“Lengkara Ayudhia, I always loving you from the past until now.” Satu kalimat yang berhasil membuat heboh satu sekolah siang tadi terus berputar di kepala Deeva. Bagaimana tak heboh jika ketua OSIS super tampan dan pintar idaman semua kaum hawa yang biasa bersikap cuek dan seperlunya itu tak ada angin apalagi hujan tiba-tiba menyatakan perasaan di depan umum. Sementara dirinya yang sejak awal masuk sudah mati-matian berusaha malah tak mendapat respon sedikit pun ternyata hanya dianggap sebagai teman.
Deeva mengangkat tangannya di tengah-tengah pelajaran hingga guru matematika di depan sana melihat ke arahnya. “Iya, Deeva. Ada yang mau kamu tanyakan?”
“Tidak, Bu. Saya mau izin pulang duluan, boleh? Kepala saya pusing.” Tanya Deeva. Dia memijit pelipisnya guna meyakinkan jika kondisinya saat ini sedang tak baik-baik saja.
“Boleh yah, Bu? Sejak istirahat kedua tadi Deeva kleyengan terus. Biar saya bantu anterin dia pulang.” Sambung Elisa, teman sebangku Deeva.
“Iya, boleh. Minta surat izin keluar dulu ke guru piket. Setelah itu kalian boleh pulang lebih lebih awal.” Jawab guru.
“Siap, Bu.” Gerak cepat Elisa langsung pergi menemui guru piket dan meminta surat izin. Setelah kembali dengan dua lembar surat izin untuk dirinya dan Deeva, mereka lantas berpamitan dan meninggalkan kelas.
Berjalan seperti tak menginjak bumi, badan terasa tak bertenaga, bahkan untuk bernafas pun rasanya sangat berat. Deeva berulang kali menghela nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Jalan dari kelas menuju parkiran pun terasa sangat lama dan melelahkan. Semua yang ia lakukan selama ini ternyata mentah. Mulai dari ikut aneka esktrakulikuler, aktif dalam kegiatan OSIS sampai jadi komite disiplin siswa hingga dia harus berangkat lebih awal tiap hari, semuanya sia-sia.
“Kita nggak lagi Latihan yoga, Deev! Dari tadi lo tarik nafas buang nafas, tarik nafas buang nafas. Gitu aja terus sampe gue ikutan cape liatnya.” Ucap Elisa.
Tak menjawab, Deeva hanya kembali menghela nafas panjang dan menghembuskannya dengan perlahan.
Elisa jadi ikut-ikutan menghela nafas panjang, “nyerah gue kalo kayak gini caranya. Cowok nggak Cuma Dirga, Deev! Masih banyak yang lain.”
Lagi-lagi hanya helaan nafas panjang yang Elisa dapatkan, sahabatnya benar-benar mendadak bisu sejak kejadian di kantin tadi. Yang bisa ia lakukan saat ini nampaknya hanya diam dan mengikuti kemana pun Deeva pergi.
Sore hari Deeva tiba di rumah, bersamaan dengan ibunya yang juga baru pulang kerja. Setelah menyalami ibunya ia langsung pergi ke kamar dan melemparkan tasnya dengan asal. Pintu kamarnya saja ditutup begitu keras sampai sang ibu yang ada di lantai satu terlonjak kaget.
Ani menyusul Deeva ke kamarnya. Sejak datang tadi ia merasa jika ada yang tak beres dengan putri tunggalnya. Ani menghampiri Deeva yang tidur tengkurap dengan kepala yang ditutupi bantal.
Duduk di tepi ranjang, Ani mengelus pelan punggung putrinya seraya berusaha menarik bantal yang menutupi kepala Deeva. “Gimana sekolahnya hari ini? Menyenangkan? Cerita sama Mama.”
“Udah kelas sebelas, bentar lagi penilaian akhir tahun. Kalo ada apa-apa cerita sama Mama. Mama nggak mau gara-gara punya masalah kamu jadi nggak focus belajar buat ujian nanti.” Bujuk Ani.
