Mengagumi ciptaan sang pencipta memang tiada habisnya. Selalu saja membuat takjub seisi alam semesta yang mengakui bahwa Tuhan itu ada. Membuat nya selalu bersyukur setiap menatap keindahan ciptaan_Nya.
Seperti halnya siang ini, matahari tersenyum dengan sinarnya yang cerah memperlihatkan begitu indahnya langit yang kebiruan. memperlihatkan beberapa awan putih. memperlihatkan suasana yang ceria dengan nyanyian burung-burung yang merdu. Indah.
Selalu saja waktu siang yang selalu membuatnya terpesona, bukan karena malam yang tak indah. Tapi entahlah, apabila siang suasana hatinya terasa cerah secerah cahaya mentari.
Sama seperti sebelum-sebelumnya, ia selalu menyempatkan sedikit waktunya untuk menikmati siang yang menghangatkan. Mengamati apa yang dapat di jangkau oleh penglihatannya dari jendela besar ruang kerjanya. Ya, Angkasa selalu melakukan hal itu sejenak untuk menghangatkan dirinya. Atau hatinya? Entahlah.
Sejauh matanya memandang, menyaksikan kesibukan yang tejadi di luasnya halaman sekolah. Nampak beberapa siswa yang menyiapkan dekorasi sebuah panggung mini di tengah halaman , empat siswa mengatur letak kursi untuk melengkapi meja bundar yang sudah tertata sebelumnya. Di pojok dekat pintu masuk halaman sekolah sudah tertata meja memanjang untuk menempatkan berbagai hidangan. Di tengah ada dua siswa, yang satunya sibuk memerintah , memberi instruksi agar semuanya sesuai dengan yang di konsepkan dan yang satunya lagi sibuk dengan buku dan bolpen di tangannya. Entah apa yang di catat, yang jelas semuanya berkaitan dengan acara yang akan di selenggarakan malam nanti di tempat sekolah mereka. Reuni.
Senyuman tercipta di wajah tampan Angkasa melihat bagaimana seluruh siswanya begitu antusias dalam mensukseskan acara ini. Entah lah tepat atau tidak menyebut mereka dengan siswanya, padahal ia bukanlah seorang guru disitu namun ia begitu bangga menyebut mereka dengan sebutan siswanya.
Ya Angkasa bukanlah seorang guru, melainkan seorang ketua yayasan ...
tok tok tok
"ya masuk,"sahutnya dari dalam.
kreekkk
pintu terbuka memperlihatkan seorang siswa laki-laki dan siswa perempuan yang rambutnya di kuncir kuda. Keduanya tersenyum ramah dan duduk di sofa yang ada di ruangan itu sesaat setelah di persilahkan oleh sang ketua yayasan.
Ruangannya memang tidak besar seperti ruangan CEO sebuah perusahaan, hanya terdapat satu set meja kerjanya, satu set sofa di sudut kiri ruangan tepat menghadap pintu masuk, sebuah lemari besar dan sebuah lemari baca.
"kami mau menyerahkan ini pak." Kata siswa laki-laki tersebut. Tangannya terulur meletakkan map warna biru di atas meja sofa.
" Itu susunan untuk acara reuni nanti malam. Apakah sudah sesuai dengan keinginan bapak?" Sambung siswa yang berkucir kuda .
" Emhhhh ...." Angkasa berpikir sejenak, bingung juga menyampaikan keinginannya. Memang acara reuni ini tercetus dari pemikirannya yang khusus hanya mengundang lima angkatan kelulusan saja. Karena kalau terlalu banyak kelulusan,yang ada bukan menjadi acara reuni untuk bernostalgia karena tidak saling mengenal karena berada pada generasi yang berbeda. Maka dari itu, tercetuslah ide untuk membuat acara reuni sekolah yang hanya lima angkatan kelulusan saja. Di maksudkan agar lebih menikmati acara nostalgia bersama kawan.
"Ada yang salah ya pak?" Tanya siswa laki-laki itu karena Angkasa tak kunjung meneruskan kata-katanya.
" Susunan acara ini tidak salah sama sekali. Hanya saja, untuk yang mengisi acara sambutan perwakilan dari pihak sekolah biarkan pak Irawan selaku kepala sekolah disini. Biarkan saya mengisi acara yang lainnya," kata Angkasa.
"Maaf, bukankah bapak lebih pantas untuk mengisi acara sambutan ini ... Mengingat, bapak adalah kepala yayasan di sini." Sahut Silva.
" Ini bukan perkara pantas dan tidak pantas Silva," pandangannya mengarah kepada siswa berkucir kuda. " Semua orang pantas memberikan sambutan. Bukankah ketua OSIS juga memberikan sambutan?"
" Bukan begitu maksud Silva pak ... Dalam susunan acara ini ada tiga orang yang mengisi acara sambutan. Yang pertama, bapak selaku kepala yayasan. Yang kedua, pak Irawan selaku kepala sekolah. Yang ketiga, ketua OSIS yang merangkap sebagai panitia acara malam nanti." Sambung Edo.
