Gaun tidur sutra berwarna champagne membalut lembut tubuh Sahira Anderson, yang kini kian berisi. Lima tahun penantiannya dan sang suami, Rames Andreas, seorang CEO tampan dari keluarga terpandang, akhirnya berbuah manis. Di depan cermin, Sahira mengusap perutnya yang membesar, sebuah senyum tipis penuh harapan terlukis di wajahnya, menandakan kebahagiaannya sebagai calon ibu.
Namun, di balik kesempurnaan hidupnya, keraguan mulai menyusup. Rames semakin sering pulang larut, dengan alasan urusan bisnis yang semakin sering ia dengar. Malam ini, Sahira berencana memberikan kejutan makan malam romantis untuk menyambut Rames dari perjalanan dinas luar kota. Pesan yang ia kirim tak berbalas, memaksa Sahira menghubungi asisten Rames, Rani.
Jantungnya berdebar kencang saat sambungan terhubung.
“Mbak Rani, apa Mas Rames sudah sampai di Jakarta?” tanyanya.
Jawaban Rani menghempaskan dunia Sahira. “Oh, Nyonya tidak tahu? Pak Rames sudah di Jakarta sejak kemarin. Saya lihat dari laporan pengeluaran, beliau menginap di apartemen pribadi di kawasan downtown.”
Firasat buruk yang selama ini ia tepis, kini datang menghantamnya. Sahira segera pergi, mengikuti alamat yang diberikan Rani. Di dalam lift yang membawanya menuju Unit 33B, jantungnya berdebar kencang, dipenuhi ketakutan dan secercah harapan bahwa semua ini hanyalah kesalahpahaman.
Langkah Sahira terhenti di ambang pintu Unit 33B yang tak terkunci. Dari dalam, tawa seorang wanita terdengar. Di ruang tamu yang dihiasi bunga-bunga, Rames duduk di sofa bersama wanita hamil lain. Wanita itu, yang tak lain adalah Juliana, dokter yang pernah menangani Sahira, mengusap kepala Rames dengan lembut. Rames membalasnya dengan kecupan di bibir. Realitas pahit itu terbentang di depan mata Sahira.
“Ma-mas?” panggil Sahira, suaranya bergetar.
Rames tersentak, sementara Juliana tersenyum penuh kemenangan. “Kebetulan kau ada di sini,” ujar Juliana dengan dingin.
“Hubungan kami berdua lebih spesial darimu. Dan anak yang aku kandung ini adalah anak Rames.”
Dunia Sahira hancur. Juliana adalah mantan kekasih Rames, dan ibu mertua Sahira ternyata sudah mengetahui rahasia ini. Marah dan kecewa, Sahira menampar Rames. “Tidak perlu ada lagi yang dijelaskan. Aku sudah mengerti,” murkanya, “Aku akan bilang ke Mama kalau kau berselingkuh!”
“Bilang ke Mama?” Juliana tertawa terbahak.
“Ibu mertuamu itu juga sudah tahu hubungan rahasia kami dan dia tidak keberatan dengan anak yang aku kandung ini.”
Sahira mendorong Juliana karena kebencian yang meledak. Juliana terjatuh lalu menjerit kesakitan, dan darah mengalir dari bawah tubuhnya. Rames segera memarahi Sahira, mencercanya tanpa ampun. “Dasar wanita sinting, bodoh! Apa kau mau membunuhnya dan anak kami?! Jika terjadi sesuatu padanya, aku tidak akan pernah memaafkanmu!”
Rames mendorong Sahira menjauh, lalu mengangkat tubuh Juliana. “Rams, kita harus ke rumah sakit sekarang,” mohon Juliana.
Rames mengangguk, namun langkahnya terhenti saat Sahira menangkap kakinya.
“Mas… tolong… bawa aku juga…” pinta Sahira lirih, merasakan sakit yang sama. Darah menetes di antara kedua kakinya. Namun, Rames dan Juliana tetap meninggalkannya, menuruti desakan Julian.
