NovelToon NovelToon

Reinkarnasi Jadi Bebek

PROLOGUE: Game Over...?

Sorakan keras membanjiri seluruh aula turnamen, menekan gendang telingaku sampai rasanya bergetar. Tepuk tangan bertubi-tubi bercampur dengan teriakan dan siulan yang datang dari segala arah. Suara itu memantul di dinding besar yang dipenuhi poster sponsor berwarna terang, beberapa menampilkan logo minuman energi, ada yang memamerkan gambar headset gaming terbaru. Udara di dalam aula panas dan agak pengap, penuh aroma keringat bercampur parfum, diselipi bau debu halus dari karpet panggung yang terinjak ratusan kaki. Lampu sorot berputar cepat, memotong udara dengan sinarnya yang menyilaukan, fokus ke panggung utama di tengah ruangan.

Aku berdiri tepat di titik sorotan itu, menyapu pandangan ke arah ribuan pasang mata yang menatapku. MC di sebelahku, seorang pria jangkung berjas hitam mengilap, mengangkat tanganku tinggi. Suaranya yang berat menggema lewat mikrofon, diperkuat speaker besar yang tergantung di atas kepala.

“Dan pemenangnya adalah… Player DuckSlayer99!”

Sorakan penonton langsung melonjak, lebih keras dari sebelumnya. Beberapa bahkan berdiri, melambaikan spanduk, dan menjerit memanggil namaku. Blitz kamera berkedip dari segala arah, memunculkan kilatan putih yang menusuk mata. Aku memaksa menahan kedipan, tetap tersenyum lebar sambil membentuk pose santai. Menurutku, itu terlihat keren, dan yang terpenting, percaya diri.

Mereka semua mengira aku berada di sini karena skill bermain game yang luar biasa. Padahal, kenyataannya jauh dari itu.

Di dalam kepalaku, aku terkekeh. Aku tidak menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk latihan. Aku tidak menyusun strategi rumit seperti para pemain profesional. Kemenanganku murni karena satu hal: sebuah script auto-headshot yang kupasang diam-diam di komputerkku. Script itu memastikan setiap peluru yang kutembakkan langsung mengenai kepala lawan. Tidak ada satupun yang meleset.

Memasang script itu memang butuh keahlian. Aku harus mengutak-atik file, mengatur timing, dan memastikan programnya tidak terdeteksi sistem anti-cheat. Jadi, meskipun curang, aku tetap menganggapnya… hasil kerja keras dalam caraku sendiri.

MC menyerahkan trofi besar yang terbuat dari logam mengilap. Tingginya hampir setengah badanku, dan beratnya membuat lenganku langsung menegang. Namun, rasa dingin logam itu di telapak tanganku terasa memuaskan. Aku mengangkatnya tinggi-tinggi, memiringkannya sedikit agar cahaya lampu memantul di permukaannya.

“Game over untuk kalian semua, pecundang!” teriakku. Beberapa pemain yang masih di belakang panggung melirik dengan wajah masam, ada yang pura-pura tidak peduli, ada yang memutar mata.

Dada terasa hangat oleh rasa puas. Ini adalah panggungku. Namun, rasa itu hanya bertahan sebentar.

KRRIIEEET…

Suara gesekan logam yang kasar dan memanjang terdengar jelas di sisi kanan panggung. Aku spontan menoleh.

Di ujung panggung, sebuah mesin vending minuman bergetar hebat. Mesin itu biasanya hanya berdiri diam dengan deretan botol dan kaleng di balik kaca beningnya. Sekarang, seluruh panelnya bergoyang ke depan dan belakang. Kaca depannya bergetar keras, memantulkan cahaya lampu sorot. Botol dan kaleng di dalamnya ikut berloncatan kecil, seperti siap jatuh kapan saja.

Alisku mengerut. Aku melangkah setengah langkah ke arahnya, tapi ragu untuk mendekat. “Eh… itu aman kan?” bisikku, nyaris hanya terdengar oleh diriku sendiri.

Beberapa penonton di dekat situ mulai menyadari ada yang aneh. Seorang panitia di tepi panggung menunjuk ke arah mesin itu dengan ekspresi panik.

“Minggir! Mesin itu—” teriaknya.

Kata-kata berikutnya lenyap begitu saja.