" Begini Edo, sambutannya cukup dari kepala sekolah dan ketua panitia saja sebagai perwakilan. Kalau terlalu banyak yang mengisi sambutan, takutnya nanti jadi membosankan. Untuk acara hiburan atau lain-lain saja yang durasinya di perpanjang, agar acara bernostalgia ini semakin lebih hidup."
Ternyata perdebatannya cukup alot. Bagaimana tidak, menurut mereka Angkasa wajib ada sebagai pengisi acara tersebut.
"Tapi pak ...." Kata mereka serempak.
Angkasa terkekeh sebentar. mengingat suasana yang tercipta jadi sedikit tegang.
" Untuk acara kali ini biarkan saya turut mengisi acara hiburan. Saya akan menyumbangkan suara saya. Bukankah saya masih muda?" Ujar nya di iringi dengan senyum misterius.
kedua siswanya melongo tak percaya dengan apa yang di dengar telinga mereka barusan. Aneh.
******
Siang pun telah berganti dengan malam yang membawa sejuta pesonanya. Bintang bertebaran dengan cahaya bulan sabit yang menghiasi langit. Cerah tanpa gangguan sang awan hitam seolah ikut mendukung acara reuni SMA Garuda.
Acara sudah berjalan sejak sepuluh menit lalu, ketua panitia tengah menuruni anak tangga panggung mini itu seusai memberikan sedikit kata sambutan selamat datang kepada para alumni yang hadir.
Tibalah saat nya untuk acara hiburan, meskipun masih tampak ragu-ragu, sang pembawa acara tetap saja melanjutkan acara sesuai dengan perintah kepala yayasan siang tadi.
" Untuk acara selanjutnya adalah hiburan. dan yang pertama mengisi acara hiburan adalah bapak kepala yayasan sekolah, kepada bapak Angkasa Wicaksono kami persilahkan."
Tepuk tangan bergemuruh. Beberapa panitia tampak tidak yakin dengan keberadaan angkasa di panggung sana. Bukan karena ragu akan kemampuan Angkasa, akan tetapi posisi Angkasa yang membuat anak didiknya itu ragu bila Angkasa andil dalam acara hiburan, apalagi menyanyi. Bagaimana dengan wibawa nya selama ini? Entahlah, bahkan sekarang di otak mereka meragukan Angkasa apakah bisa membawakan lagu?
Lain para panitia, lain pula dengan para Alumni, tepatnya pada kelulusan lima tahun yang lalu. Mereka bersorak senang, seolah adanya pria berkemeja biru langit di atas panggung dengan memangku sebuah gitar adalah hal yang mereka tunggu-tunggu. Seolah sangat merindukan sosok pria tampan di atas panggung sana.
Suara petikan gitar itu mulai terdengar, merangkai sebuah nada yang begitu indah di dengar seolah mengobati rindunya akan masa sekolah yang dulu mereka lalui dan juga menjawab atas tanya mereka yang meragukan kemampuan Angkasa.
Alih-alih memilih lagu dengan tema yang pas buat nostalgia seperti halnya lagu alm.chrisye, Angkasa malah membawakan lagu 'dia' Sammy Simorangkir.
*dia hanya dia di dunia ku
dia hanya dia di mataku
dunia terasa telah menghilang
tanpa ada dia di hidupku
sungguh sebuah tanya yang terindah
bagaimana dia merengkuh sadarku
tak perlu ku bermimpi yang indah
karena ada dia di hidupku*
Tepat saat memasuki bagian reff lagu itu, penglihatannya menangkap sosok yang selama ini ia cari. Sosok yang begitu amat sangat di rindukannya. Kehadirannya semakin menyempurnakan penghayatannya dalam membawakan lagu nya.
ku ingin dia yang sempurna
untuk diriku yang biasa
ku ingin hatinya ku ingin cintanya
ku ingin semua yang ada pada dirinya
Pandangannya terus mengikuti geraknya yang melangkah dengan anggun mencari tempat duduk yang masih kosong. Sepertinya dia baru saja datang, hingga langkahnya terhenti di tempat duduk kosong paling belakang tepat di bawah pohon cemara yang memang sengaja di tanam di halaman sekolah.
ku hanya manusia biasa
Tuhan bantu ku tuk berubah
tuk miliki dua tuk bahagiakannya
tuk menjadi seorang yang sempurna....
untuk dia...
Sempurna. lagu itu terselesaikan secara baik. musik yang indah di padu dengan suara yang merdu, apalagi di tambah dengan penghayatan yang baik. Bukankan itu sesuatu yang menakjubkan? Wow.
*******
" Nggak nyangka banget, ternyata pak Angkasa seromantis itu," kata salah seorang siswa yang tergabung dalam panitia malam itu.
" Iya, gue juga gak nyangka ... mau dong, jadi pacarnya," sahut yang lainnya.
" Pak Angkasa, i love you."
" Ach, jadi baper gue ...."