“Nggak usah so perhatian, biasanya juga Mama nggak peduli.” Ketus Deeva. Selama ini ia sudah seperti hidup sebatang kara. Serumah dengan ibunya tapi sangat jarang bertemu dengan sosok yang melahirkannya itu. Semenjak suaminya meninggal, Ani mengambil alih perusahaan dan mulai sibuk dengan dunia kerja.
“Deeva, kamu tau sendiri Mama sibuk demi siapa hm? Demi masa depan kamu!” ucap Ani. “Mama tau kamu pasti kesel sama Mama karena Mama sering nggak punya waktu buat kamu. Tapi siapa yang pengen? Kalo bisa Mama juga pengen seperti ibu-ibu yang lain, setiap hari di rumah. Masak, jalan-jalan, nganterin anak sekolah, kumpul-kumpul arisan. Punya banyak waktu buat anak. Tapi kamu tau sendiri Mama nggak bisa kayak gitu.” Ani mencoba memberi pengertian pada putrinya. Usaha kue yang dulu hampir bangkrut saat suaminya meninggal kini tumbuh pesat dibawah kepemimpinannya hingga menyita waktunya.
Membalikkan badan, Deeva langsung bangun dan memeluk ibunya. Suaranya terisak dengan pipi basah oleh air mata. Ia cukup dewasa untuk memahami keadaan ibunya. Bersikap kasar seperti tadi bukan karena ia benci pada sang ibu yang tak punya waktu untuknya, saat ini ia hanya butuh pelampiasan kekesalan akibat cintanya kandas.
“Nggak apa-apa, sayang. Kalo mau nangis, nangis aja. Tapi nanti cerita sama Mama yah.” Ani menepuk-nepuk pelan punggung putrinya. Gadis itu kian terisak di pelukannya.
Cukup lama Deeva menangis. Saat tak lagi terdengar isakan, Ani melepas pelukannya. “Udah puas nangisnya? sekarang cerita, kenapa kesayangan mama ini sampe nangis-nangis kayak gini?” Ani mengusap wajah basah putrinya.
Deeva menggeleng dan memaksakan bibirnya untuk tersenyum. “Aku nggak apa-apa, Ma.” Cerita soal percintaan pasti akan berimbas ceramah panjang lebar sebab sang mama tak pernah mengijinkan dirinya pacaran. Katanya sih udah disiapin jodoh super premium untuk dirinya.
“Beneran nggak apa-apa?”
Deeva mengangguk yakin, meski dalam hati masih terasa sesak.
“Kalo gitu sekarang giliran Mama deh yang cerita. Ini penting banget dan Mama mau kamu setuju karena semua-“
“Semua demi kebaikan aku kan?” sela Deeva yang sudah hafal kalimat andalan ibunya. “to the point aja, Ma. Aku pengen tidur cepet hari ini.” Lanjutnya.
Ani mengelus sayang kepala putrinya, “kamu ingat nggak mama pernah cerita kalo pengen buka cabang toko kue kita di luar negeri?”
Deeva mengangguk, “ingat, Ma. Kalo Mama mau ke luar negeri tinggal berangkat aja, aku nggak apa-apa kok di rumah sendiri. Kan ada bibi, biasanya juga gitu.”
“Kali ini Mama nggak mungkin ninggalin kamu sama bibi aja, Mama bakal lama di luar negeri.”
“Terus? Aku mesti ikut pindah ke luar negeri gitu?” tebak Deeva. “Aku nggak mau, Ma.” Lanjutnya menolak.
“Mama belum selesai ngomong, sayang.” Jawab Ani.
“Kamu nggak perlu ikut ke luar negeri, kamu cukup pindah ke luar kota aja, Jogja. Waktu itu kamu pernah cerita pengen kuliah disana kan?”
“Sekalian kamu kenalan sama calon suami. Nanti kamu tinggal sama Kakek Frans dan cucunya, calon suami kamu.”
“Ma! Aku nggak mau. Aku masih sekolah, bentar lagi ujian jadi nggak bisa pindah.” Tolak Deeva.
“Mama sudah menghubungi pihak sekolah, semua sudah beres. Sekolah baru juga sudah dihubungi. Besok terakhir kamu sekolah, pamit sama temen-temen.” Ucap Ani.
