Seorang gadis sedang berdiri dengan emosi, mengerutkan dahi dan menggertakkan giginya menatap pasangan baru di depannya. Kedua telapak tangannya mengepal. Si lelaki yang baru beberapa hari menjadi kekasihnya, memilih untuk bersama gadis lain.
Muak.
Itu yang dia rasakan saat memandang keduanya.
"Kita putus," ujar pria itu datar.
Perempuan yang tak lain adalah temannya sendiri, telah menggandeng pria di depannya, yang sekarang resmi berstatus sebagai mantan kekasihnya.
"Oke, Putra Sanjaya! Buat apa juga aku mempertahankanmu, 'kan?" jawab gadis bernama Kiki itu sambil melengos.
"Kamu gadis miskin, Kiki! Nggak pantas pacaran sama Putra! Akulah yang pantas! Queensya Putri Wijaya, putri kedua salah satu pengusaha terkenal di negeri ini, Raymond Wijaya! Siapa kamu dibandingin sama aku?? Kamu hanya pembantu di rumah Bu Yayah, kan?"
Kiki harus bekerja sebagai asisten di rumah seorang nyonya yang kejam untuk mendapatkan uang demi mengisi perut, karena sebelumya dia tak memiliki keahlian apapun.
"Ya, aku ini miskin. Nggak pantas sama kamu, Putra, anak pengusaha yang cukup baik di negeri ini, tapi inget ya! Walau gimana pun, aku ini hidup dengan berusaha sendiri!" ujar Kiki.
Gadis bernama Kiki itu merasa sangat kesal.
"Ya ... syukurlah kamu sadar kalau miskin!" Gadis bernama Queensya yang menggelayutkan tangan ke lengan putra melengos.
Kiki mendekat lalu menarik kerah baju Queensya, kemudian tangannya telah bersiap untuk menampar perempuan yang sekarang ketakutan, tapi tangan Kiki ditepis oleh Putra hingga kerah baju itu terlepas.
"Gadis miskin! Jauhkan tangan kotormu dari pacarku!" ujar lelaki itu.
Senyum kemenangan tersungging di wajah Queensya. Dia membenahi kerah bajunya lalu melipat tangannya melihat drama itu. Kekasih yang berhasil direbut telah membelanya.
"Huh, oke lah! Nggak sudi aku melihat kalian lagi, pengkhianat!"
Kiki berbalik, melangkahkan kakinya kembali ke rumah majikannya. Bulir air mata yang semula ia tahan, kini meluncur begitu saja di kedua pipinya yang mulus. Tak kuasa menahan kesedihan dan kekecewaan. Putra, lelaki yang baru saja dia kenal dan berpacaran dengannya selama tiga hari, seketika memandangnya rendah karena mengetahui bahwa Kiki bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah pasangan suami-istri yang memiliki dua anak kecil.
"Lelaki macam apa itu, dia hanya memandang status untuk menjalin sebuah hubungan!" gumamnya.
Gadis itu berjalan menjauh dan berlalu bersama dengan tertawaan dan hinaan pasangan yang baru jadian itu. Dia menendang kerikil sepanjang jalan karena jengkel.
Dia kembali ke toko tempat dia bekerja seadanya demi mendapatkan uang yang harus dia tunjukkan pada papinya sesuai perjanjian.
Kiki, yang tak lain adalah Yuki, menjalani kehidupan di luar rumahnya yang penuh kenyamanan. Semua ini bermula dari keinginan orang tuanya agar dia belajar menghadapi sendiri dunia luar yang penuh konflik untuk dapat bertahan dan suatu saat nanti bisa memegang sendiri perusahaan terbesar senegeri ini milik ayahnya.
Satu bulan yang lalu,
Yuki Amaranggana, adalah putri tunggal pengusaha nomor satu senegeri ini, Bhanu Tungga Jaya. Pria itu menyuruh anak gadisnya untuk keluar dari rumah demi mendapatkan penghasilan dari jerih payahnya. Apapun pekerjaannya, asalkan halal.