Beruntung, Rani, asisten Rames, menemukan Sahira di lorong dan segera membawanya ke rumah sakit. Sahira melahirkan dua bayi kembar yang indah, satu perempuan dan satu laki-laki. Namun kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Sementara Rames dan ibu mertuanya berada di sisi Juliana yang keguguran, bayi laki-laki Sahira tiba-tiba mengalami kejang-kejang. Kabar duka pun datang. Bayi laki-lakinya tidak selamat.
“Tidak mungkin! Bayiku tidak mungkin mati!” jerit Sahira, meraung histeris hingga jatuh tak sadarkan diri.
Tak lama setelah itu, Rames datang dan melihat istrinya tergeletak tak berdaya. Ia tahu semuanya, namun ibu mertua Sahira marah besar, merasa Sahira telah membohongi dan membunuh cucunya dari Juliana. Sahira dikirim ke rumah sakit jiwa bersama putri kecilnya yang dibenci oleh sang ibu mertua.
Seolah takdir mempermainkan mereka, Rames akhirnya menikahi Juliana dan menceraikan Sahira. Namun, sehari setelah pernikahan, Juliana kabur membawa bayi laki-laki Sahira yang ternyata masih hidup.
Rames merasa dikhianati dan sadar bahwa Juliana hanya ingin balas dendam. Menyesal, ia pergi ke rumah sakit jiwa untuk meminta maaf dan menjelaskan kebohongan tentang kematian bayi laki-lakinya. Namun, Sahira sudah tidak ada di sana.
“Dia kabur juga? Jangan-jangan Sahira pura-pura gila agar dia bisa bercerai dariku?” batin Rames. Saat itu, panggilan telepon dari ibunya datang.
“Rames, pulang sekarang, Nak! Perusahaan kita bangkrut!”
"APA?!" teriak Rames. Semua yang ia bangun, kini hancur lebur.
_____
Novel kedua ku, jangan lupa komen, subscribe, agar aku semangat sampai ceritanya selesai. Terima kasih ^^
Visual tokoh baby Sahira ada di bab 58 🌼
Mobil Rames melaju kencang, meninggalkan kebisingan kota. Di sudut lain kota, Juliana melangkah pelan mendekati sebuah mobil hitam yang dijaga dua pria bertubuh besar. Dalam gendongannya, seorang bayi tersembunyi di balik selimut.
"Nona Juliana?" sapa salah satu pria itu dengan suara serak.
Juliana mengangguk, lalu masuk ke dalam mobil. Di sana, Balchia sudah menunggu.
"Juliana, akhirnya kau datang," kata Balchia dengan senyum tipis.
Juliana menghela napas lega. "Aku harus pergi, Rames mengejarku. Aku butuh bantuanmu," ujarnya.
Balchia melirik bayi di tangan Juliana.
"Tenang saja. Aku sudah menghancurkan perusahaannya. Rames tidak akan mencarimu dalam waktu dekat." Ia tersenyum puas.
"Terima kasih, Balchia. Kau sudah membantuku membalas dendam pada keluarga Rames," kata Juliana tulus.
"Sama-sama," jawab Balchia. "Omong-omong, bayi itu anakmu dengan Rames?" tanyanya sambil menunjuk bayi itu.
Juliana menggeleng cepat. "Bukan. Aku tidak punya bayi."
"Tapi bukannya kau hamil?" Balchia terkejut.
"Kehamilanku hanya sandiwara," gerutu Juliana penuh kebencian. "Aku tidak sudi mengandung anak bajingan itu."
Juliana menjelaskan bahwa perutnya yang membesar hanya berisi kain, dan darah yang keluar saat itu hanyalah darah palsu.
"Hahaha!" tawa Balchia meledak. "Kau memang jenius! Atau jangan-jangan Rames yang bodoh?" Balchia juga tertawa sambil memegang perutnya yang kini terlihat besar.
"Kau juga serius hamil?" tanya Juliana.
Balchia menyeka air matanya dan membuka bajunya. Perutnya langsung rata. "Pfft… Aku juga melakukan hal yang sama."
"Kenapa kau tidak hamil sungguhan? Zander jauh lebih kaya dari Rames," tanya Juliana bingung.