BRUK!

Sesuatu menghantam tubuhku dari samping dengan kekuatan yang membuat seluruh udara di paru-paruku langsung hilang. Pandanganku terputus, dan mataku menutup spontan.

Tidak ada rasa sakit seperti saat terbentur biasa. Tidak ada darah, tidak ada jeritan. Yang ada hanya rasa dingin menusuk, seperti seluruh tubuhku tiba-tiba tenggelam dalam air bersuhu es. Nafasku tercekat, dan setiap kali mencoba menarik udara, justru semakin sulit.

Sorakan penonton yang tadinya memekakkan telinga menghilang sepenuhnya, diganti keheningan aneh. Hanya ada denging tipis yang mengisi telinga, seakan aku berada di ruangan kedap suara. Tubuhku terasa ringan, tapi juga seperti terus jatuh ke arah yang tidak kukenal.

...----------------...

Kelopak mataku terasa berat saat mulai terbuka. Cahaya samar masuk pelan-pelan, membuat pandanganku beradaptasi. Bukan cahaya lampu panggung yang hangat dan memantul dari permukaan trofi, melainkan sinar oranye redup yang seolah merembes dari langit yang sudah kehilangan sebagian warnanya.

Udara di sekitarku lembap, menempel di kulit seperti lapisan tipis air. Saat menarik napas, aroma amis bercampur lumpur basah langsung menyeruak. Bau itu menusuk hidung, pekat sampai membuatku refleks mengernyit dan menghembuskan napas cepat, seolah bisa mengusirnya. Setiap tarikan napas justru membuat dada terasa berat, seperti ada sesuatu yang menekan dari dalam.

Telingaku menangkap suara serangga dari berbagai arah. Dengungan nyaring dan cicitan tipis saling bersahutan, membentuk suara latar yang monoton. Di sela-sela bunyi itu, samar-samar terdengar suara cipratan kecil, seperti ada makhluk yang bergerak di atas permukaan air dangkal.

Aku mengangkat pandangan. Langit di atas berwarna oranye kusam, matahari menggantung rendah, setengahnya sudah tersembunyi di balik deretan pepohonan tinggi di kejauhan. Siluet batang-batang pohon itu terlihat gelap pekat, kontras tajam dengan warna langit yang meredup.

“Kok… bukan di panggung?” gumamku pelan, nyaris hanya untuk diriku sendiri. Suaraku terdengar aneh di telinga, bukan gema dalam ruangan, melainkan terbuka dan luas.

Sebelum aku sempat memikirkan lebih jauh, suara asing memotong lamunanku.

“Kwek.”

Aku diam seketika. Napasku tertahan.

Itu… bukan suara manusia. Nada tinggi, pendek, dan terputus.

Aku mencoba lagi. “Halo? Ada orang—”

“Kwek.”

Kali ini jelas. Tidak ada keraguan. Itu suara bebek.

Dan lebih buruknya… sumbernya dari arah mulutku sendiri.

Jantungku berdegup kencang. Rasanya panas merayap naik dari dada ke wajah, atau apa pun bentuknya sekarang. Dengan gerakan hati-hati, aku menunduk.

Yang kulihat membuat otakku seperti berhenti bekerja.

Kakiku… kecil. Kulitnya berwarna kuning pucat. Ada selaput tipis membentang di antara jari-jarinya, menghubungkan seperti sirip. Itu bukan kaki manusia.

“APA—APA INI?!” teriakanku pecah, tapi lagi-lagi yang keluar hanya suara serak tinggi.

“Kwek! Kwek!”

Aku mencoba melangkah, tapi tubuhku malah bergoyang ke kiri dan kanan seperti tidak punya keseimbangan. Langkahku pendek, kaku, dan setiap pijakan menimbulkan suara cekup kecil dari lumpur yang menempel di sela jari kaki.

Mataku tertarik pada genangan air yang terletak tak jauh di antara rerumputan rawa. Permukaannya bergelombang ringan, namun cukup bening untuk memantulkan bayangan. Aku mendekat, lumpur mengisap kaki kecilku setiap kali kuangkat.

Begitu jarak tinggal satu langkah, aku melihatnya.

Bukan wajah manusia.