"Kamu sudah besar, Nak. Keluarlah dari rumah ini! Manjamu semakin menjadi di dalam rumah!"
"Papi jahat! Aku nggak bisa lah, mencari uang pake cara apa??" tolaknya.
"Apapun caramu! Bawa uang sebanyak tiga puluh juta saja dari jerih payahmu sendiri. Jika tidak, warisan perusahaan Papi akan berpindah untuk pembangunan rumah yatim piatu saja, daripada berada di tangan gadis manja dengan resiko bangkrut dan tak akan berkembang. Sanggup??" tantang pria paruh baya itu.
"Gesek ATM aja 'kan, Pi?" jawabnya enteng. Uang yang disebut adalah besar uang sakunya setiap bulan.
"Maaf, udah diblokir," ujar pria itu dengan nada mengejek.
"Papi??!" protesnya. Mata gadis itu membulat sempurna. Ingin rasanya mengumpat, tapi takut dosa, karena di depannya adalah papi yang sangat dia sayangi.
"Apa tujuan Papi menyiksaku seperti ini??" protesnya lagi.
"Papi bukan menyiksamu, Sayang. Hanya kamu terlampau manja di rumah ini. Belajarlah untuk bertahan hidup! Kamulah satu-satunya pewaris perusahaan Papi!" Wanita cantik yang delapan belas tahun yang lalu telah melahirkannya menjawab pertanyaan Yuki.
"Bahkan Mami pun mendukung rencana Papi?? Astaga ...." Gadis itu melipat tangannya yang halus dan mulus karena tak pernah menyentuh pekerjaan di rumah. Mengupas rambutan saja dia banting-banting.
Wanita itu malah tersenyum.
Tiga puluh juta baginya adalah nominal yang sangat-sangat sedikit, tapi jika dia harus bekerja untuk mendapatkannya, apalagi dengan syarat-syarat yang diajukan oleh papinya, rasanya ingin tenggelam saja ke bumi.
Syaratnya adalah ... dia harus bekerja apapun asal halal, tanpa modal, tanpa turun tangan ayahnya, tanpa menggunakan nama ayahnya dan dengan menutupi identitasnya. Panggilannya bukan Yuki seperti yang sudah terkenal di khalayak media. Melainkan dia harus memperkenalkan diri sebagai Kiki pada orang-orang. Sedangkan, dia adalah mahasiswa baru, di universitas biasa pula, bukan universitas yang elit, menonjolkan kekayaan pribadi masing-masing. Ayahnya hanya akan membayarkan uang kuliah saja. Entah bagaimana ayahnya pun bisa menutup rapi nama lengkap anak perempuan satu-satunya itu di universitas.
Gadis itu memejamkan mata, menghela napas.
"Cobaan apa ini?" gumamnya pelan.
Aku memang tidak pernah dimunculkan ke media manapun oleh kedua orang tuaku, orang-orang hanya tahu namaku tanpa tahu seperti apa wajahku. Biasanya sekolahku jalur home schooling yang aku pilih untuk mencari ilmu. Andai aku dulu banyak bergaul ....
Dia mulai menyesali keegoisannya dulu. Bukan karena home schooling, tapi karena dirinya sendiri yang terlalu introvert terhadap orang luar.
"Mulai besok, kamu sudah harus keluar dari rumah ini," ujar ayahnya tersenyum.
"Be-Besok??"
Kenapa mereka begitu kejamnya padaku setelah sekian lama mereka terlampau sayang padaku?? Apa yang merasuki mereka?? Aarrrgh!!
*
Begitulah ceritanya hingga gadis itu keluar dan bekerja membantu pekerjaan di toko dan rumah sepasang suami-istri yang agak galak pula. Namun, bagaimana lagi? Selain kepepet, dia tak memiliki keahlian apapun. Bekerja di rumah itu pun harus banyak belajar, hingga tuan rumah sering merasa kesal karenanya.
