NovelToon NovelToon

Empat Mata Jatuh Cinta

Cinta Pertama

Matahari menyinari, air memulihkan, tanah mempertahankan, angin menyebarkan, api menghangatkan. Malam menenangkan, dedaunan melambai, awan mengikuti, langit membungkus semua yang ada di dunia ini. Itu adalah alam.

Aku pikir apa yang dirasakan alam dapat dirasakan juga oleh manusia. Mengapa orang merelakan dirinya hancur demi orang yang disayangi? Mengapa orang selalu ingin mengatakan cinta di saat hati selalu membayangkan seseorang yang amat berharga dalam hidupnya? Apa pula semua itu, benar-benar membingungkan.

Saat sang pujaan hati menyentuh perasaan. Keinginan besar serta ambisi untuk memiliki akan meracuni. Mengapa aku tidak tahu dengan siapa akan hidup kelak?

Merenung kembali di pipa saluran air dekat rumah seorang perempuan bernama Dera. Perempuan pertama yang menciptakan perasaan aneh ini. Bersama temanku, Rey dan juga adikku, yang masih tenang bermain di saluran air.

Kami biasa mencari ikan kecil di sana, bahkan jika mujur bisa mendapatkan kepiting kecil, ikan sepat, dan kadang ikan gabus. Ada juga yang pernah melihat kura-kura di sini. Saluran air yang terletak di antara perumahan Cana dan Oka,di sanalah tempat kami sering menghabiskan waktu.

Hari sudah sore, kami rasa cukup perburuan makhluk saluran air ini. Aku naik ke permukaan dengan badan diselimuti bau khas saluran air. Berhias lelah aku duduk di rerumputan yang dipenuhi tanaman putri malu.

Bokong terasa sakit, duri-duri ini menusuk. Bodohnya kenapa tetap saja duduk di tanaman berduri itu? Kami masih sibuk memuji-muji botol plastik yang berisi lima ikan cere dan dua ikan sepat hasil buruan tadi.

Sosok perempuan yang aku bayangkan di dalam saluran air beserta teman-temannya datang menghampiri kami. Begitu girangnya mereka, sementara aku galau seperti biasa.

“Hai Nelayan, dapat apa saja hari ini?”

“Dua sepat, lumayan!” jawab Rey antusias.

Aku sengaja mengalihkan pandangan agar perasaan aneh pada perempuan itu lenyap, menyibukkan diri dengan menyentuh belasan tanaman putri malu yang ada di bawah kaki tapi apa daya dengan santainya perempuan itu menyapa.

“Valda!”

“Iya?” jawabku seolah tidak ada yang salah.

Sejenak terdiam, lagi-lagi aku melihat wajahnya. Perasaan ini kembali lepas dan menggerogoti seluruh tubuh hingga tidak bisa berkata apa pun. Bingung ingin mengatakan apa lagi.

Dia tertawa kecil. Dia begitu indah dengan senyumnya. Sial, aku membayangkannya lagi. Mencoba tenang dan kembali memalingkan wajah kepada putri malu yang tadi kumainkan.

“Sedang apa Val?” Aku diam.

“Uh, sedang sibuk yah?”

“Tidak kok,” jawabku.

“Sedang apa kok tumben diam begitu?”

“Haha! Tidak apa-apa kok!” Rasanya gelisah. Harus bagaimana?

“Woi, Val! Jalan-jalan yuk, naik sepeda.” Rey berteriak dari kejauhan. Aku langsung berlari ke arahnya. Akhirnya, pikiran ini dialihkan secara tidak langsung oleh Rey.

Aku meninggalkan Dera di sana dengan teman-temannya. Mungkin dia merasa bingung dengan tingkahku kali ini, tapi maaf, diri sendiri pun tidak paham akan perasaan tidak jelas ini.

