Ashanum Ananda Wijaya putri ketiga dari Raka Wijaya dan Humaira Azzhara, yang berusia 20 tahun yang sedang kuliah di kota Malang dengan mengambil jurusan ke dokteran. Sejak lulus sekolah menengah ke atas sikapnya berubah menjadi sedikit pemberontak, dan ia melepas hijabnya karena tak ingin teman-temannya menganggap dirinya tak mengikuti tren.
Hingga ia memutuskan pergi dari kota Surabaya dan kuliah di kota Malang agar sedikit bebas dari pengawasan kedua orang tuanya dan kedua kakaknya.
Asha kini telah memasuki semester ke empat, saat pulang kuliah ia segera merebahkan dirinya di sofa perumahan yang berukuran 32 sengaja disiapkan sang papa untuk tempat tinggal Asha saat kuliah.
Asha segera membuka ponselnya melihat chat dari sang kekasih Dion, yang ternyata akan menginap ditempatnya.
Asha yang mengetahui sang kekasih akan segera datang ia segera membersihkan diri menyambutnya dengan senang hati.
Dion dan Asha memang tak satu kampus awalnya mereka ingin kuliah bersama karena agar mereka bisa bersama-sama namun saat mengikuti tes Dion gagal dan akhirnya ia tetap tinggal di Surabaya.
Asha yang baru saja mandi masih mengenakan jubah mandinya mendengar suara ketukan rumahnya segera membuka kan pintu.
Cklek!
"Sayang lama sekali sich," ucap Dion melihat Asha membukakan pintu.
"Maaf, aku baru saja selesai mandi," jawab Asha dengan mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk kecil ditangannya. "Kamu kok mendadak sekali kesininya?" tanya Asha.
"Hem sengaja buat kejutan kamu, habis aku kangen sama kamu," jawab Dion dengan mengecup bibir Asha yang masih basah itu. "Sayang kamu buka pintu kenapa masih pakai jubah gitu? Gimana jika yang datang orang lain," ketus Dion.
"Tidak mungkin orang lain tamuku itu hanya kamu saja, tak ada yang lain," kata Asha sambil berjalan menuju kamarnya.
"Tunggu aku ikut ya!" teriak Dion.
"Jangan! Kamu disini saja, aku cuma bentar kok," cegah Asha.
"Kenapa?" tanya Dion menatap wajah lekat Asha. "Apa kamu sudah tak mencintaiku lagi? Kita pacaran juga sudah lama hampir empat tahun, apa itu kurang cukup untuk membuktikan jika aku bersungguh-sungguh," ucap Dion memberikan keyakinan.
"Aku percaya, aku juga sangat mencintai kamu. Kamu nanti kelewatan batas gimana? Aku sedang datang bulan," jawab Asha.
Kenapa saja aku datang tidak tepat waktunya, setiap aku datang untuk menginap disini selalu saja dia datang bulan, padahal aku sudah tak sabar menunggu menikmati keperawanan Asha walaupun itu bukan yang pertama bagiku tapi aku ingin menikmati yang pertama tubuh sex* Asha umpat Dion.
"Benaran? Aku mau lihat!" ucap Dion sambil mengerutkan dahinya. "Kenapa setiap aku menginap kamu selalu beralasan yang sama?" tanya Dion semakin mendekatkan tubuhnya menghampiri Asha yang masih diam mematung di depan pintu kamarnya.
"Ngak percaya lihat ini!" ucap Asha menarik tangan Dion untuk merabanya.
Dion pun segera meraba, untuk memastikan semua ucapan sang kekasih yang selalu beralasan jika dia selalu datang bulan, ternyata apa yang dikatakan benar.
"Gimana? Masih tak percaya?" ucap Asha.
"Percaya, tapi aneh saja tiap aku datang selalu begitu," dengus Dion lalu duduk disofa ruang tamu.
Asha tak menjawab ucapan Dion ia segera berganti baju sebelum ia masuk angin. Asha segera mengenakan kemeja lengan pendek dengan celana pendek yang biasa ia gunakan.
"Kamu mau minum apa?" tanya Asha berdiri disamping Dion.
