Dari arah pintu, terdengar ketukan pelan yang memecah keheningan ruangan. Perlahan, daun pintu itu terbuka.
Di depan meja rias, Kania Saraswati, putri tunggal dari pasangan Herman dan almarhumah Saraswati duduk anggun mengenakan gaun pengantin merah marun yang berkilau di bawah cahaya lampu. Usianya baru 17 tahun, tetapi kecantikannya terpancar jelas. Rambutnya disanggul rapi dengan hiasan kecil di atas kepala.
Wajahnya berseri, senyum tak pernah lepas dari bibirnya. Jemari halusnya sesekali membelai pipinya sendiri, seolah memastikan kebahagiaan ini bukan sekadar mimpi. Hari ini adalah hari pernikahannya, hari dimana ia bersatu dengan pujaan hatinya, Raymond pria tampan yang selama ini mengisi hari-harinya.
Langkah kaki bergema, kian mendekat. Dari pantulan cermin, seorang pria paruh baya berhenti di sisinya. Pandangannya tertuju pada gadis itu, mata teduh, namun menyimpan semburat iba yang tak bisa disembunyikan.
Gadis itu tersenyum manis dan berkata pada pria paruh baya itu kalau sebentar lagi dia akan turun.
Pria itu menunduk kaku, bibirnya bergetar setalah mengatakan kalau rombongan sudah pergi dan gadis itu dilarang kesana.
Kata-kata itu seperti cambuk yang menghantam dada Kania. Sejenak napasnya tercekat. Jemarinya menggenggam rok bergetar halus, matanya berbinar antara terkejut dan tak percaya.
Mana mungkin pesta itu berlangsung tanpa kehadirannya sebagai mempelai wanita? dan menyangka kalau itu hanya lelucon dari pria paruh baya itu.
"Aku… hanya menyampaikan perintah tuan," ucap pria paruh baya itu pelan, namun cukup tajam menusuk hati. Matanya tak berani menatap, seolah tahu bahwa kata-kata itu akan meruntuhkan harapan gadis itu.
Tanpa sepatah kata pun, Kania melesat menuruni anak tangga, langkahnya terburu-buru, nyaris terpeleset. Teriakan Ferdy tak ia peduli. Hatinya digelayuti tanya, dadanya sesak oleh ketakutan yang tak bernama. Dia harus sampai ke hotel. Harus memastikan sendiri. Mengapa ia ditinggalkan begitu saja.
Sebuah taxi melintas, tanpa pikir panjang, Kania menghentikan dengan tangan gemetar. Deru mesin membawa Kania menembus jalanan padatnya ibukota. Beberapa menit kemudian, taxi berhenti tepat di depan pintu utama hotel, gerbang menuju jawaban, atau justru awal dari luka yang lebih dalam.
Mobil mewah berjejer di halaman. Dari dalam hotel, mengalun musik merdu, irama yang menandai sebuah pesta megah tengah berlangsung.
Dengan langkah gontai, Kania melangkah masuk, menembus kerumunan tamu yang tertawa dan berbicara riang, seolah dunia mereka sempurna. Tak ada yang menyadari hatinya yang porak-poranda.
Makeup yang tadi sempurna kini mulai luntur, tersapu air mata yang jatuh tanpa henti, meninggalkan jejak pahit di pipinya.
Kania menegakkan bahu, berusaha menepis tatapan penuh bisik-bisik yang mengiringinya.
Belum sempat menginjakkan kaki di pelaminan, tangan kekar menarik lengannya. Tatapannya menusuk, bibirnya bergetar menahan amarah seolah berkata agar gadis itu segera pulang.
Kania menghempas tangan Herman dan melanjutkan langkahnya ke pelaminan.
Di atas pelaminan terlihat Tamara, adik tiri yang selama ini pura-pura manis, sedang bersanding anggun. Di sisinya berdiri Raymond, lelaki yang pernah berjanji sehidup semati pada Kania, lelaki yang seharusnya menjadi calon suaminya hari ini.
