Matahari menyinari, air memulihkan, tanah mempertahankan, angin menyebarkan, api menghangatkan. Kegelapan menenangkan, dedaunan melambai, awan mengikuti, langit membungkus semua yang ada di dunia ini. Itu adalah alam. Aku merasakan apa yang dirasakan alam dapat dirasakan juga oleh perasaan manusia. Mengapa orang merelakan dirinya hancur untuk orang yang disayangi? Mengapa orang selalu ingin mengatakan cinta di saat hati selalu membayangkan seseorang yang amat berharga dalam hidupnya? Sungguh menyebalkan, perasaan itu benar-benar membingungkan.
Saat sang pujaan hati menyentuh perasaanmu. Keinginan besar serta ambisi untuk memilikinya selamanya akan meracuni. Mengapa aku tidak tahu dengan siapa aku hidup kelak? Siapa pasangan hidupku?
Aku duduk merenung kembali di pipa saluran air dekat rumah perempuan bernama Dera. Perempuan pertama yang menciptakan perasaan aneh ini. Aku bersama temanku Rey dan juga adikku masih tenang bermain di saluran air. Kami biasa mengambil ikan kecil di sana, bahkan jika mujur kami bisa mendapatkan kepiting kecil, ikan sepat, dan kadang ikan gabus. Aku juga pernah melihat kura-kura di sini. Saluran air yang terletak di antara perumahan Cana dan Oka, di sanalah tempatku sering menghabiskan waktu.
Hari sudah sangat sore, kami rasa sudah cukup perburuan makhluk saluran air ini. Aku pun naik ke permukaan dengan badan diselimuti bau khas saluran air. Berhias lelah aku duduk di rerumputan yang dipenuhi tanaman putri malu. Bokong terasa sakit, duri-duri ini menusuk. Bodohnya aku tetap saja duduk di tanaman berduri itu. Kami masih sibuk memuji-muji botol plastik yang berisi lima ikan cere dan dua ikan sepat hasil buruan tadi. Sosok perempuan yang aku bayangkan di dalam saluran air beserta teman-temannya datang menghampiri kami. Begitu girangnya mereka.
“Hai Nelayan, dapat apa saja hari ini?”
“Dua sepat, lumayan!” jawab Rey antusias.
Aku sengaja mengalihkan pandangan agar perasaan aneh pada perempuan itu lenyap, menyibukkan diri dengan menyentuh belasan tanaman putri malu yang ada di depan kaki tapi apa daya dengan santainya perempuan itu menyapaku.
“Valda!”
“I … iya?”
Aku terdiam, lagi-lagi aku melihat wajahnya. Perasaan ini kembali lepas dan menggerogoti seluruh tubuh hingga tidak bisa berkata apa pun. Aku bingung ingin mengatakan apa. Dia tertawa kecil, dia begitu indah dengan senyumnya. Sial, aku membayangkannya lagi. Aku mencoba tenang dan kembali memalingkan wajah kepada putri malu yang tadi kumainkan.
“Sedang apa Val?” Aku diam tidak mampu mengeluarkan kata apa pun.
“Uh, sedang sibuk yah?”
“Tidak kok,” jawabku.
“Sedang apa kok tumben diam begitu?”
“Haha! Tidak apa-apa kok!” Aku mulai gelisah dengan perasaan ini. Apa yang harus kulakukan?
“Wooi, Val! Jalan-jalan yuk naik sepeda.” Rey berteriak dari kejauhan. Aku pun langsung berlari ke arahnya. Aku bisa sedikit tenang kali ini. Akhirnya, pikiranku dialihkan secara tidak langsung oleh Rey. Aku meninggalkan Dera di sana dengan teman-temannya. Mungkin dia merasa bingung dengan tingkahku kali ini, tapi maaf, aku juga tidak ingin seperti ini sebenarnya.
Kami bermain sepeda, tapi tetap saja aku tidak bisa fokus dan berhenti memikirkannya. Aneh, dia teman baikku, kami selalu bermain bersama. Tertawa sampai kami lelah itu hal biasa tapi sekarang rasanya aku tidak mungkin tertawa di depannya.
“Valda! Awas!”
“….”
Dtaaar!
“Ugh, sakit ….”
Aku menabrak trotoar dan terpental membentur aspal. Untung saja bukan kepalaku yang terbentur, hanya tangan dan punggungku saja. Tapi, apa-apaan ini tangan kananku tidak bisa gerak? Ngilu, bengkak, memar, dan dengan darah yang sedikit keluar di tengahnya. Seperti puding bluberi yang di atasnya diberikan saus stroberi.
