Seorang wanita cantik dengan perut besarnya terduduk di tepi ranjang. Matanya menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong. Tangannya memegangi perut besarnya dengan gerakan lembut. Pikirannya tengah melayang, hatinya seolah tak berada di tempatnya. Hingga bunyi suara pintu yang terseret, memudarkan lamunannya. Walau begitu, ia tak beranjak untuk menoleh.
Langkah kaki terdengar dari arah pria yang baru saja masuk ke dalam kamarnya dengan membawa plastik hitam di tangannya. Senyuman pria itu terbit, walau jaketnya basah kuyup karena hujan yang mengguyur kota malam ini. Demi mendapatkan apa yang wanita itu mau, dia tak ragu untuk berusaha.
"Nadia, aku sudah dapatkan kacang hijau yang kamu mau kemarin. Ayolah, kita makan." Ajak pria itu antusias.
"Ezra, aku rasa ... anak ini menghambat masa depanku," ujar wanita itu pelan, dengan nada yang penuh beban.
"Apa maksudmu?" tanya Ezra dengan wajah yang penuh kebingungannya.
Nadia dan Ezra terpaksa menikah akibat sebuah kecelakaan yang terjadi. Nadia Lysandra Dirgantara adalah wanita kota yang bebas, anak tunggal dari seorang pemilik perusahaan Dirgantara Company. Gaya hidupnya yang bebas membawanya terjerumus dalam pergaulan yang bebas. Hingga akhirnya, dia menyeret Ezra untuk melakukan hal yang tak pantas karena pengaruh obat kejailan temannya. Membuat seorang bayi yang tidak diinginkan tumbuh di rahimnya. Ezra pun kembali datang dan bertanggung jawab atas perbuatannya.
Namun, tanggung jawab itu tidak cukup bagi Nadia. Setelah menikah, kehidupannya berubah 180 derajat. Ia merasakan kesulitan karena Ezra bukanlah orang yang berada. Nadia tak bisa melanjutkan kuliahnya dan harus tetap tinggal di rumah pria itu. Orang tuanya kecewa besar padanya dan menganggapnya sebagai aib yang mencoreng nama besar keluarga.
"Kita masih sangat muda, bayi ini tak seharusnya ada. Saat aku tahu sedang mengandung, seharusnya kita langsung menggugurkannya saja! Impianku hancur, masa depanku rusak, semua orang menjauhiku dan mencemooh. Bahkan tidak sedikit yang menghujat karena adanya bayi ini. Seharusnya, bayi ini tidak ada dan menghancurkan masa depanku! Aku tidak mau hidup seperti ini, Ezra!" teriak Nadia dengan penuh emosi.
Ezra meletakkan kresek hitam yang dibawanya ke atas ranjang. Kepalanya tertunduk lemah, matanya menatap ubin yang dingin. Kedua tangannya terkepal kuat, rahangnya mengeras. Nadia mengatakan hal yang tak bisa ia terima.
Nadia beranjak berdiri, menghadap pada Ezra yang masih menundukkan kepalanya. "Bukan kehidupan seperti ini yang aku mau! Bayi ini menghambat semua impian yang sudah aku bentuk!" sentaknya sambil menunjuk perutnya yang membesar.
"Lahirkan anak itu," ucap Ezra dengan nada tegas. Pandangannya terangkat, menatap Nadia yang tengah menangis di hadapannya.
"Kamu pria egois yang pernah aku tahu! Seharusnya, saat aku tidak sadar, kamu tidak menyentuhku! Tapi kamu malah menyentuhku hingga membuatku hamil! Kamu pria br3ngsek!" Nadia melanjutkan dengan marah.
"AKU MEMANG PRIA BR3NGSEK! JADI, LAHIRKAN BAYI ITU DAN PERGILAH!" Teriak Ezra penuh emosi, membungkam semua kata-kata Nadia yang menusuk hatinya. Nadia akhirnya terdiam, dengan air mata yang terus mengalir di pipinya.
Dengan gerakan kasar, Ezra berbalik memunggungi Nadia. Melihat wanita itu, amarahnya selalu tak terkendali. Ezra tak ingin perasaan sakitnya justru menyakiti wanita yang kini masih menjadi istrinya itu.
"Aku akan merawat anak itu, dan kamu bisa mengejar cita-citamu. Kamu bisa menganggap, pernikahan kita sebagai mimpi buuruk yang pernah ada." Ezra berkata dengan suara berat sebelum bergegas pergi, meninggalkan Nadia yang terduduk kembali di ranjang dengan tatapan kosong. Matanya menatap pada bubur kacang hijau yang Ezra berikan untuknya. Itu adalah permintaannya, dan hari ini pria itu membelikannya di tengah hujan yang deras.
.
.
.
Hari kelahiran tiba. Nadia merasakan kontraksi yang hebat. Ezra, yang baru saja pulang dari tempat kerjanya, segera mengangkat Nadia ke rumah sakit. Untungnya, dokter cepat tanggap dan membawa Nadia langsung ke ruang persalinan. Ezra yang mengurus semuanya dan juga membayar penuh biaya rumah sakit dengan tabungannya.
Akhirnya, bayi yang dinantikan pun lahir ke dunia. Ezra merasa sangat bahagia, menggendong bayi laki-laki yang kini menjadi buah hatinya. Walaupun bayi itu hasil dari sebuah kecelakaan, namun Ezra tetap menganggapnya sebagai anugerah.
"Nadia, lihat ... bayi kita ...," Ezra berkata dengan nada lembut, meskipun Nadia tidak memberikan perhatian padanya.
Namun, Nadia hanya membuang pandangannya. Ia tidak mau menatap bayi yang baru lahir itu. Ezra yang melihat itu hanya bisa tersenyum getir, semakin mendekap bayi itu erat-erat. Bayi itu menangis, seolah tahu bahwa kehadirannya ditolak oleh ibunya sendiri.
"Setelah ini, aku akan mengantarmu pulang," lirih Ezra, sebelum beranjak pergi, meninggalkan Nadia yang masih terdiam dengan tatapan kosong.