Saat bermain sepeda, benar saja, tidak bisa fokus dan tidak bisa berhenti memikirkannya. Aneh, dia teman baikku, kami selalu bermain bersama. Tertawa sampai kami lelah itu hal biasa tapi sekarang rasanya tidak mungkin tertawa di hadapan dia lagi.

“Valda! Awas!”

“….”

Dtaaar!

“Ugh, sakit!”

Sepeda ini menabrak trotoar dan aku terpental membentur aspal. Untung saja bukan kepala yang terbentur, hanya tangan dan punggung saja. Tapi, apa-apaan ini tangan kanan tidak bisa gerak? Ngilu, bengkak, memar, dan dengan darah yang sedikit keluar di tengahnya. Seperti puding bluberi yang di atasnya diberikan saus stroberi.

Harus segera pulang ke rumah, dengan air mata tidak berhenti keluar, serta tangan kanan yang sudah tidak aku pikirkan lagi bentuknya. Sambil mengendarai sepeda dengan tangan kiri dan tetap menahan rasa sakit, aku masih sempat memikirkan perempuan itu. Melelahkan, sepertinya aku ingin sekali mencuci otak ini.

Sesampainya di rumah, Mama yang melihat keadaanku, langsung marah-marah, tapi apa boleh buat ini memang salahku yang melamun saat mengendarai sepeda. Mama langsung bergegas mengambil obat memar dan memanggil tukang urut untuk memulihkan tangan kanan ini. Tukang urut pun datang, perasaanku sedikit tidak enak kali ini. Beliau sih bilangnya, salah urat.

“Apa itu berarti tanganku sudah tidak bisa digerakkan selamanya?” tanyaku khawatir.

“Haha, bicara apa kamu, Nak? Tenang saja ini masih bisa diluruskan kembali kok, tapi untung saja langsung segera diurut. Jika tidak, mungkin sembuhnya cukup lama dan pasti lebih sakit,” ucap tukang urut itu meyakinkanku.

“Makanya lain kali jangan bengong kalau lagi naik sepeda. Bikin panik saja kamu Val,” ucap Mama.

“Baik, Ma,” kataku.

“Iyaaaaaawwwww, sakit!” Aku berteriak.

“Sabar, sabar, sabar Val, tahan sedikit lagi.” Mama mencoba menenangkan.

Seminggu sudah aku berhenti bermain karena sibuk memulihkan tangan. Sekarang sedikit demi sedikit mulai mencoba bermain keluar kembali. Teman-teman menyambut dengan hangat.

Lagi-lagi dia datang, perempuan yang menghalangi pikiran selama ini. Dia mendekat, lagi-lagi bingung harus seperti apa aku menghadapinya? Perasaan gelisah kembali. Sepertinya bakal salah tingkah lagi.

“Dari mana saja kamu seminggu ini?” tanyanya.

“Di rumah saja,” jawabku sambil tertawa kecil.

“Ayo main lagi!” ajaknya sambil memberikan bola sepak. Aneh padahal dia itu perempuan tapi menyukai sepak bola.

Akhirnya, kami bermain bola bersama, tapi di tengah permainan, Rey mendorongku. Kami berdua bertengkar. Dia memang sedikit keras kepala. Ini kesalahannya kenapa jadi aku yang kena?

“Rey, minta maaf sekarang ke Valda!” Terdengar teriakan Dera yang mengalihkan perhatian kami.

“Diam saja! Ini urusan laki-laki!” bentak Rey.

“Oh, apa kamu menantangku? Maju sini!” Dera menantang Rey.

Rey pun beralih dan mulai mengarahkan amarahnya pada Dera. Dia mulai mengepalkan tangan. Seakan-akan tangannya siap diluncurkan ke wajah Dera.

Dia tidak terlihat takut sedikit pun, padahal di sini aku sudah gemetaran. Apa mungkin aku lemah? Padahal Rey dua tahun lebih muda, tapi kenapa aku tidak punya keberanian untuk melawannya?