“Mama! Aku nggak mau. Apalagi bawa-bawa perjodohan. Nggak! Aku nggak mau!”
Sekeras apa pun Deeva berusaha menolak tapi ia tetap kalah dan berakhir menuruti keinginan sang ibu. Hari ini benar-benar hari terakhirnya di sekolah. Tapi detik itu pula ia merasa meninggalkan sekolah adalah keputusan yang baik. Ia tak akan sanggup terus menerus melihat kemesraan Kara dan Dirga, hatinya sakit.
Deeva kini berada di parkiran sekolah, ia menghela nafas panjang melihat motor yang dikendarai Dirga melesat jauh dengan Lengkara yang ada di jok belakang, memeluk dengan begitu erat.
“Udah jangan diliatin terus! Ntar jadi bahan gossip kalo lo pindah sekolah gara-gara nggak kuat liat mereka.” Ucap Elisa.
“Jangan dibahas lah, males gue.” Jawab Deeva seraya masuk ke dalam mobil di susul Elisa yang duduk di sampingnya.
“Kalo kayak gini gue bersyukur deh nyokap mindahin ke luar kota.” Perkara alasan perpindahannya sudah ia ceritakan sepenuhnya pada Elisa.
“Iya jalanin aja, Deev. Kali aja disana calon laki lo lebih bening dari Dirga.” Ledek Elisa.
“Calon laki dari Hongkong! Sekarang gue males ngurusin soal hati lah. Kemaren-kemaren aja udah mati-matian zonk. Mau happy-happy aja gue. Pokoknya besok lo harus anterin gue ke stasiun!”
“Siap, Deev. Besok lo dandan yang cantik, kan mau ketemu calon laki.” Ledeknya lagi.
Deeva tersenyum kesal pada sahabatnya, kemudian focus pada kemudi. “Dandan yang cantik? Mohon maaf aja, gue bakal berusaha sejelek mungkin supaya tuh calon laki pada ilfeel terus batal deh perjodohannya.” Batin Deeva.
.
.
.
hai para kesayangan, aku kembali nih.
welcome dikisah sabun batangan🤗🤗
jangan lupa like, komen sama subscribe yah🤗🤗
Baru turun dari mobil, ibunya sudah menghampiri dengan tangan yang memegang ponsel sambil diarahkan ke wajahnya.
“Ini loh anaknya baru pulang, Kek.” Ani meminta Deeva menyapa orang yang wajahnya memenuhi layar ponsel.
“Deeva, apa kabar? Udah lama nggak ketemu yah.” Terdengar sapaam dari benda pipih itu.
“Deeva baik, Kek.” Jawabnya meski malas. Siapa yang tidak malas coba? Katanya dijodohin sama cucunya, tapi si Dirga yang merupakan cucu keluarga Rahardian yang satu sekolahan dengan dirinya justru mempublikasikan hubungan dengan gadis lain.
“Besok langsung dijemput sama calon suami kamu yah di stasiun. Kata Mama, Deeva mau naik kereta aja nggak mau dijemput ke rumah?” tanyanya lagi. Tapi Deeva sudah tak menanggapi dan malah pergi lebih dulu.
Ani tersenyum canggung, ia jadi tak enak karena Deeva mengabaikan kakek dari calon suaminya. “Kek, maaf yah Deeva langsung pergi padahal kakek belum selesai ngomong. Dia udah nggak sabar mau ke Jogja kayaknya. Barang-barangnya kan banyak harus dibereskan lebih dulu.”
Setelah berbasa basi lumayan lama, Ani menyusul Deeva ke dalam rumah. Ia langsung bergegas ke kamar tapi gadis itu tak ada disana. Dicarinya anak semata wayangnya itu ke taman belakang yang merupakan tempat favoritnya tapi hasilnya nihil. Kembali ke dalam rumah, Ani mendapati putrinya sedang memberi makan ikan di aquarium yang terdapat di ruang keluarga. Gadis itu terlihat beberapa kali menghela nafas panjang seraya menatap ikan warna warni yang berenang kesana kemari melahap setiap butiran pakan yang mengambang.