Seekor bebek kecil menatap balik dari permukaan air. Bulunya halus berwarna kuning pucat, matanya bulat besar mengilap seperti manik kaca. Paruhnya pendek, berwarna kuning sedikit lebih gelap, bergerak seiring aku membuka mulut.

“Aku… bebek?!” teriak batinku. Tapi udara hanya membawa lagi suara melengking itu.

“Kwek!”

Aku mundur spontan. Kaki kecilku terpeleset di lumpur, membuat tubuhku oleng sebelum berhasil menahan keseimbangan. Nafasku menjadi cepat, dada terasa sesak.

Belum sempat aku mencari jawaban, sesuatu yang tak masuk akal terjadi.

Tepat di depanku, muncul sebuah layar transparan berwarna biru pucat. Ukurannya kira-kira setengah dari tubuh mungilku sekarang. Bentuknya persegi panjang, tepinya memancarkan cahaya lembut. Tulisan-tulisan kecil bergerak di atasnya, mirip antarmuka game di komputer yang pernah kulihat.

Bedanya… tidak ada monitor. Tidak ada proyektor. Layar itu melayang di udara, tetap stabil meski angin rawa membuat rumput di sekitarku bergerak.

Aku berkedip cepat, berharap itu hanya ilusi atau efek cahaya. Tapi layar itu tetap di sana, tak bergeming, seolah benar-benar nyata… dan menungguku untuk membacanya.

...----------------...

[Sistem Evolusi Monster diaktifkan]

Jenis: Bebek Liar (Lv.1)

Status: Rentan, lezat, mudah menjadi mangsa

Misi utama: Bertahan hidup selama 7 hari tanpa dimakan

Hadiah: Hak memilih jalur evolusi

...----------------...

Garis-garis huruf itu tetap melayang di udara, seakan menempel pada pandanganku. Latar belakangnya transparan, tetapi ada cahaya samar kebiruan di tepinya, membuatnya tetap jelas meski warna senja di sekeliling mulai memudar. Udara terasa sedikit lebih dingin sekarang, embusan angin membawa bau amis yang menusuk dari rawa.

Aku menatap layar itu dengan paruh sedikit terbuka. Nafasku terasa berat, dada mungil ini naik-turun cepat. Saat membaca deretan kata di sana, mataku terbelalak.

[Status: Rentan – Lezat – Mudah Menjadi Mangsa]

“Rentan? Lezat? Mudah menjadi mangsa?!” teriakanku melengking, terdengar lebih seperti pekikan ketakutan ketimbang protes.

Kata-kata itu seperti menjelaskan nasibku dalam tiga kalimat singkat. Bukannya memberi semangat, malah seperti catatan seorang pemburu atau koki yang sedang menilai bahan makanan.

“Tidak… tidak mungkin,” gumamku cepat sambil menggeleng. Gerakan itu membuat kepalaku sedikit pusing, tubuh kecilku ikut bergoyang ke kiri dan kanan. “Ini pasti cuma mimpi buruk. Aku cuma pingsan di dunia nyata… ini semua cuma semacam simulasi aneh.”

Aku menatap layar itu lama, sampai akhirnya aku berteriak,

"Hei! Sistem! Kalau kau bisa bikin layar ini muncul, berarti kau bisa dengar aku, kan?! Gimana caranya aku balik jadi manusia?!"

Tidak ada jawaban.

Hanya layar itu yang tetap melayang, seakan menatap balik dengan tenang.

Aku menggeretakkan… yah, bukan gigi, tapi apa pun yang ada di dalam paruh ini. "Aku nggak mau jadi bebek! Dengar nggak?! Jawab aku!"

Suara ding lembut terdengar, dan huruf baru muncul.

[Permintaan tidak dapat diproses. Informasi belum tersedia.]

Aku merasa darahku, atau mungkin cairan bebekku, mendidih. “Belum tersedia kepalamu! Kalau gitu kasih tau aku sekarang, gimana caranya!”

Layar bergetar sedikit, lalu baris baru muncul dengan tenang.

[Jika mencapai Level 40, jalur evolusi 'Manusia Setengah Bebek Iblis' akan terbuka.]

Aku terdiam. Setengah bebek? Setengah iblis? Itu… terdengar absurd, tapi jauh lebih baik daripada jadi menu sarapan.

