Ribuan tahun lalu, sebelum waktu dicatat dan nama diberi makna, semesta bersaksi atas pengkhianatan yang merobek jantung keharmonian...
Di antara hamparan bintang yang bersinar tenang, tiba-tiba terukir luka besar di angkasa—sebuah retakan yang menyemburkan cahaya merah kehitaman. Suara ledakan sunyi memekakkan semesta, dan tubuh raksasa bersisik hitam keunguan terlontar jauh menabrak gugusan galaksi. Puluhan bintang runtuh seketika hanya karena hempasan itu.
Naga itu mengerang.
Tubuhnya terkoyak. Darah kosmiknya melesat liar, berubah menjadi meteor-meteor mengerikan yang menghujam kehampaan. Sayapnya hangus sebagian, dan tanduk kosmiknya retak seperti kaca pecah.
Namun matanya—dua mata bersinar seakan menampung keseluruhan sejarah semesta—belum kehilangan binarnya.
Sang Naga Semesta, makhluk pertama yang diciptakan oleh Sang Revenant, penguasa dimensi terdalam, kini terluka parah.
Di hadapannya berdiri delapan sosok bercahaya, tubuh mereka berselimut pancaran suci namun dingin. Mereka adalah Penjaga Semesta, pelindung hukum-hukum yang menjaga alam tetap seimbang.
Di atas mereka, mengambang seperti bintang mati yang tak tersentuh, terdapat empat sosok lebih besar—Elder Star, entitas tertua yang mengatur jalannya takdir galaksi.
Naga Semesta mencoba berdiri, napasnya berat, namun matanya tajam menatap mereka.
“Mengapa...?” gumamnya, suara berat itu bergema menembus realitas.
Salah satu Penjaga maju. Sosoknya tidak punya wajah, hanya cahaya. Ia berbicara tanpa suara, namun maknanya tertanam langsung dalam benak setiap yang mendengarnya.
"Ini perintah Elder Star."
Sang Naga menoleh ke atas, menatap keempat Elder Star yang menatapnya dari kejauhan, seolah ia adalah sesuatu yang kotor. Salah satu dari mereka, dengan aura seperti kabut kristal, turun sedikit mendekat.
“Untuk menjaga keseimbangan semesta,” ucap Elder Star itu datar.
“Menjaga keseimbangan...?” Naga Semesta mengulang pelan. Nafasnya mulai menghangatkan ruang di sekitarnya.
“Kalian bicara tentang keseimbangan seakan kalian pernah memahaminya. Selama eon aku tidur, kalian memainkan dunia seperti mainan! Kalian menyebut namaku sebagai ancaman, padahal aku hanya duduk diam mengawasi kalian menghancurkan tatanan yang dulu aku lindungi!”
Elder Star ketiga menjawab, nadanya tajam seperti pecahan logam.
“Lancang.”
“Kau mungkin yang terkuat, tapi hari ini kau sendirian. Hari ini adalah akhir dari keabadianmu.”
Seketika itu pula, Sang Naga Semesta tertawa.
Bukan tawa kegembiraan, melainkan tawa getir yang menggema sepanjang rasi bintang. Suara itu membuat bintang-bintang goyah dari orbitnya. Beberapa bahkan meledak hanya karena riuhnya gaung yang dikeluarkannya.
“Kalian benar-benar... meremehkan aku.”
Sinar ungu keluar dari pori-pori tubuhnya. Bekas luka di tubuhnya kini memancarkan energi liar yang seakan tak terkendali.
“Aku bukan sekadar naga biasa... Aku adalah makhluk pertama ciptaan Sang Revenant. Darahku adalah fondasi dari tata bintang pertama. Nafasku membentuk kabut kosmik yang melahirkan planet-planet pertama! Kalian pikir kalian bisa membunuh aku... hanya dengan jumlah?”
Langit bergetar.
Waktu seperti tertarik. Dan semesta—yang sebelumnya sunyi, kini menggema dengan suara raungan paling mengerikan yang pernah terdengar dalam seluruh sejarah eksistensi.