"Minum itu," tunjuk Dion pada dua bukit Asha yang terlihat berisi ditambah dengan kemeja ketat yang dia gunakan membuat yang melihatnya semakin ingin menikmatinya.
"Jangan bercanda!" tegas Asha dengan melototkan matanya.
"Beneran! Aku mau itu saja, lama aku tak menyentuh milikmu itu," rajuk Dion berdiri menarik tangan Asha agar duduk dipangkuannya.
Asha pun akhirnya terjatuh tepat dipangkuan Dion. Dion segera melum*t bibir Asha dengan rakus karena ia sudah merindukannya lama ia tak memanfaatkan kekasihnya untuk melepaskan hasrat birahinya.
Mereka semakin memperdalam ciumannya menjelajahi lembut setiap incinya, menerobos tanpa izin dan mengecupi tanpa permisi.
Dion menikmati setiap jengkal kemanisan bibir Asha dengan ke ahlian menjelajahinya yang akan membuat melemahnya gadis polos yang ada didepannya, membuatnya tak berdaya di dalam cengkeraman hasrat birahi yang sudah membara.
Dion menekan tengkuk leher Asha seolah-olah kedekatan wajah mereka belumlah cukup, dan tangannya yang lain bergerak dengan kurang ajar mengguluti permukaan kulit Asha yang menambah sensasi senyar yang menjalar keseluruh tubuh Asha yang merambat.
Asha merasakan suhu panas pada tubuhnya yang telah terbakar oleh hasrat mendidih akibat sentuhan-sentuhan rangsangan yang dilakukan oleh Dion. Dion yang merasakan semakin tak tahan untuk segera melakukan pelepasan yang sekian lama tak pernah ia mutahkan. Dion segera memancing Asha agar menyadari keinginannya untuk penyatuan atau hanya sekedar membantu mengeluarkan apa yang tertahankan. Dion yang mendengar erangan lolos dari bibir Asha membuatnya semakin tak tahan lagi, kini benda dibalik celananya sudah menronta-ronta mencari mangsa.
Dion yang sudah tak tahan ingin segera mengesekkan bendanya pada bukit Asha. Dion segera membuka satu demi satu kancing kemeja yang dikenakan Asha hingga terlepas semua menyikap br* yang dikenakan Asha.
Ini adalah kedua kalinya mereka melakukan hal yang dibatas wajar.
"Hentikan!" teriak seseorang yang baru saja masuk bicara dengan murka.
Asha dan Dion segera mengalihkan pandangnya ke sumber suara melepaskan tautan mereka.
Asha melihat kedua orang tuanya langsung menutup mengacingkan kemeja yang ia kenakan.
Raka segera menghampiri putri sulungnya, dengan mengangkat satu tangannya untuk memberikan tamparan pada Asha, namun sudah dicegah oleh Aira.
"Mas, sudah! Jangan emosi, bagaimana pun dia anak kita. Sabar mas," ucap Aira mengelus punggung Raka.
"Masuk ke dalam!" hardik Raka menarik tangan Asha masuk ke dalam kamarnya.
Raka segera mengunci kamar Asha dari luar. Lalu menghampiri Dion yang duduk di sofa dengan menundukkan wajahnya.
"Kamu itu! Sudah beberapa kali aku peringatkan jangan pernah mendekati anakku lagi," ancam Raka. "Aku sudah tahu semua kelakuan bej*t kamu, kamu itu hanya memanfaatkan wanita tak berdaya. Jika kamu masih tak meninggalkan Asha maka aku akan menghancurkan keluargamu dan mencabut biaya siswa kuliah kamu," hardik Raka dengan sedikit penekanan.
"Aku sudah tahu kamu juga memiliki kekasih lain selain Asha, lebih baik kamu pergi sebelum aku membunuh kamu," hardik Raka lagi.
"Mas, sabar!" tegur Aira.
"Maaf om, aku akan meninggalkan Asha sekarang. Tapi tolong jangan hancurkan kehidupanku," ucap Dion memohon ampun.
"Apa yang selama ini kamu lakukan dengan anakku? Apa kamu sudah mengambil mahkotanya?" tanya Raka dengan tatapan membunuh.
Dion masih terdiam menundukkan wajahnya tanpa berani menatap atau pun menjawab pertanyaan orang yang berkuasa yang ada didepannya.