Paruhku membentuk senyum tipis.

"Baiklah… level 40. Aku akan bertahan hidup di dunia ini. Mungkin ini pembalasan Tuhan… atau para player pecundang di luar sana yang dipermalukan olehku karena diriku menggunakan cheat. Tapi aku tidak akan mati di sini. Aku akan bertahan 7 hari, dan setelah itu… aku akan jadi manusia lagi."

Chapter 2: Bebek Takdir

Pagi pertama aku terbangun, bukan di tempat kasur yang didepannya ada computer gaming rtx 6050, melainkan meringkuk di dalam lubang pohon tua.

Sambil menghela nafas aku mengucap pelan. “Aku kira ini beneran mimpi dan yang kemarin itu otakku sedang mengstimulasi.” Mataku melihat keluar. “Hidup menjadi bebek itu sungguh susah.”

“Sistem!” panggilku sambil sedikit mengangkat suara.

Tidak ada jawaban.

Aku menajamkan nada. “Sistem! Sebaiknya apa yang harus aku lakukan, aku ingin cepat menjadi manusia, berikan aku petunjuk!”

Suara netral yang familiar akhirnya terdengar, namun terdengar datar

[Kami belum bisa memberikan informasi seperti itu, silahkan gunakan kemampuan anda untuk berpikir]

Aku mendecak kesal. “Hah? Ngelunjak banget ini sistem! Kamu itu harusnya membantu aku! Mau aku mati, hah?” Sayapku mengibas kuat, bulu-bulu halus beterbangan.

“Lagian… siapa sih yang mau jadi bebek? Lemah, nggak kuat, kemampuan juga nggak ada. Cuma bisa berkwek-kwek terus-terusan.”

Kepalaku menoleh ke segala arah. “Bisa bantu nggak, hah?!” teriakku lagi, kali ini lebih keras.

Tiba-tiba panel sistem muncul. Bukan biru seperti biasanya, tapi merah menyala, seperti peringatan darurat.

[Perhatian! Anda memasuki wilayah Kapten Kokok]

Keningku berkerut. “Lho, aku dari tadi diem di sini. Apanya yang memasuki?”

[Segera mengunsi]

“Aku harus mengungsi kemana, bodoh!”

Belum sempat berpikir, suara teriakan lantang menusuk telinga.

“Kokok… kokok… kokok!”

Suara itu sepertinya ada diluar lubang pohon tempatku beristirahan semalam.

Perlahan aku keluar, kaki kecilku menyentuh tanah yang masih dingin dan lembap oleh embun. Saat kepalaku keluar sepenuhnya, pandanganku langsung tertahan pada sosok yang berdiri beberapa meter di depanku.

Seekor ayam jago, tetapi ukurannya jelas bukan ayam kampung biasa. Tubuhnya hampir dua kali lipat tubuhku, bulu merah menyala di lehernya memantulkan cahaya pagi seperti bara api yang baru ditiup. Paruhnya kuning pekat, kokoh, dan matanya… menatap tajam seperti mata pemburu yang baru saja menemukan mangsa.

Di atas kepalanya, melayang tulisan holografik merah yang bergerak perlahan:

[Kapten Kokok – Ayam Jago Elit Lv.4]

Aku menelan ludah. Bukan hanya ukurannya yang membuatku terdiam, tapi juga tatapan itu. Tidak ada sedikit pun rasa ragu di matanya, seolah ia sudah menentukan bahwa aku hanyalah sarapan yang kebetulan keluar dari sarang.

“Kwek… eh, maksudku, siapa kamu?!” tanyaku spontan, mencoba mengulur waktu.

Ayam jago itu mengangkat dagu sedikit. “Seharusnya aku yang bertanya, Kok!

“Kok?” ulangku bingung.

“Kok! Kenapa ada bebek kecil di wilayahku? Apa kau tidak tahu ada seseayam yang menguasai daerah ini?” suaranya dalam, dengan tekanan di setiap kata.

“Seseayam?” aku refleks memiringkan kepala.

Suara sistem sekarang datang seperti telepati, bukan yang memunculkan panel biru depan wajahku, mungkin tidak ingin menjadi pengacau.

[Peringatan! Segera mengungsi]

Aku membalas juga dengan suara batinku. “Aku harus mengungsi kemana?!” Tegasku lagi.