“Rei! Cepat minta maaf ke Valda!” bentak Dera. Pertikaian antara Rey dan Dera masih berlanjut.

“Apa urusanmu? Jangan ikut campur!” balas Rey.

Rey yang kesal, segera berlari ke arah Dera dan meluncurkan pukulan. Dengan gesit, Dera menendang kaki Rey hingga terjatuh, sebelum Rey mengenai wajahnya. Aku tidak menyangka dia mampu melakukan itu. Jika berada di posisinya mungkin wajah ini sudah bonyok kena pukulan.

“Cepat minta maaf!” ucap Dera.

“Uh, menyebalkan!” Rey bangkit dan berjalan ke arahku.

“Val, aku minta maaf telah mendorongmu,” ucap Rey.

“Iya, tidak apa-apa,” balasku.

Lihat? Aku baru saja diselamatkan oleh seorang perempuan. Parahnya perempuan itu adalah orang yang mungkin aku suka. Lucu juga, seharusnya laki-laki yang melindungi perempuan, ini sebaliknya.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Misi Menyatakan Perasaan

Kami bermain bola lagi. Kaki Rey sedikit pincang karena tendangan Dera. Makin-makin saja aku menganggap diri ini lemah, karena diselamatkan oleh perempuan. Sungguh, sepertinya dunia ini mulai terbalik. Permainan pun selesai, aku mendekati Dera.

“Ra, terima kasih ya,” kataku.

“Iya Val, tenang saja. Lain kali jangan takut melawan Rey ya!” ucapnya.

“Iya.”

Sepertinya aku cuma bilang terima kasih, padahal kami ini teman loh. Rasanya kok seperti ada tembok besar dan canggung luar biasa.

Kenapa harus terhalang oleh perasaan yang tidak jelas ini? Malu-malu muntah kucing. Kenapa tidak kuat melihat wajahnya, padahal wajah itu ya biasa, wajah manusia pada umumnya. Aku tidak bisa seperti ini, harus menjauh. Aku berlari ke arah Rey yang sedang menunggu untuk pulang bersama. Kenapa pula harus menjauh dari dia?

“Kamu kenapa Val? Dari tadi ekspresi wajah dan tingkahmu aneh saat melihat Dera,” tanya Rey tiba-tiba.

“Ah payah! Kamu salah lihat kali, tidak ada apa-apa kok, sungguh,” balasku.

“Beda loh kalau sama Dera, serius sumpah,” kata Rey.

Apa? Aku tidak mengerti, tidak bisa menjelaskan perasaan ini.

“Tunggu, apa mungkin kamu menyukai Dera?” tanya Rey spontan.

“Bodoh! Dia teman kita, mana mungkin bisa.”

“Yah, kemungkinan itu pasti ada. Ayo bilang saja.” Rey pun tertawa.

Cuma bisa diam, rasanya memang ingin berteriak tentang perasaan ini, tapi tidak bisa. Nanti dia berpikir yang macam-macam. Biarkan saja nanti juga terbongkar dengan sendirinya, tapi semoga saja tidak.

Keesokan harinya, kami bermain bersama kembali. Lagi dan lagi, salah tingkah. Saat kami sedang bermain petak umpet, Dera menyentuhku dan berkata, “Kena kau!”

Tiba-tiba aku bengong melihat wajah Dera, seperti kosong tapi tidak, mataku seperti punya kepala sendiri dan sedang memikirkan dia. Tidak bisa melakukan apa-apa.

Dera yang bingung, langsung menampar pelan pipiku berulang kali hingga sadar. Dia tertawa melihat tingkahku yang katanya seperti orang kesurupan. Ya, mendengar itu cuma bisa menerima dan ikut tertawa. Seperti orang bodoh saja rasanya.

