NovelToon NovelToon

Sistem Rune Master

Bab 1

Angin pagi berembus pelan di Desa Saraya, menyapu lembut sawah yang menguning dan menggoyangkan daun-daun pohon kelapa yang menjulang. Cahaya mentari menyelinap dari balik kabut tipis, menyinari rumah-rumah beratap rumbia yang berdiri tenang di lereng bukit. Hari ini, desa kecil itu tengah bersiap untuk ritual paling ditunggu setiap tahun—Upacara Pengenalan Rune.

Anak-anak yang telah menginjak usia lima belas tahun akan berdiri di hadapan Batu Penyerapan, sebuah artefak peninggalan era kuno yang diyakini sebagai warisan langsung dari para Penulis Rune. Batu itu akan bersinar, memancarkan warna yang sesuai dengan elemen rune yang tersembunyi di dalam jiwa seseorang. Warna itu akan menentukan jalan hidup mereka. Merah untuk api. Biru untuk air. Hijau untuk tanah. Putih untuk angin. Dan kadang, meski sangat jarang, muncul warna kuning—menandakan petir, gabungan kekuatan api dan angin, simbol kejeniusan.

Namun ada satu warna yang ditakuti: abu-abu. Warna dari ketidakberuntungan—anak tanpa rune. Tak satu pun di desa yang ingin melihat warna itu muncul, apalagi dari darah daging sendiri.

---

Pagi itu, Kiwang berdiri di barisan paling belakang, matanya menatap kosong pada Batu Penyerapan yang dikelilingi asap dupa dan nyanyian pelan para tetua. Rambut hitam kusutnya dibiarkan tergerai, ujung bajunya sudah pudar dan ditambal di beberapa bagian. Ibunya menjahit ulang semalam, diam-diam, saat Kiwang pura-pura tidur.

“Tenang saja, Ki. Mungkin kamu dapat hijau. Seperti Ayah dulu,” kata ibunya dengan suara parau malam sebelumnya, memaksakan senyum yang tak pernah mencapai matanya.

Kiwang hanya mengangguk kala itu. Tidak ingin menambah beban. Tapi jauh di dalam dirinya, ada sesuatu yang selalu terasa... tidak cocok. Kadang, saat malam tiba, ia melihat bayangan samar seperti cahaya warna-warni mengambang di udara. Bukan bayangan biasa, tapi pendar lembut seperti cahaya kunang-kunang yang tidak bisa disentuh. Orang lain tak pernah melihatnya. Ketika ia menyebutnya di usia sembilan tahun, ia malah dianggap terlalu banyak membaca dongeng.

---

“Mulai!” seru Tetua Raga.

Satu per satu anak maju.

“Alya” – Batu menyala biru lembut. Tepuk tangan riuh. Air. Orangtuanya menangis haru.

“Damar” – Merah menyala terang. Api. Wajah ayahnya membusung bangga, menepuk dada seolah anaknya baru saja menaklukkan gunung.

“Soka” – Putih. Angin. Ringan dan anggun seperti harapan ibunya.

Semua bersorak. Harapan tumbuh.

Kini giliran Kiwang.

Langkahnya berat, tapi pasti. Setiap mata mengarah padanya. Ia tahu, mereka menantikan sesuatu—bukan keberhasilan, tapi kegagalan. Ia menatap batu di hadapannya. Permukaannya hitam, berurat seperti arang mengilap. Aura kekuatan purba memancar dari benda itu.

Ia meletakkan kedua telapak tangannya di atas permukaannya.

Sunyi menggelayuti udara.

Batu itu... tidak bereaksi.

Satu detik. Dua. Tiga. Lima.

Tatapan mulai berubah. Bisik-bisik melayang seperti kabut.

“Tidak mungkin…”

“Batu rusak, mungkin?”

Tetua Raga mengernyit. “Kiwang, ulangi.”

Ia menarik napas dalam-dalam. Punggungnya lurus. Ia mencoba mengabaikan semua suara yang menusuk, semua mata yang menelanjangi. Tangannya diletakkan kembali.

Hening.

Kosong. Tak ada warna.

Batu tetap kelabu.

Seseorang tersenyum sinis.

"Anak ini... tak memiliki rune."

Suara itu, datar dan dingin, menusuk lebih keras daripada cemoohan yang segera menyusul.

“Tanda abu-abu...”

“Sama saja dengan tidak bernyawa.”

“Tak punya masa depan.”

