu halal dulu, rejeki udah depan mata, mau nunggu lagi? Benar-benar gila ini orang." Adri semakin sarkas.

"Tapi wanita untuk di lindungi, bukan untuk di jadikan pelepasan nafsu." Suara lelaki itu masih tenang, walau wajahnya semakin merah, mungkin menahan marah.

"Munafik! Kayak gak pernah nyodok meki aja Lo! Wajah gayboy kayak Lo ini, yang ada laki pun Lo embat!" umpat Adri. Tangan yang tadinya memelukku di lepaskan, lalu melangkah ke depan. Terlalu marah.

Cepat-cepat kutarik tangannya ke belakang, takut keributan ini semakin memanas.

"Oke. Sekarang gini aja. Buang prinsip kalian masing-masing. Berani berbuat berani bertanggung jawab. Oke." Rehan menyala, berdiri diantara Adri dan lelaki itu mencoba menjernihkan keadaan. Kemudian Rehan memberi kode agar Adri masuk ke kamar.

Adri mengambil tanganku dan menarikku menuju kamarnya. Aku masih menoleh kebelakang melihat mata lelaki itu yang belum juga lepas dariku, seolah memohon agar aku tidak ikut ke kamar bersama Adri.

Jantungku semakin tak karuan karna mata itu terus saja menatapku. Lalu, dengan kepala menunduk aku membuka langkah mengikut Adri.

"Winda." Suara itu memanggilku dan berhasil membuat langkahku terhenti. Aku menoleh lagi kearah lelaki itu, namun Adri labih dulu menarik tanganku. Mungkin dia marah.

"Bro, udah lah," ujar Rehan pada lelaki itu memintanya tidak lagi ikut campur. Adri mendengus, lalu menarikku masuk ke kamarnya.

Setelah menutup pintu, Adri meninggalkanku dan membuka bajunya, lalu melempar kasar kelantai bersama baju kotornya yang lain. Kamarnya ini sangat berantakan dengan baju kotor berserak dimana-mana.

"Sialan! Sok alim banget! Belum tau dia siapa gue." Adri masih menggerutu seolah belum puas hati dengan lelaki tadi. Aku bahkan belum pernah melihatnya se-emosi ini. Melihat wajahku yang masih gusar, Adri melepaskan nafas berat.

"Baby, sini dong." Sekelip mata, suaranya berubah manja. Tangannya melambai memanggilku agar mendekat.

Perlahan aku membuka langkah, namun Adri yang tidak sabaran menarik tanganku, lalu di dorongnya ke ranjang.

"Baby, kita nikmati dulu malam ini, oke?" bisiknya sebelum menindih tubuhku dan mengecup seluruh wajahku. Kedua tanganku diangkat keatas, lalu dia menyambar bibirku. Lidahnya menekan-nekan ingin masuk lebih dalam lagi, tapi mulut aku katup rapat.

"Baby, where are you?" rengeknya karna penolakanku. Aku alihkan pandangan ke arah lain, lalu Adri mencium leherku. Dia menggigit nadiku dan mulai menekan pinggulnya. Aku yang kaget dengan perlakuannya itu menolaknya ke samping.

"Where are, Winda?" Suara Adri jelas menunjukkan kesal dengan penolakanku. Biasanya, di bawah pengaruh permen neraka, aku lebih mudah menyerah dengan perlakuannya. Tapi, entah kenapa belakangan ini reaksi permen neraka yang dia berikan seperti kurang bereaksi. Ini bukan kali pertama aku menolak Adri seperti malam ini.

"Sorry, aku lagi gak ada mood." Setelah mengucapkan itu aku pindah dan duduk di kursi belajarnya sambil menyeka bibirku yang basah.

"Gak mood kenapa? Oh....pasti gara-gara gay biadap itu?" Adri bicara sambil menunjuk ke arah pintu. Tentu lelaki 'gay' yang dia maksud adalah lelaki tadi.

"Bukan. Tapi aku gak tau juga kenapa. Kayaknya barang itu gak begitu ada reaksi," jawabku memberi spekulasi sendiri.