Setelah permainan selesai, kepala ini masih saja memikirkan hal tadi. Rasanya benar-benar ingin melarikan diri entah ke mana. Jika bisa aku ingin bersembunyi di luar angkasa sampai otak bersih dari bayangannya. Aku ingin fokus. Sungguh, tidak bisakah? Bagaimana caranya? Aku ini laki-laki, masa masalah seperti ini saja tidak bisa menemukan jalan keluar?

Bagian yang cukup menyedihkan adalah pulang dengan rasa gelisah, seakan-akan langkah kaki ini menjadi lambat. Sesampainya di rumah, adikku sedang nonton sinetron di televisi. Entah ada angin apa, aku ikut menikmati tontonan itu. Hingga sampai pada saat pemeran dalam sinetron itu berkata, “Jika kamu menyukai seseorang, cepatlah katakan!”

Rasa-rasanya kalimat itu ditujukan untukku walaupun sadar tidak mungkin produser sinetron itu tahu bocah cilik ini lagi punya perasaan kepada seseorang, tapi tunggu, aku sendiri masih bingung, sebenarnya perasaan ini cinta atau apa?

Gabut membuatku mencari info lebih dalam. Sampai ketemulah kata ‘cinta’ di kamus bahasa Indonesia. Dapat! Di sana tertulis, cinta itu adalah sayang benar, suka sekali, kasih sekali, terpikat antara laki-laki dan perempuan, ingin sekali, berharap sekali, rindu, susah hati atau khawatir.

Ribet amat sih? Apa ada rumus untuk membuatnya jadi lebih sederhana? Ayolah, aku mohon. Anggaplah apa yang aku rasakan ini adalah cinta. Entahlah, belum tahu pasti. Namun, satu yang menurutku pasti, menyatakan cinta adalah satu hal yang harus dilakukan. Apa pun risikonya, ya apa pun.

Keesokan harinya, saat bermain bersama, sedikit demi sedikit memberanikan diri mencoba mendekati Dera. Secara perlahan, mencoba memanggil namanya.

“Dera.” Lagi-lagi perasaan gugup itu datang, padahal baru memanggil namanya saja, tapi kok berat ya? Aku tersenyum berkali-kali di dekatnya, apa ini normal? Tidak kuat, sepertinya harus mencari satu atau dua topik untuk dibicarakan. Ketemu, membicarakan tentang bola. Sangat tidak nyambung, aku tahu itu.

Obrolan yang canggung itu membuatku mengurungkan niat untuk menyatakan perasaan aneh ini sekarang. Butuh teman rasanya, butuh dukungan lebih. Tidak bisa sendirian rasanya.

Dalam pikiran, langsung membayangkan Rey sebagai pendukung gerakan pengungkapan perasaan ini. Langsung kudatangi dia saat kami semua selesai bermain dan langsung bilang bahwa aku menyukai Dera. Ekspresi Rey begitu mengejutkan, dia tertawa terbahak-bahak. Apanya yang lucu, Gendeng? Baiklah, biarkan dia puas dulu tertawa.

“Sudah aku duga! Hahaha!” ucap Rey dengan girangnya.

“Kenapa Rey? Salahkah?” tanyaku.

“Tidak! Sama sekali tidak. Aku justru mendukung penuh. Mulai detik ini kita akan bergerak. Proses pengungkapan cinta dimulai!” ucap Rey sambil mengepalkan tangan ke atas, seakan-akan peperangan besar akan dimulai.

Keesokan harinya, Rey datang ke rumah. Dia bersama Dillo dan Reza yang saat itu kebetulan kakak beradik ini sedang liburan. Sebenarnya mereka berdua sangat sukar untuk diajak bermain, tapi saat ini mereka justru terlihat bersemangat. Kami seperti sekumpulan tentara yang siap menyerbu markas.

Kami langsung beranjak dari rumahku menuju lapangan tempat kami biasa bermain di perumahan Oka. Panjang umur, sesampainya di sana, orang yang menjadi target kami berada tidak jauh dari tempat kami berdiri.