Sekarang, dia pun harus menelan pil pahit karena diputuskan kekasih satu-satunya penghibur baginya. Namun, ditepiskannya kesedihan itu.
"Setidaknya aku tahu sifat lelaki itu seperti apa!" Tangan gadis itu mengepal. Sudah jelas baginya, semua telah diperlihatkan oleh Tuhan, lelaki dan teman yang buruk, karena menilai sesuatu dari harta saja.
Tekadnya sekarang bulat untuk mengumpulkan uang demi tantangan ayahnya dan dia akan berjuang untuk menghadapi tantangan dunia luar yang begitu kejam.
"Aku harus bisa mengumpulkan uang dari hasil jerih payahku sendiri, meski bagaimana pun caranya, asal halal! Aku harus menunjukkan pada mereka bahwa aku, Yuki Amaranggana adalah gadis yang berpotensi dan tahan banting untuk mempertahankan perusahaan Papi kelak!"
******
Plagiarisme melanggar Undang-undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Saat Yuki tiba di rumah, pemilik rumah sekaligus toko telah menghadangnya di depan pintu.
"Dari mana saja kamu??!" tanya Bu Yayah, si pemilik toko kesal, karena Yuki lama tidak kembali.
"Maaf, Bu. Saya baru saja bertemu dengan teman."
Yuki menundukkan kepalanya, jantungnya berdetak cepat. Baru kali ini dia dimarahi oleh seseorang dan gadis itu merasa sangat ketakutan.
Ibu Yayah akan marah sekali padaku kalo aku bilang abis ketemu sama lelaki.
"Kamu ketemuan sama cowok??" selidik Bu Yayah.
Yuki menggelengkan kepalanya. Masih sembari menundukkan kepala. Wajahnya pucat. Ingin rasanya dia berteriak meminta pertolongan asistennya, seperti yang biasa dia lakukan saat hanya tak bisa melakukan sesuatu di rumah. Namun, hal yang mustahil. Kedua orang itu tak akan membantunya saat ini. Bu Yayah pun tak akan percaya jika dia adalah anak orang kaya, meski wajah dan kulit tubuhnya begitu terawat sempurna. Di tasnya hanya ada beberapa pakaian sederhana ala anak biasa, bukan yang ber-merk mahal, yang memenuhi lemari pakaiannya di rumah.
"Bohong!!!" sentak Bu Yayah.
Gila, dia bikin jantungan aja! Papiiii!! Tanggung jawab kalo aku keluar dari rumah ini kena serangan jantung!! Aku nggak biasa dibentak-bentak!
Namun, mau gimana lagi, Yuki sangat membutuhkan uang. Dia ingin protes dan membalas, tapi keadaan yang membuatnya diam. Dia hanya mengambil napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya.
"Iya, saya bertemu cowok, tapi tidak saya sengaja, Bu. Hanya menyelesaikan masalah."
Akhirnya kejujuran meluncur dari mulutnya.
"Kamu! Baru berapa hari kerja di sini! Numpang makan! Udah kukasih keringanan buat pagi kuliah!! Masih saja bersikap buruk!! Apa kamu tau, ketemu dengan cowok di pinggir jalan, itu termasuk sikap yang tidak bagus!!"
Yuki terdiam. Jantungnya masih berdegup kencang sekali.
Iya, benar ketemu dengan cowok di pinggir jalan nggak bagus, apalagi di tengah jalan. Huh, udah diputus, masih dimaki pula sampe rumah. Aku ketemuan sama cowok itu juga nggak seneng-seneng! Bahkan malah kesal, sekarang kena maki. Huh!
"Kenapa?? Tadi kamu pamit sebentar, eh ternyata lama sekali!! Tadi yang beli berdatangan sampe aku kewalahan!! Huh, nggak seneng dinasehati?? Kamu ini berasal dari mana juga aku nggak ngerti! Lumayan juga kan buatmu kalo aku mau menampungmu, kan!!" lanjutnya.