Adri melepaskan nafas berat. "Oke. Nanti akan kucari barang yang lebih bagus. Tapi next time aku gak mau ada penolakan lagi." Adri berdiri di depanku dan mengecup kepalaku. Mataku malah tertuju pada bagian resleting Adri yang sudah membukit.

"Sepertinya aku harus pulang sekarang. Aku janji sama papa hanya sampai pukul 12," kataku berbohong.

Adri tampak kecewa, tapi dia tidak bicara apa-apa. Di kecupnya bibirku sekali lagi sebelum kutinggalkan dia di dalam kamar.

Di ruang tamu, lelaki itu tersenyum kecil saat melihatku keluar dari kamar Adri.

Dendam

Malam berikutnya Adri kembali mengajakku makai barang itu. Katanya kali ini permen neraka yang di dapatkannya adalah kualitas terbaik. Tapi kutolak dengan alasan sibuk menyiapkan diri untuk kuiz hari Rabu dan menjanjikan ke Rabu malam selanjutnya.

Seperti yang kujanjikan, malam itu kami nongkrong dulu di Starbucks, Rehan dan John juga ada. Tapi kali John membawa seorang gadis, namanya Erin. Tadinya Rehan ingin juga mengajak ceweknya, tapi di batalkan karna bingung bagaimana membawa pulang nanti, sementara di rumah masih ada temannya yang menumpang tinggal.

"Kalau Adam mau juga main sama Liza sekali gak apa-apa sih. Gue asyik asyik aja. Tapi masalahnya itu gak akan mungkin. Yang ada gue yang di usir dari rumah itu nanti."  Ucapan Rehan membuat kami semua tertawa ketika dengan santainya dia menyatakan keinginan untuk threesome bersama teman satu kamarnya--Adam.

"Btw, berapa lama lagi dia tinggal di tempat kita?" John bertanya. Sementara tangan Adri yang memelukku mulai memainkan ibu jarinya di perut.

"Paling lama akhir Minggu ini," jawab Rehan sambil menyeruput minuman di depannya.

"Akhir Minggu ini?" Adri tiba-tiba menyala tepat di sebelah telingaku membuat aku bergelinjak. Dia pun berbisik 'sorry' padaku dan mencium telingaku sebagai tanda maaf, lalu kembali memandang Rehan.

"Paling lama, bro. Kalau rumah dia udah kelar, dia cabut lah," jawab Rehan sambil menyandar, seolah menjauhkan diri dari emosi Adri yang tiba-tiba datang.

"Oke, tapi gue gak mau melihat dia. Terserah Lo mau bawa dia kemana, kurung dia di kamar kek, asal jangan sampai gue melihat dia lagi." Adri mendengus.

"Santay, bro. Dia itu sibuk. Ada hal yang mau dia selesaikan. Dia cuma menumpang tidur aja di rumah kita, jadi gue pastikan Lo gak akan ketemu dia." Rehan coba memberi pengertian pada Adri.

"Eh, siapa yang kalian maksud?" Erin tiba-tiba menyela.

"Noh, teman si Rei. Katanya mau numpang tinggal di rumah kami. Tapi lansung musuhan sama si Ad karna sok alim. Dia juga ngelarang Winda masuk ke kamar Adri. Kocak emang." John menceritakan.

"Oh...orangnya ganteng gak?" tanya Erin lagi sambil melirik manja John.

"Kalau itu, tanya Winda aja. Kalau the boys yang jawab, nanti di kira gay lagi. Haha." John tertawa, di ikuti Rehan. Adri hanya tersenyum tipis.

Erin beralih memandangku. Dari raut wajahnya jelas terlihat menanti jawabanku.

"Hm...." Aku sendiri tidak tahu harus memberi jawaban apa. Perlahan aku menoleh pada Adri dan riak wajahnya seolah tidak peduli akan jawabanku. Dia malah mengisap vape di tangannya.

"Winda! Ganteng gak?" Erin mendesakku dan aku hanya cengar-cengir mencari jawaban yang tepat. Wajah Adam yang sudah kulupakan kini kembali muncul, membuat jantung kembali berdenyut lebih cepat.

