Detak jarum jam yang terus memutar ke arah kanan seirama dengan detak jantung seorang Wanita muda yang Tengah duduk di kloset toiletnya, tangannya menggenggam benda yang menjadi tumpuan harapannya, bibirnya tak henti-hentinya menggumamkan sesuatu.
“Ayolah, kumohon … ayo.” ucapnya dengan tangan terkepal.
Setiap detik terasa menyiksa, menunggu memang hal yang menyebalkan.
“Tuhan, tolong … tolong beri kesempatan.” gumamnya.
Satu menit berlalu, yang di tunggu belum muncul. Ada perasaan tidak sabar yang membuncah dalam hati Wanita muda itu.
Tiga menit berlalu. Si Wanita muda mulai gelisah, “Sedikit lagi.”
Waktu terus berputar ke arah menit berikutnya.
Lima menit! Mata Perempuan itu terpejam, tangannya mengepal erat, bibirnya terus menggumam.
“Aku berjanji akan menjaganya Tuhan, aku berjanji.”
Perlahan ia membuka matanya dan menatap benda yang sedari tadi ia genggam erat. Ia berharap melihat apa yang ingin ia lihat tapi nyatanya apa yang ia tunggu sedari tadi tak menunjukkan hasil yang didambakannya.
Garis satu. Negatif!
Mendapati kenyataan bahwa hanya ada satu garis di test pack yang ia genggam seketika tubuhnya terkulai lemas. Tapi dia tidak menyerah, ia mencoba lagi dengan test pack yang kedua.
“Pasti test pack ini salah, ya pasti rusak. Mungkin sudah kadaluwarsa. Sudah tiga minggu aku tidak datang bulan, pasti aku hamil. Aku akan mencobanya lagi!” ucapnya tak menyerah.
Kembali ia menunggu lima menit berikutnya diikuti dengan perasaan gelisah seperti sebelumnya.
Namun, hasilnya tetap sama. Garis satu. Negatif.
“Tidak mungkin! Ini tidak mungkin, aku telat tiga minggu. Pasti semua test pack itu salah, pasti salah!”
Air matanya mulai berlinang, ia melempar semua test pack yang tadi digunakannya. Dari sudut matanya ia masih bisa melihat garis satu yang muncul di test pack tersebut. Garis yang menghantam jantungnya membuatnya sesak dan tak berdaya.
“Arrrggghhh … kenapa Tuhan, kenapa?” ia mulai melempar apapun yang ada di dekatnya, menimbulkan suara riuh yang terdengar sampai keluar.
“Dek, kamu kenapa?” sebuah suara bariton terdengar dari luar toilet.
Namun tak ada jawaban, hanya isak tangis dan jeritan yang keras yang terdengar.
“Dek, buka pintunya, ayo kita bicara. Kamu kenapa sayang?”
Lagi-lagi tak ada jawaban dari dalam, membuat si pria semakin khawatir.
“Sayang buka pintunya atau mas dobrak?” ancam si pria meskipun nada cemas juga terdengar samar
Setelah menunggu beberapa saat, yang di dalam toilet memutar kenop pintu dan membukanya. Memperlihatkan seorang Wanita yang cantik namun bersimbah air mata, bisa terlihat gurat kekecewaan dan putus asa dari sorot wajahnya. Masih terdengar pula isak tangis si Wanita.
Si pria langsung memeluk hangat Wanita yang ada di hadapannya, mengusap lembut punggungnya dan menepuknya perlahan – mencoba menenangkan.
Si Wanita yang ada di pelukan semakin menenggelamkan kepalanya, mencari ketenangan disana. Berharap perasaan kecewanya bisa luruh dalam kehangatan pelukan suaminya itu. Cukup lama Ratna hanyut dalam pelukan suaminya, sampai pada akhirnya Ratna mengendurkan pelukan.
“Mas ….” dengan mata berkaca-kaca Ratna menatap suaminya yang masih memperlihatkan raut cemas, lidahnya terasa kelu untuk melanjutkan kalimatnya. Rasa-rasanya ia tak sanggup mengatakan yang sebenarnya.
“Iya sayang .…” ucap Bagas dengan penuh kelembutan sembari mengamit tangan Ratna dan menggenggamnya kuat seolah meyakinkan Ratna bahwa apapun yang akan ia katakan semuanya akan baik-baik saja.
“Semuanya negatif,” ucap Ratna lirih, ada rasa perih dalam hatinya tatkala dua kata itu meluncur dari bibirnya. Seakan tak kuasa menahan rasa sesak, air mata Ratna kembali menetes deras.
Bayangan tentang raut wajah Bahagia Bagas berputar di kepalanya manakala ia berkata bahwa dia telat datang bulan. Tentang bagaimana Bagas langsung mengangguk setuju saat Ratna memintanya untuk membelikan test pack.