Aku harus pulang ke rumah dengan cepat, dengan air mata keluar juga tangan kanan yang sudah tidak aku pikirkan lagi bentuknya. Sambil mengendarai sepeda dengan tangan kiri dan menahan rasa sakit ini, aku masih sempat memikirkan perempuan itu. Melelahkan, sepertinya aku ingin sekali mencuci otakku.
Sesampainya di rumah, mama melihat keadaanku seperti ini langsung marah, tapi apa boleh buat ini memang salahku yang melamun saat mengendarai sepeda. Mama langsung bergegas mengambil obat memar dan memanggil tukang urut untuk memulihkan tangan kananku yang tidak bisa digerakkan ini. Tukang urut pun datang, perasaanku sedikit tidak enak kali ini. Ternyata benar, tukang urut itu bilang, “salah urat.”
“Apa itu berarti tanganku sudah tidak bisa digerakkan selamanya?” tanyaku khawatir.
“Haha, bicara apa kamu, Nak? Tenang saja ini masih bisa diluruskan kembali kok, tapi untung saja langsung segera diurut. Jika tidak, mungkin sembuhnya cukup lama dan pasti lebih sakit,” ucap tukang urut itu meyakinkanku.
“Makanya lain kali jangan bengong kalau lagi naik sepeda. Bikin panik saja kamu Val,” ucap mama.
“Baik, Ma,” kataku.
“Iyaaaaaawwwww, sakit!” Aku berteriak.
“Sabar, sabar, sabar Val, tahan sedikit lagi.” Mama mencoba menenangkan.
Seminggu sudah aku berhenti bermain karena sibuk memulihkan tangan kananku. Sekarang aku mulai bermain keluar kembali. Teman-teman langsung menyambut dengan hangat. Lagi-lagi dia datang, perempuan yang menghalangi pikiranku selama ini. Dia mendekat, aku kaget dan bingung akan seperti apa aku menghadapinya? Aku gelisah kembali. Sepertinya aku salah tingkah lagi.
“Dari mana saja kamu seminggu ini?” tanyanya.
“Di rumah saja,” jawabku tertawa kecil.
“Ayo main lagi!” ajaknya sambil memberikan bola sepak. Aneh padahal dia itu perempuan tapi menyukai sepak bola.
Aku mengikuti tawarannya, kami bermain bola bersama, tapi di tengah permainan, Rey mendorongku. Kami berdua bertengkar. Dia memang sedikit keras kepala. Ini kesalahannya kenapa jadi aku yang kena? Aku mengerti dia lebih kuat fisiknya dibanding aku yang sangat lembek. Aku tidak bisa melawannya.
“Hei Rey, minta maaf sekarang ke Valda!” Terdengar teriakan Dera yang mengalihkan perhatian kami.
“Diam saja! Ini urusan laki-laki!” bentak Rey.
“Oh, apa kamu menantangku? Majulah sini!” Dera menantang Rey.
Rey pun beralih dariku dan mulai mengarahkan pandangan amarahnya pada Dera. Dia mulai mengepalkan tangannya. Seakan-akan tangannya siap diluncurkan ke wajah Dera. Dia tidak terlihat takut sedikit pun, padahal di sini aku sudah gemetaran. Apa mungkin aku yang lemah? Padahal Rey dua tahun lebih muda dariku, tapi kenapa aku tidak punya keberanian untuk melawannya? Aku akui, aku memang lembek, di sekolah aku pernah menangis saat lupa mengerjakan PR, lupa membawa buku, dan terlambat masuk kelas. Menyebalkan, begitu cengeng.
“Rei! Cepat minta maaf ke Valda!” bentak Dera. Pertikaian antara Rey dan Dera masih berlanjut.
“Apa urusanmu? Jangan ikut campur!” balas Rey.
Rey yang kesal, segera berlari ke arah Dera dan meluncurkan pukulannya. Dengan gesit, Dera menendang kaki Rey hingga terjatuh, sebelum Rey mengenai wajahnya. Aku tidak menyangka dia mampu melakukan itu. Jika aku berada di posisinya mungkin wajahku sudah bonyok kena pukulan.
“Cepat minta maaf!” ucap Dera.
“Uh, menyebalkan!” Rey bangkit dan berjalan ke arahku.
“Val, aku minta maaf telah mendorongmu,” ucap Rey.