Herman melangkah cepat, hendak mengejar. Namun, Elizabeth, sekaligus ibu tiri Kania, sigap menghadang, jemarinya mencengkeram lengan pria itu. Pandangan tajam Elizabeth menjadi peringatan yang tak terucap.
Herman terhenti, napasnya berat, apalagi menyadari puluhan pasang mata tamu sedang menatap mereka lekat. Mau tak mau, ia menelan amarahnya bulat-bulat.
Kania menapaki anak tangga. Kakinya gemetar, nyaris tak sanggup menopang tubuh. Setiap langkah terasa berat, seperti menyeret beban hidupnya.
Butir-butir air mata jatuh membasahi gaun merah marun yang membalut tubuhnya, meninggalkan noda kecil di kain mahal itu.
Dengan dada berdegup kencang, Kania terus maju. Hanya beberapa langkah lagi dan ia akan berdiri tepat di hadapan kedua mempelai.
Deru nafas Tamara saling mengejar, nyaris tertelan oleh degup jantungnya sendiri.
Wajahnya pucat pasi, kedua matanya berkaca-kaca.
"Inikan yang kamu inginkan sejak awal? Merampas semua yang kumiliki."
Kania menatap tajam Tamara, tatapan yang cukup membuat udara di sekitarnya membeku. Jemarinya mengepal, namun tubuhnya tetap tegak, berusaha menjaga wibawa di tengah tatapan ratusan pasang mata memandang.
Tanpa sepatah kata, tanpa senyum basa-basi, Kania melangkah pasti menuju Raymond, sosok yang dulu ia yakini akan menjadi jembatan keluar dari neraka keluarga Herman.
Raymond hanya bisa menunduk, jemari tangannya bergetar. Ia tak sanggup menatap mata Kania yang menyala seperti bara yang siap melahap pengkhianat di depannya.
Kania mengangkat wajah Raymond dengan ujung jarinya, nyaris seperti perintah yang terbungkus luka.
Perlahan, Raymond mengangkat wajahnya. Tatapannya redup.
"Maaf... suaranya pecah, "...ini bukan keinginanku. Ayah dan Ibu lebih memilih Tamara."
Bibir Raymond bergetar lalu kembali menunduk, kaku bak patung.
Tangan Kania mengepal hatinya gejolak.
"Jadi selama ini… kamu anggap hubungan kita hanya permainan?
Apa bedanya kamu dengan robot" Kania tersenyum miris.
Plak.......
Tamparan keras mendarat di pipi Kania. Yunita, ibu Raymond, menunjuk tajam ke arah pintu dengan nada dingin.
Sejak awal, Yunita dan Rudy memang menolak keras hubungan Raymond dengan Kania. Mereka tahu Kania adalah putri Herman, saingan bisnis yang selama ini menjadi batu sandungan dalam usaha mereka.
Ketegangan itu mulai membaik ketika Elizabeth hadir di keluarga Herman. Menjalin kembali hubungan yang sempat retak dan membuka babak baru di keluarga mereka.
Menjodohkan Raymond dengan Tamara walau mereka tahu akan melukai hati Kania.
Sebelum pergi Kania berjanji akan kembali suatu hari nanti untuk membalas perbuatan mereka.
Kania melangkah anggun menuruni tangga, setiap langkahnya menggetarkan ruang, menuju pintu keluar dengan tatapan penuh makna.
Setelah kepergian Kania, pesta berlanjut tanpa jeda. Satu per satu tamu berdatangan, mengucapkan selamat untuk kedua mempelai.
Kania melangkah tanpa arah, tatapannya kosong. Setiap langkahnya goyah, beberapa kali hampir jatuh tersandung kerikil tajam.
Hampir satu jam berjalan, hingga akhirnya Kania memutuskan untuk kembali ke rumah.
Melihat kedatangan Kania, satpam berlari kecil membuka pintu gerbang. Kania melangkah masuk, namun tiba-tiba berhenti di tempat.
Kedua matanya terbelalak melihat pakaiannya berserakan di lantai tepat di depan pintu.