Ratna merasa bersalah pada suaminya. Ia merasa gagal. Ia bukan istri yang baik.
Bagas yang seolah bisa membaca pikiran istrinya kembali merengkuhnya “Tak apa, tidak apa-apa.” ujar Bagas mencoba meredakan kegelisahan istrinya. Bagas tak ingin Ratna kian terpuruk. Hatinya ikut remuk melihat air mata Ratna yang berlinang.
“Aku telat tiga minggu mas, harusnya aku hamil kan, jangan-jangan test pack itu yang salah! Kita harus ke dokter Mas, kita harus periksa. Aku yakin aku hamil Mas,” Ratna bersikeras ia yakin ia hamil, ia tak percaya hasil test pack tersebut. Mungkin lebih tepatnya ia tak mampu menerima kenyataan bahwa memang tak ada kehidupan di dalam perutnya.
“Ssstt, sayang, dengarkan Mas. Tidak apa-apa, sungguh tidak apa-apa. Mungkin kamu Lelah, akhir-akhir ini kamu banyak aktivitas di luar kan, bisa jadi datang bulannya telat karena kamu kecapekan.” tutur Bagas mencoba menenangkan Ratna. Dalam dekapannya Bagas bisa merasakan tubuh Ratna bergetar. Ia menepuk pelan bahu istrinya takut menghancurkan miliknya yang terihat begitu rapuh.
“Kenapa Tuhan tidak adil mas. Lima tahun kita menikah. Kenapa Tuhan tidak memberi kita anak?” ujar Ratna dengan isak tangisnya. Membuat batin Bagas ikut trenyuh mendengarnya.
“Ratna sayang ….” ucap Bagas sambil mengelus surai istrinya, “Bagi mas, kamu sudah cukup. Mas sudah Bahagia dengan adanya kamu sebagai istri mas. Tidak ada hal lain yang mas harapkan,” hibur Bagas mencoba meyakinkan Ratna bahwa kehadirannya sangat berarti bagi Bagas.
Ratna masih dengan sisa isaknya berkata, “Mas Bagas ga suka kalau kita punya anak?”
Bagas melepas dekapannya, supaya ia bisa menatap wajah istri tercintanya, “Bukan begitu, tapi buat mas kamu yang terpenting. Mas ga mau kamu terbebani. Bukankah selama ini kita Bahagia? Kamu Bahagia gak hidup sama mas?” ucap Bagas sambil menghapus jejak airmata yang membekas di pipi Ratna.
Ratna mengangguk cepat,”Iya Mas. Aku Bahagia hidup sama Mas Bagas.” Ujar Ratna masih dengan sisa isaknya.
“Kalau begitu bisakah kamu berhenti khawatir dan gelisah? Kita punya banyak waktu untuk berusaha sayang, tapi .…. Mas ga mau kalau kamu sampai begini, kita Jalani sama-sama yaa.” ucap Bagas
“Iya Mas, maafin aku ya Mas.” ucap Ratna
“Heii Ratna sayang ….” ujar Bagas sambil menangkup pipi Ratna, rasanya halus. Bagas tak rela jika pipi selembut itu harus berurai air mata, “Kamu ga salah. Kita sudah berusaha semampu kita. Tolong kamu jangan memaksakan diri, Mas ga suka lihat kamu sedih seperti ini.”
“Iya Mas, aku akan berupaya ikhlas sama takdir Tuhan.” kata Ratna sembari mencoba menguatkan batinnya, ia tak ingin Bagas terus khawatir melihatnya seperti ini.
“Sekarang, senyum dong. Mas pengen lihat senyum manis istri Mas yang paling cantik,” ucap Bagas sambil menyentuh dagu Ratna, mencoba menggodanya untuk mengalihkan kesedihan istri tercintanya itu.
Ratna yang mendengarnya hanya malu-malu sembari menundukkan kepala.
Bagas kembali membelai surai kecokelatan Ratna, “Kalau perasaanmu sudah lebih baik, kita sarapan yuk. Mas sudah masak nasi goreng. Dan bukannya kamu ada rencana pergi hari ini?”
“Oh iya! Hampir lupa aku Mas, makasih sudah diingatkan.” Ratna tersenyum manis
“Sekarang hapus airmata dan cuci muka ya, Mas ga suka lihat kamu nangis.” ujar Bagas sambil mengusap sisa airmata istrinya.
“Iya Mas, makasih banyak ya Mas, Mas Bagas udah menghibur dan menguatkan aku.” kali ini Ratna yang menggenggam tangan suaminya. Ia sangat bersyukur dengan kehadiran Bagas di hidupnya. berkat Bagas ia kembali mendapatkan kekuatan untuk terus bertahan.
“Sama-sama dek, Mas tunggu di meja makan ya,”
Ratna mengangguk patuh. Segera ia masuk kembali ke kamar mandinya untuk mencuci wajahnya. Berharap air yang sejuk bisa ikut meluruhkan rasa kecewa dihatinya.
