NovelToon NovelToon

Dijodohkan

Dilarang Sebelum Menikah

“Dijodohkan??”

Tawa seorang gadis menggema di sudut ruangan cafe. Seorang teman yang berada di sampingnya hanya tertawa kecil. Mereka sedang menertawakan perempuan salah satu temannya yang sedang menunduk melihat dua sahabatnya menertawakan.

"Kita ini hidup di jaman apa, sih?" ucap gadis memiliki tawa kencang tadi jeda, menyecap kopi lalu meletakan cangkir. "Jaman sudah maju, tapi ... orang tuamu masih saja menjalankan teradisi perjodohan, seperti orang kuno." Ia mencoba menahan tawa.

Ziara Zavanya, gadis sederhana dan periang. Ia termasuk orang sangat tidak menyukai perjodohan. Baginya menikah harus dilandasi dengan atas dasar cinta, keputusan yang diterima kedua belah pihak.

Sedangkan teman yang hanya tertawa kecil bernama Arini, dia adalah salah satu pemilik butik ternama. Ia tidak pernah memiliki keinginan untuk berkomitmen menikah, dia hanya berganti-ganti laki-laki, tapi tidak pernah ingin menikah. Kini ia hanya menggeleng tidak habis pikir dengan pernyataan dari Zia temanya.

"Kalian puas? Kalian enggak tau sih, gimana sedihnya aku," ucap Sita tangannya menyangga wajahnya diatas meja. "Lebih menyedihkan lagi, kalau calon suamiku adalah seorang duda beranak satu. Walaupun dia kaya tapi ... aku ogah, nikah denganya," ucapnya ia terlihat menyedihkan.

"Tinggal kamu tolak saja, kenapa harus menerima dengan mentah-mentah," balas Zia memandang kasihan melihat temannya itu. "Aku bingung, kenapa sekarang banyak istilah perjodohan film, novel, trending tentang perjodohan, aku sangat membenci itu!" Ia berdecak kesal.

"Enggak semudah itu Zie," ucap Sita menghela napas.

Sedangkan Arini hanya sibuk dengan ponselnya, lalu melihat kearah Sita, "Sudah terima saja nasibmu, kalau kamu enggak mau, berikan saja padaku," canda Arini sambil memegangi ponsel.

“Kalian benar-benar tidak memahami keadaanku, aku ini sedang bingung! Arini, tidak perlu dijodohkan kamu juga akan mengejar laki-laki manapun untuk menikah denganmu," balas Sita dengan nada kesal

Arini membulatkan mata tidak terima kaliamat yang diucapkan oleh Sita, seakan-akan mengejek.

"Dan kamu Zia, kamu tertawa puas sekarang, jika suatu saat kamu mengalami kejadian seperti ini, aku tidak akan membantumu!" ancam Sita memalingkan muka, mengerucutkan bibir.

"Aku?" tanya Zia menunjuk dirinya sendiri, lalu ia kembali tertawa. "Tidak mungkin sayang, aku mempunyai prinsip, aku akan menikah dengan pacarku, dia yang kucintai, mustahil kalau aku menikah karna perjodohan."

Zia sudah mempunyai kekasih yang bernama Rio Rahardian cowok yang menjadi pacar pertamanya itu. Ia sangat mencintai Rio dan mempunyai impian untuk menikah dan hidup bahagia, walaupun belum mendapat restu dari orang tua. Pantas aja Zia berani mengucapkan hal itu.

Setelah cukup lama mereka mengobrol disana. Hingga tidak terasa hari menjadi gelap, karena waktu sudah hampir jam 21:00 . Mereka menyudahi pempicaraan dan kembali pulang kerumah masing-masing.

Sesampai di rumah, Zia masih saja terngiang dengan kata ‘dijodohkan’. Baginya hal konyol semua itu, teradisi kuno yang sudah menghilang menjadi cerita sejarah kenapa sekarang masih terjadi. Ia terus bergulat dengan pikirannya sendiri. Ia berjanji pada dirinya sendiri, akan menghilangkan teradisi kuno ini dari dunia yang sudah moderen ini.

***

Pagi hari...

