NovelToon NovelToon

Posesif Wife

Prolog

Sorot lampu studio yang di iringi dengan suara jepretan kamera bukan hal baru lagi bagi seorang wanita yang paling berpengaruh di dunia fashion empat tahun berturut-turut. Nina Moeen, wakil direktur A+ brand fashion dan galeri yang tengah berkembang pesat beberapa tahun belakangan.

"Tolong gerai rambutmu dan menatap tajam ke arah kamera... " ucap penata gaya yang mengarahkan Nina.

"Seperti ini? " ucap Nina yang dengan mudah mengikuti arahan tanpa kendala dan selalu lebih dari sempurna.

Kesan anggun, seksi, dan berkelas begitu terlihat dalam auranya. Selain itu pembawaannya yang tenang, ramah, dan begitu intelek dalam bertutur kata membuatnya makin sempurna sebagai wanita. Tak ada wanita yang tidak iri padanya tiap kali bertemu dan tak ada satupun pria yang tak bertekuk lutut di hadapannya.

"Terimakasih sudah bekerja keras hari ini... Terimakasih semuanya... " ucap Nina sambil sesekali menepuk tangannya dan menunduk dengan senyum ceria di wajahnya usai pemotretan selesai.

"Bu Nina, ada jamuan makan malam hari ini. Pertemuan dengan Mr. Park juga di ajukan hari ini..." ucap Ani menyampaikan runtutan jadwal Nina setelah pemotretan.

"Em, ya... " jawab Nina santai. "Siapkan katalog terbaru kita, dari fashion sampai galeri. Pilih karya terbaik tahun ini... " perintah Nina sambil berjalan ke ruang ganti.

"Siap Bu... " ucap Ani patuh.

"Halo... " sapa Nina begitu mendengar dering ponselnya berbunyi.

"Aku buat makan malam, kesukaanmu. Mau ku jemput? "

"Ah! Maaf hari ini ada acara jamuan makan malam. Aku harus menemui Mr. Park..."

"Em... Begitu... Ya mau bagaimana lagi, kolega dari Korea ini sangat penting."

"Terimakasih kamu bisa paham... "

"Ah sudahlah, aku paham bagaimana sibuknya istriku. Ini mimpimu... Semangat! Jangan lupa minum suplemen mu... Wonder woman tidak boleh sakit... "

"Ahahaha kamu bisa saja... "

Tok... Tok... Tok...

"Sudah dulu ya... Aku buru-buru, " ucap Nina saat ada yang mengetuk pintu kamar pas.

"I love you... "

"I love you to Arnold... " ucap Nina sebelum menutup telfonnya.

Pilihan pakaian malam ini untuk makan jatuh pada gaun berwarna navy selutut yang di percantik dengan kalung mutiara. Rambutnya di biarkan tergerai tanpa hiasan. Tak ada riasan tambahan, hanya sedikit mengganti warna lipstik saja. Sepatu hak tinggi berwarna senada juga ia kenakan untuk menunjang penpilannya. Ah! Jangan lupa tas. Tas unik dari brand fashion milik Mr. Park menjadi pilihan Nina dari pagi tadi masih setia menemani.

"Ayo berangkat, masa depa tidak akan melambat untuk menunggumu datang... " ucap Nina lalu melangkah masuk ke mobil kantor yang sudah menunggunya.

"Ini katalog dan beberapa post card dari karya terbaik tahun ini, ini ada beberapa foto pemotretan tadi yang sudah di cetak. Kertasnya kurang baik, nanti akan ku perbaiki... " ucap Ani menjelaskan.

"Tidak perlu... Tidak masalah... Fotonya sudah bagus... Toh ini hanya sampel..." jawab Nina. "Kapan majalahnya terbit? " sambung Nina setelah menatap hasil fotonya.

"Minggu depan... " jawab Ani.

"Cantik..." gumam Nina yang memuji dirinya sendiri. "Bagus, tolong ambilkan pulpen... " ucap Nina.

Dengan cekatan Ani langsung memberikan bolpen yang ada di pangkuannya. Nina hanya tersenyum lalu menuliskan tanggal dan menanda tangani fotonya.

●●●

Lewat tengah malam bahkan sudah dini hari, seperti biasa Nina baru sampai di apartemennya. Beruntung ia hanya tinggal di lantai dua, jadi ia tidak perlu terlalu capek untuk menaiki tangga. Apalagi lift sedang di perbaiki begini.

Beberapa kali Nina memencet bel apartemennya, lalu mengetuk nya beberapa kali. Badannya sudah begitu lelah seharian bekerja di tambah ia masih harus berjalan dengan sepatu berhak tinggi yang menambah rasa pegal di kakinya.