Bersambung...
Raka semakin geram, melihat tingkah Dion yang membisu tak menawan pertanyaan. Raka segera berdiri menghampiri Dion lalu menarilk kerah baju yang dikenakan Dion hingga tubuhnya sedikit berdiri.
"Kamu! Cepat katakan! Apa kamu bisu?" hardik Raka. "Jika kamu tak mau bicara akan ku buat kamu jadi bisu selamanya," murka Raka ingin melayangkan sebuah tamparan untuk Dion.
"Nak Dion, sebaiknya kamu segeralah pergi sebelum suami saya murka denganmu. Kamu tahukan jika seorang Raka Wijaya orang yang berkuasa itu marah apa pun bisa dilakukan dengan muda," tutur Aira. "Aku tak ingin kau kenapa-kenapa!" tegas Aira yang sebenarnya tak ingin melihat tangan suaminya mengotiri dengan dosa.
"Bun, kenapa kamu bela dia!" bentak Raka. "Dia sudah mengambil apa yang menjadi hal berharga pada Asha, bunda juga tahu, Asha berubah 180 dari dia kecil juga karena dia kenal Dion. Dia lah yang mencuci otak Asha," ucap Raka penuh kekecewaan.
"Katakan nak Dion, sejujurnya!" perintah Aira dengan nada lembut namun sedikit memberikan penekanan.
"Begini om, tante, jujur kami belum pernah melakukan hal yang dilakukan suami istri. Kami hanya sebatas pemanasan saja tak lebih, itu pun kami masih melakukan hal yang kelewatan ini tiga kali seingatku, itu pun kita lakukan setelah kita kuliah," jelas Dion.
Ada rasa kelegaan pada diri Aira dan Raka mendengar penjelasan Dion. Namun ada sedikit penyesalan pada diri Aira yang gagal mendidik anak bungsungnya menjadi anak yang sholeha tak tahu dosa apa yang ia perbuat hingga sang anak melakukan dosa besar seperti itu, ia hanya bisa menahan tangis di dadanya.
"Aku peringatkan sekali lagi, jangan pernah ganggu kehidupan keluarga Wijaya kalau kamu masih ingin hidup! Aku akan selalu mengawasi gerak gerik kamu," ancam Raka dengan menarik kerah baju Dion kembali.
"Mas, sudah hentikan jangan emosi," tegur Aira. "Kamu cepatlah pergi jangan pernah datang di hadapan kami juga Asha," perintah Aira.
Setelah kepergian Dion, Aira menangis sejadi-jadinya. Sambil menyandarkan kepalanya di dada bidang suaminya.
"Mas, dosa apa yang kita buat hingga anak kita berbuat zina. Padahal kita selalu membekali anak-anak kita ilmu agama yang kuat kenapa bisa terjadi seperti ini. Bagimana kita bisa mempertanggung jawabkannya di hadapan Allah, mas," lirih Aira disela tangisnya.
"Bun, yang sabar ya. Mungkin ini karma buat mas atas kesalahan mas di waktu lalu, kamu jangan bersedih. Aku tak mau kamu sakit, dan jangan banyak pikiran," tutur Raka mengelus punggung Aira agar lebih tenang. "Mas akan coba bicara dengan Nathan dan Bila untuk meminta pendapat mereka," ucap Raka.
"Mas gimana jika kita nikahkan saja Asha dengan Dion," saran Aira. "Dengan begitu kita akan lepas dari tangung jawab Asha lagi, kita tak akan banyak dosa," ucap Aira dengan menatap sang suami.
"Apa katamu?" Raka bicara dengan sedikit nada terkejut. "Bun, Dion itu bukan anak baik-baik. Bunda tahu, keluarganya dari lantar belakang tak jelas, tak punya bekal agama sama sekali, kalau pun dia miskin papa setuju saja asal dia bukan dari keluarga kriminal," tegas Raka.
"Papa tahu?" tanya Aira peneh menyelidik.
"Papa sudah menyelidiknya bun, ayahnya itu sukanya judi, mabuk-mabukan ibunya juga orang yang kerjanya di dunia malam. Sudah mas merasa bersalah sebagai seorang kepala rumah tangga," ucap Raka mengacak-acak rambutnya frustasi.
