Deburan ombak pasang menyapa kaki telanjang yang berdiri tegak di tepian pantai. Jingga di ujung langit menyapa wajah cantiknya dengan begitu lembut. Tidak ada yang lebih menenangkan dari semilir angin laut yang membelai setiap sisi wajahnya.
Kepalanya menunduk, menatap pada kaki yang sesekali menendang pelan pasir basah di bawah sana. Mungkin impiannya tengah terkubur di dalam sana.
"Menikah dengan pilihan Romo atau kamu tidak Romo ijinkan untuk melanjutkan langkahmu, Nduk!"
Kalimat yang dia dengar beberapa waktu yang lalu itu masih terputar jelas di kepalanya. Membuat langkahnya terasa semakin ragu dan begitu berat.
Gadis itu memutar tubuhnya. "Sewindu harus gimana, Bu?" tanyanya pada sosok wanita paruh baya yang tak jauh darinya.
Ibu yang sebelumnya hanya menatap punggung lesu anaknya itu kini dapat melihat gurat gelisah yang tak kunjung padam.
Wanita itu tersenyum, menyiratkan ketenangan yang didamba oleh Sewindu. "Wis, Nduk! Ora usah dipikir omongan Romo-mu tadi."
Langkah Sewindu mulai mendekat. Dia ikut bersimpuh di bawah teduhnya pohon kelapa di tepi pantai, menyandarkan kepalanya di atas lututnya yang tertekuk.
"Sebenarnya, apa alasan Romo minta Sewindu buat nikah, Bu?" tanyanya lagi, tanpa menatap pada Ibu.
Belai lembut tangan Ibu menyapa surainya yang terikat tinggi. Hanya sebentar sebelum akhirnya Ibu kembali menyembunyikan tangannya ke dalam saku jaket.
Ibu kembali menatap pada jingga yang mulai memudar di ufuk barat sambil berkata, "Kamu ini satu-satunya anak yang Romo dan Ibu punya, Ndu. Perempuan lagi. Wajar kalau Romo-mu khawatir kamu hidup sendiri di perantauan nanti."
Sewindu menoleh dengan kerut ringan di dahinya. "Tapi, ini Windu ke Jogja loh, Bu. Tempat asal Romo sama Ibu, toh? Apa yang mau ditakutkan?"
"Justru karena itu, Nduk. Karena Jogja," gumam Ibu sambil memalingkan wajahnya. Sewindu bahkan tidak mendengar gumaman itu di antara gemuruh angin di sekitar mereka.
"Bu..." Sewindu mendekatkan wajahnya, "Bantu Windu buat ngomong sama Romo ya, Bu?"
Langit semakin gelap dengan rembulan yang sudah siap menggantikan sang mentari. Angin pantai pun semakin dingin membelai tubuh mereka. Sementara Ibu dan anak perempuan satu-satunya ini masih saling tatap dalam hening.
Setitik harap masih terlihat jelas di mata Sewindu. Harapan bahwa dia akan lanjut mengejar mimpinya tanpa bayang-bayang pernikahan.
"Atau mungkin, Romo sama Ibu mau ikut Windu saja ke Jogja? Sekalian pulang kampung, toh?"
Sementara Ibu, tak berpikir demikian. Mendengar kata Yogyakarta membuatnya sedikit setuju dengan ucapan suaminya. Tidak ada yang lebih menakutkan selain bayang-bayang kehidupan di kota itu.
Tak menggubris ucapan Sewindu, Ibu berdiri lebih dahulu meninggalkan pasir hangat yang menjadi tumpuan tubuhnya. "Ayo pulang, Nduk. Ibu belum masak makan malam tadi. Kasihan juga Pak Tomo nunggu di mobil."
Setitik harapan yang sebelumnya pekat itu kian luntur bersama punggung Ibu yang menjauh. Kini, Sewindu hanya punya dua pilihan yang diberikan Romo beberapa saat yang lalu.
"Menikah atau tidak melanjutkan impianku," gumam Sewindu di sela malam yang mulai menjemput.
Gadis itu semakin tenggelam dalam lamunannya. Tak peduli apakah Ibu dan Pak Tomo akan menunggunya atau meninggalkannya begitu saja.
Sewindu masih butuh waktu untuk mencerna semuanya. Ibu yang sebelumnya mendukungnya, kini juga sudah berada di pihak Romo.