“I … iya, tidak apa-apa,” balasku.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Kami pun bermain bola lagi. Kaki Rey sedikit pincang karena tendangan Dera. Aku makin menganggap diriku lemah, karena diselamatkan oleh perempuan. Dunia ini mulai terbalik. Permainan pun selesai, aku mendekati Dera.
“Ra, terima kasih yah,” kataku.
“Iya Val, tenang saja. Lain kali jangan gentar menghadapi Rey ya!” ucapnya.
“Iya.”
Kenapa lagi ini? Aku hanya bilang terima kasih, padahal kami ini teman. Tidak bisakah bercanda atau tertawa sedikit saja. Kenapa harus terhalang oleh perasaan yang tidak jelas ini? Malu-malu kucing. Aku tidak kuat melihat wajahnya, itu hanya akan mengotori pikiranku yang sudah keruh. Aku tidak bisa seperti ini. Aku harus menjauh. Aku berlari ke arah Rey yang sedang menunggu untuk pulang bersama.
“Kamu kenapa Val? Dari tadi aku lihat ekspresi wajah dan tingkahmu berbeda saat melihat Dera,” tanya Rey tiba-tiba.
“Ah payah! Kamu salah lihat kali, aku tidak apa-apa,” balasku.
“Kamu terlihat berbeda, serius sumpah,” kata Rey.
Apa? Aku tidak mengerti, aku tidak bisa menjelaskan perasaan ini.
“Hahaha! Tunggu, apa mungkin kamu menyukai Dera?” tanya Rey spontan.
“Bodoh! Dia teman kita, mana mungkin bisa.”
“Yah, kemungkinan itu pasti ada. Ayo bilang saja. Hahaha!”
Aku diam, rasanya memang ingin berteriak tentang perasaan ini, tapi aku tidak mau bilang. Nanti dia berpikir yang macam-macam. Biarkan saja nanti juga terbongkar dengan sendirinya, tapi semoga saja tidak.
Keesokan harinya, kami bermain bersama kembali. Lagi dan lagi, aku salah tingkah. Saat kami sedang bermain petak umpet, Dera menyentuhku dan berkata, “Kena kau!” Saat itu aku langsung terdiam dan bengong melihat wajah Dera. Aku tidak bisa melakukan apa-apa. Dera yang bingung, langsung menampar pelan pipiku berulang kali hingga aku sadar. Dia tertawa melihat tingkahku yang katanya seperti orang kesurupan. Aku hanya bisa membalas tawanya dengan senyuman tipis dan garing.
Setelah permainan selesai, kepalaku masih saja memikirkan hal tadi. Rasanya benar-benar ingin melarikan diri entah ke mana. Jika bisa aku ingin bersembunyi di luar angkasa sampai otakku bersih dari bayangannya. Aku ingin fokus. Tidak bisakah? Bagaimana caranya? Aku ini laki-laki, seharusnya aku bisa mengatasi masalah aneh ini.
Aku pulang dengan rasa gelisah yang seakan-akan memperlambat langkah kakiku. Sesampainya di rumah, aku melihat adikku sedang nonton sinetron di televisi. Entah ada angin apa aku ikut menikmati tontonan itu. Tiba-tiba aku tersentak kaget, saat pemeran dalam sinetron itu berkata, “Jika kamu menyukai seseorang, cepatlah katakan!”
Aku benar-benar merasa kalimat itu ditujukan untukku walaupun sadar tidak mungkin produser sinetron itu tahu aku memiliki perasaan kepada seseorang, tapi tunggu, aku sendiri masih bingung. Sebenarnya yang aku rasakan ini cinta atau apa? Aku telusuri lebih dalam. Sampai aku cari kata ‘cinta’ itu di kamus bahasa Indonesia. Dapat! Dalam kamus yang aku baca, cinta itu adalah sayang benar, suka sekali, kasih sekali, terpikat antara laki-laki dan perempuan, ingin sekali, berharap sekali, rindu, susah hati atau khawatir.
Apa-apaan ini? Uh, apa ada rumus untuk menerjemahkan arti cinta? Oh Tuhan, tolonglah hamba. Sejenak mulai menganggap bahwa yang aku rasakan ini adalah cinta. Entahlah, walaupun aku belum tahu pasti. Dengan segala pertimbangan kekanak-kanakan, kuputuskan untuk mengatakan cinta padanya.
Keesokan harinya, saat bermain bersama. Aku mencoba mendekati Dera. Secara perlahan mencoba memanggil namanya.