“Di rumah calon suami kamu juga ada aquarium loh, kamu bisa ngasih makan ikan-ikan disana. Atau ikan-ikan yang ini mau dibawa juga boleh.” Ani berdiri di samping Deeva, mengambil sedikit pakan dari toples yang ada di tangan putrinya dan memasukannya ke dalam aquarium.
Deeva meletakan toples pakan ikan di samping aquarium dan duduk di sofa yang tak jauh dari sana. Ani pun menyusulnya dan kembali duduk di samping Deeva.
“Kenapa sih lesu banget? Sedih karena nanti malem mama terbang?” tanya Ani.
Deeva menghela nafas panjang dan menatap mamanya lekat-lekat. “Ma…” ucapnya pelan.
“Bisa nggak sih aku tetep sekolah disini aja?”
“Disini kan aku sekolah gratis, Ma. Beasiswa, mungkin bisa lanjut kuliah beasiswa juga.”
“Kadang aku mikir loh, dulu awal-awal Ayah nggak ada kita emang hidup susah, tapi Mama selalu ada buat aku.”
“Kenapa kita nggak kayak dulu aja sih, Ma?”
“Aku nggak usah dijodoh-jodohin. Mama nggak tau kan kalo orang yang mau dijodohin sama aku aja sukanya sama orang lain?”
“Sama orang lain? Kok kamu bisa ngomong gitu? Ketemu sama orangnya juga belum.” Jawab Ani. “Nih Mama kasih lihat fotonya yah.” Ani mengambil ponselnya.
“Nggak usah, Ma. Deeva udah tau kok, cucu kakek kan satu sekolahan sama Deeva. Namanya Dirga, ketua OSIS di sekolah.” Jawab Deeva.
Ani jadi bingung sendiri, Dirga? Dia sama sekali tak tau yang dimaksud putrinya.
“Waktu awal-awal aku tau kalo Dirga cucu kakek Rahardian, aku udah seneng banget dijodohin sama dia. Aku sampe mati-matian ngedeketin dia. Tapi Zonk, Ma. Zonk!” keluh Deeva.
“Zonk gimana, sayang? Mama nggak tau siapa itu Dirga. Calon suami kamu, Shaka. Arshaka Rahardian, dia pimpinan bank swasta di Jogja. Bukan ketua OSIS, kamu itu dapat info dari mana, ngawur gitu.” Jelas Ani.
“Jadi bukan Dirga?” tanya Deeva, “tapi Dirga cucu kakek Frans, Ma. Info valid, aku dapat dari pusat data sekolah kok. Nggak mungkin salah.” Lanjutnya.
“Mama nggak tau siapa Dirga yang kamu maksud, yang jelas bukan dia calon suami kamu. Bentar lagi mama harus siap-siap ke bandara, sekarang kita beresin barang-barang kamu dulu sebelum mama berangkat.” Ani menarik tangan putrinya supaya bergegas bangun.
“Ma, please lah aku nggak mau.” Rengek Deeva.
“Mama kok jadi kayak yang di film-film, ngejodohin anak demi balas budi. Mama nggak mikirin perasaan aku apa?”
“Kalo mama jadi aku gimana? Apa mama mau dijodoh-jodohin?” lanjutnya.
Ani yang semula sudah berdiri jadi duduk lagi. “kalo mama jadi kamu?”
“Iya.” Deeva mengangguk.
“Tentu saja mama mau dijodohin. Kan orang tua juga milihin jodoh buat anaknya nggak asal. Kamu kira mama asal-asalan setuju gitu aja?” Deeva hanya diam mendengarkan, sorot mata sang ibu terlihat begitu dalam.
“Tadi kamu bilang balas budi?”
“Iya, memang ada sedikit unsur balas budi, tapi tak sepenuhnya.”
“Mama tau mungkin kamu belum cukup dewasa untuk paham akan keputusan yang mama ambil. Kamu pasti mikir mama maksa dan nggak peduli sama perasaan kamu.”