Di hadapan cermin ia bermonolog, “Aku harus kuat, aku pasti bisa hamil, aku pasti punya anak dan aku akan punya keluarga kecil yang Bahagia. Mungkin belum saatnya.” Ratna memeluk tubuhnya sendiri menepuk pelan seolah memberi kekuatan.
Ratna keluar dengan wajah yang lebih segar dan bersinar. Ia memang Wanita yang cantik dan Anggun, tak heran Bagas begitu mencintainya terlepas dari kenyataan mereka belum dikaruniai buah hati.
Ratna segera menyusul Bagas ke meja makan, takut jika suaminya terlalu lama menunggu.
Tak lama terdengar denting sendok yang beradu dengan piring, Ratna dengan lahap menyantap masakan Bagas yang sudah teruji kelezatannya. Bibirnya tak henti memuji kepiawaian Bagas dalam memasak. Raut wajahnya terlihat Bahagia tiap kali ia menyuap makanannya. Rasanya ia lupa beberapa waktu lalu ia baru saja meneteskan airmata meratapi nasibnya
“Bagaimana rasanya? Kamu suka dek?”
“Enak banget Mas.” Ucap Ratna dengan mulut penuh.
Bagas yang melihat Ratna sibuk menekuni makanannya hanya tersenyum, ia senang bisa memasakkan sesuatu untuk istri tercintanya dan ia juga senang Ratna terlihat lebih baik setelah memakan masakannya. Ia tak keberatan jika setiap hari harus memasak untuk Ratna, apapun akan dia lakukan untuk separuh jiwanya itu.
Tak lama Ratna selesai dengan sarapannya, ia mendesah puas dan tersenyum manja ke arah Bagas.
“Terimakasih Mas, masakan Mas memang luarbiasa,” tukas Ratna sambil mengelus perutnya yang kekenyangan.
“Apa perasaanmu sudah lebih baik?” Bagas mengulurkan tangannya, meraih tangan Ratna dan menggenggamnya hangat.
Ratna mengangguk cepat. Ia menikmati setiap suapan demi suapan sampai tak ada yang tersisa di piringnya.
“Kalau begitu, segeralah Bersiap. Kau bilang akan pergi bukan?” ujar Bagas mengingatkan istrinya.
“Ahh yaa, Mas benar. Aku hampir lupa, bolehkah aku pinjam mobil Mas,” tanya Ratna dengan nada yang dibuat sedikit manja.
“Tentu saja, bawalah. Kuncinya ada di meja riasmu,” Bagas senang Ratna kembali ceria. Sungguh ia tak rela Ratna didera kesedihan seperti tadi.
Cup!
Ratna mengecup lembut pipi Bagas.
“Terimakasih suami ku.” Ratna tersenyum sangat manis membuat Bagas juga ikut tersenyum karenanya.
“Kau bisa berdandan, aku akan mencuci piring,”
Ratna tidak membantah dan menuju ke kamarnya untuk bersiap-siap. Di depan cermin riasnya kembali ia bergumam dalam hati.
‘Andai ada kehadiran bayi disini, pasti kebahagiaanku akan sempurna,’ gumam Ratna dalam hati sembari mengusap perutnya.
Air matanya hampir-hampir menetes lagi jika ia tidak ingat Bagas pasti mengkhawatirkannya. Ia harus kuat, ia tidak boleh menyerah.
“Aku harus mencari cara agar bisa memiliki anak dari Mas Bagas, bagaimana pun caranya,” ujar Ratna.
Ratna menatap wajahnya yang cantik. Dengan kecantikannya dan ketampanan Bagas pasti anak mereka akan memiliki wajah yang rupawan pula.
Ratna kembali membelai perutnya, “Kami menantikanmu sayang,” tuturnya lembut.
Seolah berharap ada kehidupan disana.
Cahaya matahari yang samar-samar menembus tirai kamar membangunkan seorang gadis yang Tengah tertidur. Gadis itu terbangun meski raut mengantuk masih kentara di wajahnya yang bulat. Tapi tak lama segera ia menyadari situasi yang aneh.
Ini bukan kamarnya!
Dan begitu matanya mengitari ruangan ternyata dia tak sendiri.
“Siapa kamu?!” teriak Andini. Ia terkejut karena ia terbangun di sebuah kamar yang asing baginya dalam keadaan tanpa busana. Dan yang lebih mengejutkan lagi di sampingnya terbaring tubuh seorang pria yang ia perkirakan juga dalam keadaan telanjang.
Laki-laki yang di samping Andini terbangun karena teriakan gadis itu dan segera tampak wajahnya juga tak kalah terkejut dengan keadaan yang menimpanya.
“Dimana ini? Siapa kamu?” ujar Bagas dengan nada panik. Wajahnya mendadak pias.
