Dentuman keras mengguncang barak militer. Cahaya merah menyala cepat sebelum ledakan besar membakar tanah dan udara. Suara jeritan prajurit berlarian dalam kekacauan malam. Di tengahnya, seorang wanita berseragam putih bersimbah darah. Namanya Dr. Nadine Ardhana, dokter militer dengan keahlian bedah trauma dan kelapangan.
Matanya terbelalak, tubuhnya terpental. Yang terakhir ia lihat adalah ranjau tanah yang salah dikenali sebagai tanda pagar pembatas barak.
Seketika segalanya menjadi gelap.
Tapi ini bukan akhir.
---
Seorang gadis berusia lima belas tahun, dengan rambut panjang hitam pekat yang terurai, tersentak bangun dari tidurnya. Dadanya naik turun dengan cepat, peluh membasahi keningnya. Tapi yang membuat tubuhnya gemetar adalah kenyataan aneh yang membanjiri pikirannya:
Ia menatap tangannya. Kecil. Ramping. Lembut. Terlalu berbeda dari tangan dokter militer yang kasar karena sering dijahit, mengoperasi, dan mengangkat korban dari ladang tempur.
Namun kenangan mengalir deras seperti banjir—kenangan yang bukan miliknya.
Ia kini adalah Li Xiaoran, putri kedua dari Mentri Kiri Istana Langit Timur, dan cucu dari seorang Jendral Besar Wu Jing, sosok legendaris di medan perang. Ibunya, Putri Wu Mei, adalah anak tunggal Jendral Wu, seorang wanita kuat namun terluka hatinya karena dinikahi hanya demi kekuasaan.
Xiaoran bukan anak biasa. Ia pernah dibuang diam-diam ke desa saat masih bayi karena ayahnya tak menginginkannya. Lelaki licik itu hendak menggantikan Xiaoran dengan anak dari wanita yang ia cintai sejak muda. Xiaoran kemudian hidup bersama keluarga petani yang sederhana hingga usia lima tahun, sebelum kedua orang tua angkatnya meninggal karena wabah.
Beruntung, seorang guru tua, Master Qiu, mengangkatnya sebagai murid dan anak. Ia belajar sastra, filosofi, juga sedikit pengobatan dari tumbuhan.
Namun pada usia tiga belas tahun, hidupnya berubah drastis.
Jendral Wu Jing, sang kakek yang temperamen namun tajam, secara misterius menemukan kebenaran bahwa cucunya yang asli telah dibuang dan ditukar. Tak seorang pun tahu bagaimana ia menemukannya. Tapi Jendral itu datang langsung ke perguruan dan membawanya pulang.
Di kediaman Mentri Kiri Li, ia disambut hangat oleh ibunya yang sudah lama bersedih, serta oleh dua kakaknya: Li Zhen, kakak lelaki tertua, seorang pejuang muda yang menjanjikan, dan Li Xiumei, kakak perempuan yang elegan, lembut, dan cerdas.
Namun kehangatan itu hanya bertahan satu tahun.
Sejak saat itu, Li Yun’er, putri dari selingkuhan ayahnya dan anak yang selama ini menggantikan Xiaoran, mulai memfitnah dan menjebaknya dengan licik. Segala kesalahan, kecerobohan, hingga racun di dapur disangkakan pada Xiaoran. Ia dijauhi para pelayan, dikucilkan oleh sepupunya, bahkan diusir diam-diam dari ruang keluarga.
Hari kematiannya begitu dingin.
Dituduh mencuri gelang selir permaisuri muda dan meracuni sup adik permaisuri, ia dilempar ke penjara kecil di paviliun belakang dan mati membeku saat badai musim dingin datang.
Namun…
Tubuh itu kembali hidup. Saat gadis itu membuka mata, bukan lagi jiwa Li Xiaoran yang ada di sana, melainkan Dr. Nadine Ardhana, yang kini sepenuhnya menyatu dalam tubuh gadis muda bangsawan ini.
Namun anehnya, saat ia menggumamkan suara batinnya yang panik—
Seorang pelayan yang setia adalah orang pertama kali yang dapat mendengar suara hati Li Xiaoran
Mulutnya tak bergerak, tapi suara itu terdengar di dalam benak pelayan itu suara jernih, cepat, dan cerdas. Sejak saat itu, siapapun yang tulus menyayangi dan mempercayainya bisa mendengar suara hati Xiaoran.
Dan itulah awal dari perubahan besar.
