Ruang sidang itu terasa lebih seperti panggung daripada tempat mencari keadilan.
Dindingnya dingin, langit-langit tinggi, dan bangku-bangku kayu keras yang membuat siapa pun merasa kecil.
Tapi Maya tetap datang. Duduk dengan punggung tegak, berkas-berkas lusuh di pangkuan, dan satu hal yang masih ia genggam erat: harapan.
Reza duduk di seberang, mengenakan kemeja putih mahal, dasi gelap, dan senyum yang tidak pernah benar-benar hangat. Di sebelahnya dua orang pengacara: satu muda, satu setengah baya, keduanya berpakaian lebih rapi daripada hakim itu sendiri.
Maya sendirian. Ia tidak mampu menyewa pengacara. Ia bahkan mencetak bukti-bukti dengan uang terakhir dari dompetnya tadi pagi: foto kamar Nayla, raport sekolah, dan struk pembayaran susu formula bulan lalu.
Saat hakim memasuki ruangan, Maya berdiri dengan gugup. Tangannya dingin.
“Sidang perkara hak asuh anak antara Reza Kurniawan dan Maya Larasati dinyatakan dibuka.”
Sesi dimulai dengan pihak Reza. Pengacaranya langsung maju dengan percaya diri.
“Yang Mulia, kami ingin menyampaikan bahwa demi kepentingan terbaik bagi anak, klien kami mengajukan permintaan untuk memperoleh hak asuh penuh atas Nayla Kurniawan.”
“Alasannya?” tanya hakim.
Pengacara tersenyum, membuka map tebal.
“Lingkungan tempat tinggal Ibu Maya tidak memenuhi syarat untuk tumbuh kembang anak. Ia tinggal di kamar kos ukuran 3x4 meter, tidak memiliki penghasilan tetap, dan selama ini bekerja paruh waktu di tempat hiburan malam.”
Maya berdiri, reflek.
“Itu kafe, bukan tempat hiburan malam. Saya hanya waitress—”
“Silakan tenang, Ibu Maya. Anda akan diberi waktu menjawab,” ujar hakim, datar.
Pengacara Reza menambahkan, “Kami juga menyertakan beberapa dokumentasi visual.” Ia menunjukkan foto kamar Maya—tempat tidur sempit, dinding yang mulai terkelupas, mainan Nayla yang berserakan di lantai.
“Bandingkan dengan tempat tinggal klien kami,” lanjutnya sambil membuka folder lain. “Rumah dua lantai, halaman bermain, dan fasilitas pendidikan yang lebih baik. Klien kami sanggup membayar sekolah Nayla di institusi terbaik.”
Hakim mengangguk, mencatat.
Lalu giliran Maya.
Ia berdiri pelan, menahan gemetar. Suaranya kecil, tapi mantap.
“Yang Mulia... saya mungkin tidak punya rumah besar. Tapi Nayla tidur di pelukan saya tiap malam. Saya bangun lebih pagi untuk menyiapkan bekalnya. Saya cuci bajunya sendiri, saya antar dia ke sekolah. Dia... bahagia bersama saya.”
Tangis kecil mulai terdengar di ujung suaranya, tapi Maya menahannya.
“Saya tahu saya tidak punya banyak. Tapi saya ibu nya. Dan saya tidak pernah, tidak pernah sekalipun, meninggalkannya sejak hari dia lahir.”
Reza hanya menyilangkan tangan dan tersenyum sinis.
“Saya ayah kandungnya,” katanya lantang. “Dan saya punya hak penuh atas nya.”
Setelah satu jam adu argumen, sidang ditutup sementara. Hakim belum menjatuhkan keputusan—akan ada pemeriksaan lanjutan minggu depan. Tapi Maya tahu arah angin. Ia bisa melihatnya dari ekspresi hakim yang mulai condong ke pihak Reza. Dari tumpukan dokumen, dari pengacara-pengacara itu yang bahkan tidak memandangnya sebagai lawan.