“Dengerin mama baik-baik. Benar, kamu sekolah dapat beasiswa jadi saat ekonomi keluarga kita terpuruk juga sekolah kamu nggak kena efek apa pun. Tapi kehidupan kita berubah bukan? Saudara-saudara almarhum ayah kamu menjauh saat kita butuh bantuan, mereka sibuk dengan berbagai alasan. Beruntung ada kakek Rahardian yang bantuin kita. Modalin usaha hingga perusahaan yang udah gulung tikar bisa pulih bahkan berkembang seperti sekarang.”
“Kita beruntung, Deeva. Bukan cuma bantu finansial kakek juga mau merangkul kita seperti keluarga. Beliau bahkan memberikan cucunya untuk jadi calon suami kamu. Mama udah selidiki, anaknya baik. Lebih dewasa dari kamu jadi pasti bisa ngemong.” Jelasnya panjang lebar.
“Tapi Deeva nggak mau, Ma.”
“Jalanin aja dulu, kalian pasti cocok.” Ucap Ani.
“Pasti nggak cocok lah. Pokoknya Deeva nggak mau, Ma.” Jawab Deeva. “Asal mama tau aja, aku tuh lagi patah hati, Ma. Bisa-bisanya malah ngebet dijodohin, sekolah aja belum tamat.”
“Kan kenalan dulu sayang nggak langsung nikah. Nanti kalo udah kenal juga pasti suka kamu tuh. Mama jamin. Dicoba aja dulu, jalanin. Kalo sering ketemu juga lama-lama suka.” Ucap Ani.
“Udah jangan rewel! Ayo Mama bantuin beres-beres sebelum berangkat.” Lanjutnya.
“Mama, kok pemaksaan sih! Sekarang zamannya demokrasi, Ma. Setiap orang bebas menyuarakan pilihannya.” Protes Deeva.
“Menyuarakan pilihan? Ini bukan pemilu Deeva. Lagian calon suami kalo cuma satu jadi nggak perlu milih!”
“Tapi, Ma…”
“Nggak ada tapi-tapian, Arshaka Rahardian udah paling oke.”
“Kalo emang paling oke ya udah mama aja yang nikah sama dia. Aku nggak keberatan.” ucap Deeva.
Geram, Ani menampol bibir putrinya. “Kalo ngomong suka asal!”
“Serius, Ma. Aku nggak apa-apa punya Papa muda juga” ledek Deeva.
“Deeva!” sentak Ani.
“Aku bercanda, Ma. Aku bantuin mama beres-beres pakaian yang mau dibawa ke luar negri aja. Punya aku nanti bisa dibantuin sama Elisa.” Ucap Deeva, “tapi kalo misal nanti aku nggak cocok sama calon pilihan mama atau dianya nggak suka sama aku, boleh yah dibatalin perjodohannya?”
“Jalanin dulu aja. Pokoknya apa pun yang terjadi nanti, hubungan kita sama kakek nggak boleh jadi renggang. Tapi besar harapan mama, kalian jadi pasangan yang bahagia.” Jawab Ani. “Bisa dipahami?” lanjutnya.
Deeva mengangguk, “paham, asal dia nggak suka pasti perjodohan ini batal.” Batin Deeva.
“Anak pinter.” Puji Ani seraya memeluk putrinya yang tersenyum licik di belakang sana. Otak Deeva suah penuh dengan tak tik supaya perjodohan ini bisa dibatalkan.
.
.
.
like komennya yah jangan ketinggalan
Malam hari Deeva sedang memasukan barang-barang yang akan ia bawa ke dalam koper dibantu oleh Elisa. Gadis itu datang ke rumah selepas magrib tadi, ingin menghabiskan malam terakhir bersama Deeva sebelum pergi esok hari.
“Segini doang yang dibawa, Deev?” tanya Elisa, “cek lagi deh takutnya ada yang ketinggalan.” Lanjutnya seraya menunjukkan koper yang akan ia tutup.
Deeva menghampiri sahabatnya, “iya udah ini doang. Ntar kalo ada yang kurang gue beli disana aja. Otw sendiri, ribet kalo bawa banyak barang.”
“Iya juga yah.” Jawab Elisa.
“Nah paham kan lo. Buruan tidur, besok kereta gue pagi banget.” Ajak Deeva.
“Cie yang udah nggak sabar mau ketemu calon suami.” Ledek Elisa.