“De … ra ….” Aku tiba-tiba menjadi gugup ‘tak menentu. Saat memanggil namanya, kenapa jadi bisu seribu bahasa? Aku hanya senyum-senyum sendiri di hadapannya, apa ini normal? Aku tidak kuat, aku mencoba mengalihkan pembicaraan kali ini, membicarakan tentang bola. Sangat tidak nyambung, aku tahu itu.
Aku mengurungkan niat untuk mengatakan perasaan aneh ini sekarang. Aku butuh pasukan, butuh pendukung yang bisa membantu mengungkapkannya. Dalam pikiranku, langsung menunjuk Rey sebagai pendukung gerakan pengungkapan perasaan ini. Sudahlah, aku langsung mendatangi Rey saat kami semua selesai bermain dan aku langsung bilang bahwa aku menyukai Dera. Ekspresi Rey begitu mengejutkan, dia tertawa terbahak-bahak. Aku hanya diam sambil menunggu Rey selesai dengan tawanya itu.
“Sudah aku duga! Hahaha!” ucap Rey dengan girangnya.
“Kenapa Rey? Apa aku salah?” tanyaku.
“Tidak! Sama sekali tidak salah. Aku justru mendukung penuh. Mulai detik ini kita akan bergerak. Proses pengungkapan cinta dimulai!” ucap Rey sambil mengepalkan tangan ke atas, seakan-akan peperangan besar akan dimulai.
Keesokan harinya, Rey datang ke rumahku. Dia bersama Dillo dan Reza yang saat itu kebetulan kakak beradik ini sedang liburan. Sebenarnya mereka berdua sangat sukar untuk diajak bermain, tapi saat ini mereka justru terlihat bersemangat saat tahu aku menyukai Dera. Kami seperti sekumpulan tentara yang siap menyerbu markas.
Kami berempat langsung beranjak dari rumahku menuju lapangan tempat kami biasa bermain di perumahan Oka. Panjang umur, sesampainya kami di sana, orang yang menjadi target kami sudah menanti di sana. Dia sedang duduk bersama teman-temannya. Rey, Dillo, dan Reza langsung bergerak. Mereka bertiga berusaha menarik perhatian teman-temannya Dera, agar Dera sendirian. Mereka berhasil melakukannya.
Aku bingung setengah gila, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Tiba-tiba Rey datang kepadaku dan memberikan sesuatu tanpa terlihat oleh Dera dan lainnya. Dia bilang, “Ayo! Kamu bisa, Val!” Aku pun mencoba melihat sesuatu yang diberikan Rey kepadaku. Ternyata itu adalah setangkai bunga. Rey tersenyum dan pergi sambil mengacungkan jari jempolnya ke arahku. Aku mengerti dia menyuruhku menyerahkan bunga ini kepada Dera. Kau memang sering menyebalkan Rey, tapi kali ini terima kasih atas kebaikanmu. Aku pun mendekati Dera.
“Hai, Dera, boleh duduk di sampingmu?” tanyaku.
“Tentu saja. Val, apa kamu tahu kenapa teman-teman meninggalkan kita berdua?” tanyanya.
Aku langsung bingung menjawabnya. Apa yang harus aku katakan? Ide bodoh ini, aku yang harus bertanggung jawab. Aku harus mengatakannya. Jika tidak, usaha teman-temanku akan percuma, tapi mulutku tidak bisa bergerak. Mulutku bungkam seakan-akan ada plester raksasa yang melekat.
“Kamu membawa bunga buat siapa?” tanya Dera.
“Ah, ini? Bu ... bukan buat siapa-siapa.”
“Oh, aku kira kamu punya kelainan. Aku kira kamu cowok yang suka sama bunga. Itu ‘kan manis. Hahaha … maaf.”
Aku hanya bisa garuk-garuk kepala mendengar perkataan Dera. Entah apakah dia bermaksud mengejek atau memuji. Aku tidak peduli. Lebih dari setengah jam duduk di sini dan tidak juga mengatakannya. Apa teman-temanku marah? Terlalu lama menunggu. Sial, ini sungguh sulit. Aku lebih baik berlari mengitari perumahan ini sepuluh putaran daripada harus melakukan hal ini. Sungguh menyebalkan.
“Eh Val, sudah sore. Aku pulang dulu yah,” kata Dera dengan wajah yang terlihat bosan.
“Eh, tunggu ….”
