NovelToon NovelToon

Gadis Kecil Milik Sang Juragan

Prolog - Luka

Ruangan itu terlihat terang benderang. Di dalam kamar yang terbilang luas dan hampir keseluruhan ornamennya terbuat dari bahan kayu berkualitas tinggi tersebut, Armand berdiri di dekat dengan tatapan mengarah lurus memandangi pemandangan yang ada di luar sana. Memang tidak ada hal menarik yang bisa dipandang. Akan tetapi, pekatnya langit malam seakan bisa sedikit menenangkan perasaannya yang sedang tidak baik-baik saja.

Tatapan Armand begitu tajam. Kemarahan tampak jelas di sorot matanya. Meski bibirnya terkatup rapat, namun kedua tangan yang menyilang di balik punggung tergenggam begitu erat. Sudah lebih dari 5 menit Armand tetap bertahan di posisinya itu. Tak berkata apa-apa, hanya helaan napasnya yang terdengar.

Lalu, saat kemarahan sudah tak bisa lagi ia bendung, Armand pun memejamkan kedua matanya rapat.

Armand tak tahu lagi harus mengatakan apa. Semua yang dilihatnya serasa benar-benar nyata. Kesakitan serta kemarahan yang menggerogoti hatinya membuat Armand tak berdaya. Bahkan setelah sekian bulan berlalu, semua kilasan tersebut terus berputar di benaknya bagaikan kaset rusak. Kilasan tersebut tak mau pergi. Yang ada terus membayangi di sepanjang Armand melangkah.

"Mas... "

Panggilan bernada lembut nan merayu tersebut membuat Armand membuka cepat kedua kelopak matanya yang tadi tertutup. Seraya mengumpulkan ketenangan diri, perlahan Armand berbalik dan langsung menghadap ke arah pintu yang entah sejak kapan telah terbuka lebar. Di tengah pintu yang terbuka tersebut, berdiri sesosok wanita dalam balutan pakaian sangat minim dan tipis. Bahkan dari jarak yang terbilang cukup jauh, Armand bisa melihat jika wanita tersebut tak mengenakan apa-apa di balik pakaian yang dipakainya.

Wanita itu tersenyum sangat manis. Senyum yang dulunya membuat Armand merasakan seperti apa rasanya jatuh cinta pada pandangan pertama.

Tak ada yang berubah. Semuanya masih sama seperti dulu. Hanya saja wanita itu semakin terlihat dewasa dan pastinya terlihat semakin memikat.

"Kok mas Armand masih belum juga mandi? Aku udah nungguin mas Armand dari tadi loh."

"Ayo kita bercerai saja, Lin." Kalimat tersebut keluar begitu saja dari bibir Armand tanpa bisa ia tahan-tahan lagi.

"Jangan bercanda deh, mas." Lina mendengus kesal. Kedua tangannya ia silangkan di depan dada seraya kembali berkata, "Emangnya mas Armand nggak capek apa ngomongin hal itu terus selama beberapa bulan terakhir? Bukannya aku udah bilang, kalau sampai kamu gugat cerai aku, detik itu juga kamu bakalan ngeliat mayatku terbujur kaku di depan matamu. Jadi, camkan itu di kepalamu baik-baik. Gak bakalan pernah ada perceraian diantara kita!"

"Kau ingin bunuh diri, begitu?" Armand tersenyum miring. Ancaman yang selalu sama didengarnya itu dulu membuatnya selalu tak berdaya. Tapi kini, Armand sudah benar-benar muak. "Silahkan kalau kau ingin melakukan niat gilamu itu! " Lanjut Armand tak ingin lagi mengalah.

"MAS... " Lina berteriak kencang. Tak peduli apakah suaranya akan terdengar sampai ke tetangga sebelah. "Ingat janjimu dulu. Janji yang kamu ucapkan saat akan menikahiku." imbuh Lina mengingatkan akan janji yang pernah Armand ucapkan.

Armand tersenyum pedih. Hanya karena sebuah janji, kini Armand merasakan tubuhnya bagaikan diikat dengan rantai yang begitu erat, sampai-sampai Armand tak tahu bagaimana harus melepaskan dirinya.

"Aku capek, Lin." Suara Armand benar-benar terdengar lelah. Bahkan saat melanjutkan, suaranya seakan tak lagi memiliki semangat hidup di dalamnya, "Baik kau maupun aku, kita berdua sama-sama tahu bahwa pernikahan ini tak lagi dapat dipertahankan. Nggak ada lagi kebahagiaan yang tersisa, seperti di awal pernikahan kita."