"Mas, gimana jika kita minta tolong abah Jafar saja untuk mencarikan jodoh Asha. Kita cari yang pintar agama yang sabar biar bisa merubah Asha lebih baik lagi," saran Aira.
"Boleh itu, mas tak masalah kaya atau miskin yang terpenting memiliki pondasi agama yang kuat, dan mampu membimbing Asha," ucap Raka.
"Mas gimana dengan Asha sekarang? Aku kasihan mas sama dia," tanya Aira.
"Biarkan saja! Sudah ayo kita ke pondok pesantren Abah Jafar sebelum dhuhur," ajak Raka.
*****
Aira dan Raka kini telah sampai di pondok pesantren, mereka segera menemui Abah Jafar untuk mencari solusi dari masalah keluarganya.
"Assalamualaikum," sapa Aira dan Raka.
"Waalaikumsalam wr wb, kapan datang nak Aira," ucap Abah yang sudah sedikit sepuh.
"Barusan Bah, umi Syarah mana? Gimana kabar Abah?" Cecar Aira memberikan pertanyaan.
"Umi sedang keluar tadi di ajak jalan-jalan sama Ega. Abah ya sehat seperti yang kamu lihat," jawab Abah Jafar.
"Siapa Ega? Cucu Abah ya?" Tanya Aira penasaran. "Tapi kalau cucu Abah, Aira belum pernah dengan nama itu," ucapnya lagi.
"Dia seorang ustad baru, dia anaknya sangat baik. Dia seorang pengajar bahasa arab dan kitab, di sela waktu senggang dia jadi ob di rumah sakit," jelas Abah Jafar.
Aira dan Raka kini mulai menceritakan masalahnya dari ia mempergoki anaknya berbuat zina hingga ia ingin mencarikan jodoh untuk Asha agar ia tak menjadi semakin berdosa.
Abah Jafar pun yang mendengar semua keluh kesah anak angkatnya itu memberikan dukungan yang terbaik.
"Seadainya kita jodohkan dengan Ega gimana?" saran Abah. "Tapi, dia anak yatim piatu, orang tuanya sudah lama meninggal dia hidup bersama kakeknya, namun enam bulan lalu kakeknya juga meninggal. Ega bukan golongan orang kaya seperti kalian, dia hanya seorang ob," tutur Abah Jafar.
"Bah, bagi kami harta tak penting. Yang kami utama kan adalah pendidikan agama dan bisa menerima Asha apa adanya dengan masa lalu yang kelam itu," jelas Raka. "Tapi apa dia mau Bah?" tanya Raka.
"Assalamualaikum," sapa umi Syarah yang baru saja masuk bersama Ega. "Sudah lama nak Aira?"
"Waalaikumsalam wr wb, tidak umi baru saja sampai," jawab Aira.
"Ini namanya Ega," ucap Abah kepada Aira dan Raka. "Ega, kenalkan ini Bunda Aira dan pak Raka," ucapnya ke Ega.
Sepertinya ini anak baik, di lihat dari wajahnya dia anak yang sholeh dan kerja keras semoga saja dia mau dengan Asha batin Aira.
Ega dengan sopan menyalami Aira dan Raka, sambil tersenyum ramah.
"Nak Ega, ada yang ingin Abah tanyakan. Abah berharap kamu jujur tak perlu sungkan, ucap Abah.
"Iya abah." Ega mulai penasaran apa yang sebenarnya terjadi kenapa mereka seperti keadaan yang tegang.
"Apa kamu sudah memiliki pacar? Apa kamu tak ingin segera menikah, usia kamu juga susah 27, " tanya Abah tak buru-buru.
"Bah, aku belum memiliki pandangan wanita yang mau menerima apa adanya aku. Abah tahu aku hanya kerja tukang bersih-bersih dirumah sakit apa ada yang mau denganku," ucap Ega. "Aku ini juga tak tampan wajah hanya pas-pasan kantong pun juga begitu," jelas Ega.
"Begini abah, ingin menjodohkan kamu dengan putri mereka apa kamu bersedia?" ucap Abah. "Ini anak mereka, dia sebenarnya anak yang mengerti agama namun akhir-akhir ini dia mengikuti tren anak muda jadi gaul seperti itu," jelas Abah dengan memperlihatkan foto Asha dari ponsel Aira.