"Maafkan saya, Bu Yayah. Saya mau dinasehati, saya nggak akan mengulanginya lagi."
Gadis itu menunduk, menyesali perbuatannya. Meski dia merasa tak melakukan kesalahan, tapi di mata Bu Yayah, apa yang dia lakukan tak baik. Yuki harus mengalah kali ini. Dia teringat jika asisten-asistennya di rumah melakukan kesalahan, maka dia juga suka memarahi mereka.
Ah, maafin Yuki, Bik Sar, Mbak Ninik ....
Gadis itu teringat kedua asistennya di rumah, asisten pribadinya, dan masih ada beberapa asisten lain.
Dia masih berdiri di depan pintu, menunduk dan terlihat menyesali apa yang telah dia lakukan. Kenapa dia mau menemui Putra yang ternyata hanya mau memutuskannya saja. Tau akan seperti ini, dia nggak akan menemui lelaki itu lagi. Dia bersumpah akan membalas semua perbuatan keduanya suatu saat nanti.
"Masuk! Cuci pakaian di belakang!! Setelah itu cuci piring! Sapu lantai! Lalu pel sampai kinclong!" Wanita itu menunjuk ke arah dalam rumah.
Yuki terbelalak, tapi mengangguk juga. Dia lalu masuk ke dalam. Sementara Bu Yayah menunggui toko sembako yang berada di samping rumahnya.
Saat Yuki tiba di kamar mandi, betapa terkejutnya dia. Pakaian Pak Hendra, suami Bu Yayah hingga pakaian anak lelaki dan perempuan Bu Yayah yang bernama Wildan dan Aurel pun teronggok sempurna menyerupai gunung Alpen.
"Hah?? Mereka nggak ganti berapa hari sih?? Pakaian menumpuk segitu banyak?? Mana nggak ada mesin cuci, lagi ...." keluh Yuki.
Baru kali itu sejak pertama dia datang, Yuki harus mencuci dan melakukan pekerjaan rumah Bu Yayah. Selama dua minggu ini, dia hanya diberi tugas untuk menjaga toko saja. Tangan halusnya meraih ember besar, kemudian mengisinya dengan air hingga penuh. Dimasukkannya tumpukan pakaian itu ke ember.
"Ah, pakai mesin cuci saja aku nggak bisa! Apalagi pakai tangan? Kalo kira-kira, mencuci ya seperti ini kan, ya?"
Saat di rumah Bu Yayah, Yuki sudah terbiasa mencuci bajunya sendiri selagi mandi. Awalnya canggung juga mencuci. Namun, karena terpaksa, bisa juga dia mencuci bajunya sendiri. Hanya sedikit baju setiap cuci. Nah, ini segunung baju yang akan dikerjakannya.
Diambilnya satu per satu pakaian lalu ditaburi banyak detergen, kemudian mencuci baju dengan tangan halusnya. Dia membayangkan muka si Putra dan Queensya saat mengucek sambil mengumpati mereka. Jadi, bajunya benar-benar bersih karena kerasnya kucekan itu. Sesekali dia mengelap keringat yang menetes di keningnya. Setelah mengucek, diperas lalu dilemparkan ke ember besar satunya lagi. Begitu seterusnya. Begitu banyak sabun detergen yang dia pakai. Hingga sebuah suara mengagetkannya.
"Heh! Lihat caramu mencuci! Bodoh!! Harusnya kamu rendam dulu pakaian-pakaian itu di dalam ember dengan air sabun!! Kamu ini!! Masa begitu saja nggak tahu!! Hiih!!!"
Yuki terperanjat mendengarnya. Sontak dia berdiri lalu menatap ke arah suara. Bu Yayah sudah berkecak pinggang di belakang gadis itu. Tiba-tiba, saking kesalnya, wanita itu mengarahkan tangan ke telinga Yuki. Seketika telinganya panas karena jeweran Bu Yayah.
