Evianne Books sore itu terasa hangat. Aroma kayu tua bercampur wangi kertas dan kopi yang tertinggal di meja kasir. Rak-rak buku berdiri rapat, penuh, menghadap jendela kaca besar yang menampakkan jalan kecil di luar. Suara langkah kaki para pelanggan berpadu dengan denting lonceng pintu, mengisi ruang seolah toko ini memiliki napasnya sendiri.
Di balik meja kasir, aku duduk bersandar sambil memegang ponsel. Jari-jariku refleks menggeser layar, membuka Instagram hanya untuk melepas lelah. Mata menatap layar, tapi pikiran mengembara entah ke mana.
“Liora! Fokus dong, Putri pemilik toko,” suara Livia, sahabat sekaligus ‘pengunjung tetap’ toko ini, mengagetkanku. Dia berdiri di seberang meja, tangan bertumpu di pinggang sambil menatapku tajam. “Itu pelanggan nanya harga novel di rak klasik, masa kamu nggak denger?”
Aku tersenyum canggung, “Maaf, Liv. Nanti aku bantu. Lagi… lihat sesuatu.”
"Urus dulu pelanggan sana" ucap sahabatnya yang cerewet.
"Huh baiklah"
Liora menemui pelanggan dan memberitahu harga novel itu. Setelah berbicara dengan pelanggan, dia kembali duduk di meja kasir. Dia kembali menggulir instagramnya.
Livia mendekat, matanya menyipit menatap ponselku. “Instagram? Tumben.”
Aku mengangguk, nyaris tak berkedip. Di layar, sebuah foto memenuhi pandanganku lengan seorang wanita, bersih dan ramping, dihiasi tato bunga mawar hitam. Bukan gambar mencolok, hanya garis-garis tipis, begitu detail, seolah bunga itu memang tumbuh di sana.
“Astaga… kamu liatin tato?” Livia berseru, setengah geli setengah kaget.
“Cantik, ya?” bisikku pelan, nyaris hanya untuk diriku sendiri.
"Hah? Cantik? Kau pikir aku gak dengar?"
Livia menghela napas, lalu menarik kursi dan duduk di sampingku. “Nggak nyangka, Lio. Pemilik toko buku kalem, doyan puisi romantis, sekarang naksir tato?”
Aku tertawa kecil, walau pikiranku belum sepenuhnya kembali. “Aku nggak ngerti kenapa, Liv. Tapi ini beda. Lihat deh, bukan kayak tato yang kita lihat di jalan. Ini kayak lukisan.”
Livia melihat postingan itu. Dia juga menganggapnya menarik. Biasanya tato yang mereka tahu hanyalah tato naga yang banyak dipakai orang-orang. Tapi ini beda, tato yang seolah-olah hidup dikulit.
Aku membuka profil si pemilik karya. Nama akun: @Vendrell.ink
Sederhana, hanya berisi galeri tato hitam-putih di tubuh manusia, lengan, punggung, tulang belikat. Semua terlihat berseni, tenang, dan entah kenapa menyentuh.
“Liora Evianne yang terhormat,” Livia menyandarkan dagu di bahuku, menatap layar. “Kamu jatuh cinta sama tato?”
“Bukan,” jawabku buru-buru. “Aku cuma… penasaran.”
"Apa iya? Penasaran diawal tapi lama-lama kamu nanti ketagihan gimana? Hayo.." ucapnya
"Enggak. Serius deh! Aku hanya penasaran"
Hanya kata 'penasaran' tapi tetap nge-scroll. Foto berikutnya memperlihatkan pria bertangan kuat, sedang menato lengan seseorang. Wajahnya tak tampak. Tapi lengannya penuh tato naga yang begitu detail. Tangannya stabil, gerakannya presisi. Tangan itu berotot berarti tangan yang ditato adalah tangan pria. Bukan tangan wanita yang tadi dilihatnya pertama kali.