Saat semua orang keluar ruangan, Maya mencoba berjalan cepat. Tapi langkah Reza menyusul di lorong.
Ia bersiul kecil, santai.
“Kamu bicara cukup manis tadi,” katanya. “Sayang, dunia nggak percaya pada kata-kata manis. Mereka percaya pada kekuatan.”
Maya berhenti, menatap tajam.
“Kalau kau pikir uang bisa membeli semuanya, kau tidak tahu apa-apa soal Nayla.”
Reza mendekat, terlalu dekat. Aroma parfumnya menusuk—mahal, tapi menyebalkan.
“Kamu tahu apa yang menyedihkan? Kamu bisa mencintai anak itu sepenuh hati, tapi satu tanda tangan hakim... bisa memisahkan kalian selamanya.”
Ia tertawa kecil. “Tapi jangan khawatir. Aku akan izinkan kamu datang sesekali. Mungkin... sebulan sekali. Kalau aku lagi baik hati.”
Maya menatap wajah pria itu, dan untuk pertama kalinya, ia merasa... benci.
Bukan sedih. Bukan takut. Tapi benci. Dan dari situ, tumbuh tekad yang baru.
Hari itu, ia tidak langsung pulang. Ia menjemput Nayla dari sekolah dan memeluk anak itu lebih lama dari biasanya. Sepanjang jalan pulang, anak kecil itu bercerita soal guru baru dan temannya yang suka rebut pensil. Maya hanya menjawab dengan anggukan, menahan air mata.
Di malam hari, setelah Nayla tertidur, Maya duduk lama di ujung ranjang.
Hatinya berat, tapi matanya menyala.
"Aku akan lawan dia. Dengan cara apa pun."
Belum tahu ke mana. Belum tahu siapa. Tapi Maya tahu satu hal:
Dia tidak akan menyerahkan Nayla. Tidak tanpa pertarungan terakhir.
Langit sore tampak mendung, seolah ikut memahami kepenatan hati Maya. Hujan belum turun, tapi angin sudah membawa aroma tanah yang basah, menggoda untuk jatuh kapan saja.
Maya duduk di dekat jendela sebuah kafe kecil yang biasa ia kunjungi bersama Nayla. Tapi kali ini, bangku di seberangnya kosong. Tak ada tawa anak kecil, tak ada tangan mungil yang mencelupkan biskuit ke dalam coklat panas. Hanya keheningan dan kepala yang berat oleh kekacauan.
“Maaf, tadi jalanan macet banget,” suara Rani memecah lamunannya.
Maya tersenyum lemah saat sahabatnya itu duduk di hadapannya. “Nggak apa-apa. Aku juga baru nyampe.”
Rani menatap Maya dalam-dalam. Wajah itu... lelah. Mata sembab, kulit pucat, dan tubuh yang biasanya begitu tegap, kini membungkuk seperti menanggung beban yang tak kelihatan.
“Gimana sidangnya?” tanya Rani pelan.
Maya menghela napas panjang. “Berantakan. Reza datang dengan segala kesombongannya. Dia pakai jas bagus, senyum palsu, dan pengacara yang... entah kenapa bikin aku merasa kalah sebelum mulai.”
Rani menggigit sedotan es kopinya, lalu menyandarkan punggung ke kursi. “Dia serius banget ya mau rebut Nayla?”
“Banget,” jawab Maya lirih. “Dan dia tahu, aku nggak punya banyak.”
Rani mencondongkan tubuhnya, serius. “Kamu punya aku.”
Maya tersenyum sekilas, tapi tidak menjawab. Ia tahu maksud Rani baik. Tapi kenyataannya, persidangan bukan soal siapa yang peduli padamu—tapi siapa yang punya kuasa dan bukti.
“Aku pikir, tadi hakim sempat memandang sinis waktu Reza bilang aku kerja di tempat hiburan malam, padahal aku kerja di cafe... dia memfitnah ku."