Dokter pun mengizinkan Nadia pulang hari itu juga. Ezra segera menyiapkan taksi untuk mengantarnya kembali ke kediaman Dirgantara dengan bayi mereka. Di dalam taksi, keduanya sama-sama terdiam. Ezra terus mendekap bayi di pelukannya, sementara Nadia tetap terdiam, selalu membuang pandangannya pada jendela mobil, seolah enggan menatap bayi yang ada dalam dekapan suaminya.
Taksi itu akhirnya sampai di kediaman Dirgantara. Nadia segera membuka pintu mobil, tetapi sebelum itu Ezra berkata sesuatu yang membuat tubuh Nadia menegang.
"Apakah kamu tidak ingin melihat sekali saja putra kita? Aku tidak masalah jika kamu tidak mau memberinya ASI, tapi bisakah kamu melihat wajahnya sekali saja sebelum kita berpisah?" tanya Ezra di tengah keheningan.
"Surat cerai, akan diurus oleh keluargaku." Nadia tidak menjawab pertanyaan Ezra, ia hendak turun dari taksi. Tetapi Ezra kembali berbicara, membuat tubuh Nadia menegang lebih lagi.
"Anak ini adalah milikku. Suatu saat, kamu tak berhak mengambilnya dariku, Nadia. Walaupun kamu ibu kandungnya, tapi kamu sudah kehilangan hak atasnya," ucap Ezra penuh ketegasan.
Nadia tak memberikan jawaban, ia segera turun dari mobil dengan hati-hati. Proses melahirkan secara normal membuat pemulihannya lebih cepat, walaupun ia masih merasakan sakit di bagian tubuhnya.
"Non Nadia!" Seorang pembantu terkejut melihat kepulangan Nadia, ia segera memanggil kedua orang tua Nadia dan mengabarkan kedatangan anak majikannya itu.
Ezra memandang dari dalam mobil, melihat orang tua Nadia yang datang menghampiri putri mereka dengan raut wajah yang penuh kekhawatiran. Rumah besar, keluarga yang lengkap, semuanya tampak begitu jauh dari dirinya. Ezra merasa dirinya tak layak berada di antara mereka. Sebagai seorang pria yang hidup sebatang kara, dengan kemiskinan yang terus mengikutinya.
"Oaa ..." suara putranya terdengar, tetapi Ezra tidak bisa lagi menahan air matanya. Ia menunduk, menatap putranya yang merengek pelan di dalam pelukannya. Ia mengelus lembut pipi putih kemerahan bayi itu, air matanya hampir jatuh, namun ia berusaha keras untuk menahan tangisnya. Dirinya harus kuat demi putranya. Walaupun Nadia tak menginginkannya, Ezra akan tetap merawat bayi itu dengan penuh kasih sayang.
"Papa akan menjagamu, sayang. Kita akan memulai hidup yang baru, yah." Bisik Ezra dengan penuh kasih sayang. Dengan kekuatan yang tersisa, matanya menatap ke depan, penuh tekad.
"Jalan, Pak!" titah Ezra pada supir taksi itu.
Mobil taksi itu melaju, meninggalkan kediaman Dirgantara. Ezra akan memulai kehidupannya bersama putranya. Dia tak menginginkan hal ini terjadi, tapi dirinya harus melanjutkan kehidupannya bersama bayi yang tidak bersalah itu. Kesalahannya, telah menghadirkan bayi itu ke dunia yang sangat keras. Untuk menebusnya, dia akan merawat bayi itu dengan segala yang dirinya punya.
.
.
.
Nadia tak pernah tahu bagaimana kehidupan mantan suami dan putranya. Setelah resmi bercerai, ia melanjutkan kuliahnya dan akhirnya menikah dengan pria yang ia cintai. Awalnya, pernikahannya berjalan dengan mulus dan manis, terlebih saat ia tengah menanti kelahiran bayi mereka. Namun, hidupnya seolah berubah 180 derajat setelah bayi di dalam kandungannya dinyatakan meninggal.
Berita itu seolah menghancurkan seluruh dunia Nadia. Semesta yang sebelumnya tampak berpihak pada kebahagiaannya, kini menutup jalan dan harapan yang ia miliki. Dunia Nadia hancur begitu saja, bagaikan bangunan rapuh yang dihantam badai. Semua impian tentang menjadi ibu yang penuh kasih dan bahagia bersama bayinya lenyap dalam sekejap.
Rasa kesedihan yang ia rasakan begitu dalam. Nadia merasa seperti kehilangan bagian dari dirinya, sesuatu yang tak bisa digantikan atau diubah. Perasaan kosong itu semakin menggerogoti hatinya.
Mata Nadia kini menatap gundukan tanah yang terlihat baru. Sebuah papan nisan tertancap di sana, dengan nama putrinya yang baru saja dilahirkan, Angela Rosela. Tubuhnya yang lemas terjatuh di hadapan makam itu, tangannya terulur, menggenggam tanah yang masih terasa basah. Air matanya terus mengalir, menahan isakan di d4danya.
"Apa ini karma untukku? Dulu aku meninggalkan putraku, dan sekarang ... putriku meninggalkanku." Isak Nadia dengan perasaan yang hancur.
Di saat dirinya sedang berduka, tak ada sang suami yang menguatkannya. Entah di mana keberadaan pria itu, Nadia hanya terfokus pada anaknya. Sampai, bahunya ditepuk lembut oleh wanita paruh baya yang merupakan ibu kandungnya. Lekas, Nadia memeluk ibunya dengan erat.
"Kenapa harus putriku, Ma? Kenapa bukan aku saja?" Tangisnya pecah, suaranya serak, terasa begitu sesak di dadanya.
"Jangan bicara seperti itu, kamu harus merelakannya, Nadia. Mungkin ini yang terbaik," Bisik Kania dengan penuh pengertian pada putrinya.
"Ayo pulang, Mama meninggalkan Papa terlalu lama di rumah," ajak Kania, suaminya yang kini mengalami stroke hingga membuatnya harus berada di kursi roda. Setahun belakangan, banyak ujian datang dalam kehidupan Kania dan keluarganya. Hingga akhirnya, Nadia harus turun tangan mengurus perusahaan sang ayah.