"Aku sudah di beri kesempatan kedua maka aku akan menggunakannya dengan sebaik baiknya. Dan ayah tunggu pembalasanku, akan aku buat menyesal seumur hidup" janji Li Xiaoran pada dirinya sendiri.
------
halo semua ini adalah cerita baruku, semoga suka dan ikuti terus kelanjutan ceritanya.
Suasana dingin menyelimuti Perguruan Qingshan. Di kamar kecil tanpa pemanas yang layak, tubuh seorang gadis terbaring diam. Nafasnya pelan, hampir tak terdengar. Tubuh itu tampak seperti tak bernyawa—hingga pada satu detik yang sunyi…
“Ughh—!!” Terdengar lenguhan dari seorang gadis muda berusia 13 tahun
Seketika, napas berat menyeruak dari tenggorokannya. Gadis itu terbangun dengan dada naik-turun cepat, mata membelalak menatap langit-langit kayu yang asing. Keringat dingin membasahi pelipisnya.
“Apa... aku tidak mati?, Ini dimana kok kuno sekali?" gumam gadis itu heran
Lalu iya memandangi sekitar dan juga lalu melihat kearah tubuhnya yang terlihat kecil dan halus, belum lagi pakaian dan kasur yang ia gunakan lalu Ia menoleh ke kanan dan kiri. Ruangan ini bukan kamar barak militer. Tidak ada suara dentuman bom, tidak ada prajurit yang terluka, dan tidak ada bau darah menyengat.
Yang ada hanyalah kamar kuno sederhana, lampu minyak di sudut ruangan, dan meja kecil dengan gulungan kitab.
Tangannya bergerak pelan, meraba wajahnya. “Kulit ini… tubuh ini… bukan tubuhku.”
Lalu tiba tiba semuanya membanjir, kenangan asing, potongan-potongan kehidupan gadis yang tak dikenalnya: seorang putri bangsawan bernama Li Xiaoran, putri kandung dari istri sah Menteri Kiri. Gadis ini sempat dibuang ke desa sejak bayi, hidup bersama keluarga petani hingga usia lima tahun, lalu diangkat anak oleh guru tua bernama Master Qiu.
Namun saat ia berusia tiga belas, sang kakek dari pihak ibu—Jenderal Besar Wu Jing menemukannya dan membawanya kembali ke rumah besar keluarga.
Dan sejak kembali, hidup gadis ini hancur perlahan-lahan.
“Ia difitnah, dijebak, dibenci… lalu mati di paviliun dingin setelah semua orang meninggalkannya.” gumam gadis itu
Dan sekarang… tubuh gadis itu dihuni oleh jiwa seorang dokter militer dari dunia modern, yang tewas sehari lalu karena menginjak ranjau.
Li Xiaoran atau siapapun ia sekarangg telah kembali.
Tok… tok…
Ketukan pelan di pintu mengusik keheningan. Seorang pelayan perempuan muda masuk sambil membawa air hangat dan semangkuk bubur. Namanya Lan’er. Pelayan setia milik Li Xiaoran saat ia berada di kediaman sang guru atau ayah angkat nya
“Nona Xiaoran?” panggilnya perlahan, seolah tak yakin.
Xiaoran menoleh. Wajahnya masih pucat, tapi mata hitamnya kini bening dan tajam, bukan seperti gadis lugu yang selalu ketakutan.
“Letakkan di meja saja. Terima kasih, Lan’er.”
Pelayan itu agak terkejut. Biasanya, Xiaoran tidak bicara dengan suara setenang itu. Ia selalu terbata, gugup, atau hanya menunduk diam.
Namun Lan’er menuruti perintahnya, meletakkan nampan di atas meja kecil. Saat ia hendak berbalik, telinganya terasa… aneh. Seperti ada bisikan lembut di dalam pikirannya.
“Dia baik… setidaknya, aku tidak merasa waspada padanya.” ujar Li Xiaoran dalam hati sembari memandangi Lan’er
Lan’er menoleh cepat, matanya membesar. Tapi ia tak mengatakan apa-apa. Hanya mengangguk pelan, lalu berjalan keluar sambil memegang dadanya yang terasa berdebar.
Xiaoran tidak menyadari apa yang baru saja terjadi.