" Apa gini ya? Rasanya di romantisin."
Bisikan-bisikan alay ala anak sekolah mengiringi langkah Angkasa menuruni tangga panggung. Namun ia tetap acuh. Hanya satu yang menjadi fokusnya malam ini 'dia'.
Dan tanpa mereka semua sadari ada sepasang mata yang memandang Angkasa dengan tatapan cinta yang membara dan tatapan penuh benci kepada mereka semua yang menatap kagum ke arah Angkasa.
******
Detak jantung nya semakin menggila mengiringi langkahnya yang semakin mendekat kepada dia yang selama ini dirindukannya. Mengisi kekosongan harinya hanya dalam ingatannya saja. Menjadikan hatinya terasa hampa.
Detakan jantungnya masih sama seperti lima tahun lalu, tidak ada yang berubah.
" Detak jantung ini masih sama. Berdetak untukmu. Dan hati ini juga masih sama, hanya bergetar menyebut namamu ...." Batin Angkasa.
deg deg deg.
Langkahnya terhenti tepat satu meter di belakangnya. Tarik nafas, buang nafas. Hanya dengan menghela nafas panjang yang menjadi harapan Angkasa untuk menghilangkan kegugupannya sebelum memanggil namanya....
"Senja ...."
******
***hai hai hai
ini karya pertamaku ... Semoga para readers menyambut karya ini... Semoga***.
Lima tahun lalu
Pagi itu tampak cerah, udaranya begitu sejuk. Tetes embun pagi masih belum mengering, semakin menyejukkan hawa pagi ini.
Di dalam sebuah rumah sederhana, tampaklah seorang gadis berseragam putih abu-abu tengah menghadap cermin. Mengamati, menelisik penampilannya. Baju putih pendek yang dimasukkan ke dalam rok abu-abunya yang panjang, tidak lupa juga ikat pinggang melengkapi pakaiannya. Rambut ikalnya yang sepunggung di kuncir kuda. Tidak ada polesan make up pada wajahnya. Semuanya natural. Mata cokelat yang indah dengan bulu mata lentik serta alis yang terbentuk secara natural. Hidung kecil yang bangir serta bibir tipis yang merah alami. Wajahnya begitu menyiratkan kecantikan alami. Cantik.
Sudut bibirnya tertarik membentuk sebuah senyuman. Penampilan sempurna, begitu menurutnya.
Ini adalah hari pertama ia masuk sekolah setelah dua minggu lalu libur kenaikan kelas. Bukankah hari ini harus di sambut dengan suka cita? Ah ... Senja sudah tidak sabar untuk sampai di sekolah.
Ya, dialah Senja Husein. Seorang gadis yang mencintai dunia sekolah. Tidak pernah sekalipun ia mengeluhkan tugas sekolah yang seabrek meskipun banyak diantara teman-temannya yang mengeluhkan hal itu. Meskipun banyak dari mereka yang memilih nongkrong di cafe dari pada di pusingkan dengan urusan phytagoras. Atau bahkan lebih memilih nonton bioskop dari pada bertemu dengan teori si jenius Einstein. Ah ... Senja adalah siswa langka yang merindukan tumpukan tugas tugas sekolahnya.
Di raihnya tas sekolah di atas meja belajarnya setelah memastikan tidak ada yang salah dengan penampilannya. Di sampirkan tas punggung itu pada kedua bahunya sembari melangkahkan kaki keluar kamar untuk berangkat ke sekolah.
******
Di parkiran sekolah seorang siswa tengah turun dari motor ninjanya. Topi terbuat dari setengah bola plastik yang di kasih tali rafiah bertengger di kepalanya. Tas sekolah dari kantong plastik bermotif Zebra, merah putih tersampir pada bahunya . Sepatu bertali yang talinya sudah berganti dengan tali rafiah. Ah ... Jangan lupakan dengan seragam biru putih yang masih melekat pada badannya. Dengan melihat penampilannya saja semua yang melihat tau bahwa dia adalah siswa baru.
Sepuluh menit lagi bel masuk sekolah. Kakinya melangkah dengan pasti melewati koridor. Ia tidak peduli dengan semua mata yang memandangnya takjub. Tampan dan mempesona. Itu adalah kesan pertama semua orang yang melihatnya.
Bruuuukkkkk.
Tubuhnya membentur sesuatu, membuatnya sedikit terhuyung kebelakang. Ups... bukan sesuatu yang tertabrak olehnya namun lebih tepatnya seseorang. Entah seperti apa awalnya sehingga kejadian itu begitu saja terjadi. Seorang siswi sudah terduduk di lantai koridor. Wajahnya meringis menahan nyeri pada pantatnya.
" Biar ku bantu.." katanya kemudian sambil mengulurkan tangannya.
"Pantas saja langsung jatuh meski kesenggol dikit. Orang kerdil gitu," Begitu batinnya.