"AAAAARRRRRGGGGHHHHHHH!"
Itu bukan sekadar auman. Itu adalah kehendak yang dibebaskan. Itu adalah kutukan yang dilahirkan kembali.
Tubuh Naga Semesta menyala dalam warna yang belum pernah dikenali oleh hukum cahaya. Ia membakar esensi kehidupannya sendiri, menyulut kekuatan yang bahkan Elder Star tidak pernah prediksi.
Dalam sekejap, seluruh area medan perang berubah. Dimensi runtuh satu demi satu. Penjaga Semesta mulai gemetar. Mereka bisa merasakan… makhluk di hadapan mereka telah melewati ambang akal sehat.
“Meski aku mati... aku akan membawa kalian semua bersamaku!!”
Itu adalah deklarasi kehancuran.
Salah satu Penjaga mencoba menyerang lebih dulu—melemparkan tombak waktu yang bisa menghapus masa lalu dan masa depan sekaligus. Namun, sebelum tombak itu menyentuh sisik naga, tubuh Penjaga itu hancur seketika, tercabik oleh gelombang kekuatan yang meretakkan dimensi.
Yang tersisa darinya hanya debu berkilau, hilang ditelan kehampaan.
Panik menyebar. Elder Star serentak mengangkat tangan. Masing-masing memanggil kekuatan absolut mereka:
Elder Star Api Purba: menciptakan matahari mini yang meledak terus menerus.
Elder Star Waktu: mencoba memperlambat waktu di sekitar naga, namun gagal.
Elder Star Suara Agung: melepaskan gema yang bisa menghancurkan jiwa.
Elder Star Keseimbangan: menekan ruang realitas agar naga tak bisa bergerak bebas.
Tapi Naga Semesta justru bergerak lebih cepat dari hukum. Ia menerobos waktu. Ia menelan matahari mini seperti camilan. Ia menangkis gema pemecah jiwa dengan raungan yang jauh lebih kuat.
Para Penjaga Semesta mencoba bertahan—tetapi satu per satu mereka menghilang. Dihantam, dibakar, ditelan ledakan bintang yang dilahirkan dari cakar naga. Tak ada waktu untuk menyerang balik. Tidak ada ruang untuk berpikir.
Semuanya menjadi ladang pembantaian kosmik.
Elder Star mulai terdesak. Mereka saling menatap, dan untuk pertama kalinya dalam jutaan tahun… mereka ragu.
“Kita harus menyegel dia sekarang!” teriak Elder Star Keseimbangan.
“Sudah terlambat!” balas Elder Star Api Purba. “Dia sudah melampaui bentuk!”
Namun mereka tahu, jika tak bertindak sekarang—semesta tak akan lagi memiliki bentuk yang utuh.
Dengan tenaga terakhir, mereka membentuk lingkaran besar. Empat kekuatan tertua semesta bergabung, membentuk Segel Nirwana, sebuah penguncian mutlak yang memanfaatkan inti dimensi itu sendiri. Mereka membayar dengan tubuh mereka, menjadikan jiwa mereka sebagai bahan bakar untuk segel itu.
Sang Naga Semesta tahu. Dia tersenyum di tengah kehancuran yang ia ciptakan.
“Jadi... begini caranya kalian mencoba menghilangkan sejarah?”
“Tapi dengarlah ini, wahai bintang-bintang yang bersinar palsu...”
Tubuhnya mulai meledak, bukan karena kekalahan, melainkan karena ia membakar dirinya sendiri hingga ke akar eksistensi. Dan sudah sampai batasnya.
“...Jika aku harus musnah... maka aku akan terlahir kembali.”
“Dan saat aku kembali... kalian semua akan menyadari… bahwa kehancuran yang kalian takutkan—adalah kebenaran yang kalian tolak.”
"Ahh...Maafkan pelayan mu ini tuan Revenant..pelayanmu tidak bisa menjaga semesta yang kau titipkan.."
Dan dalam ledakan terakhir, yang mengguncang jutaan galaksi—semesta terdiam.
Naga Semesta... menghilang.