Kania berlari kecil, dengan tangan gemetar mengumpulkan satu per satu baju yang berserakan dan memasukkannya ke dalam tas.
Kania yakin ada orang yang sengaja melakukan itu.
Langkah kaki bergema di dalam rumah, sepatu hitam menghentak perlahan di atas tumpukan pakaian Kania.
Kania mengangkat kepala dengan perlahan. Di depannya, Leni, adik Elizabet berdiri dengan senyum tipis.
Kania mencengkeram keras baju yang diinjak Leni, menariknya hingga perempuan itu jatuh ke lantai.
Leni meringis kesakitan, memegangi pinggangnya yang terasa sakit.
Jeritan Leni memecah keheningan, membuat beberapa pelayan yang sedang lewat berlari mendekat untuk menolongnya berdiri.
Kania tersenyum puas, tatapannya tajam menantang perempuan berkepala dua itu.
Tanpa pikir panjang, Leni melayangkan tamparan ke arah Kania. Namun, Kania sigap menangkap tangan itu sebelum sempat mendarat di pipinya.
Mata para pelayan melebar, tak percaya melihat gadis Yang selama ini mereka anggap pendiam dan lemah kini memperlihatkan sisi keras dan berani.
Kania memutar tangan Leni dengan kasar, lalu mendorongnya. Sekali lagi, Leni terjatuh dan menjerit kesakitan.
Tubuh Leni terasa remuk, tak berdaya setelah dua kali terjatuh ke lantai.
Dari arah pintu gerbang, sebuah mobil mewah melaju pelan memasuki halaman rumah. Tak lain tak bukan, itu mobil Herman, Mereka datang setelah seorang pelayan menghubungi mereka.
Pintu mobil terbuka, satu per satu dari mereka keluar dari dalam mobil, Herman turun dengan raut wajah memerah, diikuti Elizabeth, Raymond dan Tamara yang sengaja bergelayut manja di lengan Raymond, mencoba menebar kecemburuan pada Kania yang sedang memperhatikan.
Herman melangkah cepat mendekati mereka.
Seorang pelayan buru-buru menjelaskan, tapi Leni mencegah.
Leni berdiri di samping Herman, memegangi pinggulnya yang masih sakit, dengan kepura-puraan, menceritakan kebohongan kepada Herman.
Mirisnya, tanpa berusaha mencari kebenaran, Herman langsung murka. Dengan kasar, Herman menampar wajah Kania, kemudian merampas tas dan kopernya, lalu membantingnya ke lantai dengan keras.
“Mulai hari ini, kamu bukan lagi anakku. Pergilah, dan jangan pernah kembali. Bagiku, kamu sudah mati.”
Bagai disambar petir, tubuh Kania bergetar hebat mundur ke belakang dan hampir jatuh. Ia tak menyangka Herman bisa sekejam itu padanya. Sosok yang dulu memanjakannya dengan penuh kasih sayang, kini berubah menjadi asing dan dingin sejak kehadiran Elizabet dalam keluarga mereka.
Herman kembali mendorong Kania sampai dia jatuh menimpa tas dan kopernya.
Amarah Herman sudah sangat besar.
Elizabeth, perempuan paruh baya, segera mengusap lengan Herman sambil tersenyum sinis ke Leni, berharap amarah Herman berhenti.
Dia memang pintar memanfaatkan situasi supaya terlihat baik di mata Herman, terutama soal Kania.
Kania menatap mereka bergantian, lalu bangkit dan mengambil tas serta kopernya.
“Dengan mengusirku dari rumah ini, kalian kira kalian menang dan aku kalah?” Suaranya menggema penuh emosi, mata tajam menatap mereka satu persatu. “Ini belum berakhir. Aku akan kembali, dan saat itu, kalian yang akan menyesal.”
Kania terus tersenyum, senyuman itu tak sekadar hiasan wajah di baliknya tersimpan tekad dan rencana yang dalam.