"Aku model papan atas, tidak mau bentuk tubuhku berubah. Lagipula, Zander mandul dan tidak pernah menyentuhku," celetuk Balchia. "Aku bilang padanya aku mencuri spe-rmanya untuk bayi tabung, tapi dia tidak percaya. Justru kakeknya yang percaya."
Tawa Balchia kembali pecah. Juliana terdiam. Ia ingat sperma yang didapat Balchia setahun lalu. Sper-ma itu yang ia tanam di rahim Sahira.
"Kalau bayi ini bukan milikmu, apa mungkin ini bayi suamiku?" tanya Balchia serius.
Juliana tersentak. Rencana licik muncul di benaknya. Ia melihat ini sebagai kesempatan untuk menjadi menantu Raymond, kakek Zander.
"Maaf, Balchia. Bayi... bayi ini anakku dengan Zander!" Juliana mendorong Balchia, membuka pintu mobil, dan berlari.
"Juliana!" teriak Balchia.
Suara tembakan memecah keheningan malam. Juliana ambruk bersama bayi di tangannya. Dua tembakan bersarang di punggungnya.
Bayi itu menangis kencang. Juliana berusaha melindungi bayi itu. "Balchia, tolong biarkan aku pergi," mohon Juliana, lalu darah menyembur dari mulutnya.
DOR! DOR! DOR!
Tiga tembakan lagi menghantam Juliana. Ia mati di tempat.
"Kau, bawa bayi itu!" perintah Balchia kepada anak buahnya. "Buang mayat ini ke laut!"
Lima menit kemudian, sebuah mobil hitam datang. Balchia mendekat dan terkejut hanya melihat dua anak buahnya. "Mana wanita itu?!" bentak Balchia.
"Maaf, Nyonya. Wanita itu berhasil kabur," jawab mereka ketakutan.
"APA?!" Balchia menampar mereka. "Cari dia! Jangan kembali sebelum menemukannya!"
Teriakan Balchia membuat bayi itu menangis.
"Sial, jangan menangis, bodoh!" bentak Balchia, lalu ia menahan diri. Ia sudah lelah dengan sandiwara ini.
Balchia tiba di rumahnya yang megah. Ia keluar sambil menggendong bayi itu agar ibu, ayah mertua, serta kakek suaminya tidak curiga. Pintu terbuka. Mauren, ibu mertua Balchia, terkejut.
"Balchia? Bayi siapa ini?" tanya Mauren.
"Ibu, ini cucu Ibu, anakku dengan Zander," kata Balchia, tersenyum manis.
Mauren terharu. "Sungguh? Kapan kau melahirkan?" Mauren melirik perut Balchia yang rata, padahal ia yakin menantunya masih punya dua bulan lagi. Namun, wajah bayi itu mirip Zander saat kecil, membuatnya yakin.
"Maafkan aku, Bu. Aku tadi pagi pendarahan," kata Balchia, pura-pura sedih.
Mauren memeluknya, lalu menggendong cucunya. Tiba-tiba, suara menggelegar terdengar. "Bohong! Bayi itu bukan cucu kita, Ma!" ujar Daren, ayah mertua Balchia. Daren memang membenci Balchia.
"Papa bicara apa? Mukanya mirip anakmu!" Mauren tidak terima.
"Zander mandul. Dia pasti hamil dengan laki-laki lain!" Daren menuduh Balchia, lalu menunjuk Raymond, kakek Zander. "Atau bisa saja dia selingkuh dengan pak tua itu!"
Raymond murka. "Apa maksudmu, Daren?!"
"Papa! Jangan bicara ngawur! Kasihan cucu kita," tegur Mauren.
"Mama tahu sendiri, Mama tidak setuju Balchia menikah dengan Zander! Tapi kenapa sekarang Mama membela ular ini?" cerocos Daren.
"DAREN!" teriak Raymond. Tembakan ke udara menghentikan mereka. Seorang pria menatap tajam ke arah mereka. "Zander?"
Balchia segera memeluk Zander. "Zander, akhirnya kau pulang. Aku sangat merindukanmu," ucap Balchia, pura-pura ketakutan.