“Mestinya aku yang bertanya, siapa kamu? Kenapa aku bisa disini?” suara Andini terdengar serak, ia berusaha menahan matanya yang mulai memanas.
‘Apa yang terjadi? Kenapa aku bisa disini?’ batin Andini.
Bagas diam tak menjawab ia sudah tak peduli akan pertanyaan Andini. Yang ia pikirkan bagaimana ia bisa berada di kamar ini dan dalam keadaan tak memakai apapun.
Sesaat ia termenung ingatannya berputar. Saat itu ia berada di sebuah ruangan yang besar dan ramai. Ada lukisan yang terpajang yang menjadi pusat atensi bagi tamu yang hadir disana. Setiap mata yang tertuju memperlihatkan perasaan mendamba untuk memiliki lukisan itu.
Ya, Bagas tengah berada di sebuah acara lelang, tak sendiri tentu saja ada Ratna – istri yang sangat dicintainya. Ratna tampil sangat cantik dan anggun malam ini. Penampilannya hampir-hampir menggoyahkan fokus para tamu yang tengah menikmati lukisan yang menjadi bintang pada malam itu.
Hal terakhir yang ia ingat adalah ketika Ratna dengan senyum manisnya memberinya segelas Cocktail. Setelahnya ia tak ingat apapun termasuk bagaimana ia bisa terbaring di kamar ini bersama seorang gadis yang tak dikenalnya.
Seolah kesadarannya sudah kembali, Bagas segera beranjak dari ranjang dan memakai pakaiannya. Ia berpikir untuk segera pergi dari sini. Ia sungguh tak peduli dengan Andini yang masih di atas tempat tidur yang terlihat masih terlihat syok.
“Kamu mau kemana?” tanya gadis itu membuat Bagas menoleh dan untuk sedetik Bagas merasa lemas, Andini juga tak mengenakan apapun, tapi dari raut wajahnya terlihat gadis itu sama paniknya dengannya – artinya bisa jadi gadis itu juga tak tahu apa-apa.
“Aku akan pergi ....” jawab Bagas singkat seraya menuju pintu – hendak pergi meninggalkan gadis itu.
“Tolong aku, aku juga tak tahu apa-apa,” ada sorot memohon di mata Andini yang entah kenapa membuat Bagas tak bisa mengabaikannya.
“Tolong aku,” sekali lagi Andini meminta dan membuat Bagas gusar. Hatinya bimbang namun akhirnya Bagas memilih menyanggupi permintaan gadis itu.
“Kamu bisa membersihkan diri, aku akan mengantarmu pulang,” ujar Bagas mencoba menenangkan Andini walaupun hatinya juga tak kalah gelisah.
Dengan tubuh di balut selimut Andini turun dari ranjang dan beranjak ke kamar mandi, namun beberapa detik kemudian langkah Andini terhenti oleh pertanyaan Bagas.
“Apa kamu sedang menstruasi?” tanya Bagas dengan alis yang mengerut. Matanya yang tajam tertuju ke tempat tidur
“Tidak, kenapa?” Andini balik bertanya dengan nada heran. Menstruasinya sudah berlalu seminggu yang lalu. Lagipula kenapa pria itu menanyakan jadwal datang bulannya.
“Lalu darah apa itu?” Bagas mendekati tempat tidur – persis di tempat Andini berbaring. Bercak darah yang ada tidaklah banyak. Mungkin hanya setetes dua tetes.
Untuk sesaat keduanya terdiam sampai kemudian mata Andini membelalak dan Bagas segera menyadari apa yang terjadi.
Itu bukan darah mens!
“Mungkinkah ....” Suara Andini terdengar lirih tapi baik Andini maupun Bagas sama-sama menghirup udara dingin. Seolah semakin pelan suara Andini semakin tipis oksigen yang terasa, membuat yang mendengarnya seakan sesak napas.
...
“Mas, mas darimana aja?” Ratna menyambut suaminya yang tengah pulang dengan wajah yang teramat kusut, “Aku kemarin nyari Mas. Mas menghilang.” Ujar Ratna sambil menggigit bibir bawahnya. Wajahnya memperlihatkan kekhawatiran yang mendalam.
“Dek ....” Bagas segera memeluk istrinya, selain karena ingin menenangkan Ratna juga untuk meredam rasa bersalah yang entah kenapa menghantam jantungnya.
Bayangan tentang setitik darah di atas sprei putih membuatnya sakit kepala. Dadanya sesak.
“Mas kok gak jawab pertanyaanku? Mas darimana?” ujar Ratna melonggarkan pelukan dan menatap suaminya. Bukan tatapan tajam justru tatapan yang teramat lembut yang membuat Bagas merasa ditelanjangi. Tatapan yang seolah meminta Bagas untuk mengakui kesalahannya.