Kiwang tak bicara. Ia hanya menunduk, mengeraskan rahangnya. Di dadanya, sesuatu terasa seperti... terkunci. Seolah ada sesuatu yang seharusnya keluar, tapi ditahan paksa oleh dunia.

Beberapa tetua berbisik, memanggil pendeta untuk memeriksa ulang batu. Tapi hasilnya sama. Tidak ada warna. Tidak ada reaksi.

Ibunya hanya bisa berdiri dari jauh, memeluk dirinya sendiri. Wajahnya kosong, matanya basah. Kiwang tak ingin menatapnya—tak ingin melihat harapan terakhir yang kini telah padam.

---

Sore menjelang, dan upacara usai. Anak-anak dengan rune dipanggil untuk menerima pelatihan awal. Mereka akan belajar dasar pengaktifan energi rune, lalu dikirim ke akademi regional jika memenuhi standar.

Kiwang berjalan melewati lapangan yang kini hanya berisi suara tawa dan semangat. Beberapa anak sengaja menoleh dan menertawainya. Satu-dua melempar lumpur kecil. Ia tak bereaksi.

Saat ia tiba di rumah, ibunya sedang duduk menenun. Suaranya hampir tak terdengar.

“Kau lapar?”

“Tidak,” jawab Kiwang pendek.

Ia duduk di pojok ruangan. Sunyi panjang menggantung di antara mereka.

“Ayahmu juga mendapat rune hijau di umurmu,” gumam ibunya. “Bukan yang terkuat, tapi cukup untuk membuat orang percaya padanya.”

Kiwang menatap dinding. "Aku... melihat sesuatu tadi malam."

Ibunya menoleh. Matanya suram, tapi masih menyimpan sedikit cahaya.

“Cahaya. Warna-warna yang melayang. Seperti... menari di udara. Tapi bukan mimpi. Rasanya... nyata.”

Wanita itu hanya terdiam.

“Aku tahu aku tidak bohong,” kata Kiwang, lebih pada dirinya sendiri.

Ibunya perlahan berdiri, menghampiri, dan menyentuh bahunya.

“Kalau kau memang melihatnya... mungkin itu jalanmu sendiri. Bukan jalan yang biasa. Tapi jalan yang lebih sulit.”

Kiwang mengangguk pelan. Untuk pertama kalinya hari itu, ada sedikit kehangatan.

---

Malam pun datang. Desa telah tenang. Di luar rumah, hanya suara dedaunan dan jangkrik yang hidup.

Kiwang berdiri di tengah sawah, kaki telanjang menyentuh lumpur dingin. Ia menatap langit malam, kosong dan luas. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menutup mata.

Dan saat ia membukanya, ia melihatnya.

Sembilan warna—berpendar pelan di udara, melayang melingkar, mengitari tubuhnya. Tak satu pun orang lain yang akan melihatnya. Hanya dia. Hanya malam.

Mereka seperti... menunggunya.

Apa yang mereka inginkan darinya?

Bab 2

Kiwang terdiam di tengah sawah malam itu, hanya suara jangkrik dan desir angin yang menemani. Bulan menggantung rendah di atas cakrawala, seperti mata diam yang memperhatikan dunia dari kejauhan. Malam begitu sepi, namun di dalam dirinya, segalanya riuh.

Sembilan warna—merah, biru, hijau, putih, kuning, cyan, jingga, ungu, dan emas—berpendar lembut dalam lingkaran tak kasatmata, mengambang di sekitarnya seperti roh penasaran. Bukan cahaya biasa. Ada sesuatu yang purba dan hidup di balik pancarannya.

Namun anehnya... tak satu pun dari warna itu menyentuhnya.

Mereka hanya mengitari, seolah menunggu sesuatu darinya.

Kiwang mengulurkan tangan, perlahan. Cahaya merah bergoyang pelan, tapi tak mendekat. Saat jarinya hampir menyentuh, warna itu bergetar… lalu menghilang. Begitu juga yang lain. Satu per satu warna-warna itu memudar, hingga yang tersisa hanyalah satu: pelangi.

Bukan campuran sembilan warna, tapi cahaya murni yang berisi semuanya. Terlalu aneh untuk dijelaskan, terlalu damai untuk ditakuti. Cahaya itu melayang pelan, lalu... menyatu masuk ke dalam dadanya.

Tubuh Kiwang terhuyung. Napasnya tercekat.