Rani mendecak pelan. “Klasik. Sistem yang usang. Selama ini ibunya yang ngasuh, begitu cerai—ayahnya datang bawa uang dan pengacara, lalu dianggap lebih stabil.”
Maya memejamkan mata sejenak. “Aku capek, Ran.”
Rani mengangguk pelan. “Kamu perlu bantuan. Yang beneran.”
Maya membuka matanya. “Maksudmu?”
“Aku tahu seseorang. Dia bukan tipe pengacara biasa. Namanya Adrian Lesmana.”
Maya mengernyit, mengaduk kopinya yang sudah dingin. “Kayak pernah dengar. Siapa dia?”
Rani menyandarkan tubuh lagi, kali ini dengan ekspresi lebih ragu. “Dia... terkenal. Tapi bukan karena dia ramah. Justru sebaliknya.”
“Sejenis... pengacara berhati batu?” Maya setengah bercanda.
Rani tertawa kecil. “Lebih ke... mesin. Dia ngelihat semua kasus kayak permainan catur. Tenang, penuh strategi, tapi bisa tiba-tiba ngasih gerakan mematikan yang nggak kamu lihat datang.”
Maya terdiam. Ada rasa penasaran, tapi juga was-was.
“Dan dia nggak murah,” lanjut Rani. “Ada gosip—entah bener atau nggak—katanya beberapa klien bayar dia bukan dengan uang.”
Maya menoleh cepat. “Apa maksudmu?”
Rani mengangkat bahu. “Ya... kamu ngerti maksudku. Tapi aku nggak pernah lihat sendiri. Cuma cerita-cerita. Bisa jadi cuma bumbu gosip infotainment.”
Maya menunduk. “Apa aku kelihatan kayak orang yang... bisa melakukan itu?”
“Bukan itu maksudku, May,” Rani buru-buru membela diri. “Aku cuma kasih tau, karena kamu perlu pertimbangan dari semua sisi. Adrian bisa bantu kamu, tapi dia bukan orang yang akan memanjakan kliennya. Dia profesional, tapi keras. Dan dia... suka menang.”
Maya menatap kosong ke luar jendela. Di luar, langit mulai berubah gelap. Lampu-lampu jalan menyala satu per satu. Dunia terus berjalan, sementara hatinya rasanya berhenti.
“Kamu punya nomor dia?” tanyanya pelan.
Rani membuka dompet kecil, mengeluarkan kartu nama berwarna hitam elegan, dan menyerahkannya. Maya menerima dengan tangan sedikit gemetar.
“Pikirkan baik-baik, May. Kalau kamu mutusin buat hubungi dia, nggak akan ada jalan balik. Dia bukan orang yang bisa kamu datangi lalu pergi begitu saja.”
Maya menatap nama di kartu itu. Adrian Lesmana. Tulisan emas kecil yang tampak mahal dan... dingin. Seperti nama itu membawa beban besar, tapi juga janji kekuatan.
Untuk Nayla, batinnya berkata. Apa pun akan kulakukan.
Langit sore mulai menghitam saat Maya turun dari ojek online di depan gang kecil menuju kosannya. Angin berembus lembap, aroma tanah dan hujan yang belum turun mengisi udara.
Pikiran Maya masih penuh oleh percakapan dengan Rani. Tentang pengacara, tentang Adrian Lesmana, dan tentang pilihan-pilihan yang… tidak semua orang sanggup lakukan.
Langkahnya pelan saat menyusuri gang sempit itu, menahan kantung plastik berisi makanan ringan kesukaan Nayla.
Tapi begitu sampai di depan pintu kosan, hatinya langsung mencelos.
Pintu tidak terkunci.
Ia buru-buru mendorong daun pintu, dan suara tawa kecil menyambutnya dari dalam.
"Ayah lucu deh!"
"Iya dong, Nayla anak Ayah"
Maya membeku. Suara itu.