"Iya... Sebentar... " jawab Arnold sambil mengelap tangannya yang terkena cat lalu mencuci tangannya lagi agar benar-benar bersih.

Beruntung cat yang ia gunakan adalah jenis acrilic, jadi cukup cuci tangan saja dan sudah bersih. Arnold kembali mengelap tangannya agar kering lalu buru-buru membukakan pintu untuk istrinya.

"Aku lelah... " ucap Nina yang langsung ambruk memeluk suaminya.

"Iya... " jawab Arnold yang langsung memapahnya ke kamar sambil membantunya membawa tas dan bunga juga ada beberapa bingkisan yang di bawa Nina.

"Semua orang pengen kasih aku kado... " ucap Nina sambil berjalan ke kamar.

"Em, semua baik ya ke kamu... " ucap Arnold senang. "Cuci muka dulu... " sambung Arnold mengingatkan.

"No! Aku capek... Ngantuk... " jawab Nina yang sudah terlalu lelah, bahkan untuk membuka matanya.

"Ya sudah, pasti besok kamu akan menyesali nya... " ucap Arnold lalu menidurkan Nina di tempat tidur.

Arnold juga membantu Nina melepaskan kalungnya juga sepatunya. Arnold juga membersihkan wajah istrinya itu dengan lembut agar istrinya bisa tidur dengan nyaman.

"Terimakasih... " ucap Nina pelan.

"Tidurlah... Biar aku yang urus... " ucap Arnold lalu mengecup kening Nina setelah selesai membersihkan riasan di wajahnya. "Kamu cantik sekali... " puji Arnold lalu membenarkan selimut istrinya.

Arnold tidak langsung tidur, ia masih merapikan sepatu istrinya, lalu meletakkan kalung yang dikenakan istrinya sebelum tidur. Ia berusaha keras agar istrinya terbantu setelah seharian bekerja.

Arnold juga tidak langsung tidur meskipun semua sudah beres. Memandangi istrinya yang tenang tidur di sampingnya sambil membuat seletsa kecil membuatnya bergetar. Kadang Arnold sendiri tak menyangka bagaimana bisa ia menikahi wanita sempurna yang sekarang terlelap di sampingnya.

Ingatannya sedikit terputar kembali saat ia menatap wajah tenang Nina dan tangan lembutnya yang menindih perutnya saat ini. Rasanya baru kemarin Arnold memberikan semangat pada wanita itu saat lengannya patah dan beberapa jarinya juga patah dalam kecelakaan.

Wanita yatim dari keluarga kaya, namun harus melewati masa kritis nya sendirian. Bahkan saat itu Nina hanya menangis dalam diam saat menahan sakit dan perasaannya yang panik.

Arnold yang saat itu kebetulan melihatnya saat sedang menjenguk tetangganya yang di rawat di rumah sakit dan kamar yang sama dengan Nina. Merasa iba dengannya, bahkan masih terlintas jelas di ingatannya bagaimana keluarga Nina yang terpaksa menyetujui pernikahan Nina dengannya hanya karena saat itu tak ada yang mau meluangkan waktu untuknya.

Harapan keluarga Nina pun saat ini masih sama. Agar Nina bosan dan meninggalkan Arnold. Wajar saja, karena memang tak ada yang bisa di banggakan dari seniman lulusan S1 dengan IPK ngepres sepertinya. Kalau bukan karena Nina mungkin saat ini ia juga hanya pelukis jalanan, tanpa rumah dan penampilan amburadul.

Rasanya senang saat tau ia begitu beruntung, tapi di sisi lain Arnold juga merasa tidak enak hati dan kasihan bila melihat istrinya yang terus kerja keras, banting tulang sendirian untuk memenuhi kebutuhan hidup yang tidak murah. Belum lagi istrinya juga mendukung pekerjaannya sebagai seniman meskipun tidak menghasilkan apa-apa.

Miris, ingin rasanya Arnold melihat istrinya diam di rumah. Mengurus rumah dan anak-anaknya kelak. Tapi apa daya ia sendiri saja belum menghasilkan uang yang lebih dari penghasilan istrinya sekarang. Arnold juga tak mau menambah beban istrinya bila harus mengandung, merawat anak-anak dan bekerja. Terlalu egois. Apalagi Arnold paham bagaimana jatuh bangun istrinya untuk dapat seperti sekarang, dan akan segera mencapai mimpinya.

Chapter 1

"Pagi..." sapa Arnold lalu mengecup kening istrinya dan kembali mendekapnya erat.