Sinar mentari yang menembus sela-sela kelambu kamar. Sinar hangat itu menyebar ke wajah gadis cantik yang masih menutup mata. Gadis itu merasa cahanya sangat terang sekal. Ia menarik selimut menutupi wajah, menghalangi sinar terang itu.

Iya teringat sesuatu. Perlahan-lahan mengumpulkan kesadaran. Tanganya meraih jam kecil yang berada di nakas. Ia mengucek-ucek mata.

“Jam tujuh pagi,” gumamnya dengan penuh keseganan.

Baru saja ia mengucapkan hal itu, ia terperanjat kaget. Ternyata ia bangun kesiangan.

Hari ini adalah pertama bagi dia untuk memulai pekerjaan yang sangat di inginkan. Segera cepat ia bersiap-siap, tidak mau terlambat di hari pertama bekerja. Jika ia terlambat ini bisa membuat kesan tidak baik di depan pimpinan yang baru saja menerimanya di perusahaan.

"Ibu, kenapa tidak bangunkan aku tadi?" tanya Zia mendekat ke arah meja makan bergabung dengan ayah dan ibunya.

"Ibu pikir, kamu belum masuk kerja hari ini," balas Ibu sembari menata makanan di meja makan.

"Jadwal dimajukan, seharusnya besok lusa, tapi ... pimpinan mendadak menelepon, supaya hari ini langsung masuk kerja," ucap Zia sibuk menata berkas-berkas data dirinya yang belum lengkap.

"Aku pamit dulu ya, Ibu–Ayah, doakan Zia semoga lancar," ucapnya meraih roti tawar memakan sambil berdiri.

"Kamu nggak mau sarapan dulu?" tanya Ayah yang baru muncul dari kamar.

"Nggak Ayah, hari ini adalah pertamaku

bekerja, aku tidak mau terlambat sehingga mengurangi citra diriku."

"Baiklah, hati-hati di jalan, jangan ngebut, jaga diri, jangan pulang malam-malam," ujar Ayah Harto lalu duduk di kursi.

"Baiklah, aku akan selalu mengingat pesan Ayah di mana pun, dan kapanpun." Gadis itu berjalan mencium punggung tangan Ayah dan Ibunya.

Saat ini Zia adalah tulang punggung bagi keluarga. Ayahnya sudah berhenti bekerja setelah menjalani operasi sakit jantung sejak dua tahun silam. Oleh sebab itulah saat ini Zia harus bekerja dengan giat untuk biaya pengobatan sang ayah.

.

Perasaan Zia pagi ini begitu bersemangat menuju ke tempat kerja. Ia sudah tidak sabar ingin segera tiba di sana. Tapi sungguh sayang keadaan tidak memungkinkan. Tiba-tiba motor yang ia kendarai mati ditengah jalan.

"Astaga!" umpatnya berkecak pinggang kesal.

Kenapa harus sekarang?

Zia mencoba memeriksa mesin tapi tidak bisa karena itu bukan keahlianya. Ia menyerah dari pada harus terlambat ia memutuskan untuk mencari angkutan umum. Segera ia mengambil map dan tas untuk di bawa bekerja.

"Kamu kenapa?" sapa suara laki-laki dari arah belakang.

Zia segera membalikan tubuh saat mendengar suara menurutnya tidak asing di telinga itu. Segera ia berbalik dan melihat Rio Rahardian berdiri tegap di hadapanya.

Rio tersenyum menyapa wanita yang ada di hadapanya. "Sayang, sedang apa kamu, disini?" Ia penasaran tidak biasa kekasihnya ada di jalan sepagi ini.

"Aku akan pergi ke kantor, lalu ... tiba-tiba motorku mati," balas Zia tampak mengusap keringat di dahinya. "Kamu sendiri sedang apa berada disini, Rio?" imbuhnya.

"Iya, aku ada urusan."

"Urusan? bukanya itu hotel? penampilamu berantakan pakaian yang kamu kenakan kusut, kamu tidur di sana semalam?" cerca Zia memandang curiga.

Entah apa yang terjadi Rio tiba-tiba menjadi gugup. Bibir dan lidahnya menjadi keluh kaku untuk menjawab pertanyaan Zia. Di suasana pagi hari yang sejuk, kening Rio mengeluarkan buliran-buliran keringat tampak gugup.