Sesampainya di rumah, Kania dan Nadia kaget melihat Dipta Dirgantara berada di teras rumah dengan kursi rodanya. Tak hanya itu, koper mereka juga sudah berada di dekatnya. Nadia tak mengerti apa maksudnya, sampai ia melihat suaminya—Dante Wilder menuruni tangga dengan sebuah koper besar. Kemudian, ia membanting koper itu tepat di hadapan Nadia.
"Apa-apaan ini, Dante?!" Bentak Nadia dengan mata yang penuh amarah.
Dante memandang Nadia dengan tatapan dingin, "Tentu saja, aku sedang mengusir kalian."
"Kamu ... kamu enggak bisa mengusir kami! Ini rumah orang tuaku! Seharusnya, kamu yang keluar dari sini!" teriak Nadia dengan tatapan tajam.
Dante tersenyum, melangkah mendekati Nadia dan meraih dagunya dengan lembut. "Apa kamu lupa, sayang? Kamu yang menyerahkan segala kekuasaan Dirgantara padaku. Kamu sendiri yang memintaku mengurus semuanya. Sampai akhirnya aku bisa memindahkan semuanya atas namaku. Termasuk ... perusahaan Dirgantara Company!"
Nadia terkejut, begitu juga dengan kedua orang tuanya. Tubuhnya melemas seolah tak bisa berdiri lagi. Matanya menatap nanar pada pria yang berdiri di hadapannya, pria yang sempat ia cintai, kini dalam waktu singkat ia benci.
"Kurang ajaar kamu, Dante! Aku memintamu membantuku, bukan merampas harta keluargaku!" teriak Nadia frustasi.
Itulah kesalahan Nadia, yang terlalu mudah mempercayai janji-janji Dante selama ini. Terbujuk oleh rayuannya untuk menggantikan posisi ayahnya memimpin perusahaan. Namun, Dante dengan liciknya merebut semua asetnya dan memanipulasi keadaan.
"Sekarang, pergi dari sini. Kamu, dan kedua orang tuamu, sudah tidak ada tempat di sini," kata Dante dengan tatapan datar dan dingin.
"Kamu ...,"
"Apa belum selesai, sayang?"
Nadia menoleh dan melihat seorang wanita keluar dari kamar nya dan hanya mengenakan bathrobe. Wanita itu berjalan mendekat sambil tersenyum penuh kemenangan. Air mata Nadia kembali luruh, hatinya seperti dihancurkan sekali lagi. Matanya memandang dengan perih pada Dante yang kini merangkul manja wanita itu.
"Putri kita meninggal, dan kamu malah berduaan dengan wanita ini? Di kamar kita?! Kamu benar-benar pria gil4! Bisa-bisanya kamu berselingkuh sementara aku terpuruk atas meninggalnya anak kita! Kamu benar-benar ...," Nadia terhenti, suaranya tercekik oleh isakannya yang semakin parah.
Plak!
Wajah Dante tertoleh ke samping, pipinya terasa panas dan sakit. Nadia terkejut, matanya melihat ibunya yang baru saja menampar Dante dengan sekuat tenaga. Wajah wanita paruh baya itu tampak tegas, tangannya menunjuk tepat di hadapan wajah Dante.
"Suami saya menikahkanmu dengan putri kami karena melihat kamu pria yang baik. Tapi ... kamu adalah pria yang jahat! Br3ngsek! Suatu saat, kamu akan merasakan balasan dari kejahatan yang kamu lakukan pada keluarga kami!" bentak Kania dengan hati yang membara.
"Ayo, Nadia," Kania menarik tangan putrinya dan mengajaknya pergi.
"Putrimu itu sedang membayar kejahatannya di masa lalu. Sebaiknya kalian berkaca, putri kalian sendiri membuang anaknya tapi putriku yang harus menanggung akibat dari kejahatan ibunya!"
Langkah Nadia terhenti, wajahnya pucat pasi. Genggaman tangannya pada Kania menguat, di sertai dengan air matanya yang luruh membasahi pipinya. Perkataan Dante, memuukul telak dirinya.
____________________________________
Kembali lagi dengan karya baru, semoga ada kabar baik yang membahagiakan kedepannya. Dukung selalu yah kawan, aku tanpa kalian hanya butiran debu😶🌫️
Ini kisah baruuu yah, nanti kisah Raffa hadir bulan besok😍
Kania mencoba memegangnya agar Nadia tak kehilangan kendali. Dirinya takut, perkataan Dante mempengaruhi putrinya dan membuatnya terjatuh lemah di hadapan pria itu.
Nadia menghapus air matanya, ia melepas genggaman tangannya dari Kania. Tiba-tiba ia berbalik dan menendang perut Dante hingga pria itu jatuh tersungkur menabrak dinding yang ada di belakangnya. Wanita selingkuhannya langsung membantunya bangun, sementara Dante memegangi perutnya yang terasa sakit.
"Satu tendangan itu, baru awal mula. Suatu saat, aku akan mengambil kembali apa yang menjadi milikku, Dante!" teriak Nadia penuh tekad.
Nadia dan Kania akhirnya pergi, mereka terpaksa meninggalkan kemewahan yang dimiliki keluarganya karena perbuatan Dante.
Sepanjang perjalanan, Nadia hanya diam, melamun. Rasa sakit kehilangan putrinya belum juga hilang. Ditambah lagi, suaminya mengkhianatinya dan mengusirnya dari rumah mereka. Orang tuanya harus menanggung penderitaan yang ditimbulkan oleh perbuatannya.
"Ma, aku minta maaf," lirih Nadia dengan perasaan sesak. Ia menunduk, malu untuk menatap orang tuanya.
Kania memeluk putrinya, "Mama harap, kamu dapat belajar dari kesalahan yang menimpamu. Mama marah, tapi untuk saat ini hal itu bukanlah solusi."
Saat keduanya mengobrol, tiba-tiba Dipta memegangi d4danya yang terasa sakit. Nadia dan Kania yang melihat itu terkejut, dan segera mereka berlari mendekat.
"Papa kenapa, Pa?" tanya Kania panik.
"Pak, kita ke rumah sakit!" titah Nadia pada supir taksi. Kondisi Dipta semakin buuruk, jalanan pun semakin ramai dari biasanya. Kania memandang cemas pada suaminya yang mulai terlihat kesulitan bernapas.