"Jam berapa sekarang?" tanya Nina sambil menghirup nafas dan aroma maskulin suaminya.

"Em... Masih jam 6.30, apa ada acara?" jawab Arnold lalu melepaskan dekapanya. Nina hanya menggeleng lalu bangun dan memijit bahunya juga tengkuknya yang terasa pegal.

"Hari ini aku ke kantor agak siang... Mungkin sebelum makan siang aku sudah di jemput..." ucap Nina lalu mengecup bibir suaminya sekilas dan kembali berbaring.

"Kamu keliatan lelah sekali, apa tidak mau mengambil cuti? Tidur, ke spa, ke salon atau ya menikmati secangkir teh?" tanya Arnold yang mencemaskan istrinya.

"Em... No... Not to day..." jawab Nina lalu mengelus dada bidang suaminya. "Aku di tuntut selalu baik\-baik saja. Ada tanggung jawab besar di bahuku... Ah andai saja kamu bisa merasakan sedikit saja apa yang ku rasakan..." sambung Nina.

Arnold hanya diam mendengarkan keluh kesah istrinya sambil mengelus rambut hitamnya.

"Pekerjaanmu begitu santai, bisa bermalas\-malasan di rumah, tidur siang, ngemil, memasak, jalan\-jalan... Menyenangkan sekali, tidak ada yang menuntutmu untuk bekerja keras atau ya... Paling tidak menjaga kinerjamu..." ucap Nina sambil memandangi lukisan yang di pajang di kamarnya. "Apa itu baru?" tanya Nina sambil menunjuk lukisan siluet yang menggambarkan wanita dengan gaun panjang.

"Um, ya..." jawab Arnold singkat sambil mengangguk dan tersenyum.

"Bagus aku suka..." puji Nina pada semua lukisan buatan suaminya.

"Benarkah?" tanya Arnold yang tidak benar\-benar antusias tapi langsung di angguki Nina.

Ada rasa sesal yang mendalam dibenak Arnold tiap kali mendengar keluh kesah istrinya, tapi apa daya Dewi Fortuna hanya berpihak padanya sekali. Dapat menikahi Nina adalah sebuah keberuntungan tiada tara bagi Arnold. Tak mau bermalas-malasan di kamar dan makin terbebani dengan pikirannya, Arnold memilih untuk menyiapkan sarapan sembari menunggu istrinya mandi dan bersiap-siap.

"Semalam aku buat ayam panggang, jadi aku cuma menghangatkannya saja..." ucap Arnold lalu mencium bibir istrinya yang tengah merias wajahnya. "Happy anniversary..." sambung Arnold sambil mengecup kening istrinya.

"Oh my god! Anniversary? To day? " tanya Nina terkejut.

"Last night..." jawab Arnold dengan senyum dan menunduk menahan tawanya tiap melihat istrinya kelabakan.

"Really?" tanya Nina tak percaya lalu mengambil kalender di atas lacinya. "Oh my god... I'm so sorry..."

"It's oke Babe..." bisik Arnold sambil memeluk istrinya. "Ku harap semalam kita bisa habiskan waktu berdua. Tapi tidak masalah, lain waktu kita bisa ya... Minum wine, atau ya yang lainnya mungkin..." sambung Arnold santai.

"A-aku... A-ak-aku..."

"Maaf belum bisa menjadi suami yang baik..." potong Arnold lalu mengecup bibir Nina.

"Aku minta maaf, aku terlalu sibuk..." sesal Nina sambil menatap suaminya.

"Ah iya, hari ini aku mau pergi keluar..." ucap Arnold.

"Kemana?"

"Balai budaya, beberapa waktu lalu aku mengajukan pameran di sana. E-mailku di baca. Kebetulan menejernya teman kuliahku dulu..."

"Ah ya... Semoga sukses... Nantiku usahakan pulang lebih awal. Aku yang akan memasak untuk makan malam..." ucap Nina lalu mencium bibir Arnold yang di balas dengan ciuman lembut dari bibir Arnold .

●●●

Nina terlihat jauh lebih awal datang ke kantornya. Bukan karena ingin mengerjakan sesuatu lebih awal dan pulang cepat. Ada alasan sentimentil di baliknya.

"Bisa atur jadwalku sore ini dengan kepala direktur balai budaya?" tanya Nina pada Ani.

"Balai budaya?" tanya Ani memastikan apa yang barusan di dengarnya.

"Ya..." jawab Nina singkat.