Disisi lain kapten kokok masih menggerutu. “Aku tidak akan tinggal diam kalau ada yang masuk wilayahku tanpa bayar pajak.”

Ayam jago itu memiringkan kepala, salah satu matanya mengamati gerak-gerikku.

“Kau pendatang baru, kan kok? Semua unggas yang hidup di rawa ini tunduk padaku. Bayar pajak… atau menjadi pajak.”

“Pajak?!” Aku spontan mengangkat kepala, bulu-bulu di leherku mengembang. “Aku bahkan nggak punya dompet!”

“Aku terima pembayaran dalam bentuk daging segar juga,” jawabnya datar.

Ujung lidahnya menjilat paruh kuning pekatnya, mengeluarkan suara basah slrk yang membuat tengkukku dingin.

Refleks, aku mundur dua langkah.

Sistem masih berbunyi kepadaku untuk segera mengungsi.

Kakiku menyentuh lumpur, meninggalkan jejak yang cepat dipenuhi air kembali. Aku berusaha menjaga jarak aman, tapi ayam jago itu bergerak lebih cepat dari perkiraanku. Sayapnya mengepak kuat, menghasilkan hembusan angin yang menghantam wajahku dan membuat bulu di pipiku berkibar.

Dalam sekejap, ia melompat tinggi, kedua cakarnya terjulur ke depan, kuku-kukunya berkilat terkena cahaya pagi. Gerakannya begitu cepat hingga aku nyaris tidak sempat berpikir.

“WAAH—KWEK!!!” Aku melemparkan tubuh ke samping, lumpur terciprat ke segala arah. Kaki kiriku terpeleset, hampir membuatku jatuh ke dalam rawa di sebelahku yang permukaannya dipenuhi lumut hijau pekat.

Saat itulah, layar biru tiba-tiba muncul tepat di hadapan mataku…

[Quest aktif: hadapi kapten kokok untuk bertahan hidup]

[Hadiah \= belum ditentukan]

[Jangan Mati]

“WOI! Lawan dia itu caranya gimana?!” teriakku panik pada sistem.

“Berikan aku daging segarmu itu, kok!” Balas Kapten Kokok berteriak.

Sayapnya mengibas kuat.

Whoosh!

Lumpur muncrat ke wajahku Pandanganku buram. Dia memanfaatkan itu untuk menusuk dengan paruhnya.

Refleks aku menunduk, lalu berlari zigzag. Entah kenapa, tubuhku terasa lebih ringan.

Sistem berbunyi:

[Skill baru di dapatkan: Duck Dash (lv1)]

“Woah! Aku dapet skill!” seruku tanpa memperlambat langkah.

 [Keterangan Skill: Lari Cepat dalam jarak pen—

“Berisik, Sistem! Aku akan langsung pakai!” potongku cepat.

Tubuhku ringan dan agak cepat sekarang, kupakai skill itu untuk mengitari tubuh Kapten Kokok.

Aku sengaja memprovokasinya. “Sini kejar aku, ayam goreng!”

Kapten Kokok langsung berhenti dan menoleh cepat. “Apa kamu bilang?!”

Dia melangkah maju, tapi salah satu kakinya tersangkut akar pohon yang terendam air dangkal.

Momen itu aku gunakan skill Duck Dash—

[Saat ini skill yang anda gunakan sedang waktu pemulihan (CD)]

“Di momen seperti ini?!”

[Seharusnya anda mendengarkan keterangan—

“Berisik banget! Kwek! Kwek! Kwek! Aku harus gimana coba?!” teriakku frustrasi.

[Skill baru didapatkan: Teriakan Resah (Lv1)]

[Keterangan Skill: Mengeluarkan suara mengganggu, mengurangi focus selama 2 detik]

“Aku gunakan!” potongku sebelum sistem selesai bicara.

Sistem masih berbunyi menjelaskan keterangannya, tapi aku sudah menggunakan Skillnya.

Kapten Kokok Menggelengkan kepala. Jelas terganggu. Aku menambahnya dengan tatapan mata paling “seram” yang bisa kubuat, meskipun aku tahu mukaku cuma bebek biasa.