"Hmm...sorry, gue gak begitu ingat." Hanya itu jawaban yang keluar dari bibirku. Rehan, Jhon, Erin tertawa besar. Aku menoleh ke arah Adri, dia hanya tersenyum sinis.

"Mikirnya lama banget, tapi jawabannya gak ingat. Ceh! Alibi yang nyata." John seolah sengaja memojokkanku.

Sejujurnya aku hanya tidak mau membicarakan lelaki itu lagi.

Erin mengambil vape di tangan John dan mengisapnya. "Kalau gitu, malam ini aku kerumah kalian ya? Aku mau melihat sendiri gimana sih orangnya."

"Kalo Lo mau di ceramahi dia. Where not? Atau kalau gak, kita gangbang aja malam ini di rumah. Biar mulut si gayboy itu makin berkicau ceramahi kita. Haha," balas John dan tertawa sendiri, lalu mengambil kembali vapenya dari tangan Erin.

***

Pukul 11 malam, kami berlima pulang kerumah kontrakan Adri. Hatiku sedikit berdebar membayangkan jika nanti bertemu kembali dengan lelaki itu. Sebelaliknya, Erin tampak begitu semangat ingin bertemu lelaki itu. Belum tau saja dia bagaiman jaim-nya lelaki itu.

Satu persatu masuk kedalam rumah dan duduk di sofa ruang tamu. Rehan tiba-tiba berlari ke kamar mandi setelah mengadu skit perut.

"Sakit perut atau sakit hati karna gak ada partner buat indehoi?" John sengaja menggoda.

"Alah, Adam the gayboy kan ada. Adu pedang lah mereka nanti." Adri ikut menyela sambil menarikku ke dalam pelukannya.

Melihat keintimanku dengan Adri, Erin pun menarik John ke dalam pelukannya dan mereka mulai berciuman. Aku dan Adri pun melakukan hal yang sama. Tapi John dan Erin makin bersemangat, hingga terdengar desahan halusnya.

"Guys! Adam udah di bawah, dia lagi on the way keatas!" Rehan tiba-tiba berteriak seperti orang kepanikan setelah membaca pesan yang masuk ke ponselnya.

Erin lansung menjauhkan wajah dari John seolah tidak sabar menantikan lelaki itu. Tapi Adri malah coba ingin melanjutkan kembali ciuman tadi, tapi aku tolak.

"Heh, ini rumah kita. Apa masalahnya dengan Dia? Emangnya dia bawa Pol PP buat grebek kira." Adri mendengus, lalu berdiri masuk ke kamarnya, meninggalkan aku sendiri di sofa.

Aku dan Erin saling berpandangan mendengar komen Adri tadi, tentu kami cemas.

"Kalau dia benar-benar bawa Satpol PP gimana? John kan bukan muslim, aku harus kawin dengan Rehan dong?" Sempat-sempatnya di situasi panik ini Erin melontarkan kata-kata itu.

Tiba-tiba terdengar bunyi ketukan pintu, membuat Erin melompat karna kaget.

Rehan memberi isyarat agar kami semua diam, lalu berjalan kearah pintu.

"Siapa?" Rehan sedikit teriak di depan pintu.

"Adam." Suara di luar jelas terdengar.

"Lo bawa siapa?" Rehan kembali bertanya.

"Bawa siapa apanya?"

Rehan menolah kebelakang sebelum membuka pintu.

Kukihat kening Adam berkerut melihat gelagat Rehan yang mencurigakan.

"Ada apa?" tanya lelaki itu pada Rehan. Mungkin belum menyadari kehadiran aku dan Erin di dalam rumah ini.

"Hah, gayboy udah datang?" Adri kembali muncul di pintu kamarnya.

Adam menoleh kearah Adri dan di sanalah dia baru sadar kehadiranku dan Erin di dalam rumah. Matanya seolah menikam mataku dan keningnya lansung berkerut.

"Apa yang kalian lakukan disini?" Suaranya menunjukkan ketidak sukaan. Erin berdiri dan dengan manjanya mendekati Adam.