Dera sedang duduk bersama teman-temannya. Rey, Dillo, dan Reza langsung bergerak. Mereka bertiga berusaha menarik perhatian teman-temannya Dera, agar Dera sendirian. Mereka berhasil melakukannya.

Asli kok malah bikin panik begini? Tidak tahu apa yang harus dilakukan. Tiba-tiba Rey datang kepadaku dan memberikan sesuatu tanpa terlihat oleh Dera dan lainnya. Dia bilang, “Ayo! Kamu bisa, Val!”

Kulihat sejenak benda yang diberikan, ternyata adalah setangkai bunga. Rey tersenyum dan pergi sambil mengacungkan jempolnya ke arahku. Oh, jadi ceritanya aku harus memberikan bunga ini kepada Dera? Semakin gugup sudah diri ini, tapi sungguh terima kasih atas rencananya. Aku segera mendekati Dera.

“Hai, Dera, boleh duduk di sampingmu?” tanyaku.

“Tentu saja. Val, apa kamu tahu kenapa teman-teman meninggalkan kita berdua?” tanyanya.

Tentu saja karena aku harus menyatakan perasaan ini kepadamu. Memangnya untuk apa lagi? Ide bodoh ini, aku harus bertanggung jawab. Harus berhasil. Jika tidak, usaha teman-teman akan percuma, tapi sayangnya mulut ini tidak bisa mengatakan apa pun. Mulut ini bungkam seakan-akan ada plester raksasa yang melekat.

“Kamu membawa bunga buat siapa?” tanya Dera.

“Ah, ini? Bu ... bukan buat siapa-siapa.”

“Oh, aku kira kamu beda dari yang lain. Cowok yang suka sama bunga. Itu ‘kan manis. Hahaha … maaf. Keren kok, cowok yang suka bunga.”

Ya, di sini hanya bisa garuk-garuk kepala mendengar ucapan Dera. Entah apakah dia bermaksud mengejek atau memuji. Aku tidak peduli.

Lebih dari setengah jam duduk di sini dan tidak juga dapat menyatakannya. Apa teman-temanku akan marah? Terlalu lama menunggu. Sial, sungguh sulit. Seriusan rasanya lebih baik lari keliling kompleks satu putaran atau satu lapangan ini meskipun sambil dikejar anjing, daripada harus melakukan ini. Capeknya beda, sungguh.

“Eh Val, sudah sore. Aku pulang dulu ya,” kata Dera dengan wajah yang terlihat bosan.

“Eh, tunggu ….” Tamat sudah.

“Lain kali saja, aku punya pekerjaan di rumah. Selamat sore, Val.”

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Cinta Ditolak

Tidak bisa melakukan apa pun. Sudahlah memang tidak berbakat dalam hal ini. Teman-teman menghampiriku, tidak lama setelah Dera pergi. Rasanya kesal, ketika gagal menyatakannya. Mungkinkah malam ini bisa tidur nyenyak? Rey datang memegang pundak ini.

“Tenang Val, serahkan saja pada kami. Kami yang akan memberi tahu Dera bahwa kamu menyukainya,” kata Rey tersenyum lebar.

“Seriusan? Yang benar aja?” tanyaku.

“Sudah ikuti saja alurnya,” balas Rey.

Keesokan harinya, Rey, Dillo, Reza serta aku pergi menghampiri rumah Dera. Rey menyuruh kami berhenti di belokan dekat rumah Dera. Dia menyuruh kami bersembunyi dan Rey akan berbicara dengan Dera untuk mengatakan bahwa aku menyukainya.

Jantung ini makin tidak keruan. Makin kacau ketika Rey sudah di depan rumah Dera, hanya beberapa meter dengan pintu rumahnya. Rey memanggil Dera berulang kali.

Tidak lama keluarlah manusia yang ditunggu-tunggu dari tadi. Dera keluar dari rumah dan menghampiri Rey. Mereka berbicara cukup lama. Tiba-tiba Dera langsung berlari masuk ke rumahnya sambil menundukkan kepala. Rey kembali ke arah kami. Dia terlihat kecewa, tapi tetap memberi sedikit senyum kepada kami.