Sesampainya di rumah sakit, para tenaga medis segera membawanya ke ruang UGD. Nadia dan Kania menunggu dengan penuh kecemasan. Sudah terlalu banyak cobaan yang datang, dan keadaan ini membuat kedua wanita berbeda usia itu semakin terpuruk.
Beberapa saat kemudian, seorang dokter datang dengan wajah serius, membawa hasil pemeriksaan awal.
"Ibu, setelah memeriksa kondisi pasien, kami mendapati bahwa pasien mengalami serangan jantung. Mengingat kondisinya yang sebelumnya sudah terpengaruh oleh stroke, tubuhnya kini sangat rentan terhadap komplikasi lain, seperti ini."
"Apa?" Nadia kaget hingga dirinya sulit mengatakan apapun.
"Kami melihat adanya tanda-tanda bahwa pembuluh darah di jantungnya mulai tersumbat. Kami juga sudah melakukan tes darah dan EKG, yang menunjukkan ada tekanan yang sangat tinggi pada jantungnya, kemungkinan karena pengaruh dari stroke yang sudah ia alami sebelumnya."
Nadia merasa tubuhnya seakan melemas. Ayahnya sudah cukup berjuang untuk pulih dari stroke, dan sekarang, ia harus menghadapi ancaman baru yang jauh lebih mematikan. Serangan jantung di tengah kondisi tubuh yang sudah lemah ini sangat berisiko, dan Nadia tahu, meskipun ia berharap agar semuanya berjalan baik, kenyataan yang ada begitu mengerikan.
Dokter melanjutkan penjelasannya dengan nada yang lebih serius. "Karena kondisinya yang sudah terpengaruh oleh stroke, kami harus melakukan tindakan dengan sangat hati-hati. Kami akan melakukan angiogram untuk melihat lebih jelas pembuluh darah yang ada, untuk menentukan apakah ada sumbatan yang parah dan apakah kami perlu melakukan prosedur lebih lanjut, seperti pemasangan stent atau bypass."
Nadia menggigit bibirnya, berusaha untuk tidak menangis di hadapan dokter, namun perasaan khawatir dan cemas itu sulit untuk ditahan. Ayahnya sudah terlalu rapuh, dan sekarang harus menghadapi dua penyakit yang saling memperburuk keadaan.
"Kami akan terus memantau kondisinya dengan cermat, Nyonya. Ini adalah waktu yang sangat krusial, dan kami akan melakukan segala yang kami bisa untuk menyelamatkan pasien," kata dokter itu dengan penuh pengertian.
Nadia mengangguk pelan, meskipun hatinya penuh dengan ketakutan. Ia merasa seolah tidak punya lagi tenaga untuk berjuang, namun ia tahu satu hal, ia harus terus berusaha demi keluarganya.
.
.
.
Nadia terburu-buru menuju resepsionis untuk membayar pengobatan ayahnya. Ia membuka dompet dan mengeluarkan kartu ATM miliknya, berharap bisa segera menyelesaikan pembayaran dan Dipta dapat segera mendapatkan kamar perawatan.
“Maaf, apakah Anda punya kartu lain? Kartu ini tidak bisa di gunakan,” ucap suster dengan suara lembut.
“Hah? Kok bisa, Sus?” Nadia kebingungan. “Coba lagi, pakai kartu ini, Sus.” Nadia mencoba kartu lain, namun tetap saja sama.
“Maaf, Mba ... semua kartu tidak bisa digunakan. Mungkin Anda punya uang tunai?” tanya suster itu dengan cemas.
Nadia menggenggam erat dompetnya. Begitu membuka, ia hanya menemukan dua lembar uang merah. Bod0hnya, ia jarang membawa uang tunai. Dalam situasi seperti ini, seharusnya ia mempersiapkan segala sesuatu lebih matang.
"Saya ambil dulu uangnya, ya Sus?" Nadia bergegas meninggalkan resepsionis, berusaha menenangkan dirinya.
Seketika, ia merasa semakin lelah, baik secara fisik maupun mental. Ia duduk terkulai di kursi ruang tunggu. Pikirannya mulai kacau, hatinya kosong. Begitu banyak hal yang harus dipikirkan, namun ia merasa semuanya terlalu berat untuk dihadapi.
Tiba-tiba, seorang wanita paruh baya duduk di sebelahnya. Tanpa berkata apa-apa, wanita itu menyampirkan kain di d4da Nadia. Nadia tersentak dan merasa tak nyaman, ingin menolaknya. Namun, wanita itu menenangkan.
"Jangan di lepas, pakaianmu basah. Tidak enak dilihat orang." Ucap wanita itu dengan lembut.
Nadia terdiam, ia menunduk menatap d4danya yang basah. Karena kepanikannya, dia tak sadar jika asinya membasahi bajunya. Seharusnya asi miliknya sudah di minum oleh putrinya. Namun, hal tak terduga terjadi.
"Terima kasih, Nyonya." Nadia berbisik pelan.
"Sama-sama, segera suusui anakmu, ya. Kalau tidak, bisa terjadi penyumbatan dan itu bisa sangat sakit."
Nadia menatap wanita itu dengan tatapan hampa. "Putri saya meninggal kemarin, jadi saya tidak bisa memberikannya." Suaranya tergetar.
Wanita itu tampak terkejut, lalu mengelus bahu Nadia dengan lembut. "Saya mengerti, Nak. Saya juga baru saja kehilangan menantu saya. Cucu saya lahir, tapi menantu saya pergi untuk selamanya. Kehilangan itu, adalah hal yang paling menyakitkan."
Nadia terdiam, terasa berat mendengar cerita itu. Pikirannya mulai kembali tertuju pada ayahnya. Suasana di rumah sakit semakin membuatnya terhimpit, namun tiba-tiba suara panggilan nama terdengar.
"Nadiaaa!"
Nadia menoleh, wajah ibunya tampak panik. Hatinya berdebar, khawatir ada sesuatu yang terjadi pada ayahnya.