Ingin sekali ia menertawakan siswa di depannya. Siswa perempuan berseragam putih abu-abu lengan pendek dengan roknya yang panjang terduduk di lantai. tingginya di taksir hanya seratus lima puluhan. Bukankah terlalu kecil untuk ukuran siswa SMA? Apakah ia tidak tumbuh dengan sebagaimana mestinya?
Tapi cantik juga ... Begitu pujinya dalam hati setelah menertawakan tentang pertumbuhan nya.
Uluran tangannya tersambut. Gadis itu sudah berdiri di depannya.
" Kenalkan! gue Angkasa." Katanya sebelum genggaman tangannya terlepas. Ya siswa baru itu yang tak lain adalah Angkasa.
" Senja ... " Balasnya memperkenalkan diri. " Makasih." Ujarnya kemudian dengan senyuman tulus di wajah cantiknya dan berlalu pergi meninggalkan Angkasa..
cantik banget ... senyuman itu. begitu gumam Angkasa setelah melihat senyuman Senja.
Pandangan matanya mengikuti langkah kaki Senja hingga sosok itu tak terlihat dari jangkauan matanya.Tangannya meraba dada sebelah kirinya. Kenapa jantung ini berdetak lebih keras dari biasanya hanya dengan melihat senyum gadis itu? Kenapa hati ini menghangat hanya dengan senyum itu? Kenapa senyumnya terlihat begitu tulus? Kenapa terasa begitu damai hati ini hanya dengan senyuman sederhana itu? Gelenyer aneh terasa begitu saja di hatinya. Sebuah rasa yang baru saja mampir ke hatinya. Rasa apa itu? mendadak hatinya berbunga-bunga, bahagia. Apakah ini yang namanya jatuh cinta pada pandangan pertama ....
Oh Senja ...
******
" Nah itu dia datang," kata Angga sang ketua OSIS begitu Senja masuk keruang osis. " Jadi gimana? jadi ngisi kelas apa?" Tanyanya kemudian.
Di ruang itu sedang merundingkan pembagian petugas untuk mengisi kegiatan di kelas siswa baru. Semua anggota OSIS di bagi menjadi empat kelompok karena hanya terdapat empat kelas saja yang di tempati siswa baru. Meskipun SMA Garuda adalah sekolahan elit, namun di sekolah ini tidak begitu banyak menerima para siswa baru, alasannya sederhana hanya untuk memenuhi standar pendidikan yang di terapkan. Dengan tidak membludaknya siswa, maka akan lebih memudahkan untuk memperhatikan setiap kemampuan siswa-siswanya agar potensi mereka tergali dengan sempurna. Sehingga menghasilkan para Alumni yang berkompeten.
" Nurut aja deh," jawab Senja. Nafasnya masih sedikit ngos-ngosan setelah lari di sepanjang koridor sekolah menuju ruang osis. Hingga insiden tabrakan dengan seseorang.
" Oke ... Jadi, nanti setiap kelas di isi tiga anggota OSIS. Untuk sisanya membuat laporan dan juga mempersiapkan outbond saat hari terakhir masa orientasi siswa ini. untuk sepuluh A, Ita,Dimas dan Silvia. Sepuluh B, gue, Senja dan Sekar. Untuk
sepuluh C, Indra, Putra dan Sinta. Dan yang terakhir sepuluh D bagian Sandi, Agung dan Trisia."Begitulah pembagian tugas instruksi dari ketua osis yang di setujui oleh semua anggotanya.
******
Senja, Angga dan Sekar sampai di tempat tujuan, kelas sepuluh B. Kelas yang berada di lantai satu, kelas nomer dua dari toilet Putri di lantai itu.
Begitu memasuki kelas itu, siswa di pojok kelas itu begitu mencuri perhatian Senja. Rambut hitam legam sedikit acak-acakan, alis tebal, iris mata coklat, hidung mancung dengan warna kulit kecoklatan. Tampan dan mempesona. Bahkan pada posisi duduk saja dapat di perkirakan tinggi badannya antara seratus tujuh puluh lima sampai seratus delapan puluhan. Bukankah itu pertumbuhan yang berlebihan? Mengingat usianya yang baru lulus SMP. Atau mungkin dia sempat menunda sekolahnya setelah lulus SMP? Atau mungkin dulunya dia telat masuk sekolah? Eh ... Tunggu, tunggu. Apabila rambut itu di beri sentuhan Pomade, di sisir rapi, bukankah dia terlihat sebagai pria dewasa?
Senja segera menggelengkan-gelengkan kepalanya, mengusir pemikiran itu dari kepalanya. Bagaimana mungkin seseorang yang bertabrakan dengannya dengan seragam SMP yang melekat pada tubuhnya adalah seorang yang dewasa? Tidak mungkinkan?
Senggolan pada pundaknya sukses menarik kesadaran Senja.
" Kenapa?" Tanya Sekar, berbisik dengan senyumnya. Senja menggeleng sebagai jawaban tidak ada apa apa.