Segel Nirwana terbentuk sempurna, mengunci kehampaan tempat naga terakhir itu membakar dirinya. Tidak ada satu pun bintang di dekat area itu yang masih bersinar. Wilayah itu kini disebut Kawasan Kosong Abadi—tempat yang bahkan cahaya pun enggan melewati.
Elder Star menghilang. Para Penjaga Semesta pun tak tersisa.
“Jadi ini... rasanya kematian...?”
Sunyi.
Gelap.
Dingin.
Tak ada api bintang. Tak ada gema kekuatan. Tak ada suara, selain detakan waktu yang lambat dan menyayat.
Sang Naga Semesta terombang-ambing dalam kekosongan. Tidak ada bentuk. Tidak ada arah. Hanya dirinya dan kehampaan yang membungkus seperti air yang tak bertepi.
“Sungguh... kosong...”
Tubuhnya tak lagi ada. Ia bahkan tak tahu apakah ia masih hidup, atau sekadar kesadaran yang tersangkut dalam limbo semesta. Semua yang ia tahu hanyalah kesunyian ini... dan rasa... rindu.
“…Tuan Revenant… Aku bahkan... merindukan omelanmu.”
Dulu, setiap kesalahan kecil akan dibalas dengan pukulan kosmik atau kalimat menusuk yang selalu dibalut kebijaksanaan khas sang pencipta. Tapi kini—semua hilang.
“Aku telah membakar diriku sendiri. Aku telah... musnah.”
Namun, di tengah kehampaan itu, sesuatu... berubah.
Cahaya.
Kecil. Hangat. Seolah tak tahu bahwa seharusnya tak ada yang bisa bersinar di sini.
Sang Naga Semesta menoleh—atau merasa seakan menoleh. Cahaya itu muncul dari belakangnya. Tak menyilaukan, tak menuntut. Ia hanya... hadir. Diam.
“Apa itu?”
Tapi sebelum ia bisa mendekat atau bahkan memahami maknanya, dunia yang ia kenal runtuh untuk kedua kalinya.
Ratusan Tahun Kemudian – Dunia Baru
Bintang-bintang telah tersusun kembali.
Galaksi yang sempat meledak pelan-pelan menemukan bentuknya lagi.
Semesta… beradaptasi.
Namun, tak semuanya kembali seperti semula.
Beberapa bintang tak lagi bercahaya. Beberapa planet kehilangan poros.
Dan di beberapa sudut waktu, fluktuasi dari ledakan maha dahsyat itu... terus terasa.
Salah satunya adalah di planet kecil biru bernama Bumi.
Tepatnya… di Korea Selatan, tahun 41XX.
Duk!
Duk!
Duk!
Langkah sepatu logam berdetak keras di lantai rumah sakit. Suara sistem keamanan menyala namun langsung dibungkam oleh kode prioritas militer.
Seorang pria dengan armor tempur berdesain cybernetik, lengkap dengan helm yang baru saja dibuka di lorong, berlari sekuat tenaga. Nafasnya memburu. Matanya penuh kegelisahan.
Para perawat dan pasien menatap penuh tanda tanya, tapi tak ada yang berani menghadang.
“Komandan Ryu?” salah satu perawat berseru kaget, tapi tak mendapat jawaban.
Komandan Ryu berhenti di depan satu pintu ruang rawat. Tangannya gemetar saat menyentuh gagangnya, lalu mendorongnya perlahan.
Dan saat itu…
dunianya berhenti.
Di dalam, terbaring seorang wanita dengan wajah lelah tapi bersinar. Rambutnya sedikit acak-acakan, dan keringat masih membasahi pelipisnya. Namun bibirnya tersenyum.
Di pelukannya, seorang bayi mungil sedang tertidur.
“Kau... akhirnya datang juga…” suara wanita itu lembut, serak, namun hangat.
“Jadi... mau diberi nama apa anak kita...?”
Komandan Ryu tak bisa langsung menjawab.
Lututnya hampir lemas. Ia berjalan pelan, lutut gemetar seperti remaja jatuh cinta untuk pertama kali.