“Nyonya, terima kasih untuk kainnya, saya akan mengembalikannya nanti. Saya harus melihat kondisi Papa saya sekarang!” Nadia berlari meninggalkan wanita paruh baya itu, tanpa sempat berkata lebih banyak.
Dia hanya menatap Nadia yang berlalu, perlahan menghela napas. "Masih muda, tapi sudah kehilangan bayi. Pasti dia sangat terpuukul."
"Nyonya Astrid!"
Suara suster memanggil wanita itu. Astrid terkejut dan segera berdiri mengikuti suster yang tampak cemas.
“Ada apa, Sus?” tanya Astrid, wajahnya menunjukkan kekhawatiran.
"Bisa ikut dengan saya Nyonya?"
Astrid mengangguk, suster pun membawanya ke ruang bayi. Di sana, terlihat seorang bayi perempuan di inkubator, menangis terisak dengan wajahnya yang terlihat merah.
"Maaf, Nyonya. Bayi ini terus memunt4hkan susu formula yang kami beri. Baru 30 Ml yang bisa masuk, sementara bayi yang baru lahir seharusnya mengonsumsi 45-90 Ml. Jika kondisi ini berlanjut, berat badannya tidak akan naik,” jelas dokter dengan penuh perhatian.
"Jadi susu formula tidak cocok untuknya?" Astrid bertanya dengan cemas, melihat bayi yang semakin lemah itu.
"Bisa jadi. Setiap bayi memiliki kemampuan berbeda dalam mencerna susu formula. Apalagi bayi prematur, sering kesulitan mencerna susu formula. Gejalanya bisa berupa muntah, perut kembung, bahkan diare," terang dokter.
"Bagaimana solusinya, Dok?" Astrid bertanya lagi dengan suara pelan, matanya terus menatap bayi mungil itu yang terus menangis karena kelaparan.
"Apakah ada kerabat yang sedang menyuusui?" tanya dokter.
Astrid menggeleng. "Tidak ada. Saya tidak punya siapa-siapa."
Pikiran Astrid langsung tertuju pada Nadia, wanita yang sebelumnya dia tolong dengan memberikan kain untuk menutupi d4da wanita itu yang basah karena rembesan asi. Mengingat pakaian Nadia yang basah karena air susu, Astrid merasa yakin jika wanita itu pasti memiliki ASI yang cukup. Mungkin saja Nadia bisa membantu bayi ini.
"Jika ASI diberikan oleh wanita lain, apakah itu aman, Dok?" Astrid bertanya dengan harap-harap cemas.
"Iya, asal ibu susu yang dipilih sehat dan ASI yang diberikan sudah melalui pemeriksaan ketat. Kami hanya merekomendasikan ibu susu yang memenuhi standar kesehatan untuk memastikan ASI yang diberikan aman dan bergizi," jelas dokter dengan tenang.
Astrid mengangguk, matanya kembali menatap bayi di inkubator, hati penuh kekhawatiran. Bayi itu terus menangis, seakan meminta sesuatu yang tidak bisa dipenuhi.
"Azura, Oma akan bawakan susu yang kamu butuhkan, sabar ya sayang," bisiknya lembut sambil menepuk-nepuk kaca inkubator.
.
.
.
Astrid berlari mencari Nadia, dan pencariannya membuahkan hasil. Di dekat ruang tunggu, ia menemukan Nadia yang tampak memelas di hadapan dokter. Air mata Nadia mengalir, wajahnya penuh keputusasaan.
"Tolong, Dok. Saya akan cari uangnya, tapi tolong beri dulu ruang perawatan untuk ayah saya. Dia sedang sakit, saya akan mencari uangnya secepatnya!" Nadia berkata dengan suara tercekat, mencoba menahan tangis.
Dokter itu menggelengkan kepala dengan berat hati. "Maaf, Nona ... sesuai prosedur rumah sakit kami, kami tidak bisa memberikan kamar perawatan sebelum Anda membayar biaya pengobatan."
Nadia terdiam, tubuhnya lemas, hanya bisa menangis. Dokter itu meninggalkannya, tidak bisa berbuat lebih banyak karena kebijakan rumah sakit yang ketat. Di sanalah, Astrid memberanikan dirinya mendekati Nadia.
"Maaf, saya tadi mendengar apa yang kamu bicarakan dengan dokter," Astrid tiba-tiba muncul di sampingnya, menepuk bahunya dengan lembut. "Jangan khawatir, saya akan membantu kamu."
Nadia menatapnya dengan terkejut, masih belum percaya. "Apa? Apa yang Anda maksud?"
"Saya akan membantu membayar biaya perawatan ayahmu," Astrid berkata pelan, tapi pasti. "Tapi ... bisakah kamu menjadi ibu susu bagi cucu saya?"
"Ibu susu?"
"Yah, cucu saya membutuhkan ASI. Bisakah kamu memberikannya untuknya? Saya akan membayar, berapapun yang kamu inginkan. Bahkan, sampai pengobatan ayahmu selesai." Ucap Astrid dengan nada yakin.
Pandangan Nadia beralih, menatap sang ayah yang masih terbaring di ruang UGD. Kania terlihat memegang tangan suaminya dengan erat, dengan tatapan yang penuh kasih. Nadia menghela napas pelan, otaknya tengah berpikir keras untuk mengambil keputusan ini. Hingga akhirnya, dia memilih keputusan yang sudah dia mantapkan dalam hatinya.
"Saya mau, Nyonya. Tapi ... kalau cucu Anda tidak mau, bagaimana?"
Senyum Astrid merekah, ia memeluk Nadia dengan perasaan bahagia. "Kita coba dulu, ayo!"
Astrid membawa Nadia ke dalam ruang bayi untuk melihat langsung bayi yang akan disuusui Nadia. Sebelum itu, dokter bertanya lebih dulu tentang kesehatan Nadia dan apakah wanita itu mengidap penyakit tertentu. Setelah dipastikan semuanya baik, mulailah seorang suster mengeluarkan bayi itu dari inkubator dan memberikannya pada Nadia dengan perlahan.
Saat bayi itu sampai di dekapannya, air mata Nadia kembali luruh. Dirinya teringat akan putrinya yang telah tiada, bahkan dia belum sempat menyuusuinya. Namun, semesta seolah memberikannya pengganti dari rasa sakit dan kehilangan yang dirinya alami lewat bayi itu.