"Kamu ini bicara apa sih, sayang?” Rio mencoba mengalihkan pembicaan dengan memeluk dari samping mengajak Zia untuk naik ke mobil.

"Ayo, aku antarkan ke kantormu."

Ziara masih diselimuti rasa penasaran, sebenarnya apa yang di lakukan Rio dari hotel itu. Namun Rio segera merangkul dan membawanya berjalan menuju mobil.

"Aku hanya menemui klient Ayahku, tidak terjadi apa-apa percayalah, sayang.”

"Baiklah, aku percaya," katanya meski dalam hati tidak percaya, dia tidak ingin terjadi masalah yang belum tentu terjadi.

Tidak mau berlama-lama berada di sana, Rio segera menarik Zia masuk ke dalam mobil. Saat di dalam mobil, Zia memandang laki-laki yang ada di sampingnya tidak mengucap satu patah katapun tatapanya tidak sedikitpun menoleh kearah Zia. Hanya tertuju ke jalanan.

“Kamu kenapa?” tanya Zia memecah keheningan.

“Aku, kenapa dengan aku? kamu lihat sendiri, aku tidak apa-apa,” jawab Rio mengerutkan dahi.

"Baiklah."

Suasana menjadi hening kembali mereka berdua hanya fokus ke jalan. Dengan cepat Rio mengemudikan mobil tiba di halaman gedung di mana Zia bekerja.

"Oke, kita sudah sampai," ucap Rio. Ia memarkirkan tepat di halaman.

"Terima kasih, sudah mengantarku," Buru-buru Zia ingin segera turun dan masuk ke gedung yang sudah lama ia inginkan berkerja disana. Dengan cepat Rio menarik tanganya tidak mau kehilangan kesempatan Rio ingin segera mencium wanita yang di hadapanya. Dengan cepat Zia mencegah bibir Rio yang akan mendekat ke arahnya.

"Maaf, aku nggak bisa."

Rio mendengus kesal karena sudah sekian kalinya Zia menolak ciuman darinya.

"Kenapa kamu selalu menolak? kita berpacaran sudah lima bulan, tetapi mengapa aku seperti orang asing bagimu," gerutu Rio.

"Maaf Rio, aku takut aku selalu mengingat pesan dari Ayahku, sebelum menikah aku di larang melakukan sesuatu yang membuat terjerumus kedalam hal yang merugikan."

"Aku kekasihmu, Zia! tidak ada salahnya kalau kita hanya sekedar berciuman.”

"Sudahlah, sudah waktunya untuk mulai bekerja. Maaf Rio."

Zia segera turun dari mobil menoleh kearah Rio berharap dia tidak marah dengan penolakanya. Rio tidak perduli ia memalingkan wajah kesal dan saat Zia sudah berbalik ia menatap punggung Zia yang akan memasuki gedung kantor.

"Suatu saat aku mendapatkanmu,” guman Rio dari balik dalam mobil. Dia adalah laki-laki yang tidak pernah mendapat penolakan dari wanita ia mempunyai rencana untuk Zia. Kecantikannya selalu menggoda hasrat jiwa lelakinya.

Mohon maaf, kalau tulisanya yang tidak beraturan, saya hanya manusia biasa tidak luput dari kesalahan.

Selamat membaca...

Benci Perjodohan

Suasana sore hari yang dirasakan Zia sungguh bebeda dengan sore sebelumnya. Dimana suasana yang ia lalui di kampus belajar dan berkumpul dengan teman-teman sungguh menyenangkan saat itu. Tapi hari ini hari pertama bekerja sungguh berbeda baginya. Ia harus menyelesaikan setumpuk berkas dihadapannya.

"Gimana sudah selesai?" tanya Sita menghampirinya dari samping. Zia mendongak sebentar ke arah Sita.

"Belum, bantu aku dong...." balas gadis itu, kembali sibuk menyusun berkas-berkas.

"Baiklah." Sita segera mendekat membantu memisahkan berkas-berkas yang penting yang menumpuk di meja temannya itu hingga tersusun rapi.

"Akhirnya ... terima kasih Sita." Zia menghela napas lega. Akhirnya bisa menyelesaikan pekerjaan tepat waktu.