Tapi bagaimana bisa Bagas jujur dengan kesalahannya? Semuanya terjadi di luar kendalinya. Bukan ia yang setuju untuk tidur dengan Andini. Bagas yakin ia dijebak. Tapi ia tidak yakin bisa mengatakan itu semua pada Ratna.
Bagas kembali memeluk istri tercintanya. Kali ini untuk menyembunyikan diri dari tatapan Ratna yang seakan bisa menembus hatinya dan menemukan kebenaran. Bagas tak sanggup berlama-lama di tatap Ratna.
“Mas kemarin ada urusan sama klien, maaf gak bisa ngabarin adek. Pas mau pulang mas pusing akhirnya nginap di hotel. Maafin mas ya dek udah bikin adek khawatir. HP Mas juga habis baterai,” ucap Bagas susah payah merangkai alasan yang bisa meredakan kekhawatiran Ratna.
Dalam pelukan Bagas, Ratna mengangguk, “Aku percaya sama Mas.”
Ucapan Ratna seakan menjadi pukulan telak Bagas yang tak mampu ia tolak. Ia baru saja menodai kepercayaan Ratna walaupun apa yang terjadi sama-sekali bukan kehendaknya. Rengkuhan Bagas kian erat seiring dengan semakin besar rasa bersalahnya.
Ratna menggeliat mencoba melepaskan pelukan Bagas yang semakin kuat, “Mas, aku gak isa napas hlo.”
“Ohh maaf dek, Mas hanya kangen sama kamu.” Ujar Bagas mengendurkan pelukannya. Lebih tepatnya Bagas ingin menyembunyikan Ratna dari kebenaran. Supaya Ratna tak bisa melihat atau mendengar apapun tentangnya.
“Kalau gitu Mas mandi gih, aku uda nyiapin sarapan kesukaan mas.” Ucap Ratna dengan suara yang manja. Membuat dada Bagas semakin menghimpit.
Akankah nada suara ini tetap bisa didengarnya ketika Ratna mengetahui apa yang terjadi antara suaminya dan seorang gadis asing semalam?
Bagas tak mau kehilangan suara yang selalu menjadi candu baginya itu. Pun pelukan Ratna yang selalu menghangatkan tubuh dan jiwanya.
Bagas bertekad untuk menyembunyikan apa yang terjadi semalam. Toh ia tak mengenal gadis itu dan begitupun sebaliknya.
Itu hanya kesalahan satu malam. Tidak ada artinya. Tidak akan mempengaruhi malam-malamnya bersama Ratna.
“Mas? Ko malah ngelamun sih?” Ratna mengusap rambut dan wajah Bagas dengan penuh kasih sayang. Sentuhan yang selalu dinanti Bagas.
Bagas tersenyum dan mencium puncak kepala istrinya, menumpahkan segala perasaan cinta disana.
“Mas sayang sama adek. Tolong jangan tinggalin mas ya dek,” kata Bagas lirih
“Ihh emang adek mau kemana sih, ga akan kemana-mana ko mas. Adek akan tetap disini sama Mas Bagas.” Ucapan Ratna meredakan kegelisahan Bagas. Ia bisa bernapas lega mendengarnya.
“Janji?” tanya Bagas
“Janji!” seru Ratna, “Sekarang Mas mandi biar adek siapin sarapannya ya,”
Bagas hanya mengangguk. Tidak membantah.
Tak lama Bagas sudah selesai dengan urusannya dan menyusul istrinya ke dapur.
“Apa yang istriku yang cantik ini buat untuk sarapan Mas?” kata Bagas sembari memeluk tubuh mungil Ratna dari belakang.
Bagas bisa merasakan aroma tubuh Ratna yang begitu menenangkannya. Itu sebabnya ia sangat suka memeluk istrinya.
Jika seandainya Tuhan mengganti oksigen dengan aroma Ratna – Bagas akan langsung menyetujuinya.
“Pancake Mas, kemarin-kemarin Mas udah minta dibikinkan pancake kan?”
Bagas tak mengucapkan apapun tapi mencium pipi istrinya dengan penuh kasih sayang.
“Ihh Mas Bagas,” lagi-lagi Ratna mengeluarkan suara manjanya yang selalu sukses membuat hati Bagas meleleh.
Drrtt ... drrttt ....
Ponsel Ratna bergetar. Perempuan itu meminta Bagas untuk mengecek ponselnya untuk tahu siapa yang mengiriminya pesan.
Dengan senang hati Bagas melakukannya.
Begitu ponsel itu dibuka sebuah pesan muncul dari nomor tak dikenal, isi pesannya membuat alis Bagas mengerut.
...“Semua sudah sesuai rencana”...
Ratna yang tengah membelakangi Bagas menanyakan siapa yang mengiriminya pesan, namun Bagas hanya diam tak bergeming.
“Mas, dari siapa?” tak ada jawaban dari Bagas. Ratna memutar tubuhnya dan bertanya dengan nada sedikit dinaikkan, “Mas Bagas. Pesan dari siapa?”