"Aduh!! Maaf Bu! Saya bener-bener nggak tau cara mencuci banyak baju!!" Dia mencoba memegang telinganya agar tak ditarik lebih kencang lagi oleh Bu Yayah.
"Biasanya saya mencuci baju yang saya pakai saat mandi, caranya begini!" serunya masih memegangi telinganya yang memerah, tapi sudah dilepaskan oleh Bu Yayah.
"Pemborosan!! Kamu itu sudah numpang! Pakai-pakai sabun gratis, makan gratis, tapi ngga tau hemat! Anak perempuan nggak bisa apa-apa!! Diajari apa sih sama orang tuamu??"
Yuki mulai terisak.
"Awas ya! Kalo sampai belanja sabun bulan ini terjadi pemborosan! Kamu harus ganti pake gajimu!"
"Iyaaa ... maaf, Bu Yayah!" isaknya pelan.
"Untung gadis macam kamu bisa kuliah, katamu kuliah jalur prestasi! Bayarnya murah, kan? Apalagi bisa numpang tidur dan makan di rumahku! Kamu mengiba agar bisa kerja di toko dan membantuku, supaya kamu dapat uang saku! Heran aku, anak perempuan sepertimu mending nggak usah kuliah! Di rumah aja! Toh kelak pun hanya jadi tanggungan suami! Harusnya malah kamu belajar mengerjakan tugas rumah biar pinter kerja rumahan seperti ini!" omel wanita itu.
Wanita galak itu beranjak pergi meninggalkan gadis itu dengan kesal.
Yuki menghapus air mata, mengelus telinganya yang terasa panas. Baru kali ini juga wanita itu menjewer telinganya. Gadis itu kembali menyelesaikan cuciannya sesuai arahan Bu Yayah.
"Yuki, mengalah dan kamu harus bisa! Tiga puluh juta saja ... baru kamu bisa kembali ke rumah besar dan mewahmu itu!!" gumamnya. Menyemangati dirinya sendiri.
Setelah beberapa lama, akhirnya Yuki tinggal membilas semua pakaian itu. Dia menekuk jemari tangannya hingga sendi-sendinya berbunyi. Betapa capeknya dia!
Hmm ... benar juga sih yang dikatakan Bu Yayah. Aku kerepotan juga membilas kalo sabunnya terlalu banyak, tapi cara bicaranya kasar sekali, dan tugasnya banyak sekali .... Ah, Papiii ... Mamiii ... Teganyaa kalian! Aku ingin rebahan!!
******
Plagiarisme melanggar Undang-undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Pagi menjelang siang, kala itu Yuki masih sibuk bekerja di rumah Bu Yayah. Dia meniup telapak tangannya yang terasa panas terkena detergen.
"Sabun detergen kalo kena tangan, panas juga tenyata ya? Aku baru tau ...." gumamnya memperhatikan tangannya yang merah-merah.
Dia mengangkat ember yang penuh dengan pakaian yang telah bersih ke tempat penjemuran.
"Kiki! Pakai hanger dong! Kalo kamu bentang-bentangkan begitu, makan banyak tempat!" Suara seorang pria membuatnya terperanjat.
"Tau, tuh si Kiki! Kerjanya nggak becus!" lanjut omelan dari wanita di sebelah pria itu.
Pak Hendra dan Bu Yayah telah berdiri di belakangnya.
"Maaf, Pak, Bu. Saya kan baru belajar!" ujar Yuki.
"Gadis seumuranmu itu, harusnya bisa pekerjaan-pekerjaan rumah seperti ini! Masa kamu nggak mudheng harus pakai apa, pakai apa kalo nyuci! Dari tadi lho kuperhatikan!" omel Bu Yayah.
"Tuh! Pakai hanger! Kalo mau pake jepitan baju ada di kotak itu!" seru Bu Yayah.