Siang Hari
Xiaoran duduk bersila di depan jendela, cahaya matahari menimpa wajahnya yang tenang. Di pangkuannya, terbuka sebuah kitab tua tentang pengobatan. Tangannya cepat dan terampil refleks yang tak diajarkan di dunia ini. Ia memisahkan akar kering dan dedaunan dengan presisi tinggi, lalu mulai menulis catatan kecil:
“Daun Shanqing bisa digunakan untuk menurunkan panas tinggi dan infeksi luka… mungkin bisa digabung dengan air rebusan akar Baiwei sebagai antiseptik lokal…”
Pengetahuannya mengalir dari ingatan sebagai dokter. Dunia ini mungkin tak mengenal antiseptik, disinfeksi, atau teknik sterilisasi, tapi ia bisa membuatnya.
"Kesempatan kedua ini… bukan hanya untuk bertahan hidup. Tapi untuk hidup dengan benar. Aku tidak akan jadi korban lagi."
"Kakek akan datang menjemputku besok. Saat itu tiba, aku akan siap."
Ia tidak tahu bahwa suara hatinya yang hanya ia pikir sebagai pikiran batin—telah bergema di benak mereka yang tulus padanya.
Dan itu… akan menjadi kekuatan tersembunyinya.
Sedangkan di posisi Lan’er ia sedang berdiri di dapur kecil pelayan, wajahnya masih bingung. “Barusan… aku merasa mendengar Nona Xiaoran bicara di kepalaku… tapi dia tidak buka mulut…”
Salah satu pelayan tua yang ikut mendengar itu, hanya menggeleng dan berbisik, “Jangan dibicarakan sembarangan. Mungkin hanya perasaanmu.”
Tapi malam itu, Lan’er berdoa lebih lama dari biasanya.
Dan Xiaoran… duduk sendiri di kamarnya dengan cahaya lampu minyak, menatap langit malam lewat jendela.
"Kalau dunia ini memberiku satu kesempatan lagi… aku tidak akan diam. Aku akan buka luka-luka lama mereka dan menunjukkan siapa sebenarnya aku."
"Kamu salah membuangku, Ayah. Dan kamu salah menyingkirkanku, Yun’er."
Angin malam meniup dedaunan di luar. Cahaya rembulan memantul di matanya yang tak lagi lemah.
...---------------...
Pagi menjelang di Perguruan Qingshan. Embun tipis menggantung di dedaunan, burung-burung liar mulai berkicau, dan para murid perguruan telah bersiap menjalani latihan pagi mereka.
Namun, pagi ini tak biasa. Di halaman depan, kereta mewah berukir lambang burung elang mendarat mulus. Di depan kereta itu berdiri pria tua berpakaian jubah militer hijau zamrud. Jenderal Besar Wu Jing tokoh legendaris yang dulu mengguncang medan perang dengan strategi dingin dan tangan besi.
Wajahnya keras, penuh garis usia, dan sorot matanya tajam seperti menilai setiap jengkal dunia.
“Benarkah dia di sini?” gumam sang jenderal lirih. “Cucuku… yang katanya telah dibuang diam-diam seperti barang tak diinginkan.”
Di belakangnya, seorang ajudan muda bernama Fang Mo menunduk hormat.
“Benar, Jenderal. Master Qiu sendiri yang mengirim pesan melalui elang malam bahwa Nona Li Xiaoran adalah gadis yang selama ini tinggal di bawah pengasuhannya.”
Jenderal Li Jing menghela napas panjang. “Kalau benar dia cucuku… kenapa tak pernah mencariku? Kenapa hidup sembunyi?”
Di Kamar Xiaoran
Lan’er datang tergopoh, nyaris tersandung ketika membuka pintu kamar.
“Nona Xiaoran! Ada… ada seseorang dari ibu kota. Kereta jenderal besar… katanya dia ingin bertemu Anda!”
Xiaoran yang tengah merapikan gulungan catatan pengobatannya membeku sejenak.
"Kakek datang lebih pagi dari yang kuingat. Dulu, aku terlalu lemah bahkan untuk berdiri tegak ketika dijemput. Tapi sekarang—"
Lan’er yang mendengar itu terdiam kaku , karena lagi lagi ia mendengar suara hati Li Xiaoran
Tiba tiba Li Xiaoran berdiri tegak dan itu membuat Lan’er kaget, Li Xiaoran berdiri karena sudah bertekat untuk kembali Kali ini, tubuhnya tak menggigil, suaranya tak gemetar.
“Bantu aku berpakaian, Lan’er.” ujar Li Xiaoran
“Ya, Nona!” jawab Lan’er cepat
Setelah mengenakan jubah biru muda sederhana, rambutnya disisir rapi ke belakang dengan hiasan kayu kecil. Tak mewah, tapi bersih dan elegan. Xiaoran melangkah ke luar, tubuh mungilnya kini membawa aura tenang yang tak pernah terlihat sebelumnya.