Bagas yang masih termenung menatap pesan yang tertera di ponsel Ratna, “Dek ini ... dari nomor tak dikenal,” kata Bagas berganti menatap istrinya
“Iyakah?” Ratna menghampiri Bagas dan meminta ponselnya, sejenak alis Ratna bertaut namun setelahnya wajahnya terlihat sedikit panik, “Eh ini ... ini pasti nomor iseng. Ak-aku hapus aja ya mas,” ujar Ratna sedikit tergagap.
Entah mengapa wajahnya yang terlihat panik menimbulkan tanya di hati Bagas. Benarkah itu hanya nomor nyasar? Atau nomor iseng? Lantas kenapa pesannya harus di hapus?
“Dek –“
“Aku ga tau apa-apa Mas, aku ga kenal nomor itu!” pekik Ratna, “Mas harus percaya sama aku,” Ratna menggenggam tangan Bagas, memohon pada suaminya agar percaya padanya.
“Iya sayang iya ... mas percaya sama kamu,” Bagas mengusap bahu istrinya yang sedikit bergetar. Menepuknya perlahan untuk meredakan. Bagi Bagas sedikit aneh, untuk apa Ratna sampai terlihat ketakutan ketika mendapat pesan tersebut? Mengapa reaksinya berlebihan? Mengapa ia memaksa Bagas untuk percaya?
Sesungguhnya Bagas mulai ada keraguan.
Semalam hal yang paling ia ingat adalah cocktail yang diberikan oleh istrinya. Setelahnya ia tak ingat apa-apa.
Awalnya Bagas tak mau berpikir jauh, tapi pesan dari nomor tak dikenal dan sikap Ratna setelahnya justru sedikit membangkitkan rasa penasaran.
Mungkinkah ... Ratna tahu sesuatu? Atau mungkin Ratna yang merencanakannya? Jika iya, untuk apa dia menjebak suaminya sendiri? Siapa gadis bernama Andini itu? Kenapa harus gadis itu?
Beribu pertanyaan muncul di benak Bagas. Pertanyaan yang akan ia cari tahu sendiri jawabannya.
‘Maafkan Mas dek, Mas akan cari tau dengan cara Mas sendiri’ batin Bagas.
... ...
“Mas mau sarapan apa pagi ini?” tanya Ratna di sela-sela pelukan mereka di atas ranjang.
“Emmhh tunggu bentar ya dek, mas lagi menikmati suasana ini,” Bagas semakin merapatkan tubuh istrinya ke tubuhnya. Mengusap perlahan tubuh istrinya. Menikmati setiap inci kulit Ratna yang halus.
Ratna tentu saja tidak menolak permintaan Bagas. Ia tak keberatan jika harus terus-menerus di posisi seperti ini.
“Mas ....” panggil Ratna sembari mengusap dada Bagas yang bidang dan ditumbuhi rambut halus,
“Apa sayang ...?” jawab Bagas dengan nada yang menghangatkan hati Ratna. Membuat perempuan itu semakin menenggalamkan tubuhnya dalam rengkuhan tubuh suaminya yang tak kalah hangatnya.
“Kenapa ya kita belum punya anak sampai sekarang?” ucap Ratna kembali membawa topik yang cukup sensitif itu. Rasanya ia masih tak percaya pada hasil test pack beberapa waktu lalu.
“Dek, tujuan adek punya anak apa?” tanya Bagas dengan nada yang tetap lembut. Sejujurnya Bagas lelah dengan topik yang selalu diungkit Ratna tentang anak. Bukan ia tak mau, tapi emosi Ratna selalu tidak stabil jika masalah anak mulai dibahas. Namun ... bagaimanapun juga dia berusaha memahami perasaan istrinya. Ratna hanya ingin memberinya buah cinta mereka.
Tak ada yang bisa Bagas lakukan selain menenangkan hati Ratna. Maka dari itu Bagas belajar untuk bisa lebih sabar dan telaten menghadapi dambaan istrinya yang tak kunjung terjawab.
“Supaya keluarga kita bahagia Mas.” Ungkap Ratna lirih. Bukan – bukan Ratna tidak bahagia, ia sangat bersyukur memiliki Bagas dalam hidupnya. Tapi rasanya ada yang kurang dalam pernikahan mereka.
“Sekarang mas mau tanya, adek bahagia ga sama mas?” Ratna hanya mengangguk tanpa menjawab, ”Kalau mas bilang mas bahagia banget dengan apa yang sudah kita miliki, adek mau ga untuk ga khawatir lagi tentang anak – “
“Tapi ini udah lima tahun Mas.” Potong Ratna, “Sudah lama adek pengen mas bisa ngerasa senang dipanggil Papa.”