"Persetan dengan semua itu!" Lina menyergah. Keinginan yang tadi begitu menggebu-gebu untuk bercinta dengan suaminya langsung hilang begitu saja. "Sampai mati pun, aku nggak akan pernah melepaskanmu." Ucap Lina lagi.

"Sebenarnya untuk apa kau ingin tetap mempertahankan pernikahan kita ini?" Tanya Armand lelah. Saat melihat wanita yang berstatus sebagai istrinya itu tak juga memberikan jawaban, Armand kembali buka suara dengan mengatakan, "Aku sudah pernah bilang bahwa aku merelakan kau mencari kebahagiaan lain di luar sana karena ternyata selama ini kau merasa nggak benar-benar bahagia dengan pernikahan kita ini. Jadi, untuk kebahagiaanmu dan juga untuk ketenangan pikiran serta hatiku, ayo kita selesaikan semua ini secara baik-baik. Jangan ada pertengkaran ataupun yang mengganjal nantinya."

"Sudah aku bilang kalau kita nggak akan pernah berpisah. Aku sudah meminta maaf dan mas Armand sudah memaafkanku. Kita akhiri pembicaraan kita ini sampai di sini. Istirahatlah! Biar besok pikiran mas Armand lebih jernih dan nggak akan lagi ngungkit hal yang sama seperti ini."

Usai mengatakan kalimat tersebut, Lina langsung membalikkan badan dan kemudian pergi dari sana.

Sementara Armand yang ditinggalkan dalam ketermanguan hanya bisa tetap berdiri di tempatnya semula sembari menahan perih akibat luka di hati serta harus kembali menekan rasa menyesak yang menggumpal dalam dada.

Andai tak terikat janji dengan sosok yang sangat ia hormati serta sayangi, sudah lama Armand akan melangkah pergi tanpa mempedulikan apapun lagi.

Akan tetapi, sampai saat ini Armand tak bisa melakukan apapun. Bahkan tempat untuk berkeluh kesah pun Armand tak punya. Bukan karena Armand tak memiliki teman, hanya saja pantang bagi Armand untuk menceritakan perihal apa saja yang terjadi di dalam biduk rumah tangga yang sudah diarunginya selama lebih dari 6 tahun itu kepada orang lain. Jangankan kepada teman, Armand bahkan tak mau mengatakan apapun yang dirasakannya di depan keluarganya sendiri.

Luka itu sampai saat ini masih berdarah dan menganga. Bahkan mungkin tak akan bisa sembuh bila Armand tak juga menemukan jalan untuk mengakhiri ini semua.

1. Bukan Sembarang Duda

"Kalian harus tau, semalam aku menghabiskan malam yang sangat menggairahkan dengan seorang mahasiswi. Awalnya ku kira bakalan dapat perawan, tapi ternyata 'gawangnya' udah dijebol duluan. Walau begitu, nggak nyesal aku ngeluarin duit untuknya, soalnya 'servis' tuh cewek, beuhh mantap banget."

Armand yang sedang menyeruput kopi di cangkirnya langsung melirik sahabatnya, Fandy, yang kalau bicara tidak pernah ada filternya.

"Emangnya semalam abis berapa duit?"

Kali ini, seraya meletakkan kembali cangkirnya di atas meja, Armand mengarahkan pandangan lurus ke depan, dimana Daffa, yang asyik mengupas kulit kacang rebus.

Sejak beberapa belas menit yang lalu, Armand hanya bertindak sebagai pendengar. Ia tak ingin menyela kalau tak mau diisengi oleh Fandy, yang notabenenya selalu suka merecoki kehidupan pribadi mereka semua.

"Nggak banyak-banyak amat kok."

"Berapa emangnya?" tanya Daffa lagi dengan tangan yang tetap sibuk mengupas kulit kacang dan kemudian memasukkan kacang tersebut ke dalam mulutnya.

"Kurang lebih 5 juta."

"Sekali 'servis'?

Fandy mengangguk seraya mengambil cangkir kopinya di atas meja dan menyeruput kopinya perlahan.

"Habis berapa ronde semalam?"

Untuk pertanyaan yang satu itu, Fandy tak berniat mengeluarkan suara. Sebagai gantinya, Fandy mengangkat tangan kirinya, menunjukkan tiga jari sebagai jawaban.