“Val, sepertinya belum saatnya,” kata Rey dengan suara pelan.

“Maksudnya?”

“Iya, dia tidak ingin membicarakan itu sekarang. Sepertinya besok kita harus kembali lagi ke sini. Besok kamu yang akan maju langsung menyatakan perasaan di depan rumahnya!”

Kaget, tapi enggak terlalu begitu mendengar pernyataan Rey. Mencoba menghela napas, menenangkan diri, ujungnya memang harus maju sendirian.

Apa Dera tidak menyukaiku? Suka atau tidak itu urusan dia sebenarnya. Rey bilang besok harus kembali ke sini untuk menyatakan perasaan. Harus mempersiapkan diri.

Ketika di rumah, aku mulai berperang dengan cermin. Sesempurna mungkin harus menjaga penampilan untuk besok. Berlatih mengungkapkan perasaan di hadapan cermin. Memegang bunga liar dan mencoba berlatih memberikannya. Ya, seperti memang kewarasan ini patut dipertanyakan, aku bicara sendiri.

Malam ini harus tidur dengan selimut perasaan resah dan tegang. Mata ini tidak bisa sepenuhnya tertutup. Rasanya ingin merengek, guling-gulingan, aku ingin tidur sekarang juga. Besok harus bangun pagi. Ingin sekali agar semua ini cepat selesai. Harus segera menyatakan semuanya.

Keesokan harinya, aku bergegas menuju rumah Dera. Sekarang sudah jam 8 pagi, setelah selesai mandi, masih sempat saja mencari bunga liar yang ada di rerumputan untuk diberikan kepada Dera nanti.

Saat di perjalanan, aku langsung bertemu Rey, Dillo, dan Reza yang bermaksud untuk mengantar sekaligus menenangkan pikiran yang sedang tidak fokus karena perasaan bodoh ini. Tidak lama, kami sampai di depan rumah Dera. Rey memanggil Dera. Aku pun bersiap di samping Rey dengan bunga yang disembunyikan di belakang.

Dera pun keluar dari rumah, seperti biasa penampilannya sama seperti saat bermain. Dia kembali mengenakan baju oblong dan rok panjang. Itu sudah jadi ciri khasnya.

Awalnya dia tersenyum saat melihat kami. Baiklah, sekarang aku mulai gugup. Aku beranikan diri mengatakannya.

“Ra, a … aku sebenarnya su … suka sama kamu,” kataku.

“Oh begitukah?” jawab Dera.

“I … iya.”

“Tapi, aku tidak suka sama kamu,” jawabnya. “Untuk apa kamu suka denganku? Sudah cukup ‘kan jadi teman?” lanjutnya.

Terdiam sudah dan rasanya ingin segera meninggalkan tempat ini. Meninggalkan dunia ini kalau bisa. Pergi ke planet lain yang dipenuhi alien.

Rey, Dillo, dan Reza diam di belakangku. Apa mungkin mereka putus asa? Rasanya tidak enak dengan mereka yang susah payah membantu sampai di sini.

Langsung saja kuberikan bunga yang disembunyikan dari tadi kepada Dera. Tidak disangka, sakit sekali rasanya. Bunga itu dilempar ke aspal dan diinjak olehnya.

Setelah itu, Dera, tanpa mengeluarkan kata apa pun, langsung masuk ke rumah. Pertama kali, sakit ini yang pertama kalinya. Ini berbeda, ini bukan seperti saat salah urat, kejedot tembok, atau kena jabret bola. Namun, bisa apa? Tujuanku adalah menyatakan perasaan, bukan memaksa dia menerimanya.