Ani hanya mengangguk lalu pergi keluar ruangan untuk mengatur jadwal. Nina tampak gugup, bahkan sequishy berbentuk apel yang tak pernah di sentuhnya pun ia remas sampai tercabik-cabik dalam cengkramannya.

Jangan sampai Arnold pameran, jangan... Nanti dia akan pergi seperti yang lain... Batin Nina panik.

Chapter 2

Nina terlihat jauh lebih awal datang ke kantornya. Bukan karena ingin mengerjakan sesuatu lebih awal dan pulang cepat. Ada alasan sentimentil di baliknya.

"Bisa atur jadwalku sore ini dengan kepala direktur balai budaya?" tanya Nina pada Ani.

"Balai budaya?" tanya Ani memastikan apa yang barusan di dengarnya.

"Ya..." jawab Nina singkat.

Ani hanya mengangguk lalu pergi keluar ruangan untuk mengatur jadwal. Nina tampak gugup, bahkan sequishy berbentuk apel yang tak pernah di sentuhnya pun ia remas sampai tercabik-cabik dalam cengkramannya.

Jangan sampai Arnold  pameran, jangan... Nanti dia akan pergi seperti yang lain... Batin Nina panik.

"Bu Nina, kepala direktur balai budaya baru ada waktu saat makan siang..." ucap Ani.

"Oh, oke... Bagus..." jawab Nina sambil menyembunyikan tangannya yang menggenggam sequishy di bawah meja.

Nina benar-benar panik begitu mengetahui suaminya yang memulai langkah karirnya. Nina tau suaminya merupakan perupa yang berbakat. Hanya saja keluarganya yang tak bisa menikmati seni hingga menganggap lukisan Arnold seperti sampah.

Suaminya perlu pengakuan. Tapi tidak untuk sekarang, Nina tidak siap. Nina mau suaminya hanya di rumah mengurus tempat tinggalnya dan dirinya. Menyambutnya dengan penuh cinta lalu hanya tergantung padanya.

Bahkan Nina lebih suka tak ada satupun orang yang tau apa pekerjaan suaminya. Hanya dia dan keluarganya saja yang tau dan hanya ia yang boleh menikmati apapun itu yang di hasilkan Arnold.

Nina terus berfikir alasan apa yang tepat untuk menggagalkan pameran suaminya kali ini. Sampai ia tersadar karena dering telfon yang menyadarkannya kembali.

"Halo..." sapa Nina seperti biasa.

"Apa malam ini bisa pulang? "

"Ah, Ibu... Ku rasa tidak. Aku ingin menghabiskan malamku dengan Arnold, ini ulang tahun pernikahan kami yang ke empat..."

"Sampai kapan kamu akan bertahan dengan benalu pengangguran itu?"

"Bu, aku bahagia dengan Arnold... Menyenangkan bisa tinggal bersamanya..."

"Menyenangkan apanya? Bukankah kamu harus bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga juga kebutuhannya. Lukisan sampah begitu, tidak menghasilkan apa-apa..."

"Ibu, sudah... Aku sedang bekerja..."

"Besok kakakmu akan menikah lagi. Ibu harap kamu bisa datang melihat calon menantu ibu yang baru. Dia wanita berkelas... Semoga ibu tidak salah lihat..."

"Iya Bu, ku usahakan..."

"Ah iya, kamu harus bisa menyusul jejak kakakmu itu... Tinggalkan benalu tak berguna itu..."

"Arnold  bukan benalu Bu..." bela Nina.

"Ibu bahkan jijik mendengar namanya. Benalu lebih cocok menjadi namanya..." ucap Veronica Moeen, mertua Arnold yang langsung memutus sambungan telfon dengan putrinya Nina.

Nina hanya menghela nafas mendengar betapa benci ibunya dengan Arnold. Padahal bila ibunya tau dan sedikit saja memiliki cita rasa dalam berkesenian. Mungkin ia akan menghormati Arnold, dengan karya-karya besarnya yang terus di sembunyikan Nina.

Nina kembali menarik nafas dan berusaha fokus. Setidaknya ada beberapa berkas dan gambar yang perlu di perhatikan sebelum bertemu dengan kepala direktur balai budaya nantinya. Cukup sekali Nina melihat lukisan suaminya terjual dulu. Ia tak mau lagi melihatnya.

Ia benci saat lukisan indah dari siluetnya yang cantik dan sempurna itu di beli dengan harga yang dapat di hitung. Bahkan meskipun uang penjualan waktu itu semua di berikan untuknya dalam bentuk cincin kawin dan anting. Ia tetap benci saat harus kehilangan satu karya milik Arnold.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!