Sontak saja jawaban berupa 3 jari yang ditunjukkan tersebut tak hanya membuat Daffa yang menghela nafas, tapi Armand juga melakukan hal yang sama.

Sungguh, Armand tak habis pikir mengenai kesenangan duniawi yang dinikmati oleh sahabatnya itu, yang mana tak segan-segan menggelontorkan uang yang tak sedikit hanya demi untuk mencari kesenangan sesaat.

"Hati-hati kena penyakit loh, Fan."

Celetukan bernada lembut namun terdengar serius di saat bersamaan tersebut membuat Armand, Fandy dan Daffa langsung menoleh ke asal suara.

Ketiga pria yang sama-sama berusia matang tersebut tersenyum saat melihat Faris, si duda beranak satu, entah sejak kapan sudah berdiri di tengah pintu. Sosok Faris yang selalu tampak kalem, tidak hanya penampilan tetapi juga ekspresi wajah, membuat mereka selalu menjuluki Faris sebagai lelaki paling enak dipandang diantara mereka berempat.

Dengan menjadikan rumah Faris sebagai tempat pertemuan mereka sore ini, dimana mereka kompak memilih duduk di halaman belakang rumah, jadilah sesi pamer Fandy pun dimulai.

"Nggak bosan apa, Fan, sama kesenangan sesaat yang kau pilih itu?" Faris bertanya seraya menarik satu kursi yang tersisa dan duduk di sana. "Coba kau liat Armand, meski sudah lama menduda, dia nggak pernah tuh bersenang-senang dengan cara begitu.

"Eh bapaknya Naura diam aja. Duda yang belum lama ini di... " Fandy langsung mengatup rapat bibirnya.

"Apa?" tanya Faris seraya mengedikkan dagunya.

Fandy mengunci bibirnya rapat-rapat. Hampir saja tadi ia keceplosan mengutarakan kalimat yang tak boleh dibicarakan. Sungguh, Fandy jadi merasa serba salah, Fandy tak tahu lagi bagaimana harus menjawab pertanyaan sahabatnya itu. Bukan karena tidak ada bahan yang bisa dibicarakan, hanya saja Fandy takut asal nyeletuk, yang nanti malah membawa-bawa kehidupan pernikahan Faris, yang mana baru beberapa bulan lalu istrinya meninggal dunia.

"Udahlah, nggak usah ngomongin Fandy dan caranya mencari kesenangan." Armand akhirnya buka suara karena tak tega melihat si cerewet Fandy tiba-tiba jadi bisu dan tak tahu harus mengatakan apa. "Bagaimana keadaan putrimu, Ris? Demamnya sudah turun atau belum?" tanya Armand untuk mengalihkan pembicaraan.

"Udah agak mendingan. Setelah minum obat tadi, dia langsung tidur. Makanya aku bisa lurusin penggung sebentar di sini." Faris menghela napas berat. "Sejak ibunya meninggal, Naura jadi gampang sakit. Biasanya berdiri di bawah hujan berjam-jam pun dia tahan. Sekarang... "

"Yang sabar ya, Ris." Armand menepuk lembut bahu sahabatnya itu.

"Coba ajak ibumu tinggal sama kalian. Mungkin aja dengan adanya ibumu, Naura bisa mendapatkan lagi kasih sayang seorang ibu yang beberapa bulan terakhir telah hilang darinya." Daffa memberi saran.

"Aku setuju." tiba-tiba saja Fandy yang tadinya cosplay jadi orang bisu langsung buka suara.

"Setuju apanya?" Daffa mendengus sebal si cerewet sudah kembali bersuara.

"Ya itu, Faris minta ibunya buat tinggal di sini. Selain bisa merhatiin Naura, gadis manis itu nggak akan lagi kesepian kalau ditinggal bapaknya yang lagi kerja."

"Aku udah nyoba buat bujuk ibuku untuk tinggal di sini, tapi dia bilang nggak betah tinggal lama-lama di kota."

"Pakai Naura sebagai alasan." Armand turut memberikan sedikit solusi. "Bilang aja kalau anakmu itu benar-benar butuh perhatian dari beliau dan gunakan juga alasan soal Naura yang jadi sering sakit setelah ibunya meninggal dunia."

"Nanti aku coba ngomong lagi sama ibuku." Faris menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. "Kita lupakan dulu soal masalah. Soalnya ada satu soal yang udah lama buat aku penasaran."

"Apa tuh?"