"Ya, Bu." Yuki segera meraih hanger lalu menggunakannya untuk menjemur baju-baju itu.
"Gini kan, Bu?"
Bu Yayah menghela napas. "Iya, masa kamu nggak tau sih, Ki! Udah buruan! Masih banyak kerjaan rumah!"
"Iya, iya, Bu."
"Kamu! Iya, iya aja! Mbok yang bagus bilangnya! Nadanya itu lho!! Sama juragan kok ngomongnya gitu!"
Eh, astaga lupa!
"Baik, Bu ...." ujar Kiki berubah sopan lalu melanjutkan pekerjaannya.
Sabar ... sabar Yuki. Kamu harus mengatur emosi. Kalo jengkel, di mana lagi bisa dapat kerjaan dan tumpangan tidur? Batinnya.
Setelah menjemur pakaian yang telah dia cuci dan mengembalikan ember kosong, Kiki berjalan ke arah dapur. Setumpuk piring kotor memenuhi pandangan matanya kali ini.
"Ya ampun, apa tempat cucian piring semua orang seperti ini, ya?? Alahmak! Aku bahkan belum pernah menginjak lantai dapur rumahku. Sekalinya masuk dapur orang mau nyuci piring, eh piring kotornya setumpuk! Ah, semoga bener setetes sabun itu konon bisa mencuci setumpuk piring kotor!" gumamnya melihat pemandangan abstrak di depannya.
Yuki bergerak ke arah tempat cuci piring, meraih spons lalu menitikkan sabun ke spons. Lalu mengusap wajan lurus dengan spons.
Wus!
Lancar? Nggak juga. Ternyata kotoran di piring dan wajan masih membandel dan sepertinya terlalu berminyak. Belum lagi pantat wajan yang sudah terlalu hitam legam.
"Susah! Mimpi! Yuki bodo! Kemakan iklan banget sih! Nggak semudah itu ternyata!" gumamnya sendiri.
Dia menambahkan lagi sabun cair hijau ke spons, lalu diremas hingga memunculkan busa yang banyak.
"Eh, menyenangkan ternyata main spons cuci piring! Hahahaha!" Yuki tertawa sendiri.
Gadis itu segera menyelesaikan pekerjaannya.
Tuk! Tuk!
Sodokan anak kecil di belakang membuatnya menoleh.
"Eh, Aurel!"
Si anak kecil menyodorkan mangkuk plastik yang berminyak ke arah Yuki. Anak itu segera pergi setelah menyerahkan mangkuk.
"Hmmm, dasar anak-anak, nyodorin trus diem aja tinggal pergi. Eh, sama ya kayak aku di rumah ...." Yuki menyadari kelakuannya di rumah.
Akhirnya sekarang dia merasakan apa yang dirasakan oleh asisten-asistennya. Yuki menggelengkan kepala menyadari hal itu.
Dengan cepat Yuki mencuci piring-piring dan wajan kotor itu lalu meletakkan di tempat rak piring.
"Masih berminyak!" ujar Bu Yayah yang tiba-tiba sudah berada di sampingnya dan menyentuh membentuk huruf V pada mangkuk plastik anaknya tadi.
Aih, ibu ini seperti jin pengawas yang tiba-tiba udah ada aja di sekitarku! Fyuh! Dari mana coba, cepet amat!
"I-Iya, Bu Yayah."
Yuki mengulangi pekerjaannya lagi, daripada dimarahi lagi oleh Bu Yayah.
Setiap piring yang dia cuci, disentuhnya persis seperti Bu Yayah menyentuh mangkuk plastik tadi.
Badan Yuki sudah sangat pegal rasanya. Setelah mencuci piring selesai dengan tenaga ekstra untuk membuat semua peralatan dapur itu bersih, dia masih harus menyapu dan mengepel rumah Bu Yayah yang luasnya tak sampai seperempat rumahnya. Namun, membuatnya lelah.