“Lain kali saja, aku punya pekerjaan di rumah. Selamat sore Val. Daah!”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Aku tidak bisa melakukan apa pun. Sudahlah aku memang tidak berbakat dalam hal ini. Teman-teman menghampiriku. Rasanya kesal, ketika gagal mengatakannya. Mungkinkah malam ini bisa tidur dengan nyenyak? Rey datang memegang pundakku.
“Tenang Val, serahkan saja pada kami. Kami yang akan memberi tahu Dera bahwa kamu menyukainya,” kata Rey tersenyum lebar.
“Eh … apa? Yang benar saja? A … aku belum siap,” kataku.
Keesokan harinya, Rey, Dillo, Reza serta aku pergi menghampiri rumah Dera. Rey menyuruh kami untuk berhenti di belokan dekat rumah Dera. Lalu menyuruh kami bersembunyi dan menunggu Rey berbicara dengan Dera untuk mengatakan bahwa aku menyukainya. Jantungku makin berdetak kencang. Makin kencang ketika Rey sudah sangat dekat dengan rumah Dera, hanya beberapa meter dari perbatasan antara depan rumah Dera dengan jalan. Rey memanggil nama Dera berulang kali.
Tidak lama keluarlah manusia yang ditunggu-tunggu dari tadi. Dera keluar dari rumah dan menghampiri Rey. Mereka berbicara cukup lama. Tiba-tiba Dera langsung berlari masuk ke rumahnya sambil menundukkan kepala. Rey pun kembali ke arah kami. Dia terlihat kecewa, tapi tetap memberi sedikit senyum kepada kami.
“Val, sepertinya bukan saatnya,” kata Rey dengan suara yang pelan.
“Maksudmu?”
“Iya, dia tidak ingin membicarakan itu katanya. Sepertinya besok kita harus kembali lagi ke sini. Besok kamu yang akan maju langsung menyatakan perasaan di depan rumahnya!”
Aku kaget mendengar pernyataan Rey. Mencoba menghela napas, menenangkan diri. Apa Dera tidak menyukaiku? Aku tidak bisa begini, aku harus positif. Rey bilang besok aku harus kembali ke sini untuk menyatakan perasaan. Harus mempersiapkan diri. Sesampainya di rumah, aku mulai berperang dengan penampilanku di cermin. Sesempurna mungkin harus menjaga penampilan untuk besok. Berlatih mengungkapkan perasaan di cermin. Memegang bunga dan mencoba memberikannya. Seperti orang gila, aku berbicara sendiri.
Aku tidur malam ini dengan selimut perasaan resah dan tegang. Mataku tidak bisa terpejam. Aku merengek dalam hati, ingin tidur sekarang juga. Aku harus bangun pagi besok. Harus cepat mengungkapkan ini. Aku harus, segera mengungkapkannya.
Keesokan harinya, aku bergegas menuju rumah Dera. Sekarang sudah jam 8 pagi, setelah selesai mandi, aku menyempatkan diri memetik bunga liar yang ada di rerumputan. Saat di perjalanan, aku langsung bertemu Rey, Dillo, dan Reza yang bermaksud untuk mengantarku sekaligus menenangkan pikiran yang sedang tidak fokus karena perasaan bodoh ini. Tidak lama kami sampai di rumah Dera. Rey memanggil Dera agar keluar dari rumahnya. Aku pun bersiap di samping Rey dengan bunga yang aku sembunyikan di belakang.
Dera pun keluar dari rumahnya, seperti biasa penampilannya sama seperti saat bermain. Dia kembali mengenakan baju oblong dan rok panjang. Itu sudah jadi ciri khasnya. Awalnya dia tersenyum saat melihat kami. Baiklah, sekarang aku mulai gugup. Aku beranikan diri mengatakannya.
“Ra, a … aku sebenarnya su … suka sama kamu,” kataku gagap.
“Oh begitukah?” jawab Dera.
“I … iya.”
“Hmm, aku tidak suka sama kamu,” jawabnya. “Untuk apa kamu suka denganku? Sudah cukup ‘kan jadi teman?” lanjutnya.
Aku diam dan rasanya ingin segera meninggalkan tempat ini. Meninggalkan dunia ini kalau bisa. Pergi ke planet lain yang dipenuhi alien.
Rey, Dillo, dan Reza diam di belakangku. Apa mungkin mereka putus asa? Aku merasa tidak enak dengan mereka yang susah payah membantu sampai di sini. Aku pun langsung memberikan bunga yang kupetik dari rumah kepada Dera. Tidak kusangka, sungguh menyakitkan. Bunga itu dijatuhkan ke aspal dan diinjak olehnya.