Tangannya terangkat, menyentuh bahu istrinya... lalu menatap bayi kecil itu dengan mata yang mulai berkaca.
“Aku… sudah memikirkan nama itu jauh hari…” katanya pelan.
Wanita itu menatap, senyum tipis di bibirnya.
“Katakanlah.”
“…Bagaimana kalau… Asterion?”
Wanita itu terdiam. Matanya berbinar. Ia menunduk menatap si kecil yang tiba-tiba... membuka matanya perlahan.
Mata itu…
Berkilau seperti bintang.
Namun dalam.
Dan entah kenapa... seperti menatap langsung ke dalam jiwa siapa pun yang melihatnya.
“Itu… nama yang bagus,” bisik sang ibu.
“Untuk putra kita.”
Komandan Ryu memeluk istrinya. Lalu mencium kepala bayi itu.
“Selamat datang ke dunia ini… Asterion.”
Di Dalam Bayi Itu…
“…Makhluk apa ini...?”
Kesadaran Sang Naga Semesta kembali—dan kini terperangkap dalam bentuk paling rapuh di antara seluruh wujud kehidupan: bayi manusia.
Ia mencoba bergerak.
“Kenapa tubuhku… kecil?! Tanganku? Ini... bukan sisik? Ini... LEMBUT??”
Ia menatap kulit putih halus itu. Jemari mungil.
Tak ada cakar.
Tak ada api.
Tak ada sayap.
“…TIDAK ADA SISIK!!”
Ia mencoba mengaum—yang keluar hanyalah rengekan kecil bercampur cegukan.
“APA YANG TERJADI SAAT INI!!!???”
Sementara itu, dari luar, kedua orang tua baru itu tertawa melihat ekspresi bayi mereka.
“Lihatlah,” kata ibunya dengan suara manis, “sepertinya dia suka namanya. Dia sampai terkejut begitu.”
“Mungkin dia bakal jadi prajurit hebat, seperti ayahnya.”
“Atau pembuat onar, seperti ibunya,” balas Ryu dengan terkekeh.
Sang Naga di dalam tubuh bayi itu merasa ingin membanting kepala ke bintang terdekat.
“Tunggu… Mereka pikir aku ini… bayi??”
“INI PENGHINAAN. AKU PENGUASA GALAKSI! AKU MAHLUK CIPTAAN PERTAMA! AKU—”
Tiba-tiba, ibunya mencium pipinya.
“Aduh, kamu cerewet banget sih dari tadi. Baru lahir, udah ngoceh.”
“...CEREWET!?”
Dan... pipinya dicubit pelan.
“Daging pipinya gemesin banget. Tembem juga kenyal..”, seketika ibunya terus memainkan pipi tembemnya dengan lembut.
“Hentikan ini... HENTIKANNN!! NOOOOO.”
Namun tak ada yang bisa ia lakukan.
Tak ada api untuk dibakar.
Tak ada kekuatan yang bisa dipanggil.
Ia... hanyalah bayi biasa di mata dunia.
Namun di balik semua itu...
Di lubuk jiwa terdalamnya, Sang Naga Semesta tahu:
Cahaya kecil yang dulu ia lihat… bukan sekadar cahaya.
Itulah jalan kembali.
Inilah reinkarnasi.
Ia telah dilahirkan ulang bukan hanya untuk bertahan, tapi untuk menyaksikan kebenaran yang tersembunyi di balik kehancuran semesta.
Namun untuk saat ini…
Ia hanya bisa menangis saat lapar, menangis saat digendong terlalu keras, dan… mengomel dalam hati setiap kali pipinya dicubit.
“Tuan Revenant… kalau kau bisa mendengar… ini semua salahmu. Aku berubah pikiran, aku sangat membencimu!”
Asterion—nama itu kini melekat pada sosok bayi mungil.
Namun di dalamnya... tertidur kekuatan maha dahsyat yang dulu mengguncang semesta.