"Apa itu?"

Baik Fandy maupun Daffa kompak menyuarakan tanya yang hampir serupa.

Kali ini helaan napas berat terdengar dari hembusan napas Armand.

Walau Faris tidak mengatakan secara langsung mengenai soal apakah yang membuatnya penasaran serta kepada siapa rasa penasaran tersebut diarahkan, entah mengapa Armand sudah bisa menebak jika Faris ingin menanyakan sesuatu padanya.

Sesuatu yang sebenarnya sangat tidak ingin Armand bahas ataupun kenang.

"Soal bagaimana akhirnya aku bisa bercerai dari Lina?" tebak Armand langsung. Begitu melihat ketiga sahabatnya sama-sama mengarahkan atensi penuh padanya, helaan napas Armand semakin terdengar berat.

"Iya, aku juga sangat penasaran soal itu. Gimana sih caranya, Man, kau akhirnya bisa lepas dari perempuan sinting dan nggak tau malu itu?" sesuai julukannya, Fandy tak merasa harus memfilter perkataannya.

"Hooh, aku juga penasaran." Daffa tak lagi sibuk mengupas kulit kacang rebus kesukaannya. "Bukannya waktu itu kau keliatan sangat nggak berdaya sama semua ancaman mantan istrimu itu?"

"Nah, bapak Armand Rizaldi yang terhormat, waktu dan tempat kami persilahkan untuk menjawab hingga tuntas rasa penasaran kami."

Armand mendengus kesal. Perkataan Faris barusan membuatnya tak memiliki cela untuk kembali menghindar. Pasalnya, sudah tak terhitung berapa banyaknya pertanyaan yang sama yang mereka ajukan selama 6 tahun terakhir. Karena dirasa tak lagi memiliki alasan untuk melarikan diri, Armand menatap secara bergantian ketiga sahabatnya.

"Cepetan dong, Man, kasih tau kami. Jangan sampai kami jadi arwah penasaran karena nggak pernah tau gimana caranya kau bisa terlepas dari perempuan bi... "

"Aku mendapat telpon dari ibuku. Entah beliau mendapatkan firasat seperti apa, tiba-tiba saja beliau berpesan kalau aku harus lebih mementingkan kebahagiaan diriku sendiri. Beliau bahkan bilang kalau janji nggak selamanya harus ditepati, jika memang janji tersebut hanya akan membuat aku nggak bahagia."

"Hanya itu?" Faris lebih dulu bersuara setelah melihat Armand tak lagi bersuara.

"Nggak ada drama bunuh diri atau apalah gitu?" Fandy gregetan sendiri jadinya melihat ekspresi Armand yang datar, sedatar tembok yang ada belakangnya.

"Minimal ada aksi teriak-teriak kayak orang gila lah." Daffa ikut menimpali.

"Tentu aja kalian pikirkan itu benar-benar terjadi." jawab Armand seraya perlahan menyandarkan punggungnya.

"Lalu?"

"Karena udah mendapatkan dukungan dari ibuku, nggak peduli Lina sedang dirawat karena overdosis akibat obat tidur yang diminum nya, aku tetap kekeuh berpisah. Meski keluarganya mengecam tindakanku yang mereka anggak nggak berbelas kasihan, tega, dan masih banyak kata-kata buruk lainnya, aku tetap dengan keputusanku untuk berpisah." Armand menjawab pertanyaan Faris dengan menghela napas berat berulang kali. "Udah, segitu aja ceritanya. THE END! Nggak ada lagi sambungannya." imbuh Armand lagi dengan nada suara tak ingin dibantah.

Lalu, baik Fandy, Daffa, dan juga Faris tak lagi bisa menanyakan apapun kepada si juragan tanah serta pemilik perkebunan kopi dan juga kelapa sawit itu.

2. Luka Yang Tertinggal

Di dalam ruangan kecil yang tak memiliki banyak perabotan di dalamnya itu, Armand duduk merenung. Posisinya kepalanya yang tertengadah ke atas membuat pandangan Armand langsung mengarah ke langit-langit ruangan.

Siapa bilang pria berusia matang sepertinya tidak bisa merasakan melo atau sedih. Toh pada kenyataannya, Armand tak akan malu mengakui bahwa hingga saat ini, ia masih dihantui oleh trauma. Yang mana selalu membayangi tiap langkah, seolah enggan untuk membiarkannya menapak bebas. Hingga karena alasan itu pula lah, maka Armand tak memiliki minat untuk kembali menjalin kisah asmara.