Para pelayan bertukar pandang, penuh tanda tanya. Apakah benar Kania akan kembali dengan maksud membalas dendam? Mustahil, pikir mereka. Bagaimana mungkin seorang remaja kecil seperti Kania mampu melawan kekuatan besar keluarga Herman?
Dengan langkah tertatih namun penuh keberanian, Kania mengangkat tas dan kopernya meninggalkan halaman rumah yang selama ini menjadi saksi bisu kisah pilunya.
Air matanya tak kunjung berhenti membasahi pipi. Sulit percaya kalau Herman tega mengusirnya begitu saja.
Di balik pagar, kedua mata Kania berkaca-kaca menatap rumah megah itu, tempat di mana kenangan manis bersama Herman dan Saraswati, ibunya.
Namun semua itu hancur berkeping-keping sejak Saraswati meninggal dunia. Herman yang dulu penuh kasih kini mulai berubah tak kalah mengenal Elizabeth, sekretaris barunya, yang membawa perubahan suram dalam hidup Kania.
Kania melangkah tanpa tujuan, hanya kartu ATM-nya yang menjadi harapan satu-satunya untuk bisa bertahan hidup.
Kania berhenti di depan mesin ATM. Beberapa orang terlihat mengantri, sesekali melirik gadis itu dengan rasa penasaran.
Gaun pengantin dan riasan mencolok yang masih melekat pada wajahnya membuatnya jadi pusat perhatian.
Bisikan-bisikan terdengar, tatapan mata mencuri-curi padanya.
Setelah antre cukup lama, akhirnya giliran Kania tiba.
Kania memasukkan kartu ke dalam mesin, mengetik PIN, lalu menunggu.
“KARTU TERBLOKIR.”
Mata Kania membelalak, tak percaya melihat layar mesin ATM yang menampilkan saldo nol. Uang yang selama ini ia kumpulkan dengan susah payah, kini lenyap tanpa jejak.
Tubuhnya menggigil, seolah tulang-tulangnya remuk berkeping-keping. Harapan hilang berganti dengan ketakutan dalam hati.
Kania tahu, ini semua ulah Herman yang sengaja memblokir ATMnya.
Kania terpaku, berdiri mematung di depan mesin ATM. Lama ia diam, menelan getir yang mencekik dadanya. Perlahan, ia mengangkat tas dan kopernya, melangkah pergi dengan langkah berat, meninggalkan mesin yang telah merampas mimpinya.
Hidupnya benar-benar hancur. Bertahan di kota metropolitan tanpa uang sama halnya mati perlahan.
Pilihan terakhirnya cuma dua: jadi gelandangan atau pengemis di jalanan yang kejam.
Langkahnya melemah, tubuhnya hampir roboh, tapi dia terus berjalan tanpa tujuan.
Kursi panjang di halte terdekat menjadi tempat singgahnya sementara.
Kania mengeluarkan ponsel, berharap ada keluarga yang bisa menolong tapi semua kontak tak aktif. Herman benar-benar ingin membuat Kania menderita.
Kania menarik napas panjang, berharap ada yang bisa memberinya tumpangan beberapa hari ke depan.
Dalam keputusasaan, wajah Kania tiba-tiba berubah.
Secepat kilat, ia membuka ponsel dan menghubungi seseorang.
Percakapan penuh drama pun terjadi. Beberapa kali mendapat penolakan, tapi Kania tak menyerah, terus membujuk hingga apa yang diharapkan terdengar di ujung sana.
Senyum sumringah terpancar di bibir Kania.
Jari-jemarinya lincah menari dan membuka aplikasi, kemudian dengan cepat mengirimkan posisi keberadaannya.
Beban berat yang selama ini menekan pundaknya perlahan mengendur, tergantikan oleh setitik harapan yang mulai menyala.
Malam ini, setidaknya, Kania tahu ia tak harus tidur di pinggir jalan, tak harus ditemani oleh dinginnya trotoar dan suara binatang malam yang menakutkan.
Sepeda motor melaju kencang dan berhenti di depan Kania
Teman masa lalunya menarik paksa tas Kania, meletakkannya di bagian depan motor.