“The Vendrell Tattoo House,” Livia membaca bio si akun. “By appointment only? Serius? Tempat eksklusif ya?”
Aku mengangguk pelan, mataku terpaku pada video singkat berikutnya. Sesi tato yang hening, hanya terdengar suara mesin dan napas pelan sang klien. Semuanya terasa intim.
“Aku kayak pengen lihat langsung tempat itu,” kataku, hampir tanpa sadar.
Livia menatap. “What? Liora, kamu pengen ke studio tato?”
“Aku nggak bilang mau ditato. Aku cuma pengen tahu. Kayak apa tempatnya.”
Livia memeluk lengan kiriku. “Kamu serius? Kan bisa cari di internet.”
“Gak sama. Aku pengen ngerasain sendiri. Mungkin sekadar lihat, lalu pulang.”
"Halah. Cuman tempat tato aja lho itu. Kenapa harus sampai ke situ sih. Banyak lho diinternet. Kamu ngapain juga ke tempat-tempat itu. Nanti kamu diculik gimana? Atau kamu di perko-"
"Apaan sih kamu Liv? Kok kamu ngomong gitu sama ku. Kita gak tahu tempatnya bagimana. Ini juga dipostingannya banyak yang memberi bintang lima. Banyak juga yang berkomentar positif. Banyak orang yang kesini kok." ucapnya meyakinkan.
Livia terdiam, lalu tersenyum kecil. “Oke. Tapi aku ikut. Biar kalo kamu pingsan lihat jarum, ada yang nolong.”
Aku tertawa, tapi entah kenapa hatiku berdebar.
"Iya deh kamu ikut."
Bukan karena takut jarum, bukan karena takut tempat asing. Tapi karena ingin tahu, dan rasa ingin tahu itu mendesak.
Sudah pukul lima sore. Saatnya sekarang menutup toko. Para pelanggan perlahan-lahan pulang dari toko itu. Ada yang fokus membaca dan ada yang membeli beberapa buku. Setelah toko tutup, Liora duduk di sofa belakang sambil terus menatap feed Instagram itu.
"Tiap foto, tiap guratan tinta, seolah bicara padaku." ucapnya pada dirinya sendiri.
Dan tanpa sadar, Liora membayangkan bagaimana rasanya jika kulitnya disentuh tinta itu?
Liora menggeleng cepat.
Tidak. Aku bukan orang seperti itu.
Tapi entah kenapa Liora ingin ke sana. Seperti ada panggilan untuk dia mencari tahu tentang tato itu.
Livia datang lalu duduk disamping Liora melihatnya termenung.
"Hei, mikirin apa sih? Tato itu ya?"
Liora terdiam sejenak. Tidak berani menjawab sahabatnya yang cerewet itu.
"Haduh kamu ini. Aku ga mau ya seorang Liora yang lugu tiba-tiba ingin tato. Kan tadi udah aku bilang kamu gak takut di-"
"Jangan bilang kayak gitu." potongnya tiba-tiba.
"Aku juga gak tahu kenapa aku tertarik. Aku ingin melihatnya besok. Aku merasa tato itu elegan tidak seperti tato biasanya yang aku lihat. Kamu ngerti gak sih maksud aku?"
Livia memutar matanya.
"Hhhh kamu ini modal nekat" gerutunya.
"Emangnya salah kau semisalkan aku pakai tato?" tanya Liora
Livia terdiam sejenak. Dia tahu bahwa dia tak bisa menghalangi sahabatnya. Tapi sejak kedua orang tuanya meninggal, dia merasa kasihan pada Liora yang harus menanggung semuanya. Untung saja dia anak tunggal dan tidak perlu memikirkan biaya tambahan hanya memikirkan dirinya.