Sita menatap Zia ada yang ingin ia sampaikan. Tetapi ia ragu saat akan mengatakan. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Ia ingin mengatakan sesuatu, tentang kejadian semalam saat melihat Rio bergandengan dengan seorang Wanita.

"Zia, aku ... mau mengatakan sesuatu, tapi ... kamu jangan marah, ya?" ucapnya ragu.

Zia memutar kedua bola mata melihat kearah Sita, "Apa?" tanyanya meanutkan alis menanti kalimat Sita.

"Tadi malam, sepulang kita dari caffe, aku melihat Rio di hotel mawar ber...." Sita belum melanjutkan kalimatnya. Ziara sudah melanjutkan memotong.

"Iya, semalam Rio menemui cleint Ayahnya di sana," jawab Zia.

Ingin Sita mengatakan semua, tetapi ia tidak mempunyai bukti jika Zia memintanya. Ia memilih bungkam karna belum yakin. Siapa yang bersama Rio semalam.

Oke, aku akan mencari tau, sepertinya ada yang tidak beres dengan Rio. Setelah aku mendapat bukti, akanku ungkap semua di depan Zia.

"Ayo kita pulang!" ajak Zia membuyarkan lamunan Sita. "Aku tidak sabar, supaya cepat sampai di rumah. Hari ini sangat melelahkan sekali," ucapnya meregangkan otot tangannya.

"Jangan langsung pulang. Kita ke taman yuk!" ajak Sita

"Baiklah."

Mereka meninggalkan ruangan yang penuh tumpukan pekerjaan melelahkan itu. Untuk pergi ke taman, untuk mengobrol. Meraka saling menceritakan kehidupannya masing-masing.

"Apa ... kamu mau membantuku, Zia?" tanya Sita penuh harap dengan air muka sedih menatap temannya itu.

"Pasti, selama aku bisa aku bantu," balas Zia mengenggam tangan Sita meyakinkan. "Katakan, apa yang harus aku, bantu?"

"Bantu aku, untuk keluar dari perjodohan yang menyisaku ini. Demi bisnis orang tuaku, Mama tiriku tega akan menikahkan aku dengan orang yang enggak kukenal. Kumohon Zia, selamatkan aku," ucap Sita memohon, pelupuk matanya menggenang air mata.

"Baiklah, aku akan membantumu, kita akan susun rencana supaya mereka membatalkan perjodohan ini." Zia memeluk Sita yang sedang menangis menepuk pelan punggungnya.

"Kalian di sini??" sapa seorang laki-laki.

Membuat mereka melepas pelukan saat mendengar suara tersebut.

"Sayang, aku cari kamu tadi, aku tanya di kantormu, sudah pulang kata pegawai di sana," ucap Rio.

"Rio kamu datang, aku pikir kamu marah,

karna kejadian tadi pagi," balas Zia senang melihat kedatangan Rio.

Sita menyeka sisa air matanya menggunakan tangan. Ia memandang Rio sinis, di hadapannya yang bertampang maskulin itu. Ia tidak suka melihat Rio berpura-pura di depan Ziara. Ia sangat muak meliahat wajah laki-laki seperti itu seperti playboy segera Sita beranjak meninggalkan mereka berdua.

"Kamu mau kemana, Sita?" tanya Zia.melihat Sita beranjak dari tempat duduk.

"Aku mau pulang, nggak enak di sini jadi lalat, lagi pula banyak buaya keliaran," balas ketus Sita menatap Rio sinis, seolah menyimpan dendam yang membara lalu pergi meninggalkan mereka.

Zia belum paham apa yang dikatakan Sita.

Ia melongo seperti orang kebingungan.

Apa maksudnya buaya? Di taman dimana ada buaya? ia menggaruk kepala tidak gatal.

"Gitu dong, kasih waktu buat temannya pacaran," ucap Rio namun tak terdengar. Sita terus saja berjalan hingga menghilang dari hadapan.

"Apaan sih," ucap Zia tersipu.

Hingga tidak terasa suasana sudah memasuki senja hingga langit berubah warna menjadi jingga. Matahari tenggelam telah usai meleksanakan tugas untuk menerangi bumi. Esok ia akan kembali bercahaya membawa keterangan yang hangat.

Di bawah senja Zia dan Rio menikmati.