Namun, Zander malah mendorongnya dengan dingin.
"Menjauhlah dariku, ja-lang sinting."
Malam itu, mendung menggantung pekat. Di pinggir jalan yang sepi, Sahira berjalan sendirian sambil memeluk erat bayi perempuannya. Kakinya bengkak dan berdarah-darah, luka-luka itu yang ia dapatkan setelah berhasil kabur dari dua pria yang menculiknya dari rumah sakit jiwa.
"Tuhan, ke mana aku harus pergi?" gumamnya, langkahnya terhenti. Ia menatap wajah mungil sang bayi, lalu menepi dan duduk di bangku di sebuah toko kecil. Dengan perlahan, ia membuka kancing bajunya.
Setetes air mata Sahira jatuh, membasahi pipi bayi mungil yang kini menghisap air susunya dengan rakus. Pikirannya mulai melayang pada bayi laki-lakinya yang telah tiada. Ia pun melihat sebelah dada kirinya terus menetes. Andaikan saja putra kembarnya masih hidup, ASInya tak akan terbuang sia-sia seperti sekarang.
"Tidak apa-apa, sayang. Bagian ini juga milikmu," bisiknya, mencoba menyodorkan pu-ting yang lain.
Namun, jari mungil sang bayi justru mendorong tangannya, seakan tahu bahwa bagian itu milik saudara kembarnya.
"Maafkan Ibu, sayang. Kau harus mengalami semua ini. Maafkan Ibu juga sudah memisahkanmu dengan saudaramu. Ibu memang tidak berguna."
Sahira menunduk, merutuki dirinya sendiri sebagai ibu yang gagal. Kehilangan bayinya dan dikhianati pria yang ia cintai telah menghancurkan dunianya. Tetapi kehadiran bayi perempuannya memberinya alasan untuk bertahan. Namun, bagaimana ia bisa membuat putrinya tetap hidup? Sahira tidak punya apa-apa, dan kedua pria yang mengincarnya masih berkeliaran.
"Apa yang harus aku lakukan?"
Sahira bangkit dan kembali berjalan. Ingin rasanya ia pulang, tetapi ke mana? Keluarga Rames pasti tidak akan menerimanya. Sementara orang tuanya sudah tiada. Ia tak punya siapa pun, dan selama ini hanya Rames yang menjadi tumpuannya.
Bruk!
Langkah Sahira terhenti, lututnya ambruk di tepi jalan. Ia memeluk bayinya yang sudah terlelap, air matanya berlinang seiring rintik hujan yang mulai membasahi jalanan. Perutnya sakit karena lapar.
"Apa aku... jual diri saja?" batinnya lalu memukul kepalanya. "Bodoh! Ayahmu sudah berjuang keras menghidupimu. Kau tidak boleh mengkhianati kasih sayang dan kepercayaannya!"
"Tapi aku sangat lapar," isak Sahira, memegangi perutnya. Tiba-tiba, ia merasakan jari mungil bayinya menyentuh pipinya, seolah menghibur.
"Terima kasih, sayang," bisiknya.
Sahira menarik napas panjang, lalu berlari kecil mencari tempat berteduh. Tiba-tiba, sebuah poster jatuh tepat di kakinya. Ia membungkuk, mengambilnya. Matanya terbelalak membaca tulisan besar:
“Dicari Ibu Susu.”
Di bawahnya, tertera alamat dan nomor telepon, disertai catatan tangan: "Butuh segera. Akan diberi imbalan besar, dua miliar."
Mata Sahira beralih ke putrinya yang terlelap dalam pelukannya. Tangannya yang dingin mengusap pipi si kecil. Air susu di dadanya yang menetes adalah anugerah, tetapi ia merasa tidak berdaya. Poster itu seolah menjadi jawaban atas doanya. Mungkin ini takdir yang diberikan Tuhan. Tanpa pikir panjang, ia melipatnya dan menyimpannya di saku jaketnya.
Saat Sahira melanjutkan langkahnya, sebuah mobil tak asing berhenti di depannya. Jantungnya berdegup kencang. Ia mundur, terkejut melihat sosok yang keluar.