“Dek, dengarkan mas. Mau lima tahun sepuluh tahun atau lima puluh tahun sekalipun, asal sama kamu, Mas udah cukup. Ga ada yang mas minta dari kamu selain perasaan cinta yang tulus seperti sekarang ini. Kita bisa melakukan apapun berdua, bukankah itu lebih menyenangkan?” ucap Bagas panjang lebar. Ia mengungkapkan sedikit keluhannya dengan cara yang lembut dan penuh kasih.
“Mas Bagas ... makasih yaa mas ga pernah menuntut adek, adek akan lakukan apapun semampu adek untuk kebahagiaan kita. Kita lakukan yang bisa kita lakukan berdua.” Timpal Ratna dengan senyumnya yang menggoda.
Mendorong Bagas untuk melakukan sesuatu.
“Sekarang – “ tubuh Bagas menghadap istrinya, “ – apa yang bisa kita lakukan berdua sekarang?” lanjut Bagas sambil menjawil dagu istrinya yang cantik itu.
“Menurut Mas apa?” bisik Ratna sambil mengedipkan matanya.
“Jangan menggoda Mas ya.” Ujar Bagas merapatkan kembali tubuhnya dengan tubuh istrinya. Kulitnya yang bergesekan menimbulkan sensasi menyenangkan yang membangkitkan gairahnya.
“Emang kenapa kalau aku nggodain Mas.” Timpal Ratna sambil menggigit bibir bawahnya. Membuat Bagas tak tahan ingin melahap istrinya itu.
“Kamu yang mulai ya dek.” Bagas tersenyum, senyum yang terlihat manis tapi dipenuhi hasrat yang tak tertahankan.
Ratna hanya tersenyum dan mengulurkan jemarinya yang lentik, mengikuti setiap lekukan wajah suaminya dan berhenti tepat di bibir Bagas. Mengusapnya perlahan untuk kemudian mengecupnya dengan penuh kelembutan.
Bagas yang sudah ‘siap’ menyambut Ratna, mulai berpindah tempat dengan posisinya di atas tubuh istrinya.
“Mau berapa kali?” tawar Bagas sambil mengedipkan mata bermaksud balik menggoda Ratna.
“Berkali-kali,” tantang Ratna, membuat Bagas tertawa.
Tak lama tidak ada suara yang terdengar selain lenguhan keduanya.
...
Mobil yang dikendarai Ratna membelah jalanan Solo yang terbilang cukup sepi untuk hari yang bisa dianggap sibuk ini. Namun tentu saja ini adalah keuntungan baginya. Ia tak perlu terjebak kemacetan meskipun Solo termasuk kota yang tidak terlalu besar. Terdengar lagu Westlife yang ia putar dan sesekali Ratna ikut bersenandung mengikuti lagu favoritnya itu.
Senyum cerahnya tak pernah lepas dari wajahnya yang ayu rupawan. Tentu saja karena pagi tadi Bagas memberinya kebahagiaan. Seandainya jika bukan karena ia harus mengurus butiknya mungkin aktivitas mereka bisa berlangsung seharian.
Bagi Ratna itu bukan masalah, ia bersedia seharian berbaring di pelukan suaminya. Karena disanalah Ratna menemukan kenyamanan dan kedamaian.
Sekian waktu mengingat kembali hal romantis tadi tanpa Ratna sadari ia telah sampai di tempat tujuannya. Segera ia memarkirkan mobilnya. Namun saat akan melepas seatbelt, pandangan Ratna jatuh ke mobil yang ada di sampingnya. Ia seperti mengenal sosok yang ada di mobil itu. Untuk itu ia menunggu sampai sosok yang membuatnya penasaran itu keluar.
Tak lama baginya untuk menunggu karena detik berikutnya sosok tersebut keluar dari mobilnya diikuti oleh seorang Perempuan.
Ratna yang walaupun sudah menduga siapa sosok tersebut tetap saja menatap dengan mata penuh dengan keterkejutan.
“Ayah ….” ujar Ratna lirih. Ia tak percaya dengan apa yang ia lihat.
Sekian tahun mereka tak bertemu tidak membuatnya lupa bagaimana rupa ayahnya. Dan perempuan yang ikut keluar tersebut juga adalah orang yang Ratna kenal. Ratna bisa melihat betapa akrabnya mereka – sesuatu yang tak pernah Ratna rasakan.
Mata Ratna mengekori keduanya sampai kedua orang tersebut masuk ke Gedung yang juga Ratna tuju. Ratna memutuskan untuk tidak turun dan berada di mobil. Ia tak siap bertemu ayahnya dan Perempuan yang ayahnya bawa.
Bayangan kenangan tentang ayahnya yang meninggalkan ia, adik dan ibunya berputar di kepalanya membentuk potongan-potongan memori yang telah ia upayakan untuk ia tinggal di belakang.
Tapi ternyata … sekian tahun Ratna mencoba melupakan, justru kerinduan yang menang.