Semenjak kejadian pahit itu, Livia memutuskan untuk tinggal bersama Liora dirumahnya. Karena dirumah Livia dia juga tidak dianggap. Orang tuanya hanya sayang kepada kakak perempuannya yang lebih berprestasi dari pada dia. Bahkan saat Livia lari dari rumah, orang tuanya bahkan tidak peduli. Mereka hanya menganggap rendah anaknya karena kurang berprestasi seperti kakaknya.
Tapi dia punya Liora. Gadis manis dan lugu yang selalu menjadi temannya. Mulai dari dia SMP hingga lulus SMA mereka tetap bersama. Walau dia hanya membantu Liora menjaga toko warisan orang tuanya.
"Kok diam?" tanya Liora
"Aku tidak pantas melarangmu. Tapi aku belum setuju kalau kamu pakai yang begituan. Aku takut kulitmu cedera atau bahkan lebih parah." ujarnya
"Liv, kamu jangan khawatir. Aku tahu aku memang suka buku, puisi atau yang lain. Tapi asal kamu tahu aku juga suka seni. Terutama seni rupa, emang kamu lupa aku pernah juara satu nasional melukis Menara Eiffel waktu SMA dulu?"
"Iya sih. Tapi kan beda. Ini kan seni tato di kulit manusia bukan di kanvas kayak yang kamu lukis itu" ucapnya
Kata-kata 'kanvas' membuat Liora termenung. Bukannya kulit manusia juga sebagai kanvas pada tato, ya?
Hari ini aku bangun dengan pikiran random. Entah kenapa, bayangan tato kecil di lengan perempuan terus berada di kepalaku. Bukan karena ingin terlihat keren. Aku hanya merasa ada bagian dari diriku yang ingin ‘ditandai’. Seolah tubuhku belum lengkap tanpa seni di atas kulit.
Aku membuka Instagram, scroll random sambil ngopi di sudut toko buku. Beberapa konten muncul, tangan dengan tato bunga, punggung dengan gambar kupu-kupu, dan entah kenapa, itu terlihat indah.
“Ya ampun, apa aku sebegitu bosannya sampai mikir kalau aku mau ditato?” aku tertawa sendiri.
Livia, temanku, lewat dan menepuk pundakku, “Kalau mau ditato, jangan ke tempat yang sembarangan. Nanti nyesel.” Dia berlalu begitu saja, meninggalkan aku yang mendadak serius memikirkan omongannya.
"Dia memang cerewet. Huh!" gerutunya.
Hari ini pelanggan datang lumayan banyak. Ada beberapa yang membaca buku disudut dan ada yang langsung membeli. Orang-orang menyukai tempat itu karena estetikanya. Banyak buku yang menarik perhatian. Mulai dari novel, non fiksi, cerita rakyat dan bahkan filsafat.
Setelah beberapa menit nge-scroll, Liora memutuskan untuk keluar. Liora ingin pergi diam-diam tapi mata Livia sangat tajam.
"Oi, kau mau kemana?" tanyanya sambil mengangkat satu alis."
Liora terdiam.
"Ohh jangan-jangan kau mau ke tempat tato itu ya. Emang kamu berani sendirian?" tanyanya
"Iya, aku berani. Kamu jaga toko aja ya."
Livia mengernyit
"Ya." ucapnya singkat
Liora keluar dari toko bukunya, menunggu taksi datang. Taksi pertama yang lewat langsung disetop.
“Studio tato yang bagus, Pak. Tapi jangan yang rame atau aneh-aneh.”
Pak Roni, sopir taksi, cuma tertawa. “Baik, Non. Kita keliling dulu ya.”
*Studio Pertama Tempat Hits, Tapi Norak*
Studio pertama ada di tengah kota, penuh dengan neon warna-warni. Saat aku masuk, suara musik EDM menghentak keras di telinga.
Seorang pegawai dengan rambut dicat ungu neon menyapaku, “Halo Kak! Mau desain cute atau yang badass?” Senyumnya lebar, terlalu ramah, membuatku merasa ini bukan tempatku.