Tiga bulan telah berlalu sejak kehendak semesta memilih untuk memberi tubuh baru bagi Sang Naga Semesta. Namun, tak ada yang bisa mempersiapkan makhluk purba sepertinya menghadapi satu kenyataan baru: menjadi bayi... dari seorang ibu manusia yang sangat menyayangi 'dan sangat menakutkan.'
Apartemen kecil itu berada di lantai 9 sebuah menara hunian distrik Seoul yang padat. Matahari siang menyelinap melalui tirai, menyinari ruangan yang rapi, penuh mainan, popok, dan aroma khas bayi.
Dan di tengah semua itu—sebuah suara lembut terdengar dari ruang tengah.
“Bintang kecil kesayangan ibu… di mana kamu, nak~?
Langkah kaki ringan terdengar menyusuri lantai parket. Suara kain geser, desahan napas, dan dengungan kecil dari mainan di ruang bayi mengiringi.
Sementara itu… di balik keranjang pakaian kotor
“Ini… sangat menakutkan…”
Sosok kecil dengan mata besar berkilau dan pipi bulat bersembunyi di balik tumpukan baju lembut dan handuk bayi. Napasnya tertahan.
Asterion, sang naga semesta yang dulu ditakuti seluruh penjuru kosmos, kini… sedang bersembunyi dari ibunya sendiri.
“Dia mencariku… lagi… Astaga…”
Ia menggigit bibir mungilnya. Kedua tangannya mencengkeram baju putih susu dengan tulisan “Little Star”. Jubah neraka! Apa-apaan ini?
“Ini sudah jam makan siang dan kau harus tidur siang, bintang kecil ibu~”
Suara ibunya semakin mendekat.
Di dalam benaknya…
“Manusia… makhluk yang mengerikan.”
“Tuan Revenant saja tidak pernah mengendap-endap sambil tersenyum mengerikan begitu.”
Baju bayi yang ia pakai kini seperti rantai kutukan. Lembut, hangat, dan menggemaskan—tapi bagi Asterion, itu seperti baju hukuman.
“Aku tidak nyaman memakai ini… Sisik jauh lebih unggul. Tahan panas. Tahan ledakan. Anti pelukan.”
Dan lagi… masalah terbesarnya belum datang.
“Kalau aku tertangkap… aku akan dipaksa lagi minum air itu…”
Wajahnya memucat. Napasnya tertahan.
“Air manis yang keluar dari… bagian tubuh… manusia…”
Tubuh mungilnya bergetar.
“Aku pernah menyerap plasma dari inti bintang. Aku pernah meminum lahar hitam dari planet Ner'goth. Tapi ini… ini adalah ketakutan pertamaku sejak dimarahi oleh Tuan Revenant karena menghancurkan dimensi ke-12!”
Tiba-tiba…
KRUSAK!
Tumpukan baju di atasnya terangkat.
Asterion menoleh pelan… dan di hadapannya…
Muncul wajah itu.
Wajah dengan senyum yang terlalu lembut untuk jadi manusia biasa. Rambut yang diikat rapih. Mata penuh kasih… namun di mata Asterion—itu wajah iblis lembut penuh niat peluk-peluk menyeramkan.
“Daaaan… disini kau rupanya, bintang kecilku yang nakal~”
Asterion membeku. Seluruh sistem sarafnya panik.
“Kabur? Terlambat. Teleportasi? Tidak bisa. Menghilang? Aku hanya bayi—!!!”
Dia digendong.
Dan yang terjadi selanjutnya adalah ritual penyiksaan manusia versi domestik:
“Kau mulai nakal ya… Kalau terus nakal… pipi tembemmu akan menjadi korbannya~”
“TIDAAAAAAK!!”
“PIPIKU SANGAT RENTAN!!”
Ibunya pun mencubit pipinya… dengan penuh cinta. Pipi tembem Asterion memerah, bukan karena sakit, tapi karena kehancuran martabat.
“Lihatlah kamu. Lucunya… Astaga~”
“Lucu katamu!? Aku pernah menghapus kehidupan dari sistem bintang hanya dengan satu napas! Aku pernah diukir di altar suku Eldros sebagai Dewa Penghancur! Aku—”
“…aku tidak tahan lagi…”
Tangannya mengepal pelan. Namun, efeknya hanya membuat jarinya terdorong ke wajah sendiri.