"Jadi, kamu yang namanya Adam?" tanya Erin dengan nada manjanya. Adam melarikan pandangan ke wajah Erin dan mengangguk pelan.

"Ternyata kamu jauh lebih ganteng dari yang kubayangkan. Mau gak jadi pacar aku?" ujar Erin secara gamblang dan dengan manjanya menyentuh lengan baju lelaki itu dengan ujung jari. Tapi lelaki itu mengalihkan tangannya. Gerakannya sangat halus, jika tidak di perhatikan baik-baik tidak akan ada yang tau.

"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Adam. Wajahnya jelas menunjukkan ketidak sukaan.

"Ya, ingin ketemu kamu lah. Tadi mereka banyak cerita tentang kamu," jawab Erin.

Rehan sengaja menjauhkan diri seolah ingin melihat aksi Erin menggoda Adam. Sementara John sejak tadi hanya memperhatikan saja sambil menghisap vapenya.

"Ini tempat tinggal lelaki. Tidak baik kamu berada di sini." Adam mulai menunjukkan sisinya yang sok alim. Hatiku tiba-tiba geram mendengarnya. Tapi Erin malah seperti tertantang, semakin mendekati Adam yang belum juga beranjak dari pintu.

"Aku hanya ingin bertemu kamu. Emang itu salah?" Erin membuat muka sayu seolah merajuk.

"Kalau ingin bertamu di luar. Bukan disini." Adam menjawab tenang.

"Oke. Tapi kamu harus berikan nomor ponselmu dulu. Baru aku pergi," balas Erin sambil mengulurkan hpnya pada Adam. Beberapa saat Adam memandang gejet itu seolah sedang membuat pertimbangan. Dan tidak kusangka dia malah menoleh padaku sebelum mengambil hp dari tangan Erin.

Aku yakin Adri pasti menyadari pandangan Adam sesaat tadi, karna Adri lansung duduk di sampingku dan memelukku.

"Yei! Makasih ya ganteng." Erin bersorak riang. "John, tolong antarkan aku pulang?" sambungnya tanpa mengalihkan pandangan dari Adam.

Jahn melepaskan keluhan halus, tapi dia tetap berdiri dan menarik tangan Erin keluar.

"Bye, ganteng! Nanti aku telpon ya, jangan sampai gak di jawab?" Masih sempat Erin melambai manja sebelum hilang di balik pintu.

"Gue pikir bakal immune. Tapi sekali melihat cewek seksi luluh juga."

Suasana berubah tegang kala Adri melontarkan ejekan.

Kulihat wajah Adam biasa saja, malah dia seperti menajamkan pandangannya padaku.

"Winda, saya tahu, kamu adalah perempuan baik-baik."

Kata-katanya yang singkat itu cukup membakar hatiku, lalu aku berdiri. "Lo itu munafik! Apa masalah Lo kalau pun gue menghabiskan malam bersama kekasih gue? Siapa Lo, hah? Gak usah sok sibuk mengurus urusan yang bukan jadi masalah Lo!" bidasku penuh emosi.

"That's my girls!" Adri bertepuk tangan seolah mendukung apa yang kulakukan. Lalu dia berdiri dan mencium pipiku.

"Kalau sudah selesai, aku tunggu di kamar, baby," bisik Ad tepat di sebelah telingaku, lalu dia beranjak kekamarnya.

"Ya, saya bukan siapa-siapa. Tapi sungguh, saya tidak sanggup melihat kamu di perlakukan seperti ini." Adam kembali bersuara.

"Shut up! You just Gabe your number to Erin, for what? Jangan pikir gue ini bodoh. Dari cara Lo, gue tau Lo ngarap dia menghubungi Lo kan?"

Adam nyaris tertawa mendengar kata-kataku barusan. Apa dia pikir aku sedang melawak?

"Mengharap dia menghubungi? Sayangnya saya tidak mengharapkan itu sama sekali. Maaf sebelumnya, bukan ingin membanggakan diri. Tapi memang di luar sana banyak wanita yang mati-matian mengejar saya, tapi saya tolak karna saya menghargai mereka."