" Oke! Sekarang giliran kalian semua satu per satu memperkenalkan diri. Bukankah peribahasa mengatakan 'tak kenal maka tak sayang'? Maka dari itu lah perkenalkan diri kalian. Berdiri dari tempat duduk kalian dan sebutkan nama!" Begitu kata Angga untuk sesi perkenalan itu. Jika sekarang giliran para siswa baru memperkenalkan diri mereka, maka itu artinya Senja, Angga dan Sekar sudah memperkenalkan diri? Dan Senja tidak menyadari itu. Senja menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha mengembalikan fokusnya kembali.
Sesuai perintah sang ketos, semuanya memperkenalkan diri. Di mulai dari sebelah kanan barisan depan. Hingga tiba saatnya giliran siswa yang duduk di pojok belakang.
" Hallo ... Nama saya Angkasa," katanya sambil tersenyum. Pandangannya tak lepas dari siswa cantik berkucir kuda di depan kelasnya yang tadi sempat dikatainya kerdil. "Seharusnya tidak perlu ada perkenalan semacam ini. Bukankah kita sudah saling mengenal ... kak Senja?" Begitu lanjutnya. Mengedipkan sebelah matanya kearah Senja dengan senyuman menggoda.
Semua seisi kelas mengarahkan pandangannya ke arah Senja dan Angkasa secara bergantian. Kata-kata Angkasa menimbulkan begitu banyak pertanyaan yang bersarang di benak mereka semua. Apakah benar Senja dan Angkasa saling mengenal? Bagaimana bisa mereka saling mengenal? Apakah mereka Tetanggaan? Apakah mereka berasal dari SMP yang sama? Ataukah ada suatu hubungan di antara mereka?
Begitu banyaknya pertanyaan- pertanyaan yang tercipta di benak mereka semua. Yang terlukis dengan jelas melalui wajah yang penuh dengan tanya. Namun, Angkasa hanya acuh. Membiarkan pemikiran mereka semua berkelana. Sedangkan Senja, berharap dirinya punya kekuatan magis yang langsung bisa membuat dirinya menghilang dari hadapan mereka hanya dengan kedipan mata. Ahhhh ... Malunya.
******
Di kantin sekolah
" Senja ... Emang kamu beneran kenal sama anak baru tadi?" Tanya Sekar begitu bokongnya mendarat di kursi kantin. Dirinya begitu penasaran dengan kata-kata Angkasa tadi.
Pertanyaan dari Sekar menarik perhatian Sinta dan Silvia. Sejenak mengalihkan pandangan mereka dari layar ponsel demi ingin mengetahui pembicaraan Sekar dan Senja. Mereka berempat sudah bersahabat sejak pertama kalinya menginjakkan kaki sebagai siswa baru di SMA Garuda ini. Seorang pelayan kantin datang ke meja mereka. Meletakkan tiga mangkuk bakso ke hadapan Silvia, Sekar dan Sinta serta empat gelas es teh kehadapan mereka berempat. Hanya Senja yang tidak makan bakso karena sudah kebiasaannya membawa bekal dari rumah.
" Emhhh ... ya kenal". Jawab Senja sambil menyuapkan sesendok nasi goreng bekalnya dari rumah. Bukankah memang dia kenal dengan Angkasa karena memang mereka tadi sempat berkenalan sebelum masuk kelas.
Mendengar jawaban Senja, sontak membuat mata Sekar melotot. Bagaimana mungkin sosok Senja yang tidak pernah terlibat hubungan dengan laki- laki kini mengakui telah mengenal sosok Angkasa. Di tambah lagi wajah Senja tadi di kelas yang terlihat memerah. Malu. Itulah yang tertangkap pandangan mata Sekar, sehingga menggiring opini bahwa mereka mempunyai hubungan khusus.
" Kalian bahas apa sih?" Tanya Silvia penasaran.
" Iya. Jangan bikin penasaran dong?" Sambung Sinta.
Sekar pun menceritakan kejadian tadi di kelas sepuluh A. Semuanya. Lengkap dengan kata-kata Angkasa.
" What!" Pekik keduanya setelah mendengar cerita singkat itu. Hampir saja bakso yang ada pada mulutnya menyembur keluar saking terkejutnya.
" Jadi beneran ... kalian saling kenal?" Tanya Sinta setelah berhasil menelan bakso yang ada di mulutnya dengan susah payah.
" Apa kalian ada hubungan? Atau kalian pacaran?" Tanya Silvia, setelah sejenak menyedot es teh manis pesanannya.
Senja memijat pelipisnya. Tidak mengerti dengan semua pertanyaan sahabat-sahabatnya. Dia sudah berkenalan dengan Angkasa berarti dia dan Angkasa memang saling mengenal. Lalu kenapa respon mereka berlebihan seperti itu?
Hhhhahhhhh
Senja menghela nafas sejenak, sebelum menjawab pertanyaan sahabat-sahabatnya.
" Ayo, jawab Senja! Jangan bikin kita kita mati penasaran." Kata Sekar tidak sabar.