Ya! Dibalik kebenciannya tersimpan rasa rindu yang menyiksa batinnya. Baik rindu maupun benci keduanya pelan-pelan menggerogoti kehidupannya.
Sekian waktu melamun, Ratna disadarkan oleh dering ponselnya. Asistennya meneleponnya – sesuatu yang jarang terjadi kecuali ada hal yang sangat penting. Ibu jarinya mengusap tombol hijau dan meletakkan ponselnya di dekat telinganya.
“Ya, halo gimana Nur?”
“Ib – ibu dimana?” suara Nur terdengar gemetar ketakutan,
“Ini saya masih di bawah, ada apa?” ujar Ratna kebingungan, “Kamu kenapa Nur?”
“Tolong ibu segera kesini ya bu, kami disini takut bu.” Ucap Nur dengan nada memohon, entah apa yang membuatnya takut
“Ok ok … saya kesana.” Ratna mematikan telepon dan bergegas ke toko butiknya yang ada di Gedung yang tadi dimasuki ayahnya.
Entah kenapa Ratna menambah laju Langkah kakinya, seolah ada hal buruk yang terjadi. Belum sampai di tokonya Ratna bisa mendengar teriakan dan cacian yang ia Yakini berasal dari tokonya dan dari jauh Ratna bisa melihat Perempuan yang dibawa ayahnya tadi lah yang Tengah memaki para pegawainya.
“Mana! Panggil bos mu kesini! Asal kamu tau ya kamu Cuma pegawai biasa kamu ga ada hak ngelarang saya! Cepat panggil bos mu. Dasar pegawai tidak becus!” perempuan itu menunjuk wajah para pegawai dengan tajam.
“Ada apa ini?” potong Ratna mencoba meredakan keriuhan. Ia sedikit risih karena banyak orang yang berhenti menoleh ke arah mereka, seolah menantikan apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Siapa kamu?” berang perempuan itu.
“Saya pemilik butik ini.” Ujar Ratna mencoba untuk tetap tenang dan sopan. Meskipun dalam hati ia muak dengan wanita itu. Terlebih ayahnya yang tepat di belakang wanita itu hanya diam saja. Seharusnya ayahnya bisa menenangkan istrinya.
Ya! Wanita yang sedang marah itu adalah istri kedua ayahnya. Wanita yang sudah merebut seluruh kebahagiaan yang Ratna miliki.
“Oh baguslah! Apakah ini yang namanya pelayanan?! Saya beli baju disini mahal-mahal hanya untuk salah ukuran!” bentak wanita itu masih dengan nada yang naik. Seolah agar semua orang disana tahu tentang pelayanan di butik Ratna.
“Baik boleh saya lihat?” tanya Ratna halus
Wanita itu melempar dress berwarna emerald ke wajah Ratna membuat Ratna hampir-hampir lepas kendali.
Ratna mengamati dress itu untuk kemudian menyerahkannya kepada pegawainya yang ada di sampingnya.
“Kami minta maaf atas kesalahan ini, ukuran akan diganti dan sebagai bentuk maaf, kami memberikan potongan harga 50%,” Tutur Ratna
“Ok. Saya terima.” ada senyum puas di wajah wanita itu.
Senyum yang mengingatkan Ratna saat ayahnya pergi dan memilih wanita lain. Senyum itulah yang mengembang di wajah wanita pilihan ayahnya. Senyum yang menyatakan kemenangan. Dan sekarang Ratna melihat senyum itu lagi, rasanya ia ingin muntah saat itu juga.
Ia berharap wanita itu segera pergi sebelum Ratna tak kuat menahan hasrat kerinduan yang membuncah di hatinya.
Bagaimanapun juga lelaki itu tetap ayahnya. Tentu saja ia kangen dan ingin memeluknya, tapi sepertinya ayahnya sudah benar-benar ingin memutus hubungan semenjak ia meninggalkan rumah mereka.
“Tolong berikan ibu ini ukuran yang cocok,” perintah Ratna pada salah seorang pegawainya.
“Ini bu.” Pegawai tadi menyodorkan dress yang sesuai ukurannya dengan permintaan si wanita.
“silahkan,” ucap Ratna sembari menyerahkan dress tersebut
Segera setelah mendapatkan yang dia inginkan, wanita itu pergi tanpa berkata apapun. Pun ayah Ratna juga seolah tak peduli dan pergi begitu saja. Persis seperti dulu – tak ada kata-kata yang terucap
“Ayah ....” Dada Ratna rasanya sesak. Ingin ia berlari dan memeluk ayahnya dari belakang, tapi yang bisa dilakukannya hanya menatap punggung ayahnya yang perlahan menghilang. Pun Ratna kembali menyibukkan diri di butiknya.
Tanpa Ratna tahu ayahnya masih di ujung jalan, mengamatinya dengan mata berkca-kaca.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!