Ibunya duduk di sofa ruang tengah. Ia mengatur posisi bayi di pangkuannya dengan santai, lalu menatap anaknya dengan senyum paling murni.
“Baiklah, bintang kecilku… Waktunya makan ya~”
Asterion yang sempat hampir pingsan karena pencubitan pipi… langsung membelalak.
“TIDAK. AKU MOHON. JANGAN AIR ITU LAGI.”
“Jangan buka bajumu—OH TIDAK SUDAH TERBUKA!!!”
Ibunya membuka kancing bajunya perlahan, dan dari sana, keluarlah sumber ketakutan Asterion yang paling besar… ASI.
“AKU TIDAK BISA. AKU MAKHLUK PURBA. AKU TIDAK PERNAH MINUM DARI… DARI… UJUNG YANG WARNA PINK ITU!!!”
Ia berontak, menolak dengan segala tenaga yang dimiliki tubuh bayi. Tapi sia-sia.
Karena dalam satu gerakan elegan penuh cinta…
Mulutnya sudah menempel.
“TIDAK!! Aku belum setuju! Ini melanggar kesepakatan eksistensial! Aku—hmphh—”
Dan di tengah protes batinnya… rasa itu datang.
Manis. Hangat. Damai.
“…Astaga… ini… ini enak…”
“…SIAL.”
Ibunya mengelus kepalanya dengan penuh kasih, mengusap lembut rambut halus yang baru tumbuh.
“Makanlah sampai kenyang ya, bintang kecilku.”
“Kau pikir aku akan kalah dengan—hnggh… rasa ini… kenapa rasanya… menenangkan… seperti… awal kelahiran bintang…aku mengantuk.."
Matanya mulai tertutup. Tangannya lemas.
Sang naga semesta yang pernah membuat Elder Star gemetar kini perlahan… tertidur dengan damai di dada ibunya.
Asterion tertidur.
Tangannya menggenggam udara kosong, mulutnya masih sedikit terbuka, dan wajahnya…
Ya Tuhan. Bahkan planet-planet akan luluh jika melihat wajahnya yang seperti marshmallow surgawi.
Ibunya menatapnya lekat-lekat, lalu mendesah pelan.
“Kenapa kamu bisa selucu ini, sih…”
Senyumnya mengembang kecil. Ia menunduk pelan, lalu mencium kening Asterion dengan lembut.
“Tidur yang nyenyak ya, bintang kecil ibu…”
Dengan hati-hati, ia menggendong tubuh kecil itu ke kamar bayi. Suara langkahnya lembut, bahkan angin pun tak akan bangun. Ia meletakkan Asterion di kasur, menyelimutinya, lalu mengusap pipinya yang tembem sekali lagi.
“Jangan bangun sampai matahari ganti shift ya, Nak…”
Ia lalu berjalan keluar dari kamar dengan langkah diam-diam ala ninja. Saat menutup pintu...
BRUKK.
Pintu utama apartemen terbuka.
“Aku pulang~!”
Ibunya—yang bernama Elsha—menoleh kaget.
“Hah?”
Dari balik pintu, muncul sosok gagah dengan seragam armor tempur penuh emblem keemasan. Helmnya menyala pelan, sistem senjata otomatis di bahunya menutup.
Komandan Ryu, suaminya, baru saja pulang dari stasiun orbit.
Ia melepaskan helm, senyumnya mengembang begitu melihat Elsha, lalu membuka bagian atas armornya yang langsung berdesis, melepaskan uap pendingin.
“Huaaah. Akhirnya bisa lepas dari itu… Berat banget sumpah.”
Elsha menghampiri dengan tatapan campur aduk antara senang dan curiga.
“Kau sudah pulang, Sayang? Tapi bukankah ini… terlalu cepat?”
Ryu terkekeh, menggaruk kepalanya dengan tangan kosong.