Kania sama sekali tak marah. Ia sudah tahu kelakuan kasar teman lamanya itu.
Motor melaju cepat ke pusat kota, masuk ke gang sempit, lalu berhenti di sebuah rumah sederhana.
“Ondel-ondel pengantin, cepat masuk!” omel gadis seusia Kania, membantu mengangkat tasnya.
Seperti tadi, Kania tersenyum. Ia tahu, sebenarnya Melli baik, meski kadang omongannya tak pernah disaring.
Melli menatap tajam gadis itu seolah ingin penjelasan.
Kania menceritakan semuanya, lagi-lagi air matanya mengalir deras.
Melli mendengarkan dengan penuh perhatian, merasakan betapa berat beban yang harus dipikul Kania.
Melli mengambil tisu di atas meja dan melemparkannya ke arah Kania.
“Jangan cengeng! Masih banyak orang di dunia ini yang lebih menderita darimu. Cepat hapus air matamu, mandi, makan, lalu tidur. Ingat, rumah ini bukan panti jompo. Kerjakan semuanya sendiri, paham?”
Melli berdiri dan berjalan menuju kamar.
Setelah Melli pergi, Kania ikut berdiri, menyusuri lorong kecil menuju dapur.
Pintu kamar terbuka. Tampak Melli sedang berbaring sambil main ponsel.
Melihat kedatangan Kania, Melli bangun dan duduk lalu menanyakan rencana Kania kedepannya.
Kania menggeleng pelan.
“Untuk sementara kamu boleh tinggal di sini. Mungkin tak semewah rumahmu, tapi yakinlah, kamu aman di sini.”
Kania berterima kasih banyak dan berjanji tidak akan merepotkan Melli.
Melli tersenyum, menggenggam erat tangan Kania.
Keduanya berbaring sambil bermain ponsel, melihat berita viral terkini.
Di berbagai aplikasi, berita pernikahan Raymond dan Tamara masih jadi trending topik.
Para pemburu berita membesar-besarkan fakta yang tak sesuai kenyataan.
Melli diam-diam memperhatikan Kania, rasa prihatin muncul di hatinya. Melli tahu Kania tengah bergulat dengan hati dan pikirannya.
“Ting...”
Notifikasi pesan masuk dari ponsel Melli. Melihat nama ibu, Melli membanting ponsel di atas kasur.
“Dasar germo.”
Beberapa saat berlalu, lalu Melli mengambil kembali ponselnya.
Seperti biasa, ia menghapus semua pesan dari ibunya.
Melli menatap langit-langit kamar, air matanya mengalir tanpa suara.
Ia tak percaya ibu sendiri tega berbuat keji padanya.
Melli memalingkan pandang ke arah Kania yang asyik bermain ponsel.
Tiba-tiba bibir Melli tersenyum, sepertinya ia mendapat ide untuk Kania. Dengan semangat, Melli bangkit dan duduk di samping Kania.
“Aku ada kerjaan bagus untukmu.”
Kania terkejut dan ikut duduk.
tatapannya serius, berharap segera mendapat pekerjaan dan tak lagi merepotkan Melli.
“Apa aku sedang bercanda?”
Melli mencondongkan kepala. Kania spontan menggeleng.
“Besok kamu dandan yang cantik, kenakan pakaian terbaikmu. Sekarang kita tidur. Esok adalah hari baru untukmu.”
Melli memadamkan lampu, berbaring dan menutup tubuhnya dengan selimut.
Kania melakukan hal yang sama, berharap ucapan Melli benar terjadi.
Dengan pekerjaan barunya, Kania bisa hidup layak sekaligus membuktikan kepada keluarga Herman bahwa tanpa mereka, dia bisa bertahan.
Waktu terus bergulir, berganti jam, menit, lalu detik tanpa henti. Kicauan burung bersahutan dengan kokok ayam jantan, menandakan pagi telah datang, membawa harapan sekaligus bayang-bayang takdir yang belum terungkap.