"Perhatikan kolong-kolong !!" teriak Bu Yayah.
"Iya, Bu!"
Yuki membungkuk meraih kotoran dan debu dengan sapu.
"Uhuk! Uhuk! Hatciihhh!!" Yuki teringat bahwa dia alergi debu. Jika terkena debu, dia pasti bersin-bersin.
"Ih, pake masker sana!! Bisa-bisa nyebar virus kamu!"
Bu Yayah menunjukkan lemari masker ke Yuki. Gadis itu menutup hidungnya saat bersin lalu berjalan ke wastafel untuk mencuci tangan lalu berjalan ke arah lemari penyimpanan masker. Dia mengambil satu, lalu memakainya dengan benar.
Kenapa nggak pake vacuum cleaner sih rumah ini??
Gadis itu melakukan pekerjaan rumah sangat lama, baru sekali ini dia memegang sapu.
"Harus bersih, harus bersih!" gumamnya sendiri.
"Suamimu brewokan kalo nyapu nggak bersih!!" ujar Bu Yayah.
Ah, kalo brewokannya kayak Reza Rahardian ya aku nggak akan nyapu aja kali! Hahaha ....
"Heh, kenapa tersenyum-senyum! Kamu inget apa soal brewokan??!" Bu Yayah berkecak pinggang melihat gadis itu.
"Eh, nggak Bu!"
Yuki berbalik lalu melanjutkan pekerjaannya.
Ugh, gara-gara bayangin cowok ganteng! Grrr ... kebiasaan!
Gadis itu segera menyapu lalu mengepel lantai. Yuki mengedarkan pandangannya ke sekitar, mencari alat pel yang biasa digunakan dengan tongkat. Namun, tak juga menemukannya.
Dia berjalan ke arah toko, dimana Bu Yayah sedang duduk sambil terkantuk-kantuk karena embusan angin sepoi-sepoi dari depan.
"Duh, mana si ibu ngantuk gitu?? Aku nggak berani lah, buat tanya!"
Gadis itu berjalan ke depan toko. Seekor ayam mematuk-matuk nasi sisa yang dijemur oleh Bu Yayah di depan toko.
"Eeh!! Hus!!" teriak Yuki.
Gadis itu mengambil sandal lalu melemparkan ke arah ayam itu.
"Jackpot!!!" serunya, karena tepat mengenai sasaran. Dia segera mengambil sandal sebelahnya lagi untuk melempar ayam yang masuk ke toko itu.
Karena ayam itu kaget terkena lemparan sandal Yuki, dia terbang ke arah toko, melewati etalase daan ... nemplok di wajah Bu Yayah.
"Jackpot lagi ...." ujar Yuki lirih.
"Whuaaahh!!! Whuaaahh!! Ayam siapa ini??" Hilang kantuk wanita itu karena seekor ayam.
"Kikiiiii!!! Kamu yang lempar ayam ini, kan??!! Anak sialan!!" Wanita itu berdiri melihat Kiki di depan toko.
Yuki sudah akan melarikan diri, tapi tertangkap basah juga. Pasangan sandal sebelah kiri untuk melempar masih dipegangnya.
Kalo nggak ingat dia numpang di situ, dia pasti udah terkekeh, melihat rambut Bu Yayah yang terkena tahi ayam dan tubuh gempal wanita itu bergoyang-goyang karena jijik.
"Sini!! Gantiin jaga toko kamu, Kiki!!" perintah Bu Yayah buru-buru karena tahi ayam sudah akan meleber ke bawah.
"Bu, tapi saya belum ngepel ...." ujar Yuki pelan.
"Ah, sudahlah! Besok!! Yang penting tahi ayam ini kubersihkan dulu! Gara-gara kamu! Sial!" Wanita itu mengomel sambil bergegas masuk ke dalam.
Yuki melangkah pelan ke dalam toko sambil menahan tawanya.
******
Plagiarisme melanggar Undang-undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!