Deeva memukul Elisa dengan bantal, “sekali lagi lo ngomong calon suami, gue pastiin lo keluar dari rumah ini. Enek gue.”
“Gue cuma bercanda, Deev.” Elisa menghambur memeluk Deeva.
“Gue pasti bakal kangen banget sama lo. Pokoknya kalo ada apa-apa lo harus kabarin gue. Tunggu satu tahun aja, ntar kalo gue udah lulus pasti lanjut ke Jogja. Kalo aja bokap ngijinin gue pindah, pasti gue ikut sama lo pindah deh.” Lanjutnya.
“Udah deh nggak usah pake nangis gini, udah kayak emak-emak aja lo. Gue tuh cuma pindah ke Jogja, deket woy, sehari juga sampe. Kalo lo mau juga weekend bisa main kesana, kalo nggak gue yang balik kesini. Lo disini aja lanjutin sumber cuan kita, kalo ada peluang juga gue bakal kembangin disana.” Ucap Deeva. Hasil mengikuti ekstrakurikuler tata boga di sekolah, keduanya membuka kedai makanan pedas yang digemari anak muda yang omzetnya cukup lumayan tanpa diketahui orang tua.
“Siap.” Jawab Elisa.
“Siap tapi masih nangis. Mulai besok kan gue nggak ada tuh, lo bisa rekrut temen-temen buat bantuin.” Ucap Deeva. Meski hanya buka saat weekend saja tapi kedai mereka begitu ramai.
Mereka terus mengobrol dari mulai bisnis kecil-kecilan yang mereka Kelola, masalah cinta yang kandas hingga memotivasi diri supaya lebih baik dimasa yang akan datang. Pagi harinya Elisa sudah siap lebih dulu, ia menunggu Deeva yang belum juga keluar dari kamar mandi sejak tadi.
“Deeva! Gila!” Elisa terlonjak kaget melihat penampilan sahabatnya. Celana jeans dengan baju jadul yang sangat tidak fashionable dan kacamata culun menempel di wajah Deeva. “Ini nggak banget sumpah." lanjutnya seraya menggelengkan kepala.
“Calon suami lo bisa langsung mundur kalo kayak gini caranya, Deev.” Komentar Elisa, sementara Deeva tersenyum puas dengan penampilannya.
“Gue maunya gitu sih. Sorry aja dijodoh-jodohin.” Jawabnya.
“Ini kalo Tante Ani tau pasti malu banget dah penampilan anaknya kayak gini. Lo tuh terkenal cewek pendek menggemaskan, kenapa sekarang jadi gini? Miris gue liatnya.”
“Nyokap gue nggak bakal tau kalo lo nggak ngadu. Ini tuh yang terbaik, Lis. Kemaren gue udah coba jadi cewek sempurna tapi ternyata gagal dapetin Dirga. Sekarang gue mau jadi cewek jelek aja.” Jawab Deeva.
“Terserah lo aja deh, nyerah gue.”
Sampai di stasiun penampilan Deeva benar-benar mencuri perhatian. Gaya culunnya membuatnya mendapat banyak tatapan aneh, kasihan dan jijik dari orang-orang julid disana.
“Tuh kan jadi liatin! Penampilan lo sih, kacau.” Gerutu Elisa.
“Kacau gimana? Keren gini kok. Gue berangkat yah, makasih udah nganterin.” Pamit Deeva. Ia memeluk sahabatnya sebelum masuk ke dalam kereta.
Perjalanan dari Bandung ke Jogja menghabiskan waktu delapan jam. Deeva sudah sangat bosan di kereta begitu lama seorang diri. Banyak orang di gerbong yang ia tempati tapi rasanya benar-benar sendiri karena tak ada satu pun yang menyapanya. Mungkin karena penampilannya yang tak menarik, padahal jika ia tampil seperti biasanya sudah bisa dipastikan akan banyak orang yang menyapanya.
Kecantikan Deeva memang bisa dikatakan diatas rata-rata. Meski tubuhnya tak tinggi dan bisa dibilang gadis pendek, tapi wajahnya imut menggemaskan. Di sekolah lamanya saja ia menjadi salah satu murid yang banyak dikagumi anak laki-laki.