"Memangnya, ada apa di Jogja?" gumamnya dengan kerut bingung.
Mei menjadi bulan yang cukup hangat untuk kota Malang. Matahari bersinar begitu cerah dengan semilir angin lembut yang bersahutan.
Daun-daun dari pohon tua berguguran bagai hujan di tengah pagi yang terik. Sesekali hujan masih datang meski tak sesering bulan-bulan sebelumnya. Bunga-bunga bermekaran menyambut kemarau yang akan segera datang
Aroma cairan pembersih kaca menguar dengan lembut bersama suara desisan pelan dari botol semprot.
"Piye, Ndu? Kamu jadi ke Jogja?" tanya seorang perempuan yang mengenakan seragam karyawan.
Sewindu menoleh sekilas pada perempuan itu sebelum akhirnya kembali dengan kegiatannya — membersihkan permukaan meja. Dia tersenyum sambil menghela nafas pelan.
"Ya gitu lah, Mbak Ras," Gadis itu menegakkan tubuhnya yang sebelumnya membungkuk, "Tapi, kalau nggak lolos lagi berarti memang belum waktunya aku pergi ke Jogja, Mbak."
Laras yang sedang mengelap tumpukan piring bersih itu mendongak. "Memang hasilnya sudah keluar, Ndu?" tanyanya.
Sewindu menggeleng, namun sorot matanya seolah menyiratkan keraguan akan kemampuannya sendiri. "Belum, kan aku baru tes kemarin. Tapi, kalau dari perasaanku kayaknya nggak lolos lagi, Mbak."
Sewindu ingat betapa kewalahannya dia dalam mengerjakan soal kemarin. Banyak materi yang dia pelajari dari buku latihan soal hilang sepenuhnya.
Semburan tawa renyah terdengar dari seorang pria yang duduk di balik meja kasir. Kumis tipis memayungi bibirnya yang cenderung melengkung ke bawah, memberikan kesan galak di wajah tegas itu.
Sewindu menoleh ke arah sumber suara. "Romo senang anaknya nggak lolos tes kedua kalinya?" tanyanya dengan lantang.
Pria itu mengusap dagunya yang bersih dan terbelah. Pandangannya naik pada anaknya yang masih berdiri dengan serbet dan semprotan air pembersih di tangannya.
"Romo kan sudah bilang toh, Ndu? Kuliah itu bisa di mana saja, termasuk di Malang ini," kata Romo sambil mengetukkan penanya beberapa kali di atas buku yang ada di hadapannya.
Pria berwajah galak itu menarik tubuhnya dan bersandar pada sandaran kursi kayu. "Romo juga masih nggak ngerti, kenapa kamu ngotot sekali mau kuliah di Jogja, Ndu."
"Kampus di Malang ini juga banyak yang bagus loh, Ndu. Banyak orang dari daerah lain berebut kuliah di sini. Lah, kamu sudah enak tinggal di sini, ndak perlu merantau buat kuliah di tempat bagus, kok ya masih saja gaya-gayaan mau merantau."
Mendengar kalimat panjang dari Romo membuatnya bersungut samar. "Windu juga bingung, kenapa Romo ndak mau banget kalau Windu merantau? Wong ya Windu nggak bakal aneh-aneh di kota orang loh, Romo...."
Terhitung satu tahun sudah sejak kelulusan Sewindu dari sekolah menengahnya. Kemarin adalah tes kedua yang dia lakukan untuk lolos ke kampus yang dia inginkan sejak lama. Namun, kemarin dia benar-benar kehilangan fokus pada tesnya.
Entah mengapa jalannya seolah dihalangi dari berbagai arah. Restu dari Romo seolah menjadi faktor yang paling memengaruhi dirinya selama persiapan tes itu.
"Sing penting iku restu wong tuwo, Nduk. Kalau orang tua tidak merestui, mau kamu lari sampai gobyos juga bakal susah tercapai."
Laras yang sebelumnya membuka topik itu meringis samar. Dia merasa bersalah, seolah menyalakan api dan membiarkannya membesar begitu saja di antara Romo dan Sewindu.
Sementara itu, Sewindu meremas kain serbet di tangannya. Matanya memandang malas ke arah Romo yang kembali fokus dengan buku keuangan di hadapannya.