Jawabannya membuat hatiku bertambah panas. Mau unjuk gigi rupanya. Oke. Kulihat kedua tangan dengan pandangan sinis padanya. "Oh, jadi Lo mau bilang kalau Lo ini orang paling alim lah ya? Manusia suci yang gak ada dosa sama sekali?"

Adam malah tertawa dan entah kenapa marahku tadi lenyap seketika melihat tawanya itu.

"Maksud saya bukan begitu Winda," katanya masih tertawa kecil. "Saya berikan nomor pada Erin bukan mengharap dia menelpon saya, tapi saya ingin dia segera pergi. Itu saja," terangnya sambil melangkah kearah kamar Rehan.

"Winda, kalau kamu masih menghargai dirimu sendiri. Sebaiknya pulanglah." Dia kembali bicara dengan suara pelan sebelum melanjutkan langkah masuk kedalam kamar Rehan.

Baru aku sadar ternyata hanya aku dan dia saja yang ada di ruang tamu ini.

Aku menghela nafas lega karna tidak perlu lagi berdebat dengannya. Namun, marahku tadi belum sepenuhnya hilang. Aku masih sakit hati dengan sikapnya yang sok alim. Perlahan aku menoleh kearah pintu kamar Adri yang tertutup. Karna masih geram dengan Adam, aku melangkah juga masuk kekamar itu.

Tapi tak kusangka Adri malah sudah tidur. Mungkin efek permen neraka yang di konsumsinya tadi.

Kutinggalkan nota untuk Adri sebelum keluar dari kamarnya. Hati masih menyimpan dendam

dengan gaya Adam tadi yang masih sok alim.

Dia pikir dia bisa merendah dan tetap terlihat paling suci? Oke. Kita lihat siapa yang akan tunduk nanti?

Misi sukses

"Hah? Lo serius mau ngelakuin itu?" tanya Rehan seolah tak percaya dengan ide gila yang baru saja kusampaikan.

"Ad, Lo nggak apa-apa Winda ngelakuin itu?" Kali ini John yang bertanya.

Sebelumnya aku memang sudah mengatakan rencanaku ini pada Adri dan dia setuju.

"Gue udah gak tahan dengan gay-boy yang sok alim itu. Kalau ini cara untuk menghajar dia, where not?"

Jawaban Asri membuat Rehan dan John saling berpandangan, masih tidak percaya.

"Percuma. Gue yakin, dia gak akan tunduk. Tau gak, dia bangunkan aku subuh," ujar Rehan.

"Seberapa Lo yakin?" Adri menantang keyakinan Rehan.

"1000%," jawab Rehan mantap.  "Oke lah, Winda emang menggoda, gue gak bisa bohongin itu. Tapi gue gak yakin Adam akan tergoda dengannya. Karna dia itu lain."

"Mau taruhan?" John menantang.

"Oke. Siapa takut. Siapa kalah, bulan ini dia yang bayar kontrakan sendiri? Gimana?" Rehan menepuk meja hingga air minuman dalam gelasku keluar.

"Oke! Deal! Kalau dia tergoda dengan Winda gue bayar kontrakan bulan ini. Plus gue tambah gopek buat jajan Lo." John mengulurkan tangan untuk menyetujui taruhan mereka dan Rehan menyambut tanpa ragu.

"Deal!"

***

Dengan menggunakan tanktop di padukan skinny jeans, malam itu aku kerumah Adri seperti yang kurencanakan. Sesampainya disana hanya ada aku sendiri. Adam belum pulang. Tanpa sungkan aku masuk ke kamar Rehan, menutup pintu dan duduk di pinggir ranjang. Mataku menangkap sebuah kasur tipis di sebelah ranjang Rehan, mungkinkah Adam tidur di sana selama beberapa hari ini?

Di banding dengan tempat tidur Rehan, kasur di bawah lebih tertata. Selimut terlipat rapi di atas bantal, alas kasur juga terlihat kencang.

Mataku yang terus mengedar dalam kamar itu, menangkap sebuah koper kecil di atas meja komputer. Itu pasti milik Adam. Ada sebuah fail di atasnya. Penasaran aku pun bangun dan mengambil kertas itu. Fix, ini memang milik Adam.