Bersambung
Saat langkah Xiaoran muncul di tangga utama perguruan, semua mata tertuju padanya terutama mata sang Jenderal yang tajam. Ia menatap cucunya itu dari ujung kepala hingga kaki.
Tubuh kurus. Wajah pucat. Tapi mata itu… Bukan mata seorang gadis biasa.
Jendral Wu Jing melangkah mendekat, napasnya tertahan.
“Aku Wu Jing,” katanya dingin. “Kau cucu kandungku?”
Xiaoran menunduk perlahan, memberi hormat sebagaimana diajarkan dalam etika bangsawan.
“Salam hormat untuk Jenderal Besar Wu. Aku… Li Xiaoran.”
Wu Jing diam sejenak. Namun saat ia menatap mata gadis itu sesuatu bergema dalam benaknya.
“Dia tidak seperti yang mereka katakan... matanya jernih… dan tulus. Tapi mengapa aku merasa dia menyimpan banyak penderitaan yang belum terucap?” batin Jendral Wu Jing,
Gumaman batinnya justru dibalas oleh suara lain yang halus dan mengambang samar di benaknya.
"Jika kau benar kakekku, kenapa baru sekarang datang? Saat semuanya sudah hancur? Tapi… aku takkan membencimu. Aku hanya ingin tahu… apakah ada satu orang saja di keluargaku yang tak akan meninggalkanku." ujar Li Xiaoran dalam hati
Mata sang jenderal membelalak. Itu bukan suaranya sendiri. Itu… terdengar seperti suara hati gadis itu, menyusup lembut dan jujur ke pikirannya.
Ia menoleh cepat, menatap cucunya lebih tajam.
“Ulangi barusan.” ujar Jendral Wu Jing,
Xiaoran bingung. “Apa maksud Kakek?”
WuJing menggeleng pelan. “Tidak… bukan apa-apa.”
Namun batinnya gemetar. Selama ini ia tak percaya pada cerita roh, kekuatan gaib, atau pertanda. Tapi pagi ini, ia yakin satu hal, “Gadis ini… berbeda. Sangat berbeda.”
Setelah menenangkan hatinya jendral Wu Jing mulai berbicara pada Li Xiaoran, " Xiaoran, ayo ikut dengan kakek pulang, ibu dan saudaramu sudah menunggu kedatangan mu"
Li Xiaoran tidak menjawab langsung ia justru mendekati sang guru atau ayah angkatnya, "Ayah apa aku boleh kembali jika disana tidak ada yang menerimaku?" tanya Li Xiaoran dan itu membuat Jendral Wu Jing tersentak
Sedangkan Master Qiu yang mendengar itu menatap mata Li Xiaoran lekat lalu menjawab,
"Ayah mengizinkanmu sekali lagi, tapi kali ini ayah yakin jika kau dapat melewatinya dengan mudah dan mendapatkan takdir mu yang luar biasa. Ayah yakin kau akan datang kesini bukan karena kalah tapi karena menang"
"Terima kasih ayah dan aku ingin Lan’er ikut dengan ku, aku pasti kembali lagi kesini untuk membuatmu bangga" ujar Li Xiaoran lalu memberi hormat setelah itu ia mendekati kakeknya untuk berangkat.
...----------------...
Kereta berjalan pelan menuruni jalur bukit menuju ibu kota. Di dalamnya, Li Xiaoran duduk diam, memandangi lanskap pegunungan lewat jendela kayu. Di seberangnya, Jenderal Wu Jing sang kakek duduk dengan sikap tegak dan mata penuh pertimbangan.
“Ayah angkatmu mengajarimu pengobatan?” tanya sang jenderal akhirnya.
“Iya. Aku suka belajar mengobati. Itu menyelamatkanku berkali-kali,” jawab Xiaoran tenang.
Wu Jing mengangguk pelan. Sorot matanya tidak lagi setajam tadi pagi, "Kuat, tenang, dan tahu apa yang ia inginkan. Lebih baik dari banyak anak bangsawan yang manja."
"Putriku... pasti akan terkejut melihat gadis kecilnya sudah tumbuh menjadi seperti ini."
Tanpa sadar, batinnya berbisik lagi, “Semoga putriku bisa memelukmu se erat mungkin, cucuku. Kau sudah kehilangan cukup banyak.”