Sewindu langsung pergi begitu saja menuju dapur. Tepatnya menghampiri Ibu yang sedang memasak dengan karyawan lain di sana.
"Ate nandi? Iku mejane belum dilap semua!" tegur Romo lantang.
Suara itu terdengar sampai ke telinga Ibu yang sedang mengaduk bumbu. Dia melirik pada Sewindu yang datang dengan wajah kusut.
Gadis itu tak sama sekali menjawab ucapan Romo barusan. Sewindu hanya bungkam sambil membilas serbet yang dia gunakan sebelumnya.
"Romo-mu ngomong kok nggak diwangsuli toh, Nduk?" Ibu akhirnya membuka suara.
Sebenarnya dari dapur ini pun Ibu masih bisa mendengar apa saja yang dibicarakan oleh anak dan suaminya barusan. Wajar saja jika Sewindu ngambul begitu.
Sewindu mematikan keran dan membalikkan badannya. "Lah, Romo loh, Bu--"
"Dijawab, Nduk." Ibu mengulang ucapannya.
Sewindu mengembuskan nafas pelan dengan bibir yang manyun. "Iya, Romo! Ini masih ganti serbet yang baru!"
Gadis dengan rambut panjang yang diikat setengah itu memandang sebentar pada Ibu. Sorot matanya meminta pembelaan dari Ibu yang masih sibuk mengaduk bumbu di dala kuali.
"Kono!" usir Ibu pelan pada Sewindu yang masih memandanginya.
Langkah berat Sewindu kembali membawanya keluar dari dapur. Dengan kain serbet baru di tangannya, dia melewati Romo begitu saja.
......................
Mata di balik lensa kacamata minus itu berusaha fokus dengan jalanan yang ada di depannya. Jalanan asing yang belum pernah dia lalui seumur hidupnya.
"Di depan itu belok kanan, Nu!" pinta seorang pria yang duduk di sampingnya.
Wisnu mengerutkan keningnya samar. Pasalnya, itu bukan jalan untuk menuju villa yang disewa oleh keluarganya.
"Bukannya lurus, Yah?" tanya Wisnu keheranan, sementara Ayah bersandar santai sambil melihat jalanan di depannya
Pria itu menggeleng. "Ke kanan. Ayah masih ingat jalanan ini," sahutnya yakin.
"Tapi, ini di maps masih lurus, Yah."
Bunda yang sebelumnya hanya diam di kursi belakang, kini menoleh pada anaknya. "Kamu nggak mau sarapan dulu tah, Nu? Nggak luwe tah kamu ini?"
Wisnu membulatkan mulutnya sambil manggut-manggut, paham. Menuruti ucapan Ayah sebelumnya, Wisnu membelokkan roda kemudinya ke kanan. Dia juga menutup aplikasi maps di ponselnya.
Di jalanan ini, Wisnu menurunkan kecepatan berkendaranya. Sesekali dia melirik pada Ayah yang katanya sudah hafal dengan jalanan kota ini.
Malang menjadi kota pilihan Bunda untuk melepas jenuh. Kali ini adalah kali pertama bagi Wisnu untuk menginjakkan kakinya di kota ini, namun tidak untuk Ayah dan Bunda yang sudah sering ke kota ini.
Ayah tiba-tiba menegakkan tubuhnya. "Itu! Sebelah kiri!"
Wisnu yang kaget langsung menepikan mobil mereka di bahu kiri jalan seperti yang Ayah katakan. Beruntung jalanan pagi ini bisa terbilang cukup lengang.
Di depan mereka, memang benar berdiri sebuah restoran yang bisa dibilang cukup besar. Bangunan itu bahkan memiliki dua lantai untuk pengunjung mereka.
Dari pintu kaca yang mengkilap, tampak seorang gadis yang sedang mengusap meja dengan serbet di tangannya. Sesekali dia juga menyemprotnya dengan cairan pembersih.
Berbeda dengan Ayah dan Bunda yang sudah bersiap turun, Wisnu masih betah di tempatnya. Papan kecil bertuliskan tutup menarik perhatiannya.
"Masih belum buka, Yah. Cari yang lain aja."
Tapi, ucapan Wisnu barusan dibalas dengan pintu mobil yang ditutup cukup kencang. Ayah dan Bunda sudah turun dan berjalan lebih dulu.