"Nyonya Sahira?!" seru Rani, asisten suaminya, tak menyangka akan bertemu mantan istri bosnya di jalanan sepi itu.
"Maaf, kau salah orang," timpal Sahira, berbalik ingin pergi.
Namun, Rani dengan sigap menangkap tangannya. "Tunggu, Nyonya. Jangan pergi."
"Lepaskan aku, aku bukan istri atasanmu lagi," pinta Sahira, mulai memberontak.
"Nyonya, tolong ikut saya pulang. Apa Nyonya tega melihat bayi Nyonya tidur di luar yang sangat dingin ini?" mohon Rani, tatapannya penuh iba pada bayi dalam dekapan Sahira.
Sahira menunduk, bahunya bergetar hebat. "Kau mau bawa aku ke mana?" tanyanya lirih.
"Anda tenang saja. Saya akan membawa Anda ke rumah saya, bukan ke rumah Pak Rames."
Meskipun ragu, Sahira akhirnya masuk ke mobil Rani. Benar saja, asisten itu membawanya ke sebuah rumah kecil yang nyaman. Setelah bayinya diletakkan di tempat tidur, Rani menyuruh Sahira mandi, lalu memberinya makan. Air mata Sahira menetes. Lebih dari seminggu ia tidak menikmati masakan yang layak. Di rumah sakit jiwa, hanya nasi dan tempe yang menjadi makanannya sehari-hari.
"Baik, Nyonya istirahat dulu. Saya mau mandi juga," ucap Rani, mengambil handuknya dan masuk ke kamar mandi.
Melihat ponsel Rani di nakas, Sahira berniat mencoba menghubungi nomor di poster. Beruntung, ponsel itu tidak terkunci. Ia mengetik nomornya, tetapi tidak ada jawaban.
"Baiklah, besok aku akan pergi ke alamat itu," batinnya. Sahira meletakkan ponsel Rani kembali, lalu duduk di samping bayinya, dengan lembut mengusap pipi mungil itu.
Tiba-tiba, bel rumah Rani berbunyi.
"Rani, sepertinya ada orang di luar. Siapa yang datang?" teriak Sahira ke arah kamar mandi.
"Mungkin driver yang mengantar popok, Nyonya," balas Rani. "Maaf, Nyonya. Tolong bukakan saja pintunya. Uangnya ada di dalam laci."
Sahira mengambil uang itu, lalu keluar dari kamar. Begitu pintu terbuka, matanya membelalak. Di depannya berdiri seorang pria yang sangat ia kenal: Rames.
Sahira hendak menutup pintu, tapi Rames menahannya dan dengan cepat masuk, memeluk Sahira erat. Ia lega, Rani ternyata tidak berbohong.
"Menyingkirlah dariku, sialan!" seloroh Sahira, mendorong tubuh Rames dengan sekuat tenaga.
"Sayang, aku minta maaf. Maafkan aku. Aku salah. Aku seharusnya lebih percaya padamu daripada..."
Plak!
Lagi-lagi, tamparan Sahira mendarat di pipi Rames. Tamparan itu tak cukup untuk membalas luka hatinya.
"PERGI!! PERGI KAU DARI SINI!!" bentak Sahira lantang. Suaranya membuat bayi di kamar menangis.
Rani yang mendengar keributan, buru-buru menyelesaikan mandinya.
"Itu... itu pasti anakku!" ucap Rames, hendak ke kamar.
Sahira segera merentangkan kedua tangannya, menghalangi pintu. "Dia bukan anakmu! Anakmu sudah mati!" bentak Sahira, meluapkan seluruh amarah, kekecewaan, dan kebenciannya.
Rames langsung berlutut. "Sahira, maafkan aku. Aku sungguh minta maaf. Tolong beri aku kesempatan, sayang," mohonnya, mendongak penuh harap.
Namun, Sahira hanya menatapnya dengan jijik.
"Sahira, sebenarnya bayi laki-lakimu belum mati," ucap Rames, suaranya pelan.
"Apa?" Sahira terkejut.