Namun, tanpa disadarinya, suara batin Xiaoran bergema lembut kembali ke dalam benaknya, "Kalau Ibu menyayangiku... mungkin kali ini aku tak akan merasa sendirian."
Li Jing menggenggam gagang kursi. Hatinya terasa dicekik. Rasa bersalah muncul karena telah membiarkan cucunya terlantar selama bertahun-tahun. Ia tak tahu bagaimana, tapi bisikan itu begitu nyata… dan jujur.
Setelah menempuh perjalanan yang sangat panjang akhirnya Jendral Besar Wu Jing, dan Li Xiaoran beserta rombongannya telah sampai di depan kediaman Keluarga Li,
Di tangga utama paviliun, berdiri Madam Li, ibu kandung Xiaoran. Wajahnya pucat namun tak bisa menyembunyikan air mata yang berkilat di sudut matanya. Rambutnya disanggul rapi, pakaiannya elegan, tapi tubuhnya sedikit gemetar saat melihat putrinya berdiri di depan mata.
“Xiaoran…” gumamnya
Xiaoran berhenti sejenak. Nafasnya berat. Matanya mengunci pada sosok wanita yang lama ada hanya dalam kenangan samar lembut, penuh kasih, namun selalu tampak sedih.
" Inikah Ibu... sangat cantik, tapi sayang?" gumam Li Xiaoran
Langkahnya maju, perlahan.
“Aku pulang, Ibu,” katanya nyaris berbisik.
Tanpa menunggu lagi, Madam Li segera menubruk putrinya, memeluknya erat, seolah takut gadis itu akan menghilang lagi. Tangisnya pecah tanpa suara.
“Akhirnya… akhirnya kamu kembali… Maafkan ibu nak, karena kelalaian ibu kamu menghilang dan hidup menderita di luar sana" ujar sang ibu penuh penyesalan
"Aku tidak menderita ibu, aku bahagia karena banyak yang menyayangi ku" ujar Li Xiaoran dan itu membuat semuanya tertegun
Angin musim semi berhembus pelan membawa aroma bunga plum yang mulai mekar. Halaman utama kediaman Keluarga Li mendadak menjadi pusat perhatian, bukan karena kepulangan Li Xiaoran saja, melainkan karena kabar mendadak dari salah seorang pelayan.
“Lapor! Putri Kedua, Nona Yuan’er, jatuh ke dalam danau! Tubuhnya basah kuyup dan ia tak sadarkan diri!” teriak salah satu dayang sambil terengah, wajahnya pucat pasi.
Seisi aula yang tadi menyambut Li Xiaoran dengan haru, langsung gelisah. Ibu Li Xiaoran, Nyonya Li Furen , bersama kakak perempuannya, Li Xiumei, dan beberapa pelayan hendak beranjak berdiri.
Namun tepat saat itu…
“Aku sudah tahu dia akan melakukan hal licik ini untuk mendapatkan perhatian dan membuatku malu karena ditinggal di depan pintu oleh keluargaku. Aku kira keluarga ini sudah tidak bodoh, ternyata tetap saja mudah dipermainkan oleh gadis licik itu. Padahal dia sendiri yang dengan sengaja merendam tubuhnya di air. ck...ck...ck... Drama gadis bodoh itu sangat konyol, dan mereka adalah korban drama itu, kasihan sekali ” ujar Li Xiaoran dalam hati
Suara batin yang begitu jelas, begitu sinis namun tenang, terdengar oleh kakek, ibu, dan jie jie Li Xiumei beserta Fang Mo pengawal pribadi Jendral Wu Jing.
Mereka semua terdiam.
Seolah angin musim semi tadi membeku sejenak.
Tatapan mereka berpindah ke Li Xiaoran yang berdiri santai dengan wajah datar, tak tampak terganggu oleh kabar Li Yuan’er. Tapi bukan itu yang membuat semua tercengang melainkan kata-kata yang barusan "didengar" oleh mereka... dari dalam batin gadis itu.
Li Xiaoran yang merasa di tatap pun heran, " kenapa memandangku seperti itu"
Nyonya Li Furen yang sudah setengah berdiri, membeku. Wajahnya berubah, namun bukan karena marah… melainkan seperti baru tersadar akan sesuatu, ia tersadar akan kesalahan nya barusan.
"Tidak nak, tidak apa apa" jawab Nyonya Li Furen cepat. ia sangat kaget tapi tidak bisa mengungkapkan apa yang ia dengar karena ia pikir ia salah dengar.
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!