Betapa indahnya suasana ini. Cewek itu menyandarkan kepala di pundak Rio.

pasangan yang membuat iri siapapun saat

melihat dua anak manusia yang di

mabuk cinta.

"Sayang, sampai kapan orang tuamu akan merestui

hubungan kita? aku sudah tidak sabar ingin tidur denganmu. Eh. "

"Apa!" Mata Zia medilik tajam mendengar kalimat Rio.

"Maksudnya hidup denganmu." Rio menyeringai. "Jadi kapan?"

"Entah ... ayah belum mengatakan apapun.

justru semakin protektif. Beliau selalu mewanti-wanti supaya aku tidak menemui kamu," ucap Zia menunduk sedih.

Rio megusap pucuk kepala, dan memeluk cewek itu. "Kamu tenang, lama-lama juga

mereka memberi restu."

"Kita nonton?"

"Aku capek, pengen cepat-cepat pulang,

maaf ya sayang," ucap Zia.

Sebenarnya capek hanyalah tameng, sebagai

alasan supaya tidak pergi dengan Rio. Ia merasa aneh dengan perubahan sifat cowok itu. Akhir-akhir ini ia meminta hal lebih darinya, sehingga membuat Zia tidak nyaman. Ia selalu ingat kata-kata orang tua. Pesan

yang selalu menjadi pegangan untuknya. Untuk terhindar dari perbuatan tercela. Bisa merugikan diri, kehormatan sebagai seorang wanita.

"Oke, tapi janji lain kali aku tidak mau dengan kata menolak. Dan cepat bujuk orang tuamu, aku sudah tidak sabar ingin menjadi suamimu. Membuat kamu dan calon anak-anak kita bahagia," ucap Rio.

"Kamu terlalu jauh sepertinya, menikah aja belum, sudah membayangkan punya anak," canda Zia memukul pelan dada Rio.

"Secepatnya itu akan terjadi, sayang...." lirih Rio di telinga kekasihnya itu.

"Kamu mencintaiku?"

"Kamu ini bertanya atau mengejek, hah?!" Rio mencubit hidung gemas melihat kekasih polosnya itu.

Zia terdiam sejenak, kembali mengingat Sita entah kenapa? Dia kepikirkan kalimat temanya itu. Seolah ia merasakan penderitaan yang dialami Sita.

Dan tiba-tiba ponsel Zia berdering. Ia melihat tertera nama Sita di sana.

"Siapa?" tanya Rio saat melihat Zia memandang layar ponselnya.

"Sita, aku angkat sebentar." Rio mengangguk.

"Semua sudah terlambat, Zia," ucap Sita sembari menangis tersedu-sedu.

"Apa yang terjadi, Sita?" tanya Zia panik.

"Orang tuaku sudah menentukan hari pernikahanku, Zia. Mereka membawaku ke luar kota untuk menikah di sana. Saat ini aku menelepon di toilet." Sita menutup teleponnya tanpa memberi tahu Zia sebelumnya.

Seketika tubuh Zia lunglai, ia merasa gagal menyelamatkan temannya dari pernikahan paksa yang tidak diinginkan. Ia menyesal kenapa tidak segera membantu justru malah menertawakan saat Sita memberi tahu.

"Aku benci perjodohan, aku benci!!" pekiknya berlutut di tengah-tengah taman.

Rio memeluk tubuh Zia untuk beranjak bangun membawa ke mobil untuk mengantarnya pulang.

"Jangan sedih, lama kelamaan Sita juga akan cinta," ucap Rio sambil mengemudikan mobilnya melihat Zia sedih.

"Bagai mana kamu tahu?"

"Tentu saja aku tahu, aku sering baca cerita teman-temanku. Bahkan orang tuaku dulu mereka menikah karna dijodohkan."

"Itukan dulu, sekarang sudah tidak perlu lagi tradisi semacam itu, hal yang konyol menurutku. Orang tuamu tidak akan menjodohkanmu dengan teman bisnisnya atau semacamya kan, sayang?" tanya Zia menatap Rio.

"Kalau aku dijodohkan aku akan menikahinya, menjadikan istri pertama dan selanjutnya aku akan menjadikanmu istri kedua. Aku akan selalu bersama istri kedua-ku," kelakar Rio.