Bersambung
"Apa kamu sudah memiliki pacar? Apa kamu tak ingin segera menikah, usia kamu juga susah 27, " tanya Abah tak buru-buru.
"Bah, aku belum memiliki pandangan wanita yang mau menerima apa adanya aku. Abah tahu aku hanya kerja tukang bersih-bersih dirumah sakit apa ada yang mau denganku," ucap Ega. "Aku ini juga tak tampan wajah hanya pas-pasan kantong pun juga begitu," jelas Ega.
"Begini abah, ingin menjodohkan kamu dengan putri mereka apa kamu bersedia?" ucap Abah. "Ini anak mereka, dia sebenarnya anak yang mengerti agama namun akhir-akhir ini dia mengikuti tren anak muda jadi gaul seperti itu," jelas Abah dengan memperlihatkan foto Asha dari ponsel Aira.
Sepertinya tak asing dengan foto ini, aku rasa juga pernah lihat gadis ini pikir Ega dimana ya batin Ega meningat-ingat.
Aku ingat dia kan gadis yang magang di rumah sakit itu batin Ega tersenyum.
"Gimana nak Ega?" tanya Abah menepuk bahu Ega yang melamun.
"Apa kamu bersedia nak Ega?" sela Raka yang berharap jika anak muda didepannya itu mau menikahi anaknya.
"Pak Raka, apa bapak tak malu punya menantu sepertiku. Aku hanya seorang tukang sapu," ucap Ega merendah.
"Apa pun itu aku tak masalah asal kau bisa bisa membimbing anakku ke jalan Allah. Masalah pekerjaan apa pun itu selagi halal aku yakin itu akan berkah," sahut Aira.
"Aku bersedia," jawab Ega lantang.
"Baiklah besok aku akan menyuruh orang untuk menjemputmu. Besok kita akan melangsungkan ijab kabul, aku tak ingin menunda-nunda niat baik ini, semoga kau bisa membuat anakku bahagia," ucap Raka menepuk bahu Ega.
"Secepat itu kan pak?! Aku belum memiliki uang banyak untuk membelikan mas kawin," ucap Ega.
Sesulit ini kah anak muda ini, hingga hidupnya harus susah payah di usia muda. Tapi aku bangga melihat dirinya yang bicaranya apa adanya, aku yakin abah juga tak akan salah memilihkan jodoh untuk Asha.
"Nak Ega, pakailah uang gaji kamu mengajar selama ini kamu tak pernah meminta upah kamu insyaallah itu cukup buat mahar," saran abah.
"Tidak bah, aku masih ada simpanan. Aku ikhlas mengajar disini," tolak Ega. "Aku permisi sebentar lagi jadwal aku kerja, aku tak mau terlambat hingga akhirnya aku dipecat. Sekalian aku izin cuti untuk beberapa hari," pamit Ega.
"Nak Ega, besok orang suruhanku menjemput kamu dimana?" tanya Raka.
"Berikan alamatnya saja, biar aku datang kesana," ucap Ega.
Raka segera memberikan alamat hotel tempat untuk melangsungkan ijab kabul. Ega pun segera pergi meninggalkan mereka.
*****
Raka dan Aira kini telah sampai di rumah kecil Asha. Aira segera meminta Raka untuk membukakan pintu kamar Asha. Namun Raka melarang Aira untuk menemui anak bungsunya itu.
Raka segera masuk ke dalam kamar Asha, melihat Asha tidur tengkurap sambil menangis, ia segera duduk ditepi ranjang.
"Sha, papa mau bicara sama kamu! Duduklah!" perintah Raka.
Asha tak memperdulikan ucapan sang papa, ia tetap menangis sesegukan.
"Sha!" bentak Raka lagi yang ucapannya diabaikan oleh sang anak.
Asha yang sudah dapat bentakkan itu pun segera duduk, ia tahu jika sang papa marah menjadi sangat murka tak ada yang berani melawannya, namun ia juga tak akan marah jika anak-anaknya tak melewati batas wajar.
"Sha, lupakan Dion! Papa akan menjodohkan kamu, besok kamu akan menikah," tegas Raka.