" Ish ... kau ini tidak sabaran." Senja menabok tangan Sekar. Kebetulan mereka duduk bersebelahan, memudahkan Senja menabok tangan Sekar sebagai bentuk protesnya." Tadi pagi aku sempat berkenalan dengan siswa baru itu. Saat aku lari ke ruang osis, tidak sengaja menabrak dia. Sehingga perkenalan singkat itu terjadi. Kami saling menyebutkan nama. Bukankah itu artinya aku dan dia saling kenal? Udah gitu aja." Jelas Senja.
"Oh ... begitu," Sinta dan Silvia mengangguk mengerti. Lain halnya dengan Sekar yang kini menatap Senja dengan memincingkan matanya penuh curiga. " Beneran?" Begitu tanyanya.
" Ya bener lah." Jawab Senja tanpa ragu sedikitpun.
" Tapi kok, aku curiga ya? Kenapa Angkasa bicara seperti tadi? Seolah kalian memiliki suatu hubungan."
" Entahlah. Aku juga nggak tau kenapa dia bilang gitu. Dan ... Itu bikin aku malu banget. Gimana aku menghadapi kelas itu nanti?" Pandangannya menerawang, membayangkan apa yang akan terjadi nanti, di kelas itu.
Setelah itu, mereka fokus pada makanan masing, masing-masing. Takut keburu bel masuk berbunyi. Dan benar saja, tepat sesaat setelah makanan yang di hadapan mereka habis, bunyi itu terdengar.
trriiiiinnngggg
Bunyi lonceng sekolah menggema. Menandakan jam istirahat telah usai. Ke empat sahabat itu meninggalkan kantin sekolah tanpa mereka sadari, seseorang telah mencuri dengar pembicaraan mereka.
" Syukurlah ... tidak seperti yang aku pikirkan. berarti masih ada kesempatan." Katanya penuh dengan kelegaan yang luar biasa.
******
Happy reading all....
Apa yang di takutkan Senja nyatanya tidak terjadi. Kelas sepuluh B tetap kondusif, tidak ada lagi desas desus gosip antara dirinya dan Angkasa. Semuanya aman terkendali hingga menunjukkan jam pulang sekolah.
syukurlah ... begitu batinnya.
Kakinya melangkah meninggalkan kelas dengan pasti. Menyusuri sepanjang koridor sekolah sampai ke gerbang sekolah untuk menunggu angkutan umum yang biasa membawanya pulang ke rumah.
Tepat pada koridor terakhir, sebuah tangan menarik pergelangan tangannya. Mengubah haluan jalan yang seharusnya ia lalui. Langkah kakinya di pandu untuk menuju ke arah parkiran sekolah dan berhenti disana. Pegangan pada tangannya di lepas begitu tiba di parkiran. Pandangannya mengarah pada sosok yang tadi menarik tangannya ke tempat ini. Angga.
"Ada apa?" Tanyanya heran. Kenapa Angga membawanya ke parkiran sekolah.
"Emh ... Senja. Ada yang mau gue omongin ke elo," jawab Angga.
" Ngomong aja Ngga."
" Tapi nggak disini tempatnya. Gimana kalau ngomongnya di cafe depan sekolah?" Usulnya pada Senja.
" Emang sepenting apa, sampai kamu harus ngomong di cafe?" Heran Senja.
" Ya, ini penting banget buat gue."
Setelah mengatakan bahwa apa yang akan Angga sampaikan adalah hal penting, maka keduanya menuju ke cafe yang tak jauh dari sekolah mereka dengan naik motor Angga. Hanya perlu menyebrang jalan dan ke arah kanan sekitar setengah kilo dari gerbang sekolah. Sampai.
Cafe itu tidak begitu ramai, hanya tampak beberapa pengunjung yang ada di dalamnya. Keduanya memilih duduk di kursi bawah jendela. Membuat mereka dapat menikmati keindahan taman mini yang di miliki cafe tersebut.
Sengaja mereka tidak memilih tempat duduk di taman itu, karena Angga tau bagaimana Senja. Gadis itu tidak akan merasa nyaman dengan kebersamaan mereka yang terlihat semua orang. Mengingat ini adalah jam pulang sekolah. Banyak para siswa yang melewati cafe tersebut dan tentu saja banyak yang akan melewati cafe itu. Dan ... jika banyak yang melihatnya, maka akan menimbulkan gosip di lingkungan sekolah. Bukankah tidak akan nyaman jika di jadikan bahan gosip?
" Jadi mau ngomong apa?" Tanya Senja setelah memesan minuman dingin kepada pelayan Cafe.
" Mungkin ini bukan pertama kalinya gue ngomong ini ke elo Senja," katanya memulai.
Deg.
Mendengar itu, Senja tau kemana arah pembicaraan yang di bawa oleh Angga. Entah bagaimana lagi Senja akan menyampaikan jawabannya nanti. Yang sama sekali tidak akan berubah meski Angga menyampaikannya puluhan, ratusan atau bahkan ribuan kali. Masih sama.
Sejenak pembicaraan mereka terhenti ketika pelayan mengantarkan dua minuman pesanan mereka.