"Jawaban yang ngacok." Zia.memukul lengan Rio pelan.

Mereka bercanda disepanjang jalan, hingga tiba di halaman rumah Zia. Saat gadis itu akan masuk ke dalam rumah Rio tersenyum dan mereka saling melambai.

"Heemmm!

Seketika Zia menggaruk kepala yang tidak gatal ia gugup saat melihat Ayahnya di depan pintu menatap tajam.

NEXT...

Berbohong

Hari minggu adalah hari yang sangat dinanti-nanti oleh Zia dimana ia merencanakan berlibur dengan Rio ke pantai di luar kota. Perasaan menggebu-gebu itu karena sudah tidak sabar ingin segera bertemu dengan kekasihnya untuk berlibur bersama.

Namun ada satu yang mengganjal di hati. Ia bingung untuk mencari alasan tepat untuk meminta izin kepada orang tuanya. Ia ragu saat mendekat kearah Ibu–Ayahnya yang sedang duduk berdampingan di kursi teras.

Sebelum melangkah ia menarik nafas panjang agar tidak terlihat gugup memberanikan diri untuk berbohong. Hal ini sangat sulit karena ia tipe anak yang jarang berbohong.

"Ayah–Ibu," sapanya ragu.

Kedua orang tuanya seketika menoleh saat mendengar suara ia memanggil.

"Waah Kamu maunkemana, Zia? Tumben pagi-pagi sudah rapi dan cantik," kata Ibu.

Ia semakin gugup meski sebelumnya ia sudah berlatih. Tapi, saat berhadapan dengan mereka lidahnya terasa kaku saat akan berucap.

"Kamu mau kemana?" tanya Ayah tanpa menoleh kearah Zia. Hanya fokus membaca surat kabar.

"Ak–aku ...." ucapnya terbatah-batah.

Ibu menautkan alis menunggu ucapan Zia. "Mau kemana, nak?" tanyanya.

"Aku mau ke pantai." Akhirnya setelah ia susah-payah untuk berucap kalimat itu keluar juga. "Hari ini aku ada janji dengan Arini, kami akan pergi untuk menghabiskan akhir pekan ke luar kota."

"Benarkah?" tanya ayah.

Zia mengangguk, takut kalau ketahuan. Karena Ayahnya mendilik curiga seolah tidak yakin dengan ucapannya.

"Baiklah, kalau kamu pergi dengan Arini, aku tidak masalah. Tapi ingat, jangan pulang malam-malam. Apa ada Rio bersama–mu?" selidik Ayah curiga.

Zia menggeleng kepala dengan cepat. aku "Tidak Ayah, aku hanya bersama Arini tidak ada yang lain."

"Pergilah, Nak. Jaga dirimu, hati-hati!" ucap ayah.

"Benarkah!" Seketika wajah Zia merekah saat ia diberi izin untuk pergi. "Terima kasih, Ayah," ia memeluk ayahnya.

"Jadi, hanya Ayah yang dipeluk? Ibu nggak nih?" ucap Ibu melirik iri melihat Zia memeluk suaminya.

"Ibu, aku sayang Ibu...." Zia mencium pipi sang Ibu dengan cepat. Ia segera pergi meninggalkan mereka.

**

Di dalam sebuah apartman Arini masih nyaman dengan tidurnya. Ia kesal karena Hpnya berdering mengusik tidurnya. Ia coba mengabaikan namun suara itu terus berbunnyi. Hingga membuat mata terbuka malas.

["Ada apa sih, ganggu tidurku pagi-pagi begini?"] jawab Arini nada kesal.

["kita Jalan-jalan yuk! Cari udara segar,"] ajak Zia.

["Memangnya kamu mau kemana?"] tanya Arini.

["Aku dan Rio akan pergi kepantai"] Jawab Zia.

["Ogah, aku nggak mau ikut. Mending aku tidur seharian di kamar, dari pada ikutin kalian pacaran"]

"Hallo, hallo, hallo Zia! Yah ternyata dia mematikan ponselnya." Arini membuang napas kasar lalu kembali menjatuhkan tubuhnya ke kasur. Melanjutkan tidur yang belum usai dengan lelap.

Zia dan Arini mereka adalah teman dari semenjak sekolah SMA hingga melanjutkan kuliah di Universitas yang sama. Sampai saat ini hubungan mereka masih dijaga dengan baik.