[Skill baru didapatkan: Intimidasi Palsu (lv1)

[Musuh dengan level setara atau lebih rendah mungkin mundur sesaat.

Dan ya… dia tidak mundur sama sekali. Malah makin marah.

“Aku lupa… dia level 4,” gumamku.

 [Bodoh]

“WOI, sistem! Kau tuh di pihak yang mana sebenarnya?!”

Pertarungan berlangsung tidak seimbang. Tiap aku menyerang, damage-nya kecil. Tiap dia menyerang, setengah HP-ku langsung hilang.

Tapi dengan kombinasi Duck Dash untuk menghindar, Teriakan Resah untuk bikin timing serangannya kacau, dan Intimidasi Palsu biar aku kelihatan lebih percaya diri, akhirnya aku berhasil membuatnya kehilangan keseimbangan.

Kapten Kokok tergelincir di lumpur dalam, dan aku langsung menyundul bagian lehernya dengan sekuat tenaga.

Dia mundur dua langkah, matanya menyipit. “Hmph. Tidak buruk… untuk bebek rawa kurus.”

Panel sistem muncul:

[Misi Selesai: Menang atas Kapten Kokok (Lv.4)]

[Hadiah: +50 EXP, Skill Permanen (x3)]

[EXP Total: 65 / 100 (Lv.1 → Lv.2)]

Begitu tulisan itu muncul di depanku, aku nyaris melompat kegirangan. Kaki-kakiku bergerak cepat di lumpur, sayap terangkat sedikit sambil berteriak, “KWEK! KWEK! KWEK!”

Ini… adalah kemenangan pertamaku sejak terbangun di dunia ini sebagai bebek. Napasku masih berat, dada naik-turun, tapi di dalam hati ada rasa puas yang sulit ditahan.

Kapten Kokok berdiri di seberang, tubuhnya penuh lumpur yang menempel di bulu merahnya. Ia mengibas sayapnya sekali, membuat percikan air dan lumpur beterbangan. Matanya menatapku tajam, nada suaranya datar namun jelas mengandung ancaman.

“Besok pagi… jika kau masih berada di wilayahku, aku akan menghabisimu bersama gengku.”

Aku refleks berhenti tersenyum. “Eh?! Kenapa harus begitu?” suaraku meninggi.

“Kau sudah membuatku malu hari ini.” Kapten Kokok mengambil satu langkah maju, cakar kakinya menancap dalam di lumpur. “Besok… jika kau masih berkeliaran di sekitar sini, aku pastikan kau tidak akan bisa berkwek lagi.”

Tanpa menunggu jawabanku, ia berbalik. Sayapnya kembali mengepak, menimbulkan riak air yang besar saat ia berjalan menjauh.

Aku berdiri mematung. Ada rasa bangga karena berhasil bertahan… tapi rasa panik juga mulai merayap.

“Aku harus menjadi kuat,” gumamku pelan, mataku masih menatap arah kepergiannya.

Tiba-tiba, panel baru muncul di depanku. Warnanya berbeda dari biasanya, bukan biru, melainkan emas yang berkilau terang, nyaris menyilaukan mataku.

[Quest Utama Aktif: Menjadi Bebek yang terkuat]

[Apakah anda akan menerimanya?]

“YA, AKU TERIMA! AKU AKAN MENJADI YANG TERKUAT!”

[Tujuan Utama Anda tercatat! Anda akan diberikan misi harian, Semoga berhasil!]

Chapter 3: Misi Pertama: Jangan Mati

Sudah dua hari aku meninggalkan rawa berlumpur yang dikuasai oleh ayam itu, dan selama dua hari pula aku sibuk menjalankan misi yang diberikan sistem.

Rawa yang kutempati sekarang lebih tenang, airnya tidak terlalu keruh, dan lebih banyak ditumbuhi tanaman air dengan daun lebar yang mengapung di permukaan.

Bau lumpur tetap ada, tapi tidak sepekat di tempat Kapten Kokok. Sesekali, suara serangga malam dan percikan kecil dari ikan membuat suasana terasa hidup.

Aku mengibaskan sedikit bulu di sayap kiri yang masih lembap, lalu berkata,

“Sistem, perlihatkan statistikku.”

Panel biru muncul di udara, huruf-hurufnya jelas dan rapi.