Reza.
Dia berdiri mematung di ambang pintu, melihat Reza duduk di lantai kamar kos yang kecil dan sederhana itu, bermain balok warna dengan Nayla.
Tanpa lepas jas mahalnya, Reza tampak begitu nyaman. Terlalu nyaman.
“Nayla, masuk kamar sekarang,” ucap Maya cepat.
Nayla menoleh. “Tapi—”
“Sekarang.”
Nada Maya membuat anak itu menurut, walau dengan langkah kecil yang berat.
Begitu Nayla menutup pintu, Maya langsung menatap Reza tajam. “Apa yang kamu lakukan di sini?”
Reza berdiri perlahan, merapikan dasinya yang longgar. “Mengunjungi anakku. Kosan ini gampang sekali dibuka, tahu nggak?”
“Kamu nggak bisa masuk seenaknya. Ini bukan rumah kamu,” geram Maya.
Reza berjalan pelan ke arahnya, mata penuh penilaian mengamati sekeliling. “Tempat kecil. Sempit. Udara pengap. Ini tempat kamu membesarkan dia?”
Maya mengepalkan tangannya. “Keluar.”
Tapi Reza malah tertawa pelan. “Aku heran kamu masih bisa keras kepala, May. Padahal... kamu tahu kamu nggak akan menang.”
“Ini bukan soal menang atau kalah—”
“Jelas itu soal menang atau kalah,” potong Reza cepat. “Di pengadilan, semua hitam-putih. Siapa yang lebih layak, siapa yang lebih stabil, siapa yang... lebih kuat.”
Ia mendekat, suaranya menurun, nyaris berbisik. “Dan kamu tahu, aku selalu lebih kuat darimu.”
Maya menggertakkan gigi. “Kamu mungkin bisa beli pengacara mahal, tapi kamu nggak akan bisa beli hati Nayla.”
Reza tersenyum sinis. “Tapi kalau Nayla tumbuh besar dan sadar dia hidup di kamar kos sempit, tanpa fasilitas, tanpa mainan, tanpa masa depan yang layak... dia akan tahu siapa yang lebih pantas.”
Dia menyentuh pundak Maya, dan Maya langsung menepisnya.
“Jangan sentuh aku!”
Reza mundur, mengangkat tangan seolah tak bersalah. “Oke. Tapi ingat, May... semakin kamu keras kepala, semakin kamu menyakiti dirimu sendiri. Dan anak-ku.”
"Kamu masih bisa kembali padaku. Kalau kamu mau, dan semua ini selesai."
Maya hanya membalas dengan tatapan dingin.
“Jangan salahkan aku nanti kalau Nayla mulai panggil wanita lain ‘ibu’. Karena kalau aku menang... aku akan pastikan dia tumbuh tanpa kenal kamu.”
Tamparan Maya akhirnya mendarat keras di pipi Reza.
Tapi lelaki itu hanya menoleh, menyentuh pipinya, lalu menatap Maya dengan senyum bengis.
“Sentuhan pertama setelah dua tahun... ternyata masih panas.”
Maya hampir menangis. Tapi dia menahan semuanya.
Reza merapihkan pakaian nya, lalu berjalan ke pintu. Sebelum keluar, dia menatap Maya untuk terakhir kalinya malam itu.
“Kamu tahu, May... aku sebenarnya kasihan. Kamu akan kalah. Dan kamu akan datang... minta tolong. Mungkin bahkan merangkak.”
Klik.
Pintu tertutup. Suasana hening. Tapi di dada Maya, detaknya tidak.
Maya berdiri lama di depan pintu. Matanya merah. Tapi air matanya tak keluar.
Hanya satu suara di kepalanya yang kini bergema:
“Aku butuh seseorang yang bisa melawan dia. Bukan sekadar pengacara. Tapi... senjata.”
Dan nama itu kembali terlintas di pikirannya.
Adrian Lesmana.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!