"Aku cuma berkeliling sebentar. Terlalu ramai. Terlalu “pamer”. Terlalu bukan aku" ucapnya dalam hati.
Liora keluar sambil menghela napas. Pak Roni yang menunggu di depan langsung buka pintu taksinya.
“Gimana, Non?”
Aku hanya menggeleng.
“Kita coba cari lagi ya, Pak.”
*Studio Kedua Tempat Underground yang Suram*
Studio berikutnya ada di gang kecil, tempatnya gelap dengan lampu remang. Dindingnya penuh grafiti.
Interiornya membuat bulu kudukku merinding.
Seorang pria dengan tato penuh di wajahnya menyapaku. “Cari desain yang garang? Sini, duduk dulu.”
Aku tersenyum kaku, “Makasih, pak. Saya lihat-lihat dulu.”
Tapi suasananya membuatku tidak nyaman. Ada bau rokok yang menyesakkan, dan suasana yang tidak ramah. Di pojokan, sekelompok pria sedang tertawa keras sambil melihat-lihat foto di HP. Pria itu juga menggoda Liora sambil menjilat bibirnya. Tentu saja Liora jijik.
"Tidak. Ini bukan tempat yang kucari." ujarnya dalam hati.
Liora buru-buru keluar, kembali ke taksi. Lelaki yang disudut tadi membuat pikiran Liora melayang-layang. Dia ingin muntah disitu juga.
"Ada apa Non?" tanya pak supir
"Eh, tidak pak. Saya hanya merasa tidak cocok aja ditempat tadi." ucapnya canggung
Pak Roni mengangguk. Sebenarnya beliau tadi melihat kalau gadis ini digoda oleh beberapa pria yang disudut makanya dia merasa risih bahkan tidak nyaman.
"Tadi para pria itu mengganggu, ya?" tanya Pak Rino seolah tak tahu
"Iya pak. Aku tentu saja tidak tertarik." ucapnya menahan tawa.
*Studio Ketiga Studio Keren, Tapi Tukang Tatonya Genit*
Studio ketiga lebih bagus. Interiornya minimalis, bersih, dan penuh pajangan artistik. Aku sempat berpikir, “Mungkin ini tempatnya.”
Tapi harapan Liora pupus saat seorang pria dengan rambut slick-back mendekat.
“Tato kecil di pergelangan tangan? Cocok banget buat kamu. Tapi kalau mau, aku punya tempat yang lebih ‘rahasia’.” Nada suaranya membuat Liora ilfeel.
Aku langsung paham arah pembicaraannya.
Aku pamit dengan sopan, tapi dalam hati mendesah keras. Tapi pria itu seolah memaksa Liora untuk menetap di tokonya dan jangan pergi.
Pria itu mendekat dan ingin menarik lengan Liora tapi dia langsung lari ke dalam taksi.
"Huh... hampir saja." ucapnya khawatir.
Pak Roni tertawa pelan.
"Itulah, Non. Sebagian para seniman tato memang genit. Jadi kita harus mencari yang benar-benar, Non."
"Sepertinya bapak udah banyak tahu tentang tato dikota ini."
"Iya, Non. Banyak penumpang saya yang pergi ke toko tato. Dari ketiga yang kita jalani tadi, penumpang saya sudah merasakannya dan kata mereka baik-baik saja." ucap Pak Roni
"Hah? Serius tempat se-ekstrem itu udah dijalani banyak orang?" gerutunya dalam hati.
Tiba-Tiba, ada satu tempat lagi. Pak Roni melirikku lewat kaca spion.
“Kayaknya selera Nona bukan yang mainstream ya?”
Aku tertawa pelan. “Iya, Pak. Kayaknya aku salah pilih semua.”
"Hehe, iya pak." ucapnya
"Kalau boleh tahu, kenapa Non ingin sekali memakai tato?" tanya Pak Roni penasaran.