Fail itu, berisi data-data dirinya. Kubaca sekilas kertas itu.

Name: Umarussadam Abdullah.

Age: 25 years

Marital status: Single

Nationality: Indonesian

Ethnicity: Half Siamase Chinese, Half German.

Terbelalaku mataku membaca darah keturunan Adam. Siamase Chinese German?

"Winda!"

Tiba-tiba satu suara menegurku reflek fail yang kupegang terlepas karna kaget. Cepat-cepat aku menunduk mengambil fail ity dan meletakkan ke tempat semula sebelum menoleh ke sumber suara.

"Eh, Adam." Aku berusaha tetap tenang, menyembunyikan rasa cemas yang tiba-tiba menjalar saat melihat wajahnya yang serius.

Kedming Adam berkerut, matanya tertujubpada fail yang kubaca tacy sebelum memandang kedalam mataku kembali.

"Apa yang Winda lakukan di kamar ini?" tanyanya penuh selidik sambuk meletakkan tas jinjingnya diatas meja komputer Rehan.

Sekarang jarakku dan dia tidak lah jauh.

"Tadinya nyari Rehan sih, tapi dia gak ada. Yang lain pun gak ada," jawabku berusaha setenang mungkin, kemudian kembali duduk di pinggir ranjang yang menghadap ke meja itu sambil memperhatikan Adam melonggarkan dasi, di kerah kemejanya.

"Oh. Sekarang tolong keluar ya? Tunggu Rehan di luar saja," katanya lagi sambil bersandar di meja komputer.

"Gak mau nanya kenapa aku mencari mencari Rehan?" tanyaku lembut.

Sebelah alis Adam terangkat, mungkin dia kaget dengan perubahan sikapku dan aku yakin aku berhasil menangkap matanya saat singgah di dadaku sekilas.

"Bukan urusan saya." Cepat-cepat dia mengalihkan pandangan ke arah lain dan memejamkan mata.

Aku tersenyum kecil. Kesempatan itu tidak kusia-siakan, segara aku berdiri dan mendekatinya yang masih bersandar di meja komputer.

Membulat mata Adam karna kaget saat membuka mata mendapati aku yang sudah berdiri tepat di depannya. Tubuhnya juga melompat kebelakang, menghindariku.

"Tentu akan jadi urusanmu. Kamu kan satu kamar dengan dia," kataku lembut bersama senyum manis kuhadiahkan padanya, tapi dia malah menangkup matanya dengan tapak tangan.

"Tolong, Winda! Jangan seperti ini. Saya bukan Adri," mohonnya dengan sura bergetar. "Tolong keluarlah, saya tidak akan memberitahukan pada siapa pun."

"Kenapa kamu gak mau melihat saya? Why? Apa wajahku ini terlalu jelek?" Aku luahkan kata-kata itu dengan suara sedih. Lalu kuambil tangannya karna dia hanya diam saja.

Adam kembali terlonjak dan berlari ke sisi ranjang, membelakangiku.

"Winda, tolong keluarlah," pintanya tanpa memandang padaku. Makin sakit rasanya hatiku dengan perlakuannya ini. Tidak mungkin dia se alim yang di katakan Rehan. Aku merasa semakin tertantang ingin menaklukkannya. Perlahan aku mendekat dan memeluknya dari belakang. Terasa betapa tegap tubuhnya saat kupeluk dan aromanya begitu maskulin.

"Adam, aku gak minta banyak. Aku hanya minta sedikit, please." Kali ini dia tidak kaget berlebihan seperti tadi dan menjauhkan diri dariku. Tapi tangannya perlahan melerai pelukanku dan berbalik. Kini posisi kami saling berhadapan. Sangat dekat.

"Winda." Panggilnya penuh hasrat.

Aku sedikit mendongak melihat iris matanya dan tanganku coba kembali memeluknya, tapi tanganku di tahannya. Kukira dia akan melepaskan, namun kedua tanganku masih di tahannya.

"Winda, sadarlah! Yang kamu lakukan ini salah." Suaranya masih tegas, namun ada kelembutan yang bisa kutangkap. Matanya menikam tepat di mataku. Deru nafasnya nyaring di telingaku.