"Nadia, ayo. Lihat, dia menangis dan berharap segera disuusui." Ucap Astrid dengan antusias.
Nadia mengangguk, perlahan membuka kancing bajunya. Namun, dia menatap Astrid dengan ragu. "Apa Anda akan melihat saya menyuusui?"
Astrid mengerjapkan matanya pelan, "Ya, tentu saja. Memangnya kenapa? Saya juga memilikinya, hanya saja tidak ada isinya. Kenapa harus malu?" Ucapnya heran.
Pipi Nadia bersemu merah, dia malu dilihat saat sedang menyuusui. Namun, benar apa kata wanita itu. Kenapa dirinya harus malu? Sesama wanita, terlebih Astrid juga pasti sudah menjadi ibu dan pernah melakukan hal yang sama.
Dengan gerakan perlahan, Nadia mengeluarkan ASI-nya. Suster pun membantunya untuk memposisikan bayi di gendongannya agar dapat menyuusu dengan baik. Saat bibir kecil itu berhasil meraih sumber nutrisinya, Nadia memejamkan matanya, merasakan sakit yang terasa menyenangkan sebagai seorang ibu.
"Sakit yah? Biasanya lidah bayi memang kasar, nanti juga terbiasa." Ucap Astrid sambil mengelus punggung Nadia.
Nadia mengangguk, matanya menatap bayi di gendongannya dengan mata berkaca-kaca. Bayi itu mengisap kuat sumber nutrisinya, seolah dia sangat kehausan. Astrid dan para tenaga medis yang ada di sana tersenyum lega melihat bayi yang akhirnya meminum susu tanpa memunt4hkannya.
"Lihat, dia meminumnya dengan lahap. Astaga Nadia, terima kasih banyak." Kata Astrid dengan rasa haru, melihat cucunya yang kuat menyusu.
Nadia tersenyum, "Sama-sama, Nyonya." Matanya kembali memandang bayi di gendongannya, dengan lembut jarinya menyentuh pipi kenyang bayi itu. Seperti ada ikatan batin di antara keduanya yang Nadia rasakan.
Ponsel Astrid berdering, ia mengambil ponselnya dari dalam tas dan melihat siapa yang menghubunginya. Setelah melihatnya, Astrid tersenyum senang dan mengusap layar ponselnya sebelum menempelkannya ke telinganya. "Disini sudah aman, sekarang sudah ada ibu susu yang memberikan ASI untuk putrimu, Ezra."
Wajah Nadia berubah pucat, matanya memandang kaget pada Astrid yang sedang sibuk berbicara di telepon dengan seseorang yang wanita itu hubungi. Jantung Nadia berdegup kencang, pikirannya kalut saat mendengar nama yang tak asing di telinganya.
"Nama Ezra banyak, tidak mungkin Ezra ... enggak, mantan suamiku sudah tidak memiliki orang tua. Jadi sudah pasti, Ezra yang berbeda." Batinnya cemas.
________________________
Jangan lupa dukungannya😍
Terlihat seorang pria dengan kemeja abu-abu masih menatap ponselnya sejenak sebelum menatap gundukan tanah di depannya. Pandangan matanya terlihat kosong di balik kacamata hitam yang dikenakan. Hingga akhirnya, dirinya pun memutuskan untuk mengalihkan pandangannya.
"Ezra, Ayah dan Bunda pulang dulu. Kabari kami tentang perkembangan cucu kami. Dia satu-satunya hal berharga yang Alina tinggalkan. Tolong jaga dia, untuk kami." Ucap wanita paruh baya itu sambil mengelus lembut tangan Ezra.
Ezra mengangguk, "Aku pasti akan menjaga cucu kalian, Bunda. Kalian hati-hati, besok aku akan kembali ke Jakarta."
Kedua pasangan paruh baya itu pun beranjak pergi, meninggalkan Ezra dan seorang wanita muda yang saling berhadapan. Keduanya sama-sama menatap gundukan tanah yang masih baru itu. Sekejap, Ezra berniat beranjak pergi, tapi perkataan wanita itu membuat langkahnya terhenti.
"Ezra, tentang wasiat Alina ...,"
"Jangan bahas itu sekarang, aku tidak mau membahasnya untuk saat ini." Ezra beranjak pergi, meninggalkan wanita itu yang menghela napas pelan.
Ezra memasuki mobilnya, dia menatap lurus pada jendela luar. Membiarkan sang sopir mengarahkan mobilnya menuju tempat yang dia inginkan. Gerimis membasahi kota, tatapan Ezra tak juga teralihkan. Dirinya baru saja kehilangan sang istri, di saat cinta di hatinya tumbuh untuk wanita bernama Alina Renata. Orang tua Alina ingin putri tunggal mereka di makamkan di Bandung, tempat kelahiran wanita itu. Mengharuskan Ezra untuk mengantar istrinya ke tempat peristirahatan terakhirnya.
Banyak hal terjadi dalam 4 tahun belakangan yang merubah nasib kehidupannya. Namun, kebahagiaannya belum berjalan begitu lama, tapi semesta kembali tak memihaknya. Matanya memandangi ponselnya, melihat kiriman foto dari sang mama. Terlihat, seorang wanita tengah menyusui putrinya. Wanita itu membelakangi kamera, tapi Ezra merasa tak asing dengan postur dan rambut wanita itu.
"Aku seperti ... mengenalnya." Gumamnya dengan kening yang berkerut dalam.
.
.
.
Astrid mendatangi Nadia dengan sebuah kertas di tangannya. Wanita itu datang dan duduk di sebelah Nadia yang tengah melamun di koridor rumah sakit. Kedatangannya membuat Nadia mengalihkan sejenak perhatiannya dari lamunan.
"Nadia, tanda tangani perjanjian ini ya. Kamu akan menyusui cucu saya sampai dia berusia 5 bulan. Namun, kamu harus tinggal bersama saya selama perjanjian ini berjalan. Saya akan membayar semua biaya pengobatan yang papa kamu jalani di rumah sakit ini. Juga, kamu akan saya gaji 7 juta per bulan. Anggap saja gaji sebagai pengasuh untuk cucu saya." Astrid memberikan pena dan kertas yang telah dia siapkan untuk Nadia.