“Hehe... Aku… minta izin kerja setengah hari. Aku bilang ke pusat bahwa aku ingin menghabiskan lebih banyak waktu dengan Asterion.”
“Ryu...”
Nada itu... langsung membuat Ryu berdiri tegak.
Refleks. Sudah seperti kode militer.
“Kau itu komandan unit elite Armada Bintang. Kau pikir pekerjaan bisa ditinggal semudah itu? Di luar sana masih banyak laporan, koordinasi dengan sektor Nebula Timur, dan... jangan bilang kau menyerahkan semuanya ke wakilmu lagi?”
“Err… Aku… mungkin…”
Elsha melipat tangan di depan dada, tatapannya langsung membuat suhu ruangan turun beberapa derajat.
“Kau tahu aku sayang kamu. Tapi jangan terlalu egois. Aku juga ingin kau pulang cepat, tapi tanggung jawabmu itu besar, Ryu. Kalau semua komandan seperti kamu, planet kita sudah dikuasai bajak laut interdimensi dari waktu lalu!”
Ryu meneguk ludah.
“Iya, iya, maaf... aku cuma kangen Asterion…” katanya dengan suara pelan seperti anak sekolah disemprot guru BP.
Elsha mendesah panjang. Ia melirik suaminya yang tiba-tiba terlihat seperti remaja tanggung baru ketahuan bolos.
“Ya ampun... kau itu bisa perang melawan Leviathan Nebula tapi tidak bisa melawan omelanku ya?”
“Kekuatanmu... jauh lebih mengerikan...” bisik Ryu dengan nada sangat pelan.
Elsha menepuk pundaknya dengan senyum menyebalkan.
“Nah. Sekarang, mau makan atau mau aku omeli lagi soal laporan satelit kemarin?”
“MAKAN. MAU MAKAN.” jawab Ryu cepat seperti menjawab kode merah dari pangkalan.
Ryu duduk di sofa, melonggarkan armornya, lalu memejamkan mata sebentar. Rumah ini... damai. Tidak ada ledakan. Tidak ada komando keras. Hanya... bau susu bayi dan wewangian lavender dari diffuser. Rasanya seperti surga bagi pejuang veteran.
“Ngomong-ngomong…” katanya sambil membuka satu mata.
“Asterion di mana?”
Elsha, yang sedang ke dapur untuk mengambil air minum, menjawab tanpa menoleh.
“Baru tidur.”
“Oh…”
“Dan jangan coba-coba mengganggunya.”
Ryu langsung menutup mulut. Lalu mematung.
“…Apakah… dia bisa membaca pikiranku barusan?”
Ia tadi memang berpikir untuk mengintip Asterion sebentar. Tapi bagaimana Elsha tahu?
“Aku tahu tatapanmu, Sayang,” kata Elsha dari dapur sambil menuang air.
“Itu tatapan ‘aku cuma lihat sebentar kok’.”
“Tapi... cuma satu menit…”
“Satu menit bisa jadi seabad buat bayi. Mau kau tanggung jawab kalau dia bangun dan ngamuk kayak terakhir kali?”
Ryu langsung mengingat kejadian itu.
Asterion menangis.
Tangisan itu... membuat seisi rumah panik
Pihak rumah sakit menyebut itu sebagai "fluktuasi dari bayi sensitif".
Ryu menyebutnya: hari paling menyeramkan dalam hidupnya.
“Baik. Aku menyerah. Aku tidak akan mendekat. Aku akan... duduk manis.” Dia lalu bergumam.
“Tapi aku tetap ingin lihat pipinya... sebentar aja...”
“RYU.”
“OKAY!”
Sementara itu… di balik pintu kamar bayi…
Asterion yang tadi tertidur... membuka satu mata perlahan.
“Ada… ancaman aura perang domestik di luar sana…”
“Sepertinya… ibuku jauh lebih kuat dari yang kukira.”
Ia menguap kecil. Pipinya menggelinjang. Dan dia berbaring ke kanan.
“Dan ayahku… pasrah seperti domba…hoam..”
Lalu ia menutup matanya kembali.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!