Aku tersenyum dalam hati. Mulutnya mungkin menolak perlakuanku ini. Tapi aku tahu, pertahanannya mulai melemah.

"Apa dimatamu aku ini gak cantik? Atau aku ini begitu jijik di matamu, sampai kamu gak mau menyentuhku?" tanyaku pelan sambil mataku memandangnya penuh simpati.

Deru nafas Adam semakin cepat, mungkin karna marahnya telah bercampur nafsu. Tanganggu yang di cengkramnya perlahan mulai longgar.

"Adam, come on! Aku janji ini hanya akan jadi rahasia kita berdua," bujukku dan dia lansung menggeleng tidak setuju.

"Tidak, Winda. Tolong keluarlah, jangan siksa saya seperti ini." Suaranya lemah penuh permohonan, dan tanganku juga di lepasnya. Dia menangkup lagi kedua matanya dengan tapak tangan.

Karna terlalu geram dengan reaksinya yang sok jaim, lansung saja tanganku mengusap resletinga celana hitamnya.

Keras.

"Winda!" Adam tersentak mungkin karna kaget dengan aksiku yang nekat, sehingga dia terduduk di sudut ranjang  ketika tadi sempat terlonjak kebelakang.

Kesempatan itu tidak kusiakan, aku lansung duduk di atas pangkuannya. Dia berusaha memprotes tindakanku, namun saat posisiku tepat mengenai pusat sarafnya, dia terdiam dan kaku. Dua pasang mata saling berpandangan dan jantungku semakin berdenyut kencang.

"Winda....." Suaranya melemah, matanya separuh terbuka. Dadanya kembang kempis, sementara aku meletakkan jari telunjuk di bibirnya. Lembut.

"Sssthhh.... Sedikit saja," pintaku sambil mengusap rambutnya. Ada perasaan lain yang hadir. Perasaan yang tidak dapat ku ketahui apa. Mungkinkah sama dengan yang kulakukan waktu bercumbu dengan Adri? Tapi sepertinya tidak, deguban jantung ini rasanya berbeda.

Pandanganku jatuh ke bibirnya dan aku bagai terhipnotis untuk merasa kelembutannya menyentuh bibirku. Aku dongakkan kepalanya kearahku, lalu aku tundukkan wajahku menuju bibirnya. Kini bibir kami bersentuhan.

"Sss.... Winda." Adam mendesah memanggil namaku membuat aku semakin bersemangat.

Kulerai ciuman, lalu kupandang matanya dalam-dalam,"Kiss me back, please, Adam." Aku memohon dan kembali mendaratkan bibir ke bibirnya. Kali ini Ada membuka mulut dan membalas ciumanku.

AKU MENANG! AKU BERHASIL!

Ya, harusnya saat itu juga aku berhenti. Aku sudah berberhasil membuatnya menyerah pada nafsu. Harusnya aku mengehentikan permainan itu, bangun dan mengejeknya, mencacinya dengan mengatakan, "Oh, jadi sampai disana aja iman Lo yang sok alim itu?" Itu rencanaku. Tapi sekarang yang terjadi bukan begitu.

Ketika Adam membuka mulutnya membalas ciumanku, aku merasakan satu perasaan lain. Perasaan yang tak pernah aku rasakan sebelum ini. Perasaan yang hadir itu cukup kuat hingga aku tak mampu berhenti untuk melepaskannya. Tubuhku pun makin meliuk-liuk saat Adam meletakkan tangannya di pinggangku.

"Ahh...."

Ciuman Adam terhenti ketika aku mulai menggerakkan pinggulku perlahan diatas pangkuannya. Tangannya kuat mencengkram pinggangku seolah mengaturku agar lebih cepat. Mata kami saling menatap ketika nafsu sama-sama berada di puncak.

Tangannya kuambil dan perlahan kutarik keatas, hingga berada di dadaku. Kemudian aku lepaskan dan aku biarkan tangannya berada di sana. Agak lama dia memperhatikan keberadaan tangannya. Dan saat melihatataku, tangannya mulai meremas perlahan.