[Statistik Bebek lv 2/ Nama: XXXX]

[Jenis: Bebek Liar Rawa]

STR: 1

AGI: 4

INT: 0,5

LUCK: XX

[Skill: Duck Dash, Teriakan Resah, Intimidasi Palsu

Aku memperhatikan setiap angkanya. “Seperti itulah statistikku sekarang. AGI-ku kelihatan tinggi… mungkin karena aku sering lari menghindar ke segala arah.” Aku mengangguk kecil. “Tapi yang lainnya… APA ITU INT CUMA 0,5?! LUCK-ku juga… bahkan TIDAK TERDEFINISI?!”

[Sesuai dengan yang anda lakukan]

Aku menatap panel itu dengan paruh sedikit terbuka. “Bicaranya kaku sekali. Nggak bisa ganti mode pembicaraan yang lebih… santai? Misalnya… mode pacar gitu?”

[Tidak]

Aku berkedip sekali, lalu menghela napas. “Sombong sekali dirimu, Sistem.”

[Tidak ada informasi untuk hal tersebut]

“Kalau begitu… bisakah kamu tampil sebagai sosok avatar di sampingku? Aku capek lihat panel melayang-layang begini.”

[Tidak ada informasi untuk hal tersebut]

Aku mendengus pelan. “Tidak berguna sekali dirimu, Sistem. Sosok yang ingin menjadi kuat itu butuh pendamping, tahu tidak?”

Tidak ada respons. Hanya suara jangkrik dan percikan air yang terdengar dari arah rawa.

“Tidak menjawab?” Aku menunduk sedikit, menghembuskan napas berat. “Sombong sekali… yah, baiklah. Jadi… misi untuk hari ini apa, Sistem?”

Panel tiba-tiba berbunyi ding, kali ini dengan cahaya keemasan yang jauh lebih terang daripada biasanya.

[Misi Menjadi yang terkuat Aktif]

[Sub Misi Tersedia]

Minum air rawa minimal 3 tegukan

Mengejar 5 capung dan memakannya

Menggali cacing langka dari lumpur

Hadiah: Mendapatkan Skill Sambaran Paruh

“Misi konyol apa lagi ini? Apa aku sekarang sedang simulator menjadi bebek yang konyol?”

[Sesuai dengan kemampuan Anda]

Aku mengibaskan sayap kanan dengan cepat. “Ngelunjak banget. Setidaknya beri aku sedikit semangat.”

[Semangat kemarin menjadi yang terkuat kemana?]

Aku memalingkan pandangan, paruhku sedikit terbuka. “Jangan tanya soal itu. Aku masih malu kalau mengingatnya… itu cuma sandiwara, paham?”

[…]

Hening, suara serangga terdengar lebih jelas.

Aku menghela napas panjang, lalu mencoba bertanya dengan nada yang lebih serius.

“Hei, Sistem, siapa yang membuat diriku seperti ini?”

[Tidak ada informasi untuk hal tersebut]

“Jadi, sosok yang membuatmu… sepertinya tidak mau aku tahu. Atau… sebenarnya kamu yang tidak ingin memberitahukannya kepadaku?”

[…]

“Aku sih tidak masalah. Tapi… aku merasa sedih. Hidupku yang dulu sudah mati. Kematian itu… sesuatu yang tidak kita inginkan, tahu?”

Aku sambil mengucap beberapa perkataan, sistem masih tidak membuat sebuah jawaban.

[…]

“Dan aku bereinkarnasi jadi bebek. Hidup kotor seperti ini…” Kukibas sedikit bulu di kepala, mencoba mengusir rasa sesak di dada. “Aku harap nanti ada hadiah yang lebih besar menungguku.”

Kugelengkan kepala kuat-kuat, lalu menepuk puncaknya dengan sayap kanan, berusaha menenangkan diri. “Baiklah… saatnya menyelesaikan misi sampahmu ini, Sistem.”

Aku melangkah ke tepian, menatap permukaan air keruh yang memantulkan wajah seekor bebek, wajahku.

Bau lumpurnya menyengat, tapi misi ya misi.

Klek klek klek. Tiga tegukan masuk. Rasanya… campuran asin, pahit, dan sedikit aroma ikan busuk.

Huek!