Nadia meraih kertas itu dan membacanya dengan seksama. Isi perjanjian tersebut sesuai dengan yang Astrid katakan tadi, dan Nadia tak keberatan. Setidaknya, dia bisa mendapatkan gaji yang akan membantu memenuhi kebutuhan dirinya dan orang tuanya beberapa bulan ke depan, sambil mencari pekerjaan yang tetap.
"Terima kasih banyak Nyonya," ucap Nadia, merasa sedikit lega.
"Sama-sama, tapi segera tandatangani ya. Nanti saya akan berikan ini ke pengacara saya."
Mendengar kata "pengacara," Nadia yakin bahwa Astrid bukanlah orang sembarangan. Wanita itu pasti memiliki kekuasaan. Dilihat dari penampilan dan gaya bicaranya, sudah seperti orang berkelas. Nadia yakin, Astrid bukanlah orang biasa.
"Jika kamu membatalkan perjanjian ini, kamu akan dikenakan denda. Lima kali lipat dari apa yang saya tawarkan padamu."
"Saya akan profesional dalam kerja sama ini, Nyonya. Saya jamin, tapi saya harap Nyonya juga akan memegang janji untuk membayar pengobatan Papa saya." Ucap Nadia sambil mengembalikan kertas yang telah dia tanda tangani.
Astrid pun mengurus pengobatan Papa Nadia, termasuk proses operasi yang akan dilakukan. Dia membayar seluruh pengobatan tanpa kecuali. Bahkan, Dipta mendapatkan kamar VIP yang tak pernah Nadia sangka sebelumnya. Tentunya, hal itu menimbulkan pertanyaan bagi Kania.
"Nadia, kamu dapat uang dari mana?" Tanya Kania pada putrinya yang baru saja duduk di sofa ruang perawatan Dipta.
Nadia menghela napas panjang, ia kembali memegangi tangan sang Mama. "Aku bekerja, Ma, dan mungkin untuk 5 bulan ke depan aku akan tinggal di rumah majikanku."
"Kamu jadi pembantu?" Tanya Kania dengan mata terbelalak.
Nadia menggeleng, "Lebih tepatnya pengasuh sekaligus menjadi ibu susu seorang bayi, Ma. Seseorang membutuhkan bantuanku untuk merawat cucunya, dan sebagai bayarannya dia akan membayar pengobatan Papa sampai sembuh. Juga, aku akan mendapatkan gaji. Nanti uangnya untuk biaya hidup Mama dan Papa sampai aku mendapatkan pekerjaan yang bagus."
"Nadia ...." Air mata Kania jatuh. Ia tak tahu lagi harus mengatakan apa. "Mama minta maaf, Nadia."
"Kenapa Mama minta maaf? Seharusnya aku yang minta maaf. Aku yang b0doh telah memberikan kesempatan pada Dante untuk merebut perusahaan kita. Aku minta maaf, dan aku janji ... aku akan rebut kembali perusahaan itu. Tapi beri aku waktu untuk bangkit, Ma."
Kania meraih putrinya dan memeluknya, tak ada rasa benci dalam hatinya. Dia hanya menyesalkan apa yang terjadi pada putrinya dengan menyalahkan dirinya sendiri. Kania yakin, di balik segala yang terjadi dalam hidupnya, pasti ada alasan yang bisa diambil sebagai pelajaran.
Malam harinya, seorang suster meminta Nadia untuk memompa ASI-nya yang nanti akan diberikan untuk Azura. Para tenaga medis tengah berusaha menaikkan berat badan bayi itu agar cepat mencapai target dan segera keluar dari inkubatornya.
"Sus, apa bayi itu menangis kembali?" Tanya Nadia sambil menyerahkan ASI yang telah dia perah.
"Tidak, tapi sebentar lagi dia akan terbangun dan merasa lapar. Terima kasih, Nona. Saya akan kembali ke ruang bayi." Suster itu mengangguk dan pergi meninggalkan ruang perawatan Dipta.
Entah mengapa, Nadia terus memikirkan bayi itu. Dirinya melamun panjang, mengingat masa lalunya yang begitu buruk. Sampai akhirnya, sebuah tepukan hangat di bahunya membuatnya tersadar.
"Apa yang kamu pikirkan?" Tanya Kania heran.
"Ma, aku ... wanita yang jahat ya? Aku meninggalkan putraku bersama Ezra sementara aku menyuusui putri orang lain. Entah bagaimana kabar mereka sekarang, aku merasa ... aku benar-benar sangat jahat." Lirih Nadia, nyaris suaranya tak terdengar.
Kania menghela napas panjang, "Nadia, apa yang kamu lakukan di masa lalu ... adalah keputusan yang sudah kamu ambil dalam kondisi sadar. Penyesalan, hanya sia-sia. Semoga kamu bisa bertemu dengan putramu dan menebus kesalahanmu."
Tiba-tiba, suster tadi kembali dengan raut wajah yang tak enak. Nadia dan Kania saling pandang, mereka tak tahu alasan suster itu kembali membawa botol susu di tangannya.
"Maaf Nona, baby Azura tidak ingin minum susu dari botol. Bisa Anda ikut saya?"
"Tidak mau? Yang diberikan ASI saya kan? Kenapa dia tidak mau?" Tanya Nadia bingung.
"Yang diberikan memang ASI Nona, tapi baby Azura menolak. Bisakah Anda menyuusuinya langsung?"
Nadia mengangguk. Ia pun lekas kembali ke ruang bayi dan melihat Azura yang menangis dalam inkubatornya. Gegas, suster tadi mengambil Azura dan menyerahkannya pada Nadia. Dengan lembut, Nadia mulai menyuusui bayi itu kembali. Baby Azura menghentikan tangisnya, walau masih sesenggukan bayi itu tetap meminum kuat nutrisi yang Nadia berikan untuknya.