Setelah itu, Dera tanpa mengeluarkan kata sedikit pun langsung masuk ke rumahnya. Ini adalah pertama kalinya aku mengalami sakit yang amat sakit. Ini berbeda, ini bukan seperti saat aku diurut karena uratku tergeser atau apa pun yang menyebabkan fisikku sakit. Ini kuanggap penolakan yang indah. Tapi peduli apa? Tujuanku adalah untuk menyatakan perasaan, itu saja.
Keesokan harinya, Dera tidak datang untuk bermain di lapangan. Menurut kabar, dia tidak ingin bertemu denganku. Takdir yang mengerikan, aku mengungkapkan semuanya pada manusia yang seharusnya jadi temanku. Aku tidak mau kehilangan dia. Kurasa Dera terlampau kecewa karena aku punya perasaan aneh untuknya.
Sudah lebih dari seminggu Dera tidak pernah tampak bermain dengan kami di taman. Teman-teman menanyakan keadaannya dan setelah mendengar aku menyatakan perasaan padanya, mereka menyalahkanku. Baiklah, aku salah. Aku trauma mengungkapkan perasaan suka pada teman sendiri.
Saat ini hanya aku dan Rey. Dillo dan Reza kembali sibuk dengan urusan mereka karena liburan sudah berakhir. Aku dan Rey menatap lapangan tempat biasa kami bermain, tidak bergeming dari tempat selama hampir setengah jam. Tidak ada yang menghiasi lapangan ini lagi. Ini adalah kesalahanku. Aku terus merenung dan merasakan penyesalan yang amat dalam. Seharusnya aku membiarkan Dera tetap menjadi temanku. Biarlah aku tersiksa memendam perasaan ini sendirian. Itu lebih baik daripada dia menjauh dariku.
“Val, sepertinya kita harus meminta maaf kepada Dera sekarang juga,” kata Rey.
“Apa mungkin?”
“Kenapa tidak? Kita sudah lancang kepadanya, ‘kan?”
“Maksudku apa mungkin dia mau memaafkan kita?” tanyaku.
“Bodoh! Mana ada maaf yang dengan mudah langsung diterima!” kata Rey dengan tegasnya.
Aku pun mengangguk, menyetujui usulan Rey untuk meminta maaf kepada Dera. Kami segera memacu sepeda menuju rumah Dera. Setibanya di sana, ternyata Dera tidak ada. Kata bibinya, dia pergi entah ke mana. Aku heran, aku melihat wajah bibinya seperti ada sesuatu yang disembunyikan atau hanya perasaanku saja? Kami memutuskan untuk menunggu Dera di depan rumahnya walaupun berulang kali bibinya Dera menyarankan kami untuk pulang dengan alasan Dera akan pulang malam tapi itu tidak memudarkan niat kami untuk meminta maaf dan tetap menunggu di depan rumahnya.
Malam pun tiba, tepat jam 7, kami menunggu di depan rumah Dera. Lebih dari empat jam kami di sini, belum juga ada perkembangan yang berarti. Tiba-tiba sebuah mobil parkir di depan rumahnya. Keluarlah dari mobil itu, seorang pria memakai kemeja putih berlengan panjang, celana panjang, seakan-akan seperti seorang bos yang dengan lembutnya bertanya kepada kami.
“Kalian temannya Dera ya? Kenapa main di luar? Deranya mana?” tanya pria itu dengan tersenyum.
“I … iya, Om siapa ya?” tanya Rey.
“Om, ayahnya Dera. Oh ya, pertanyaan tadi belum dijawab, kenapa kalian di luar?”
“Tadi bibinya Dera bilang Deranya sedang pergi. Jadi, kami memutuskan untuk menunggunya, Om,” jawabku.
“Oh, memang ada perlu apa kalian dengan Dera. Apa kalian tidak dicari orang tua kalian di rumah karena sekarang ‘kan sudah malam?”
“Kami mau minta maaf sama Dera, Om, karena kami mungkin telah melukai perasaannya,” kata Rey.
“Apa benar Deranya tidak a ….”
Tiba-tiba Dera keluar dari rumahnya, dengan ekspresi wajah yang sangat kesal. Dia menyuruh ayahnya masuk ke rumah. Tanpa berkata apa pun, Dera kembali masuk ke rumahnya. Aku dan Rey makin bingung tidak menentu. Tadi bibinya bilang Dera pergi. Jika Dera pergi kenapa tadi dia keluar dari rumah? Sudah kuduga dari raut wajah bibinya yang seperti menyimpan rahasia.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!