Tak peduli sekali pun Fandy terus mencoba menggoyahkan keteguhan hatinya dengan menceritakan seluruh petualangan 'panas' yang sahabatnya itu lalui, Armand tetap tak bergeming.

Pernah sekali Daffa menyeletuk mengatakan jika dirinya masih mencintai mantan istrinya, hingga kesulitan untuk move on. Namun...

Masihkah Armand mencintai mantan istrinya?

Jawabannya sudah tentu tidak ada lagi rasa tersebut di dalam hatinya. Yang tertinggal hanya luka. Luka yang menyebabkan trauma berkepanjangan serta membuat Armand tak malu lagi meletakkan hatinya kepada siapapun.

"Ngelamun aja terus, Man. Coba buka lebar itu mulut, sapa tau ada cicak mau ngasih sedekah buat lelaki gagal move on sepertimu."

Armand mendengus. Dengan hanya mendengar suaranya saja Armand sudah tahu siapa orang yang suka seenaknya nyelonong masuk ke dalam ruang pribadinya ini.

Kesal karena kedatangan Fandy yang kini telah terdengar menarik kursi yang berada di seberang meja, Armand berusaha mengabaikan keberadaan pria usil itu dengan tetap mempertahankan posisinya semula.

"Cieee Armand, gagal move on nih yee."

Godaan disertai kikikan geli di akhir kalimat tersebut membuat Armand mendengus kesal.

"Kalau emang masih gagal move on, coba aja hubungin lagi itu perempuan ular. Ajak aja indehoy sekali atau dua kali. Meski aku sebenarnya nggak setuju kau menjalin hubungan lagi dengan tuh perempuan, tapi siapa tau aja setelah kalian mendaki gunung melewati lembah bersama, akhirnya bisa melegakan rasa frustasi yang kau rasakan selama bertahun-tahun."

Armand memejamkan kedua matanya rapat. Sungguh, Armand berniat untuk mengabaikan apapun bentuk ocehan sahabatnya yang ingin sekali ia sumpal mulutnya itu menggunakan kaos kakinya.

"Wah... wahhh, tega bener kau Armand, sang duda kaya raya tapi gagal move on, mengabaikan keberadaan pria tampan dan menawan sepertiku."

Kekeuh berusaha untuk mengabaikan Fandy yang terus mengoceh, Armand bahkan bersikap baik patung hidup, bernapas tapi tak bergerak.

"Gini loh ya, bapak Armand Rizaldi yang terhormat, aku ini udah dateng jauh-jauh ke kafemu ini, yang kau bangun di lokasi yang nggak strategis begini, jadi tolong dong ya, hargai'in sedikit niat baik sahabatmu ini untuk menemani duda kesepian macam kau ini."

"Sebenarnya apa sih tujuan kau datang ke sini, Fan?" Armand tak lagi bisa terus mengabaikan si cerewet yang selalu tahu bagaimana caranya menikmati hidup itu. "Kalau tujuanmu datang ke sini cuma buat ngomongin hal yang nggak penting, mending kau balik aja ke tumpukkan mobil-mobil mewahmu sana." ucap Armand kesal seraya duduk tegak menghadap Fandy yang malah menyengir tanpa dosa.

"Aku tuh cuma lagi bosan aja, Man. Tadinya nggak mikir mau mampir, tapi ternyata tanpa sadar aku malah mengarahkan mobilku ke kafemu yang nggak banyak pengunjungnya ini." Fandy berucap ringan sembari mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan yang tak lebih luas dari kamar pembantunya di rumah.

"Kau kan tau, kafe ini aku bangun bukan sebagai tempat untuk mencari keuntungan."

"Ya... ya... ya, juragan tanah sepertimu itu emang nggak perlu lagi sumber pemasukan lainnya." Fandy merotasikan kedua matanya kesal. "Lokasi ini kau pilih juga karena udah tau kalau nggak akan ada banyak orang yang ke sini. Jadi, selain tujuanmu supaya kau nggak keliatan seperti pengangguran saat berada di kota, kau juga suka menyendiri di sini. Soalnya kau nggak mau kalau sampe ibumu yang lembut hatinya itu jadi kepikiran ngeliat anak beliau satu-satunya masih gagal move on."