Keesokan harinya, Dera tidak datang bermain di lapangan. Menurut kabar, dia tidak ingin bertemu denganku. Begitu mengerikan, menyatakan perasaan yang tidak seharusnya ada, pada manusia yang seharusnya jadi temanku. Tidak mau kehilangan dia, tidak bisa. Sepertinya Dera terlampau kecewa.

Sudah lebih dari seminggu Dera tidak pernah tampak bermain dengan kami. Teman-teman menanyakan keadaannya dan setelah mendengar aku menyatakan perasaan padanya, mereka menyalahkanku. Baiklah, iya deh, salah. Rasanya kapok menyatakan perasaan kepada teman baik.

Saat ini hanya aku dan Rey. Dillo dan Reza kembali sibuk dengan urusan mereka karena liburan sudah berakhir. Aku dan Rey menatap lapangan tempat biasa kami bermain, bergeming di tempat selama hampir setengah jam.

Tidak ada yang menghiasi lapangan ini lagi. Salah, sungguh salah, seharusnya tidak begini. Terus merenung dan merasakan penyesalan teramat dalam.

Seharusnya biarkan saja Dera tetap menjadi temanku. Biar saja perasaan ini terpendam bahkan sampai mati pun, biarlah. Itu lebih baik daripada harus kehilangan dia.

“Val, sepertinya kita harus minta maaf sama Dera sekarang juga,” kata Rey.

“Apa mungkin?”

“Kenapa tidak? Kita sudah lancang kepadanya, ‘kan?”

“Maksudku, apa mungkin dia mau memaafkan kita?” tanyaku.

“Bodoh! Mana ada maaf yang dengan mudah langsung diterima!” kata Rey dengan tegasnya.

Aku mengangguk, setuju dengan usulan Rey untuk minta maaf kepada Dera. Kami segera memacu sepeda menuju rumah Dera. Setibanya di sana, ternyata Dera tidak ada. Kata bibinya, dia pergi entah ke mana.

Heran, seolah wajah bibinya seperti menyembunyikan sesuatu atau hanya perasaanku saja?

Kami memutuskan untuk menunggu Dera di depan rumahnya walaupun berulang kali bibinya Dera menyarankan kami untuk pulang dengan alasan Dera akan pulang malam tapi itu tidak memudarkan niat kami untuk minta maaf.

Malam pun tiba, tepat jam 7, masih di sini menunggu, tepat di depan rumah Dera. Nyamuk pun sudah menyantap darah kami dari tadi, tapi belum juga ada perkembangan yang berarti.

Tiba-tiba sebuah mobil parkir di depan rumahnya. Keluarlah dari mobil itu, seorang pria memakai kemeja putih berlengan panjang, celana panjang, seakan-akan seperti seorang bos yang dengan lembutnya bertanya kepada kami.

“Kalian temannya Dera ya? Kenapa main di luar? Deranya mana?” tanya pria itu sambil tersenyum.

“Iya kami temannya Dera. Om siapa ya?” tanya Rey.

“Om, ayahnya Dera. Oh ya, pertanyaan tadi belum dijawab, kenapa kalian di luar?”

“Tadi bibinya Dera bilang Deranya sedang pergi. Jadi, kami memutuskan untuk menunggunya, Om,” jawabku.

“Oh, memang ada perlu apa kalian dengan Dera? Apa tidak dicari orang tua kalian di rumah karena sekarang ‘kan sudah malam?”

“Kami mau minta maaf sama Dera, Om, karena kami mungkin telah melukai perasaannya,” kata Rey.

“Apa benar Deranya tidak a ….”

Tiba-tiba Dera keluar dari rumahnya, dengan ekspresi wajah yang sangat kesal. Dia menyuruh ayahnya masuk ke rumah. Tanpa berkata apa pun, Dera kembali masuk ke rumahnya.

Kami bingung tidak menentu. Tadi bibinya bilang Dera pergi. Jika Dera pergi kenapa tadi dia keluar dari rumah? Sudah kuduga dari raut wajah bibinya yang seperti menyimpan rahasia.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!