" Gue sayang sama elo. Gue cinta sama elo Senja," begitu katanya setelah pelayan meninggalkan meja mereka.
Tuh kan? Tepat sasaran. Senja sangat tau apa yang akan di ucapkan oleh Angga. Sejak dulu saat Senja masih duduk di bangku kelas sepuluh, Angga sering menyatakan cinta kepadanya. Dan sekarang? Entah sudah ke berapa kalinya. Senja harus menyiapkan jawaban yang pas tanpa ada yang tersakiti di antara mereka. Ia masih menyimak apa yang akan keluar dari mulut Angga.
" Entah gimana lagi cara gue buat ngeyakinin elo kalau gue serius. Gue gak pernah main main dengan kata kata gue. Jadi, please! Kasih kesempatan buat gue bikin elo bahagia, Senja." Begitu lanjutnya dengan setulus hati.
Sejenak Senja meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Ia bingung untuk menjawabnya dengan kata apa. Ia sudah punya jawabannya tapi masih sulit menemukan kata yang tepat untuk memulai nya ." Maaf ...." Ya, sepertinya hanya kata maaf yang cocok sebagai awalan sebuah jawaban atas tanya yang di ajukan padanya. Lagi, lagi dan lagi ia menghela nafas nya. Pandangan matanya menunduk menatap lantai sebelum melanjutkan kalimatnya. "Jawaban aku masih sama Ngga, aku tidak mau pacaran, aku mau fokus sama belajarku. Aku mau fokus sama cita citaku. Dengan kamu mau menjadi temanku, itu sudah lebih dari cukup buat aku bahagia Ngga ... jadi, tolong! Jangan buang waktu berhargamu untuk sayang sama aku. Karena aku juga tidak bisa menjanjikan apapun ke kamu." Tolaknya halus.
" Please ..." katanya memohon. "Bagaimana setelah lulus sekolah?" Tanyanya kemudian penuh harap.
Hhhhahhhhh
Sejenak Senja menghela nafas panjang. Lagi. Di saat seperti ini yang ada di hadapannya seperti bukan sosok Angga yang Senja kenal. Dia begitu terlihat lemah dan frustasi. Sangat berbeda dengan sosok Angga yang tengah memimpin rapat OSIS di sekolah nya, begitu tegas dan berwibawa.
Byyyuuuurrrr.
Tiba-tiba saja baju Senja basah. Seseorang sengaja menyiram bajunya dengan minuman yang ada di mejanya. Sebuah minuman yang tadi di pesannya. Reflek ia berdiri dari duduknya mengibaskan bajunya agar basah nya tidak sampai ke dalam.
" Jadi cewek nggak tau diri banget sih lo!" Teriaknya penuh dengan amarah." Ngaca dong! Pakai pelet apa sih lo, sampai Angga bertekuk lutut sama lo?" Maki seseorang yang menyiram minuman ke bajunya. Wajahnya memerah dengan nafasnya yang naik turun. Menandakan ia sedang di kuasai oleh amarah." Seharusnya elo bersyukur ... Angga suka sama lo. Seharusnya bukan Angga yang lo tolak tapi Angga yang nolak lo. Elo nggak pantas sama sekali untuk Angga." Bentak Trisia berapi-api.
" Cukup Trisia!" geram Angga. Tangannya menarik kasar tangan Trisia supaya menjauh dari Senja. Ia tidak ingin Trisia menyakiti Senja lebih dari itu. Sudah cukup. Yang dilakukan Trisia begitu keterlauan. Memaki seseorang yang tidak bersalah di hadapan umum hingga menjadi tontonan gratis para pengunjung cafe itu.
Ya, orang yang datang tiba tiba menyiram Senja adalah Trisia, teman seangkatan mereka dan juga sesama anggota OSIS. Entah apa yang menjadi kesalahan Senja, hingga awal pertemuan nya dengan Senja pandangannya selalu menyiratkan permusuhan. Seolah mengatakan 'gue benci elo' melalui sorot mata nya itu.
Sampai sekarangpun Senja belum mengetahui apa kesalahannya. Ya, satu-satu nya hal yang ia tau adalah perasaan Trisia yang bertepuk sebelah tangan kepada Angga. Dan kenyataan yang menamparnya keras bahwa Angga hanya mencintai Senja. Mungkin itulah yang membuat nya selau ingin menguliti Senja kala bertemu pandang dengan gadis mungil itu.
Tubuh Senja hanya mematung. Otak nya masih mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Ia hanya berdiri seperti orang linglung dengan keadaan yang basah kuyup. Dan jangan lupakan air minum yang berhasil menembus hingga ke kulit tubuhnya. Dingin.
Setelah Angga berhasil menyingkirkan Trisia dengan susah payah. kini langkahnya kembali memasuki cafe. Menuju tempat duduk dimana tadi ia dan Senja duduk.
Kosong.
Sudah tidak ada siapapun di tempat itu. Mungkin Senja masih di toilet, membersihkan bajunya yang basah akibat ulah Trisia. Angga memutuskan untuk menunggu saja.