Liora terdiam sejenak.
"Aku hanya penasaran, Pak. Setidaknya gambar sedikit aja dilengan." ucapnya
Pak Roni mengangguk. Menganggap gadis ini sedikit unik. Biasanya para gadis lain suka dengan tempat yang ekstrem seperti itu. Tapi gadis ini tidak. Lagian wajahnya kelihatan polos.
Pak Roni mengetuk setir pelan, berpikir.
“Ada satu tempat lagi. Tapi itu agak beda. Bukan tempat orang sembarangan. Tahu The Vendrell Tattoo House?”
Aku mengernyit. “Vendrell? " Nama Toko itu tidak asing ditelingaku. Apa jangan-jangan itu adalah toko yang aku lihat di instagram.
Pak Roni tersenyum samar
“Itu tempat yang orang bilang bukan cuma soal tato. Tapi soal siapa yang pantas."
Liora tertarik.
“Baiklah, Pak. Ayo ke sana.”
Pak roni menyetir ke arah toko Tato Vendrell, toko yang disukai banyak wanita karena senimannya terkenal kaya raya dan ganteng.
*Sampai di Depan The Vendrell Tattoo House*
Mobil berhenti di depan sebuah bangunan minimalis.
Tak ada plang besar. Tak ada spanduk promosi.
Hanya sebuah pintu kayu gelap dengan ukiran kecil
“The Vendrell Tattoo House.”
Aku turun pelan. Entah kenapa, jantungku berdetak lebih cepat.
Tempat ini sunyi. Tidak ada suara musik. Hanya ada perasaan seolah aku sedang melangkah ke tempat yang tak semua orang bisa masuk.
Liora menatap pintu kayu itu. Menarik napas. Dan mendorongnya perlahan. Ukiran kecil itu masih sama seperti di foto-foto Instagram. Nyata. Lebih nyata dari ekspektasiku. Liora turun pelan.
Jantungnya berdegup cepat, bukan karena takut, tapi karena perasaan aneh yang sulit dijelaskan.
Tempat ini tidak memintaku untuk datang.
Tapi juga tidak mengusirku. Seolah-olah hanya menunggu apakah aku berani melangkah lebih dekat.
Liora menatap pintu kayu itu. Menarik napas. Dan mendorongnya perlahan.
Bau kayu yang manis menyambutku saat aku mendorong pintu berat itu. Ruangan dalamnya terasa sepi, berbeda jauh dari studio-studio yang tadi kudatangi.
Langkahku terhenti sejenak. Studio ini luas, tapi tak ada musik keras, tak ada teriakan pegawai menawarkan paket promo. Hanya ada keheningan yang terasa ‘dalam’.
Seseorang menghampiriku. Pria bertubuh tinggi dengan rambut hitam rapi. Kacamatanya membuat tatapan tajamnya terkesan lebih dingin.
“Selamat datang di The Vendrell Tattoo House,” ucapnya kalem.
“Saya Zeke. Ada yang bisa saya bantu?”
Liora menelan ludah. Pria ini nampaknya dingin tapi tegas. Dilengannya ada ukiran tato naga. Bukan tato naga sembarangan. Tato itu seolah-olah hidup dilengan pria itu.
“Eh... saya cuma mau lihat-lihat dulu.”
Zeke mengangguk pelan, lalu membalikkan badan.
“Baik. Ikuti saya. Tapi ingat, di tempat ini bukan kita yang memilih.”
Kalimatnya membuat langkahku terhenti sejenak.
Tapi aku memaksakan diri berjalan di belakangnya.
Zeke membawaku menyusuri lorong panjang dengan dinding kaca. Di balik kaca, beberapa ruangan terlihat aktif. Seorang pria sedang menato punggung seorang wanita dengan pola kupu-kupu berwarna hitam. Tak ada kata-kata. Tak ada suara berisik.