Dada kirinya membakar. Bukan seperti terbakar api, tapi seperti sesuatu yang terkunci dalam dirinya sedang berusaha keluar. Sekilas, ia melihat bayangan lingkaran rune berputar dengan sembilan ruas, masing-masing menyala samar. Lalu lenyap, seperti mimpi yang buyar saat terbangun.

"Apa… itu?" bisiknya sendiri.

Ia jatuh berlutut, tubuh gemetar. Tiba-tiba, suara terdengar di dalam kepalanya—datar, dingin, dan asing.

Suara mekanis. Seperti bisikan mesin dari kedalaman pikirannya sendiri.

> [Sistem Rune diaktifkan…]

Deteksi afinitas: Tidak diketahui.

Status: Terikat pada entitas abnormal.

Penyesuaian awal dimulai…]

Kiwang terdiam. Jantungnya berdegup kencang.

"Siapa kau?" bisiknya ke langit.

> [Proses penyelarasan rune dalam progres… 4%]

Sakit itu meningkat. Simbol samar muncul di lengannya—lingkaran dengan sembilan warna kecil berputar pelan, lalu terserap masuk ke kulitnya. Meninggalkan bekas samar seperti luka bakar… tapi berwarna.

---

Pagi menjelang. Langit pucat menaungi atap-atap rumbia Desa Saraya. Kiwang terbangun di atas jerami tipis di pojok rumah. Tubuhnya masih hangat, dada kirinya terasa berat. Tapi simbol itu menghilang—tak terlihat apa pun di kulitnya. Hanya rasa… ada sesuatu yang kini menempel dalam jiwanya.

Dari dapur, aroma bubur ubi menyambutnya, tapi hambar. Ibunya duduk diam di dekat tungku, menatap api tanpa semangat.

“Sudah bangun?” tanyanya datar, tanpa menoleh.

Kiwang berdiri pelan, lalu duduk di sampingnya. Tangannya menggosok bagian dada yang tadi malam bersinar.

“Aku... tidak apa-apa,” ucapnya.

Ibunya terdiam. Kemudian menghela napas. “Tapi dunia tak melihatmu seperti itu, Ki.”

“Aku melihat sesuatu,” katanya tiba-tiba. “Warna-warna. Di langit. Mereka muncul, seperti… menari. Tapi bukan mimpi. Rasanya nyata.”

Ibunya menoleh, mata tuanya bergetar. Ada keraguan, ada kelelahan.

“Kamu bicara seperti ayahmu. Dulu, sebelum dia—” suaranya tertahan. Ia menghela napas lagi. “Kalau itu benar, maka sembunyikan. Dunia tidak baik pada yang berbeda.”

Kiwang menunduk. Ia tahu maksud ibunya. Bertahan lebih penting dari menjelaskan sesuatu yang tidak akan dipercaya.

---

Di luar, suasana desa berubah. Anak-anak yang mendapat rune berjalan dengan bangga. Di lapangan dekat balai desa, mereka mulai berlatih pengendalian dasar bersama seorang pelatih dari utusan luar.

“Fokus! Rasakan getaran dalam tubuhmu!” seru sang pelatih.

Kiwang berdiri jauh di pinggiran, memperhatikan. Soka memanggil angin hingga membuat helai daun melayang. Damar menciptakan api sebesar kepalan tangan. Alya membentuk bola air kecil dan menahannya di udara.

Salah satu anak lain menoleh ke arah Kiwang dan menyeringai.

“Lihat si Abu-abu datang!”

Tawa kecil terdengar. Kiwang tidak bereaksi. Ia sudah terbiasa diasingkan. Tapi di dalam hatinya, luka itu tetap menyayat.

---

Menjelang malam, ia kembali ke sawah. Kali ini, ia membawa sebilah pisau kecil dan lentera minyak. Ia duduk di tengah petak kosong, menyalakan lentera, dan menatap api kecilnya.

"Aku tahu kalian ada," katanya pelan. "Apa yang kalian tunggu dariku?"

Tak ada jawaban. Hanya angin.

Tapi kemudian, udara menghangat.

Warna itu kembali. Sembilan cahaya muncul satu per satu, berputar perlahan. Tak menyala secerah semalam, tapi cukup untuk menunjukkan bahwa mereka tidak pergi. Di tengah-tengah mereka, pelangi itu muncul lagi. Lebih padat. Lebih nyata.

Kiwang memejamkan mata.

> [Sinkronisasi meningkat: 7%…

Lokasi Reruntuhan Awal terdeteksi.