Lima menit berlalu. Rasanya semakin tidak nyaman. Angga berdiri, berjalan mengelilingi seisi cafe untuk mencari keberadaan Senja. Ingin mengantarkannya pulang. Sebagai wujud tanggung jawab dan juga permintaan maaf nya. Namun nihil. Tidak ada Senja di cafe itu.
kemana kamu senja ... batinnya cemas.
" Mas, lihat cewek yang duduk di kursi itu nggak?" Tanyanya kepada salah seorang pelayan cafe yang melintas di depannya.
" Oh ... dia sudah pergi mas. Di jemput sama cowok mas. Mungkin pacarnya, soalnya keliatan perhatian banget cowoknya." Jawabnya dan berlalu pergi.
Jawaban pelayan itu menambah kekalutan yang di rasakan Angga. Cowok ? Pacarnya? Perhatian? Benaknya menerka-nerka apa yang terjadi sesaat setelah meninggalkan Senja di cafe itu. Lalu? siapa cowok yang dimaksud pelayan cafe itu? Bukankah Senja belum pernah terlibat kedekatan dengan siapapun?
"Agrrrrhhhh ...." Teriaknya frustasi. "Bego bego bego! Kenapa nggak nolong Senja duluan? Kenapa malah ngurus cewek nggak jelas itu sih!" Rutuknya penuh dengan penyesalan.
******
Sebuah jaket berwarna hitam tersampir pada tubuh Senja. Membalut, menutupi baju seragamnya yang basah kuyup. Ia menolehkan kepala ke sebelah kanannya sembari mendongakkan kepalanya. Di sampingnya, Angkasa tengah menatapnya dengan teduh. Dan detik berikutnya air mata itu sukses mengalir, menganak sungai melalui pipinya yang sedikit chubby itu. Entah kenapa tatapan teduh Angkasa membuatnya merasa aman seolah ia telah menemukan tempat nya untuk bersandar. Tempat untuk mencurah kan segala keluh kesah yang dirasakannya. Nyaman.
Di detik berikutnya, bukan adegan berpelukan yang selanjutnya terjadi layaknya seperti di film-film. Sebuah pelukan yang tercipta jika sang pemeran wanita tengah menangis bersedih, maka sang pemeran pria akan menyediakan dadanya sebagai tempat tokoh wanitanya untuk bersandar. Bukan seperti itu. Mereka belum cukup dekat untuk melakukan adegan se intim itu. Akan terasa lucu jika baru saja kenalan di hari pertama dan sudah memeluk gadis di hadapannya . Oh my god! Angkasa tidak segila itu.
Angkasa hanya tersenyum dan menarik lembut tangan Senja sambil berucap lirih, "biar gue yang antar elo pulang."
Senja hanya mengangguk mengikuti langkah Angkasa kearah motornya yang terparkir rapi di parkiran cafe. Pikirannya kalut, masih tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Ia tidak menyangka kebencian Trisia terhadapnya ternyata begitu dalam. Sehingga tidak terpikirkan dalam benaknya tentang keberadaan Angkasa di cafe itu Sebuah kebetulan ataukah kesengajaan. Bukankah keberadaan Angkasa di cafe itu terasa ganjil? Namun yang Senja tau bahwa kehadiran Angkasa sangat tepat di saat ia membutuhkan sebuah uluran tangan untuk membantunya keluar dari situasi yang memalukan ini. Ahhh ... Angkasa datang sebagai dewa penyelamatnya.
Motor yang di kendarai Angkasa berhenti tepat di depan sebuah rumah sederhana bercat hijau muda di pinggiran kota.
" Terima kasih," ucap Senja begitu turun dari motor Angkasa. Ia tersenyum tulus. Melepas jaket Angkasa dan menyerahkannya kepada yang punya.
Ahhh ... lagi-lagi senyuman itu. Bisa gila gue. Batin Angkasa.
" Hai," Senja melambaikan tangannya ke hadapan Angkasa yang hanya terbengong. Tidak merespon ucapannya sama sekali.
" Ah, ah ya ... Sama-sama." Katanya tergagap. Tangannya tak tahan untuk tidak mengacak rambut Senja. Gemas sekali dengan gadis mungil yang ada di hadapannya itu. Ah ya, sekarang Angkasa menyebutnya dengan sebutan gadis mungil. Bukan lagi gadis kerdil seperti di awal pertemuan mereka pagi tadi. Ah ... dalam sekejap saja bahasa Angkasa lebih sopan kepada gadis di hadapannya itu, tanpa gadis itu melakukan apapun. Tentu saja sebutan mungil lebih sopan dari sebutan kerdil bukan?
" Ishh ... apaan sih," protes Senja, menyingkirkan tangan Angkasa yang mengacak rambutnya.
" Ya udah gue balik dulu." Pamit Angkasa, meninggalkan halaman rumah sederhana itu.
******
Happy reading... ditunggu ya jejak para readers sekalian...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!