"Siapa bilang aku masih belum move on, Fan?" Armand berusaha menyabarkan dirinya. Ia benar-benar kesal karena terus dikatai gagal move on. Meski tahu jika Fandy hanya bercanda, dan hanya ingin memancingnya bicara, tetap saja Armand merasa kesal.

"Iya, udah move on. Tapi masih cinta, kan?"

"Ya ampun... " ingin sekali rasanya Armand meraup muka dan menarik bibir pria yang duduk di seberang meja itu. Akan tetapi, rupanya kesabaran Armand yang masih tersisa sedikit membuatnya masih bisa menahan diri dan dengan sabar kembali menjelaskan, "Bagiku, baik itu rasa cinta, rasa sayang, atau seperti apapun kau menyebutnya, semua itu udah nggak ada lagi di hatiku. Dia hanyalah bagian dari masa lalu, yang kehadirannya harus aku jadikan sebagai pembelajaran agar aku nggak akan lagi merasakan hal yang serupa."

"Kalau begitu, bersenang-senanglah, Man. Keluar lah dari 'duniamu' yang sempit dan 'tertutup' ini. Carilah perempuan lain yang bisa mengisi kekosongan hatimu itu. Agar, saat nanti kau berhadapan lagi dengan perempuan itu, kau bisa memamerkan kalau kau bisa mendapatkan pengganti yang jauh lebih baik darinya."

"Aku masih belum kepikiran untuk berumah tangga lagi, Fan." timpal Armand langsung. "Sekarang ini aku sangat menyukai keadaanku in... "

Tok... tok...

Perkataan Armand seketika terhenti sebab terdengar suara pintu yang diketuk dari luar. Karena pintu ruangan dimana ia berada saat ini ternyata dibiarkan terbuka lebar oleh Fandy, maka Armand bisa langsung melihat keberadaan Arif, orang yang bertanggung jawab untuk mengolah kafenya ini.

"Maaf mengganggu, Pak. Tapi, ada tamu yang terus ngotot mau bertemu dengan Bapak. Dia bahkan sengaja membuat keributan di luar."

"Siapa?" tanya Armand langsung.

"Dia bilang namanya Evalina. Katanya, kalau Bapak nggak mau nemuin dia, maka dia akan tetap membuat keributan dan mengganggu ketenangan beberapa pengunjung yang ada di luar."

Sontak saja begitu mendengar nama tersebut, Armand menghela napas berat.

Seharusnya mantan istrinya itu akan sulit menemukan tempat menyendirinya ini. Selain karena lokasinya yang tak ia beritahukan kepada siapapun yang mengenalnya, Armand juga selalu menggunakan jalan rahasia untuk bisa sampai ke sini.

Jadi, satu-satunya cara Evalina bisa menemukan tempat ini adalah...

Pandangan Armand kemudian mengarah tajam kepada si tersangka utama. Si pria cerewet yang kini meringis seraya menggaruk bagian belakang kepalanya yang sudah pasti tidak terasa gatal.

"Sorry, Man!" Fandy meringis merasa bersalah. "Aku nggak tau kalau perempuan itu ternyata ngikutin aku."

Sudahlah! Percuma saja jika ingin memarahi sahabatnya itu.

Yang bisa Armand lakukan hanyalah kembali memandang Arif seraya berkata, "Suruh duduk dan bilang aku akan segera keluar untuk menemuinya."

"Baik, Pak."

Usai orang kepercayaannya itu berlalu dari depan muka pintu yang terbuka, Armand pun berdiri dengan diikuti oleh Fandy yang kini merasa bersalah.

"Sumpah, Man, aku nggak tau kalau nenek gayung itu ngikutin aku."

"Udahlah, jangan dibahas lagi. Walaupun bukan melaluimu, suatu hari nanti dia pasti juga bisa nemuin tempat ini."

"Kenapa sih tuh perempuan haus belaian segitu obsesinya padamu? Bukannya kalian udah lama berpisah, masih aja dia selalu berusaha ngerecokin hidupmu." dengus Fandy kesal.

"Entahlah!" Armand sendiri pun tak mengerti alasan mengapa hingga saat ini mantan istrinya itu masih saja selalu mengusik ketenangannya.

Armand tak ingin lagi memperpanjang pembicaraan dengan sahabatnya yang tak lagi secerewet waktu di awal kedatangannya.

Biarlah hari ini Armand akan menyabarkan diri untuk menemui wanita yang telah berstatus sebagai mantan istrinya itu dan mendengar apa yang ingin wanita itu katakan.

--------

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!