“Semua orang boleh masuk ke sini,” kata Zeke tiba-tiba.
“Tapi tidak semua orang bisa duduk di kursi Drevian Vendrell.”
Aku menatapnya dengan alis terangkat.
“Maksudnya?”
Zeke tersenyum tipis.
“Banyak wanita datang ke sini berharap bisa ditato oleh Boss kami, apalagi di area-area tertentu,” ia berbicara sambil tersenyum sinis.
“Tapi Vendrell bukan tipe seniman yang mau menyentuh kulit orang tanpa alasan.”
"Kalau boleh tahu, kenapa banyak wanita yang ditato oleh Dreivan?" tanya Liora dengan polosnya.
Zeke terkejut. Dibenaknya mungkin gadis ini belum tahu apa-apa tentang tato apalagi wajahnya kelihatan polos dan lugu.
"Jadi, Boss kami itu seniman tato. Sebenarnya studionya paling terkenal dikota ini. Dia memiliki daya tarik yang membuat banyak wanita mengejarnya. Bahkan sampai-sampai para wanita rela menyerahkan tubuhnya demi ditato oleh Boss kami."
"Ya, kalau kamu belum mengerti, aku akan menjelaskan lagi. Maksud dari penjelasanku banyak wanita yang rela tanpa pakaian saat ditato oleh Boss kami." lanjutnya.
Mendengar itu Liora terkejut. Dia ingin muntah,
"Ada ya wanita gila seperti itu". Pikirnya
"Tapi Boss kami sampai sekarang belum pernah menyentuh tubuh wanita. Jika ada pelanggan wanita, beliau akan menyerahkannya kepada kami para karyawannya. Boss hanya ingin mau kepada wanita yang benar-benar lengket dihatinya."
"Ooo..." ucap gadis itu singkat.
"Bagaimana dengan pelanggan pria?" tanyanya penasaran.
"Boss kami tentu saja mau mentato pelanggan pria. Kalau sesama pria bisa saling bertukar pikiran tentang desain apa yang mau dibuat."
Aku menelan ludah.
“Kalau aku daftar kemungkinan ditolaknya berapa persen?”
“99%,” jawabnya santai.
Aku nyaris tertawa sarkastik.
“Lalu kenapa aku harus isi form?”
“Karena 1% itu milik orang yang datang bukan hanya untuk menato kulitnya, tapi hidupnya.”
Aku terdiam. "Apa maksud pria ini? Kenapa Boss mereka begitu aneh." gerutunya dalam hati.
Drevian berdiri diam di ruangannya, memperhatikan gerak-gerik gadis yang mengikuti Zeke dari rekaman CCTV. Langkahnya ragu-ragu, tatapannya terus mencari-cari sesuatu di ruangan itu, meski dia sendiri belum tahu apa yang dicarinya.
Dia tak mengumbar senyum seperti wanita-wanita yang sering datang berharap. Dia tidak tampil dengan pakaian mencolok atau tatapan menggoda.
Dia... berbeda.
Drevian menunduk, menekan tombol interkom di mejanya.
“Zeke, suruh dia isi form. Jangan tanya apapun lagi.”
Zeke mendengar perintah itu lewat earphone-nya, namun ekspresinya tetap datar.
“Kalau kamu masih ingin lanjut, kamu bisa isi form di lobi.”
Aku mengangguk pelan.
Aku duduk di meja kayu di sudut ruangan. Formulir itu sederhana. Nama, kontak, desain tato, tempat tinggal dan alasan ingin ditato oleh Vendrell.
Di kolom desain, aku memandang kosong. Apa yang sebenarnya aku inginkan?
Lalu aku menulis:
“Saya tidak tahu desainnya. Saya hanya ingin merasakan dunia Anda.”
Aku tahu, itu jawaban yang mungkin membuatku langsung tersingkir. Tapi aku tak ingin memaksakan sesuatu yang bukan aku.