"Pah! Aku tak mau menikah dengan orang yang sama sekali tak Asha cintai, Asha ingin menikah dengan pilihan Asha sendiri sama seperti bang Nathan dan kak Bila, papa egois," ucap Asha.
"Papa mungkin membiarkan kamu menikah dengan pilihan kamu jika kamu tak melewati batas seperti ini, kamu sudah membuat papa kecewa," hardik Raka sambil mengepalkan tangannya mengingat kejadian tadi pagi.
"Nikahkan aku dengan Dion saja pah," jawab Asha.
"Sha, kamu tak tahu kelakuan Dion dibelakang kamu. Dia itu bukan laki-laki baik-baik papa tak setuju," tolak Raka.
"Itu hanya alasan papa saja. Asha tak mau dijodohkan," tegas Asha sambil menangis.
"Tak ada penolakan, itu sudah jadi keputusan papa sama bunda," hardik Raka lalu pergi meninggalkan Asha.
Aira melihat sang suami sudah keluar dari kamar Asha lalu dia duduk diteras, Aira segera membawa nampan berisi seblak makanan kesukaan Asha.
Aira masuk ke dalam kamar melihat mata Asha sebab akibat menangis yang lama. Aira mencoba mendekat berbicara hati ke hati, meletakkan nampan di atas nangkas di samping ranjang.
"Asha makan dulu ya, kamu belum makan siang!" perintah Aira sambil merayu.
Asha hanya menggelengkan kepalanya, melanjutkan tangisnya.
"Asha, mungkin Dion bukan jodoh yang baik untuk kamu. Dengarkan papa, papa memiliki calon yang baik untukmu," ucap Aira mengelus punggung Asha.
Ya Allah maafkan hamba gagal mendidik anak hamba, bukakan pintu taubat untuknya. Ya Allah semoga dia mau menerima perjodohan ini, hamba yakin suatu saat nanti Asha akan bahagia batin Aira berdoa dalam hatinya.
"Bunda, tolong Asha," rajuknya. "Bujuk papa, agar membatalkan perjodohan ini. Asha mencintai Dion, dia cinta pertama ku bun, aku tak mau menikah dengan orang yang sama sekali tak aku kenal," tolak Asha.
"Bunda tak bisa membantu kamu, itu sudah keputusan papa. Makanlah! Besok hari ijab kabul kamu, bunda yakin kamu akan bahagia, dia anak baik tak seperti Dion yang suka bermain wanita," jelas Aira.
****
Ega segera menyiapkan rumah sederhana yang berada di sekitar rumah sakit dengan ukuran 36 untuk ia tempati nanti bersama istrinya yang akan ia nikahi siang nanti.
Ega segera memasukkan jas yang sederhana di paper bag, ia segera memakai jaketnya menaiki motor vision miliknya untuk menuju hotel.
Sampai di hotel ia telah disambut ramah oleh Raka dan Nathan.
"Assalamualaikum, maaf pak Raka membuat kalian menunggu tadi jalanan sedikit rame jadi aku tak berani melajukan motor dengan kecepatan tinggi," sapa Ega.
"Waalaikumsalam wr wb, tak apa nak Ega. Ini juga belum mulai, apa kamu yakin dan siap?" tanya Raka meminta kejujuran dari Ega.
Sepertinya aku pernah lihat laki-laki ini dimana ya pikir Nathan yang tak asing dengan wajah Ega.
"Than, kenalkan ini calon untuk adekmu," ucap Raka memperkenalkan mereka. "Ini Nathan, anak pertama aku," ucapnya lagi.
"Ega," ucap Ega sambil mengulurkan tangan.
"Nathan," sapanya sambil menjabat tangan Ega.
"Sepertinya aku pernah ketemu kamu saat meeting di perusahan perbenihan," ucap Nathan.
"Bukan mungkin mas, aku hanya kerja jadi tukang sapu di rumah sakit," jawab Ega.
"Iya, dia kerja jadi ob di rumah sakit, juga guru di pondok abah," jelas Raka.
Tapi wajahnya sama cuma beda sedikit dengan penampilannya saja apa mungkin mereka mirip ya batin Nathan.
bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!