Suara lonceng kecil terdengar nyaring begitu pintu kaca itu terbuka. Ayah dan Bunda melangkah masuk dengan senyuman ramah di wajah mereka.
Sewindu mendongak dan bertemu tatap dengan mereka. "Maaf, kami belum buka. Mungkin nanti Bapak dan Ibu bisa kembali sekitar 30 menit la--"
"Brahman!" seruan lantang itu terdengar dari balik tubuh Sewindu.
Gadis itu menoleh ke arah Romo yang baru saja kembali dari dapur. Pria berwajah garang itu untuk pertama kalinya tersenyum dengan mata berbinar.
"Panggilkan Ibu-mu, Ndu!"
Romo melangkah cepat menuju seseorang yang berada di ambang pintu. Dia memeluk erat seorang pria yang ada di sana.
"Suwe ora ketemu kowe, Yud! Kangen loh aku iki," ucap Ayah, tangannya menepuk pelan bahu Romo.
Ayah menoleh ke belakang. Wisnu yang dia kira masih ada di dalam mobil ternyata sudah berdiri di belakangnya. "Salim, Nu!"
"Iki anakku, Wisnu jenenge. Ra tau ketemu toh?" kata Ayah memperkenalkan Wisnu pada Romo.
Sementara itu, Sewindu kembali datang bersama Ibu. Senyuman juga terlihat di wajah Ibu begitu melihat sepasang suami-istri yang ada di sana.
"Sehat, Mbak?" tanya Ibu basa-basi pada Bunda. Dia juga menyambut Wisnu yang mengulurkan tangannya.
Bunda dengan senyuman ramahnya mengangguk. "Aku selalu sehat, Wid."
Di sela sapaan hangat itu, Romo menoleh pada Sewindu yang masih berdiri canggung di dekat mereka. "Ini teman Romo waktu masih di Jogja, Ndu. Salim dulu!"
Sewindu mendekat, sebelah tangannya masih melingkar di lengan Ibu tanpa mau melepasnya. Satu persatu dia menyalami sepasang suami-istri yang dia kira pelanggan tadi.
"Loh, wis dadi cah perawan. Ayune talah anakmu, Wid!"
Ibu hanya tersenyum mendengarnya. Dia melepaskan tangan Sewindu yang masih melingkar di lengannya. "Wis gede tapi sek gelendotan nang ibune."
Seolah berada di dunia yang berbeda, Ayah dan Romo sudah asik dengan obrolan mereka meski masih berdiri di dekat pintu. Sementara itu, Bunda tersenyum memandang pada Sewindu.
"Duduk dulu, Mbak Ratna! Aku mau minta anak-anak bikinkan makanan sama minuman di belakang," ucap Ibu sambil berbalik. Dia menoleh pada Sewindu memintanya untuk mengantarkan ke salah satu meja yang ada di sana.
"Kalian nggak mau kenalan dulu?"
Suasana mendadak hening begitu Bunda bertanya. Semua mata kini tertuju pada Sewindu dan Wisnu yang masih sama-sama diam.
Wisnu mendongak dan menyimpan ponselnya. Dia melirik pada Sewindu sebentar sebelum mengulurkan tangannya.
"Panggil Wisnu saja," katanya memperkenalkan diri.
Sewindu mengangkat pandangannya pada pria tinggi itu. Dia menyambut uluran tangan dari Wisnu.
"Sewindu."
Villa yang terletak di kota Batu menjadi tempat yang dipilih Ayah untuk mereka beristirahat beberapa hari ke depan.
Udara dingin yang sangat berbeda dengan Yogyakarta. Wisnu duduk di pelataran villa sambil memandangi city light yang tersebar bagai kunang-kunang berlatar belakang gunung yang tampak samar.
Wisnu merapatkan jaket — menghalangi angin dingin langsung menyentuh tubuhnya. Tangannya terangkat membenahi kacamata yang melorot di pangkal hidung mancungnya.
"Ini, Nu. Biar hangat."
Secangkir cokelat hangat muncul tepat di samping wajahnya. Wisnu mendongak dan tersenyum pada Bunda yang berdiri di belakangnya.
"Makasih, Bun." Tangannya terangkat menerima cangkir panas itu.