Mungkin karna melihat reaksiku yang begitu ter-bakar gairah dengan sentuhannya itu, dia mengalihkan sebelah tangannya lagi dan melakukan hal yang sama. Aku semakin merapatkan badan kearahnya, dan beberapa kecupan lembut singgah di kulit dadaku.

"Adam..." Aku seperti tidak mengenal lagi suaraku. Gerakan pinggul samakin tak terkontrol dan Adam menarik kepalaku. Bibir kami bertaut kembali, dia menahan kepalaku biar tetap berada disana.

"Winda..."

Suara Adam semakin tercekat. Kecupannya semakin menunjukkan sisi grairah, sedang lidah berterung lidah. Tidak lama, kedua tubuh bergerak semakin liar sebelum kami sama-sama mengejang dan nafas serasa terhenti ketika tiba di puncak. Kami sama-sama terkulai di atas ranjang.

Hening. Yang terdengar hanya suara nafas yang berpacu. Aku diam, Adam pun diam. Masing-masing kamu masih teecagup-cagup mengumpulkan nafas. Tangan Adam masih memelukku. Wajahnya di banjiri keringat, dan entah kenapa hal itu membuat aku tersenyum. Namun senyumku lenyap melihat cairan bening keluar dari sudut matanya.

"Adam," panggilku. Karna dia tidak menyahut aku bergerak memandangnya lebih dekat lagi.

"Adam?" Aku panggil sekali lagi dan panggilan itu berhasil membuat Adam tersentak. Dia lansung bangun dan mengambil handuknya yang tergantung di dinding, melilitkan di pinggang menutup celananya yang basah, kemudian menyeka matanya.

"Saya minta maaf," cicitnya dalam menahan isakan.

Aku bangun dan duduk di pinggir ranjang.

"Semua ini harusnya tidak terjadi. Saya berdosa...saya bicarakan kita berzina," katanya lirih, lalu menangkup wajahnya.

Kata-katanya barusan tidak hanya menghilangkan segala nikmat yang baru kudapatkan bersamanya, tapi malah membangkitkan lagi dendam semalam. Di tambah aku juga khilaf tidak mengikuti rencana, malah menikmati semua.

"Oh, setelah Lo puaskan nafsu. Sekarang Lo ngomong soal dosa?  Waktu sedang enak-enak tadi, Lo lupa dengan dosa? Udah deh, gak usah sok alim lagi. Munafik!" cercaku meluapkan sakit hati, seolah kata-katanya tadi begitu menghinaku.

"Bukan itu maksud saya, Winda. Saya yang berdosa. Saya sadar apa yang kita lakukan, tapi saya tidak cukup kuat menahan diri saya. Saya bersalah. Saya minta maaf." Semakin luruh air matanya jatuh, namun sedikitpun tidak mengikis emosiku.

"Kamu adalah manusia paling munafik!" makiku, dan rasanya itu belum cukup.

"Semua manusia tidak ada yang luput dari dosa. Tapi Tuhan Maha Pengampun. Pintu taubat selalu terbuka untuk kita. Saya ingin kita bertaubat, Winda."

"Taubat? Taubat memerlukan tanggung jawab, jawab Adam. So, tell me, are you going to be responsible for what happened just now! Gak akan, kan? So, sekarang gak usah deh bicara taubat denganku. Gak usah pakai minta maaf. Kalau Lo mau taubat, pergi sana minta ampun dengan Tuhan Lo!" amukku meluahkan marah. Aku benar-benar tidak bisa lagi membendung emosiku.

"Winda--" Adam coba memanggilku lagu, tapi aku abaikan. Aku berdiri, mengeluarkan kunci rumah ini dari kantong celana lalu meletakkan diatas meja komputer.

Aku meninggalkan rumah itu, lagi-lagi dengan  perasaan marah dan ego. Berani dia memutar kead

aan setelah nafsunya terpuaskan. Tak pernah aku merasa terhina begini. Dan yang lebih menyedihkan, aku merasa telah menghianati Adri.

Kekasih seperti apa aku ini?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!