Zeke mengambil formulir itu tanpa berkata-kata, memegangnya ditangannya.
“Kalau Boss kami tertarik, kami akan hubungi kamu.”
Aku hanya tersenyum tipis.
"Baiklah, terima kasih. Saya pamit." ucap Liora
Lalu ia berjalan keluar.
Di Ruangannya, Drevian menunggu Zeke menyerahkan formulir itu kepadanya.
Lima menit kemudian, Zeke masuk.
"Permisi boss, ini formulir yang anda minta." Zeke memberikannya kepada Bossnya.
“Data gadis itu,” kata Drevian.
“Nama Liora Evianne. Pemilik toko buku kecil di pojok distrik timur,” jawab Zeke.
Drevian tersenyum tipis, namun matanya tetap dingin.
“Bukan wanita-wanita itu.”
Zeke mengangkat alis.
“Boss mau saya hubungi dia?”
“Tidak.”
Drevian memutar pena di jarinya.
“Aku yang akan mendatanginya.”
"Baik, boss."
"Baik, terima kasih. Lanjutkan pekerjaanmu." ucap Dreivan dingin.
"Baik tuan."
Zeke langsung keluar dari ruangan itu. Dia melanjutkan pekerjaannya. Membantu karyawan lain yang sedang mentato pelanggan.
"Kalau dilihat lagi dari CCTV pergerakan gadis ini tampak polos. Pakaiannya sopan dan bicaranya juga sopan. Apa dia baru pertama kali ke toko tato, ya?" ucap Drevian pada dirinya sendiri.
Setelah keluar dari studio itu, Liora kembali masuk ke dalam taksi. Dia memeluk tas kecilnya erat-erat.
Taksi melaju perlahan membelah jalanan kota, tapi pikirannya tertinggal di dalam studio itu.
"Bagaimana Non? Tempat nya cocok?" tanya Pak Roni.
"Cocok sih pak dari antara ketiga tadi"
Pak Roni mengangguk. Dia sebenarnya tahu kalau studio tato itu terkenal di kota ini tapi hanya orang-orang tertentu yang bisa ditato oleh Drevian.
"Memang gadis ini belum tahu apa-apa tentang tato ya? Dia modal nekat." ucap Pak Roni dalam hati.
Setelah setengah jam berjalan, Liora akhirnya sampai ke rumah.
"Ini Pak uangnya. Makasih ya pak." Liora memberikan ongkos.
"Iya, Non sama-sama." Pak Sopir lalu pergi.
Livia melihat sahabatnya sudah pulang. Ini sudah sore dan mereka sudah menutup toko bukunya. Rumah mereka berada disamping toko itu.
"Baru pulang? Kok kamu lama? Hampir setengah hari." Livia mengernyit.
"Iya, tadi aku sama taksi cari toko yang lain dulu. Kami mencari sampai tiga toko, tapi satu pun tak ada yang menarik diriku. Nah waktu pak taksi bilang Studio Vendrell, aku langsung ingat yang kita lihat di instagram itu. Tempatnya benar-benar bagus sih." ucap Liora.
"Oh, terus mana tatonya? Kok gak ada."
"Iya, kata karyawannya kalau mau ditato harus isi formulir dulu. Besok baru ada panggilan dari telepon karena boss mereka gak mudah untuk didekati. Pokoknya boss mereka pemilik toko itu gak sembarangan mentato wanita."
"Oh gitu. Ya udah sih itu kan pilihan kamu. Intinya jangan nyesal aja." ucap Livia dengan nada mengejek.
"Iya lho!"
Liora lalu pergi ke kamarnya membaringkan dirinya diatas kasur yang empuk dan dia memeluk boneka beruangnya. Seketika Liora memikirkan apa yang dikatakan Zeke tadi. "Bossnya tak pernah mentato wanita sekalipun? Yang benar aja. Kayak sok cool banget tuh orang." gerutunya
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!