Wisnu menepuk kursi kayu di sebelahnya. "Duduk sini, Bun. Pemandangannya bagus banget dari sini."
Seperti Wisnu sebelumnya, Bunda merapatkan kain yang tersampir di bahunya. Dia melirik pada Wisnu yang tampak tersenyum tipis dengan pandangan yang masih ke arah lampu-lampu kota di bawah sana.
"Cantik, ya, Nu?" tanya Bunda tiba-tiba.
Wisnu mengangguk. "Bunda sama Ayah kalau ke Malang selalu lihat ini juga?"
"Nggak." Bunda menggeleng sebentar, "Tahu sendiri Ayahmu ndak terlalu suka sama pemandangan yang begini."
"Besok, pagi-pagi sekali. Ayah biasanya bangun lebih awal buat lihat matahari terbit."
Wisnu semakin menaikkan senyumannya. "Padahal, secantik ini."
Sejenak, hening menyelimuti mereka. Wisnu masih tenggelam pada pemandangan city light di bawah sana. Sementara Bunda menatap anaknya lamat-lamat.
"Kalau gadis tadi?" tanya Bunda tiba-tiba, membuat Wisnu akhirnya menoleh.
Pria itu mengangkat alisnya tinggi. Matanya menatap bingung pada Bunda. "Siapa?"
"Sewindu." Bunda menyahut dengan senyuman tenang.
Wisnu sempat terdiam sebentar. Dia mencoba mengingat nama itu sekali lagi dalam kepalanya.
"Oh ... Anak temannya Ayah tadi?" tanyanya memastikan dan dijawab anggukan oleh Bunda.
Wanita yang masih tersenyum itu menatap anaknya dengan penuh binar. "Cantik ya, Nu? Bunda suka, loh!"
Wisnu dibuat kembali terdiam sebentar. Dalam pertemuan yang cukup lama pagi tadi, Wisnu tidak terlalu banyak melihat wajah gadis yang bernama Sewindu itu.
Gambaran sosok Sewindu perlahan tampak semakin tajam di ingatannya. Seperti potongan puzzle yang dia susun dengan sempurna.
"Semua perempuan itu cantik, Bun. Bunda juga cantik," jawab Wisnu akhirnya. Dari sorot matanya, sangat jelas dia tak terlalu tertarik.
Suara tapak kaki yang mendekat terdengar dari arah belakang Bunda. Aroma kopi hitam tanpa gula, khas sekali dengan kedatangan Ayah.
Pria itu mengusap pelan bahu istrinya. "Maksud Bunda itu, kamu tertarik sama Sewindu atau tidak?" jelas Ayah.
"Nggak," sahut Wisnu tanpa berpikir panjang. Jawaban itu seolah sudah siap keluar sejak beberapa saat yang lalu. Atau mungkin sejak pertemuannya dengan Sewindu.
Hela nafas sendu terdengar dari arah Bunda. Wanita itu menyeruput secangkir teh hangat di tangannya. "Padahal Bunda sama Ayah tertarik."
Wisnu tahu ke mana pembicaraan mereka akan berlabuh malam ini. Sebuah topik yang tak akan pernah usai.
"Bunda sama Ayah ini sudah tua loh, Nu. Pengen mantu."
Benar sudah apa yang dipikirkan oleh Wisnu. Pembicaraan mereka tidak akan jauh-jauh dari pernikahan.
Wisnu meminum secangkir cokelat hangat yang terasa cukup pahit malam ini. Dia berkerut sebentar sambil melirik Bunda yang tak lagi melihat ke arahnya.
Terhitung baru beberapa minggu sejak Wisnu mendapatkan gelar dokter di depan namanya. Dia bahkan belum mengikuti program magang sebagai dokter baru. Namun, topik ini sudah berulang kali dia dengar dari Bunda.
Wisnu melirik pada Ayah yang hanya diam seperti biasanya. Entah pria itu berpihak pada anak atau istrinya.
"Bunda sama Ayah kan tahu, Wisnu masih mau lanjut ke pendidikan spesialis."
Wisnu berhenti sebentar untuk melihat reaksi orang tuanya. Pandangannya bergantian pada Ayah dan Bunda.
"Kalau Ayah sudah tidak bisa membiayai pendidikan Wisnu, Wisnu bisa cari sendiri kok, Yah."