Rames berdiri. "Ya, Sahira. Bayi kita belum mati. Aku berbohong. Aku sendiri yang menyuruh dokter membohongimu."
"Apa maksudmu sebenarnya?" tanya Sahira, bingung.
Sementara itu, Rani yang sudah selesai mandi, bergegas menenangkan bayi Sahira.
"Sahira, sebenarnya Julian keguguran sebelum melahirkan. Karena itu, aku 'menghadiahkan' bayi laki-lakimu kepadanya. Aku pikir Julian lebih baik darimu, tapi ternyata dia hanyalah penipu yang menjebakku hingga perusahaanku bangkrut. Sekarang, yang kumiliki hanya kamu. Kumohon, kembalilah padaku, Sahira. Kita bangun rumah tangga dari awal. Aku berjanji akan berubah," pinta Rames, meraih tangan Sahira dan menatapnya yang tertunduk.
Sahira malah tertawa hampa, lalu menghempaskan tangan Rames. "Benar-benar menjijikan. Kau membuatku muak."
"Sahira, aku tahu kau membenciku, tapi aku serius. Aku merasa bersalah dan ingin menebusnya," ucap Rames, menepuk dadanya.
Sahira tersenyum miris. "Baiklah, aku akan memikirkan tawaranmu. Tapi temukan dulu bayiku! Aku akan percaya jika bayi laki-lakiku kembali kepadaku!"
Di balik pintu, Rani tersentak mendengar syarat yang mudah itu.
Rames mengulas senyum bahagia, lalu melirik pintu di belakang Sahira yang tertutup. "Kalau begitu, apa aku boleh melihat bayiku, Sahira?"
Sahira menggeleng. Ia menunjuk pintu rumah. "Pergi dan jangan pernah kembali sebelum kau temukan bayiku."
"Tapi, Sahira, aku merindukannya," mohon Rames, yang belum pernah menggendong bayi itu.
Sahira tertawa getir. "Rindu? Setelah kau sadar, kau baru merindukan bayimu? Jangan harap kau bisa menemuinya semudah itu! PERGILAH, RAMES!"
Rames akhirnya pergi, daripada Sahira berubah pikiran.
"Mbak..." lirih Rani, membuka pintu kamar.
Sahira berbalik, mengambil bayinya dari Rani. "Kau pasti sangat ingin melihat ayahmu, Nak. Tapi Ibu tidak bisa membiarkan pria jahat itu melihatmu. Kalian adalah malaikat kecil Ibu, tidak mungkin Ibu mempertemukan kalian dengan iblis sepertinya."
Rani memeluk Sahira yang menangis tersedu-sedu. Meskipun belum menikah, Rani bisa merasakan penderitaan Sahira.
Pagi harinya, Rani terbangun dan terkejut tidak menemukan Sahira serta bayinya. Ia mengira Rames yang membawa Sahira pergi. Namun, ia menemukan secarik kertas berisi ucapan terima kasih dan pesan bahwa Sahira akan pergi ke tempat ia akan mulai bekerja.
Tentu saja, Sahira tak ingin menyusahkan Rani. Pagi itu, ia menuju alamat di poster. Setibanya di sana, Sahira ternganga melihat rumah mewah bak istana. Di depannya, sudah ada banyak wanita yang mengantre panjang. Melihat antrean yang tak putus, Sahira tidak yakin apakah ia akan diterima. Apalagi, ia berada di antrean paling belakang.
Pandangan Sahira beralih membaca papan nama di gerbang:
"RAYMOND HOME."
"Pantas saja gajinya dua miliar. Rumahnya sebesar istana. Apa keluarga ini keturunan bangsawan?" pikir Sahira, keraguannya semakin besar. “Semoga saja... penghuninya baik hati dan tidak sombong,” harap Sahira lalu tersentak mendengar sahutan bayinya.
“Oeekk...” Sahira sedikit tertawa, namun kemudian terdiam saat wanita di depannya menatapnya tajam, seolah risih kepada Sahira yang membawa bayinya.
“Cih, dia pasti datang untuk menggoda Tuan rumah.”
Sahira hanya bisa menunduk mendengar cercaan itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!