Jalur pertama akan terbuka saat kondisi tertentu terpenuhi.

Status: Tidak Stabil.]

Suara sistem itu kembali.

Kiwang membuka mata. Napasnya berat, tapi matanya mantap.

“Kalau kalian sungguhan ada… tunjukkan caranya. Aku tidak akan mundur.”

---

Keesokan harinya, ia kembali ke hutan kecil di tepi desa. Tempat di mana ayahnya dulu menghabiskan waktu berburu. Di sana, ia pernah melihat reruntuhan batu yang ditelan akar. Waktu itu, ia mengira itu hanya puing tua. Tapi kini… dia merasakannya memanggil.

Langkah Kiwang mantap, meski hatinya gelisah. Ia tahu, sejak upacara itu, jalannya takkan seperti anak-anak lain.

Ia bukan bagian dari sistem biasa.

Tapi mungkin… ia adalah awal dari sistem yang baru.

Bab 3

 

Kabut pagi menggantung rendah di tepian hutan di barat Desa Saraya. Embun menetes dari ujung dedaunan, sementara tanah masih basah oleh sisa hujan semalam. Di sinilah Kiwang berdiri, mengenakan mantel cokelat tua peninggalan ayahnya. Tangannya memegang lentera kecil, dan di pinggangnya tergantung pisau berburu berkarat. Langkahnya perlahan namun pasti menyusuri jalan setapak yang sudah lama tak dilalui.

Tempat ini biasa disebut warga sebagai "Hutan Mati." Tak ada yang benar-benar mati di sana, tapi cerita lama mengatakan roh-roh penasaran tinggal di antara akar-akar pohon tua. Sejak kecil, Kiwang dilarang mendekat, kecuali saat dia bersama ayahnya. Namun setelah kematian ayahnya lima tahun lalu, tempat itu menjadi tabu.

Dan justru karena itu… ia kembali ke sana.

Bayangan reruntuhan batu yang pernah dilihatnya sekilas bertahun lalu terus memanggil. Kini, dengan bisikan sistem yang menyebut “Reruntuhan Awal,” ia yakin: tempat itu bukan kebetulan.

> [Sinkronisasi Rune: 11%

Lokasi Jalur Awal: Dalam radius 100 meter]

Suara itu kembali di kepalanya, netral, dingin, namun kini terasa… familiar. Ia mulai tak lagi terkejut mendengarnya.

Di depannya, pepohonan mulai merenggang. Kabut menipis. Dan di tengah-tengah semak dan rerumputan liar, tampak sebuah struktur batu melingkar—tertutup sebagian oleh akar dan tanah, seperti telah tidur selama berabad-abad.

Kiwang mendekat. Ada sembilan pilar rendah yang mengelilingi sebuah altar kecil. Setiap pilar memiliki ukiran yang sudah nyaris tak terbaca. Tapi saat ia menyentuh salah satunya, ukiran itu bercahaya samar.

> [Fragmen Rune Tertua Terdeteksi…

Aktivasi awal dimulai.

Lingkaran Pemanggilan Spiral—Tingkat 0]

Tiba-tiba, tanah di bawah altar bergetar pelan. Sebuah lingkaran muncul, memancarkan cahaya pelangi yang berdenyut perlahan. Cahaya itu membentuk simbol aneh, berbeda dari simbol rune biasa yang diajarkan di desa.

Cahaya melesat ke dada Kiwang. Seketika, dunia seperti terbalik.

Pandangannya berganti. Kini ia berada di ruangan yang asing—dindingnya dari batu hitam mengkilap, langit-langit tinggi, dan di tengah ruangan itu berdiri sosok berjubah putih, wajahnya tertutup kain. Suaranya menggema tanpa membuka mulut.

“Pewaris yang tidak terlihat. Kau telah membuka mata ketiga. Tapi belum cukup.”

“Siapa kau?” Kiwang bertanya.

“Saya adalah saksi. Bukan pelindung. Apa yang kau bangkitkan akan membawa bencana… atau harapan.”

Kiwang menatap sekeliling. "Apa tempat ini?"

“Ruang antara. Di sinilah rune murni disimpan sebelum dipilih. Kau menyentuhnya sebelum waktunya.”

Kiwang mengepalkan tangan. “Aku tak punya pilihan.”

Sosok itu menunduk. “Karena itu, kau diberi akses. Tapi ingat, jalanmu tak akan seperti para pengendali biasa. Setiap warna harus kau bangkitkan sendiri. Tanpa batu. Tanpa ritual. Tanpa bimbingan.”