Mungkin desakan pernikahan ini karena Ayah yang sudah tidak sanggup mengeluarkan biaya untuknya. Mungkin keadaan ekonomi keluarga mereka sedang kacau-kacaunya. Itu yang ada di pikiran Wisnu.
Namun, kenyataannya tidak seperti itu. Terlihat dari tawa renyah Ayah setelah menyeruput kopi pahit miliknya.
Pria tua itu menoleh pada anaknya. "Tabungan Ayah juga masih bisa sampai kamu jadi profesor, Nu. Ayah sudah mempersiapkan semuanya."
Ayah memalingkan wajahnya ke arah langit dan melanjutkan, "Kecuali kematian. Ayah belum mempersiapkan kehidupan kamu kalau Ayah dan Bunda pergi suatu saat nanti."
Wisnu terdiam mendengar itu. Untuk pertama kalinya Ayah membuka suara dalam topik ini, dan kalimatnya bukan main beratnya.
Pekerjaan Ayah yang merupakan dokter spesialis jantung, membuatnya tak jarang menemukan kasus kematian. Kebanyakan kasus kematian yang ditanganinya dipicu oleh serangan jantung secara tiba-tiba, tanpa peringatan gejala apa pun sebelumnya.
Wajar bila ketakutan itu ada dalam bayang-bayang langkah Ayah. Wajar jika sesekali Ayah takut kejadian itu juga menimpanya begitu saja suatu saat nanti.
Wisnu turut memalingkan wajahnya. Dia menunduk dan memandangi ujung jemari kakinya di bawah sana. "Jangan berpikir yang aneh-aneh, Yah."
"Ya, makanya, Nu. Kamu kapan mau kasih mantu ke Ayah sama Bunda?"
Pertanyaan itu lagi-lagi meluncur dari bibir Bunda. Menghancurkan suasana sendu yang sebelumnya Ayah bangun dengan lembut.
Ayah bahkan tersenyum mendengar pertanyaan itu. Seolah ucapannya tentang kematian tadi memang ingin disangkutkan dengan topik pernikahan Wisnu. Seolah dia tidak serius dengan ucapannya tadi.
Tujuan Ayah dan Bunda masih sama. Menanyakan kapan Wisnu akan segera menikah.
"Kenapa buru-buru toh, Bun? Bunda sama Ayah kan juga menikah di umur 30-an toh?"
Wisnu yang jengah itu tak mau menampakkan gurat kesalnya di depan orang tuanya. Dia memalingkan wajahnya ke arah pemandangan yang dia lihat beberapa waktu yang lalu.
"Kemero! Itu umur Ayah sama Bunda waktu kamu lahir!" Suara Bunda lantang menyahut ucapan Wisnu. "Bunda sama Ayah ini menikah ya waktu Bunda di umurmu sekarang, Le! Lah, mbok pikir, kamu langsung mbrojol setelah Bunda menikah sama Ayah? Yo, ndak toh! Butuh bertahun-tahun sebelum kamu ada."
Ayah menepuk bahu Wisnu yang kokoh. "Kalau kamu mau, nanti Ayah bicara sama teman Ayah."
"Seperti yang kamu lihat tadi, anaknya — Sewindu, juga sudah dewasa toh? Rajin pula, bantu orang tuanya buka restoran sepagi itu."
Wisnu kembali menoleh. "Terus, nanti aku ngasih makan anak orang pakai apa?"
Pria itu mengatupkan bibirnya sejenak. Ada satu hal yang mungkin akan menyelamatkannya dalam topik ini. Satu rahasia tentang dirinya yang sudah tersimpan cukup lama.
Wisnu menarik nafas sejenak sebelum berkata, "Lagian, Wisnu juga sudah punya pacar di Jogja."
Satu pernyataan yang mampu membuat Ayah dan Bunda terdiam. Sepasang suami-istri itu sama-sama menoleh pada putra semata wayang mereka.
Bunda berkerut samar. "Yakin kamu, Nu? Ndak bohong toh?"
Wisnu sontak mengangguk dengan santainya. Dia bahkan kembali menyeruput secangkir cokelat hangat miliknya.
"Kalau begitu, bawa dia ke rumah. Perkenalkan pacarmu itu sama Ayah," ujar Ayah sebelum akhirnya masuk ke dalam bangunan villa.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!