Begitupun dengan orang tua Zia mereka selalu mengganggap Arini dan Sita seperti anak sendiri. Karena orang tua Arini sedang berada di luar negeri.

Setelah Zia menutup telefon, ia menyuruh Rio untuk menepikan mobil ke depan mini market dan Rio hanya menepi di seberang jalan.

"Tunggu sebentar aku akan membeli minum, apa kamu ingin memesan, sesuatu?"

"Permen dan soff drink."

"Baiklah, tunggu!" Zia segera menyebrang untuk ke minimarket.

Rio baru menyadari ia melupakan sesuatu kembali melajukan mobil meninggalkan Zia.

"Tidak ada salahnya kalau aku tinggal sebentar, aku akan segera kembali" batinnya.

Sesaat Rio pergi, mobil yang sama persis berhenti tepat seperti posisi mobil Rio, sebelumnya, sang pemilik buru-buru sehingga tidak menguncinya.

Zia keluar dari mini market segera ia menuju mobil dimana kekasihnya parkir. Ia mengira mobil yang ia duduki adalah mobil Rio tidak menyangka kalau itu mobil orang yang tidak dikenal. Ia menunggu di dalam mobil yang tidak berpenghuni sambil meneguk minum.

Tuk,tuk, tuk!

Suara ketukan kaca mobil. Ia takut segera mengunci mobil dari dalam, saat melihat seseorang mengetuk dari pintu samping, karena takut laki-laki itu adalah begal.

Namun suara ketukan bertambah nyaring, ia menciut menutup telinga berharap pria tersebut segera pergi dari sana.

"Tolong aku ... kamu dimana Rio selamatkan aku." lirih Ziara.

Seorang laki-laki tersebut sudah mulai lelah menyuruh gadis di dalam sana untuk membuka pintu mobil. Untuk pertama kalinya seorang berani masuk kedalam mobil tanpa izhinnya.

"Berani sekali dia, masuk mobilku se–enak jidat!" ia segera merogoh ponsel dan mengetik untuk ditunjukan kepada Ziara.

Tuk, tuk, tuk!

Ia kembali mengetuk saat Ziara menoleh kearahnya ia menunjuk ke layar hp di tangan yang bertuliskan.

[Keluar dari mobilku!]

Ziara nampak bingung, melihat sekeliling di dalam mobil seperti berbeda, dari mobil Rio. Akhirnya ia membuka pintu. Tapi ia masih mengira bahwa itu adalah mobil Rio.

"Siapa kamu?"

"Seharusnya, aku yang bertanya siapa, kamu? Dan se–enaknya masuk ke mobilku!" ucap laki-laki tersebut kesal.

Bukannya takut Ziara justru malah menertawakan pria tersebut seolah-olah mengejek.

"Siapa bilang ini mobilmu?" ucapnya tidak percaya melanjutkan tertawa kembali.

Laki-laki yang sedang dihadapannya menjadi geram, segera ia menarik tangan gadis yang tertawa puas itu.

"Kamu lihat, ini!" ia menunjukan surat-surat kendaraan di dalam. Seketika mulut Ziara terkunci, tidak mampu menahan rasa malu.

"Masih ragu?!" ucap seorang kesal.

Ziara menjadi gugup berharap seseorang membawa ia pergi dari hadapan laki-laki yang mencercanya.

Dan ternyata malaikat penolong datang tepat waktu. Rio datang disaat Ziara membutuhkannya. Ia membunyikan klakson tanpa menunggu Ziara dari dalam mobil. Segera Ziara berjalan masuk ke mobil meninggalkan laki-laki yang menyorot tajam.

"Hei, mau kemana? Urusan kita belum selesai!" pekiknya. Namun Ziara tidak perduli ia melanjutkan perjalanan dengan kekasihnya.

"Dasar wanita aneh!"

"Kamu kenapa, sayang?" tanya Rio saat melihat kekasihnya itu gugup.

"Tidak apa-apa, hanya ada sedikit kesalahan."

———Samar Jenny———

Ayo ikuti terus kelanjutan kisah Ziara.

Jangan lupa Vote, like dan komen dukungan kalian sangat berarti bagi saya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!