“Kenapa?”

“Karena kau bukan satu dari mereka.”

Dalam sekejap, Kiwang kembali ke tubuhnya. Ia terhuyung, napas memburu. Lingkaran di altar telah hilang, tapi di telapak tangannya kini ada simbol pelangi samar.

> [Rune Spiral Terbangkitkan – Level 0

Akses: 1/9 warna dasar terbuka.

Elemen: ???

Kondisi jiwa: Tidak stabil]

“Baru satu… dari sembilan?” gumamnya.

Kiwang terdiam sejenak, lalu duduk di tepi altar. Dada kirinya masih terasa berat. Tapi bukan sakit—lebih seperti ketegangan yang belum selesai. Ia tahu, ini baru permulaan.

Tak lama, ia mendengar suara langkah kaki dari kejauhan. Refleks, ia bersembunyi di balik semak.

Dua orang muncul dari balik pohon—seorang pria tua berjubah tetua dan seorang pemuda muda berambut perak.

“Lihat, jejak cahaya aktif. Seseorang telah masuk ke sini,” ucap sang pemuda. Suaranya tenang namun mengandung tekanan.

Tetua itu mengangguk, menatap reruntuhan. “Tempat ini seharusnya tersegel. Tak ada yang boleh menemukannya…”

Kiwang membeku. Ia tak mengenali mereka. Bukan dari desa. Bukan pula utusan biasa. Tapi mereka tahu tentang reruntuhan ini.

Pemuda itu menyentuh satu pilar, lalu memicingkan mata. “Energi tak stabil. Spiral belum lengkap. Tapi… pelangi sudah terbangkitkan. Ini mustahil.”

“Kalau benar seseorang membangkitkannya, dia bukan orang biasa,” kata tetua.

“Dan itu berbahaya.” Mata si pemuda berubah tajam. “Bahkan mungkin… musuh kita sedang bangkit.”

Tanpa berkata apa-apa lagi, mereka pergi ke arah timur.

Kiwang tetap bersembunyi hingga suara langkah benar-benar hilang. Lalu ia berdiri, menatap reruntuhan.

“Jadi… aku bukan satu-satunya yang tahu tentang tempat ini,” desisnya.

Ia menyeka keringat di dahi, lalu berjalan pulang. Tapi kini, langkahnya tak lagi goyah.

 

Saat tiba di rumah, ibunya belum kembali dari pasar desa. Rumah sunyi. Di meja, ada sepiring ubi goreng yang dibiarkan dingin. Kiwang duduk, menggigit satu, lalu memandang keluar jendela.

Warna-warni itu… bukan lagi bayangan.

Mereka nyata.

 

Keesokan harinya, desa kembali sibuk. Anak-anak pengguna rune dipanggil ke balai latihan. Mereka mulai belajar menggabungkan teknik dasar, diawasi langsung oleh pelatih dari ibu kota.

Namun dari kejauhan, Kiwang melihat Damar memaksa bola api untuk membakar sebatang bambu. Api itu lepas kendali, hampir menyambar seorang gadis kecil yang menonton dari jauh.

Kiwang bergerak refleks. Dengan satu gerakan cepat, ia meraih tangan gadis itu dan menariknya menjauh.

Dan saat itu, udara di sekelilingnya bergetar.

Semua orang membeku.

Kilatan warna pelangi muncul sekejap di sekeliling tubuh Kiwang, lalu menghilang seperti asap.

Semua mata menatapnya. Mulut Damar terbuka lebar. Pelatih dari ibu kota mengernyit.

“Barusan… apa itu?” tanya Soka.

Kiwang hanya menatap tangan kirinya. Tak ada cahaya sekarang, tapi dia tahu. Sesuatu di dalamnya… mulai bangkit tanpa diperintah.

Ia mundur, lalu berlari meninggalkan kerumunan.

 

Di hutan, ia kembali ke reruntuhan.

> [Peningkatan Energi Emosional: 13%

Warna berikutnya tersedia: MERAH

Aktivasi elemen api membutuhkan pengendalian emosi]

“Jadi... sistem ini tidak hanya tentang kekuatan,” gumamnya. “Ini tentang... bagaimana aku merasakannya.”

Pelan-pelan, Kiwang mengerti. Rune-nya bukan datang dari luar, bukan dari batu, bukan dari tetua.

Melainkan dari dalam dirinya sendiri.

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!