Setiap kali menyuusui, rasanya Nadia ingin menangis. "Jika kamu masih hidup, Mama seharusnya menyuusui kamu saat ini, Nak. Maafkan Mama, jika ASI yang seharusnya untukmu, Mama berikan untuk bayi lain." Batin Nadia sambil tangannya terus mengelus kepala Azura yang berkeringat.
"Nona, jiwa keibuan Anda sangat kuat. Anda, ibu yang hebat," puji suster itu pada Nadia yang hanya tersenyum getir mendengarnya.
"Anda salah, Suster. Saya ... adalah ibu yang buuruk." Balas Nadia dengan suara pelan, lalu beralih duduk karena kakinya yang mulai pegal. Suster itu hanya terdiam, memandangnya dengan tatapan penuh tanya.
.
.
.
Hari ini, baby Azura diizinkan untuk pulang. Maka dari itu, Astrid mengajak Nadia tinggal di rumahnya. Nadia kembali berpisah dengan orang tuanya dalam waktu yang cukup lama. Yang terpenting baginya sekarang adalah Dipta mendapatkan pengobatan yang cukup, dan Nadia bisa menjalani pekerjaannya sambil mencari pekerjaan baru ke depannya.
Selama perjalanan, Nadia mendekap bayi mungil yang terlihat senang melihatnya. Bayi perempuan itu terus mengerjapkan matanya dan sesekali bergumam, seolah tengah menceritakan sesuatu padanya.
Mata Nadia memandang ke arah jendela saat mobil memasuki gerbang rumah yang tinggi menjulang. Dia terkejut melihat rumah yang terlihat begitu mewah. Bahkan, rumah itu lebih besar dari rumah orang tuanya yang sebelumnya. Setelah mobil berhenti, barulah Nadia turun dan menginjakkan kaki pertama kali di halaman rumah Astrid.
"Masuklah, Nadia. Saya harap kamu betah di rumah sederhana ini," Astrid mengajak Nadia masuk ke rumahnya. Pelayan segera membuka pintu lebar-lebar untuk menyambut kedatangan mereka.
"Rumah ini bukan rumah sederhana lagi Nyonya, tapi sangat mewah."
"Kamu bisa saja. Ayo masuk." Astrid tersenyum dan merangkul bahu Nadia dengan lembut seperti seorang ibu pada putrinya.
Astrid membawa Nadia ke sebuah pintu bercat merah muda. Dirinya yakin, itu adalah kamar baby Azura. Tangan Astrid terulur untuk membuka pintu itu. Namun, ponselnya berdering dengan keras dan membuatnya membatalkan niatnya.
"Astaga, putra saya menelepon. Nadia, kamu masuk saja. Ini kamar Azura, dan kamu bisa istirahat di dalam. Saya akan angkat telepon dulu."
Nadia mengangguk, memandang kepergian Astrid yang segera menghubungi putranya. Helaan napas keluar dari mulut Nadia, matanya memandang papan nama yang bertuliskan "Welcome Baby Girl." Itu artinya, kehadiran baby Azura sudah diketahui sejak bayi itu masih dalam kandungan.
"Selamat datang, Nak ... keluargamu sangat menyambut kehadiranmu." Ucap Nadia sambil menc1um pelan pipi bayi yang terlelap tidur itu.
Nadia kemudian membuka pintu kamar. Setelah pintu terbuka, kakinya tak sengaja menendang bola. Matanya memandangi bola yang menggelinding dan masuk ke dalam ruang yang gelap. Hingga akhirnya, Nadia mencari saklar lampu. Ketika menemukannya, ia segera menyalakannya.
Matanya terfokus pada bola yang menggelinding dan membentur sebuah tembok. Di tembok itu terpajang sebuah foto ukuran besar. Nadia terperanjat, tatapannya langsung terarah pada foto sepasang suami istri yang mengabadikan momen kehamilan istrinya. Foto itu membuat Nadia terkejut. Sebab, pria yang ada di foto itu sangat dirinya kenali.
"Ezra?" Jantung Nadia berdegup kencang, ia kembali mengingat perkataan Astrid yang menghubungi pria yang disebutnya sebagai putranya. Nama dan wajah pria itu sangat mirip dengan mantan suaminya. Dan itu berarti, pria itu berada di dalam foto tersebut.
"Jadi aku ... menjadi ibu susu dari putri mantan suamiku?!" Gumam Nadia dengan ekspresi syok. Matanya berkaca-kaca, tubuhnya menegang. D4danya terasa sesak, hingga membuat oksigen terasa sulit ia hirup.
"Itu artinya ... dia ... seharusnya dia ada disi ...,"
Tiba-tiba, suara keras memecah kesunyian.
"Olang baluuu halus lapol Livaaan loooh!"
Duh!
Pandangan Nadia teralihkan, dan ia melihat seorang bocah laki-laki yang menyapanya dengan senyuman lebar. Rambut anak itu persis seperti dirinya, coklat dan bergelombang. Air mata Nadia jatuh, jantungnya serasa diremas sekuat tenaga. Tubuhnya mendadak lemas, dan ia berlutut di lantai. Hingga akhirnya, ia bisa bertatap muka dengan seorang anak yang wajahnya sangat mirip dengannya.
"Jika benar yang di foto itu Ezra, berarti anak ini ... adalah putraku." Batin Nadia berbicara, kedua sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman.
"Bibi bawa adek Livan yah!" Ucap anak itu yang mampu menyadarkan Nadia. Jika dirinya datang, bukan sebagai ibu melainkan pengasuh dari adik putranya sendiri.
Astrid kembali datang dengan senyum ceria, tetapi senyumannya luntur saat melihat Nadia menangis sambil memandang ke arah bocah laki-laki di hadapannya.
"Rivan? Kamu apaiiin lagi anak oraaang!"
Bocah menggemaskan itu mel0ngo, "Livan belum apa-apain, bibi nya celayiiiing cendiliii! Livan ...," perkataannya terhenti kala wajahnya di sentuh oleh Nadia.
Astrid mengerjapkan matanya, "Tumben nih anak gak ngamuk pas ada orang sentuh dia sembarangan?" Batinnya heran.
_______________________________
Sebenarnya ini 6 baab cuman aku buat jadi 3, maap munculnya lamaaa😆
Besok lagi yah, jangan lupa dukungannya😍
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!