“Rasa apa ini, siapa yang membuat rasa air menjadi sangat tidak enak seperti ini?”

Sistem langsung pling!

[Sub-misi selesai: Minum air rawa]

+5 EXP.

Aku hampir muntah, tapi aku ingat — kalau muntah, itu mungkin nggak dihitung.

Dari jauh aku melihat sesuatu, sebuah bamboo yang menjulang tinggi, mungkin itu hanyalah otak-otakan manusia saja, aku belum mau penasaran untuk melihat kesana.

Misi kedua, mengejar 5 capung.

Lokasinya diberi tahu oleh sistem.

Aku dulunya adalah manusia yang hidup bersama dengan pola kehidupan yang modern, sekarang ditugaskan oleh sistem sialan ini menjadi bermain bebek simulator

Terdengar mudah… sampai aku sadar capung terbang seperti jet pribadi.

“Kwek! Kwek!” Aku mengepak-ngepak sayap, melompat, menabrak daun, nyaris tercebur, tapi akhirnya—HAP! satu capung tertangkap di paruhku. Rasanya renyah, sedikit amis. Empat lagi kemudian menyusul, walau aku nyaris jatuh ke lumpur berkali-kali.

[Sub-misi selesai: Makan 5 capung]

+10 EXP.

Nah, ini yang bikin kotor. Aku menunduk dan mulai mematuk lumpur, mengeruk dengan paruh. Lumpur becek menempel di bulu wajah, dan baunya… ya, tidak perlu aku jelasin.

“Kwek… kwek…” gumamku sambil terus mematuk.

Tiba-tiba krak!

Paruhku menghantam sesuatu yang keras, seperti batu, tapi dengan pola aneh menyerupai ukiran melingkar. Aku mengais lumpur di sekitarnya.

Bukan batu, tapi semacam lempengan kecil dengan simbol asing.

[Notifikasi Sistem]

Jejak dungeon tersembunyi ditemukan.

Lokasi disimpan di peta.

Aku menelan ludah. “Dungeon?”

[Lokasi dungeon telah disimpan di peta]

“Apakah ada syarat untuk memasukinya?”

[Tidak ada informasi untuk hal tersebut]

“Oke… ini aneh. Aku cuma nyari cacing, kenapa malah nemu jalur ke dungeon?!”

Tapi sebelum aku sempat berpikir lebih jauh, akhirnya cacing langka keluar dari lumpur—panjang, gemuk, dan berwarna agak kebiruan.

“Cacing apa ini? Menjijikan sekali”

Aku gigit, pahit, tapi misi selesai.

Disaat yang bersamaan panel biru kembali muncul ditemani dengan suara ding

[Sub Misi telah berhasil dilaksanakan]

“Akhirnya… misi konyol ini selesai juga.”

[Skill baru didapatkan: Sambaran Paruh]

[Keterangan Sambarah Paruh Menu—

“Ah berisik-berisik, aku tidak ingin mendengarkan teorinya.” Sahutku memotong pembicaraan sistem. “Praktik itu bisa membuat pengalaman bertambah.”

Ya benar! Praktik itu bisa meningkatkan pengalaman, dan pada saat aku ingin mencoba skill baru itu seekor capung besar melintas dari arah kiri, sayapnya bergetar cepat dan memantulkan kilau hijau kebiruan dari cahaya sore.

“Target yang cocok.”

Bunyi dengungnya terdengar jelas di telingaku.

WUS! Tanpa sempat berpikir panjang, otot leherku menegang, dan paruhku bergerak lebih cepat daripada kesadaranku sendiri.

Dalam sekejap—

Crunch!

Suara sayap yang bergetar itu berhenti.

Serangga itu kini tergenggam di paruhku, kaki-kakinya masih bergerak lemah sebelum akhirnya diam sepenuhnya.

“Whoa… ini… kuat sekali,” gumamku pelan.

Suaraku nyaris tertelan oleh hembusan angin yang melewati permukaan rawa.

[0, 5 XP]

Aku memicingkan mata. “Kenapa selalu sedikit exp yang didapat?”

[Tidak ada informasi untuk hal tersebut]

“Sepertinya aku harus mencari tahu bagaimana sistem peningkatan level itu bekerja. Karena tujuanku yang paling utama adalah menjadi manusia, dan…”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!