Tiba di stasiun Jogja, Deeva berjalan ke arah pintu keluar sambil menyeret kopernya. Tadi mamanya menghubungi jika calon suaminya yang akan menjemput dirinya. Deeva mencari orang yang menurutnya paling tampan di sekitar pintu keluar, berhubung kata sang mama calon suaminya itu tinggi dan tampan. Sudah mencari kesana kemari Deeva nyaris menyerah dan memilih naik taksi kemudian tidur di hotel saja. Namun sebelum naik ke dalam taksi ia melihat seorang pria tinggi menggenakan jas hitam rapi baru saja turun dari mobil yang tepat berada di depan taksi yang akan ia tumpangi. Lelaki berkaca mata hitam itu mengeluarkan kertas HVS bertuliskan namanya dengan semua huruf capital, DEEVA THALITA NABILAH.
“Wih beneran bening ternyata.” Gumam Deeva. Ia mengurungkan niatnya naik taksi dan pergi menghampiri lelaki tinggi itu.
“Deeva, Kak.” Ucap Deeva tepat di depan lelaki itu.
Lelaki tinggi itu membuka kaca mata hitamnya dan melihat penampilan Deeva dari ujung kaki hingga kepala. “Beneran Deeva Thalita Nabilah anaknya Tante Ani?” tanyanya.
“Iya, Kak.” Jawab Deeva.
Lelaki tinggi itu tertawa mengejek, “astaga penampilan lo bener-bener deh.” Ucapnya jujur.
“Penampilan aku kenapa, Kak?” ingin marah tapi Deeva sadar penampilannya sekarang memang buruk. Tapi ia bersikap santai, toh ini memang yang ia inginkan. Calon suaminya tak suka dan berakhir membatalkan perjodohan konyol ini. Zaman sekarang lelaki mana yang mau dengan gadis culun dan jelek seperti dirinya.
"Penampilan lo luar biasa, bikin mata gue sakit. Buruan masuk, gue anterin. Buang-buang waktu aja.” Gerutunya.
“Gue balik ke kantor lagi, bawa barang-barang lo sendiri.” Ucapnya setelah mengantarkan Deeva hingga rumah.
Deeva merasa kesal campur senang diperlakukan seperti itu, tapi setidaknya ia tiba di rumah dengan selamat. Rumah yang akan ia tinggali begitu mewah dengan nuansa putih dan taman yang luas. “Kalo jadi orang jelek emang gini yah? Nothing special.” Gumamnya seraya menyeret koper dan beristirahat di ruang tamu.
Berbeda dengan Deeva yang tengah bersantai, orang yang menjemputnya tengah uring-uringan begitu tiba di kantor. Raffa, laki-laki yang menjabat sebagai sekretaris Shaka melempar kunci ke meja bosnya.
“Calon bini lo, Shak. Ampun dah, buang-buang waktu gue aja.” Sesantai itu memang mereka saat hanya berdua saja. Bukan hanya sekretaris tapi Raffa merupakan teman kuliahnya dulu hingga mereka sangat akrab.
“Kenapa? Ngeselin? Maklumlah namanya aja bocah. Kata kakek dia baru kelas dua SMA.” Jawab Shaka. “Ngadepin bocah harus sabar. Katanya lo mau dia jadi bini lo, ambil gih. Gue sih baru dua enam, santai. Belum pengen nikah gue, apalagi sama bocah.” Shaka menggelengkan kepalanya.
“Gue juga masih dua enam woy. Nggak mau gue sama dia, buat lo aja. Kan pilihan kakek lo.” Jawab Raffa.
“Kan lo suka yang muda-muda.” Ledek Shaka.
“Gue suka yang muda tapi nggak kayak calon bini lo, bikin sakit mata. Kayak orang kampung, culun terus nggak banget lah. Lo liat sendiri aja ntar di rumah.” jawab Raffa.
"Gue yakin foto yang kemaren dikirim sama kakek lo itu pake filter, makanya cakep. Aslinya jauh banget, Shak." lanjutnya dengan ilfeel.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!