Di sudut kamar yang remang, Kania duduk termenung di tepi pembaringan. Kedua tangannya terlipat erat di depan dada, matanya tertunduk dalam doa yang tak terdengar, hanya ia dan Tuhan yang tahu.
Melli, yang baru bangun, diam memperhatikan. Sesekali ia mendengar isak tangis yang tertahan dari bibir Kania, membuat hatinya ikut tersayat merasakan apa yang di rasakan Kania saat ini.
Kania mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan, seakan membuang sisa air mata dan kesedihan. Ritual pagi itu selesai.
"Kamu percaya ada Tuhan?" suara Melli tiba-tiba menggelegar, membuat Kania tersentak.
Kania tidak lansung menjawab, ia menata tempat tidur terlebih dulu lalu duduk di samping Melli, matanya menatap lurus ke depan.
"Setelah semua yang terjadi padamu... apakah Tuhanmu pernah datang menolong?"
Melli bertanya lagi dengan suara serak, matanya penuh tanya dan harap dapat jawaban dari Kania.
Kania menarik napas, lalu berkata bahwa Tuhan tidak selalu datang dengan keajaiban yang terlihat jelas. Mungkin, Dia mengutus orang seperti Melli yang kini menjadi perpanjangan tangan-Nya untuk menolong.
Melli tersenyum, ada kegembiraan tersendiri dalam hatinya mendengar jawaban Kania.
Kania tertawa kecil melihatnya, lalu bangkit dan berjalan meninggalkan Melli yang sudah jadi malaikat kecil yang di utus Tuhan untuknya.
Tak lama kemudian, Kania kembali. Melli mempersilakan Kania duduk di depan meja rias. Hari ini adalah hari yang telah mereka rencanakan. Hari dimana mereka akan menemui ibu Melli.
Melli datang membawa sebuah kotak hitam dan sebuah gaun cantik yang diambil dari koper Kania.
Melli membuka kotak itu. Di dalamnya tersusun rapi alat-alat make up lengkap dengan bedak, lipstik dan semacamnya.
Dengan cekatan, tangan Melli mulai merias wajah Kania. Meski berprilaku seperti tomboy, keahlian merias Melli tidak bisa di pandang sebelah mata. Tangannya lincah mengoleskan bedak, menyapukan lipstik, dan menata alis dengan presisi.
Sesekali Melli mengomel, kesal ketika riasannya tak sempurna.
Melli tanpa putus asa terus mengulang dan mengulang hingga hasil yang di harapkan tercapai.
Wajah Kania berubah drastis. Dari gadis polos menjadi wanita anggun penuh pesona, seolah menyimpan rahasia besar di balik tatapan matanya yang dalam.
Mereka bergegas keluar rumah, mengunci pintu, dan melaju dengan sepeda motor menuju hotel bintang lima. Hotel dimana ibu Melli sudah menunggu mereka di sana.
Berpacu dengan waktu hingga
tiba juga di hotel, mereka memasuki lobi mewah. Di balik gemerlap cahaya kristal, Yuli, ibu Melli, menunggu. Sosok yang selama ini dikenal sebagai biro jodoh berpengalaman, namun dengan reputasi suram, memperkenalkan gadis belia pada pria-pria hidung belang dengan bayaran fantastic.
Mata Yuli menatap Kania dari ujung kepala hingga ujung kaki. Ada kekaguman tersirat di balik tatapan perempuan paruh baya itu.
Yuli memberi kode pada Melli untuk mengikutinya.
Sebelum beranjak, Melli memberi isyarat pada Kania agar tetap di tempat. Yuli menarik lengan Melli, menuntunnya ke lorong yang sepi.
"Aku suruh kamu datang sendiri, kenapa bawa teman?" suara Yuli mengandung amarah yang terpendam.
Rencana Yuli dari awal memperkenalkan Melli dengan seorang pria konglomerat, tuan Bram, sosok yang dingin dan sangat sulit ditemui. Namun, rencana itu hancur karena kehadiran Kania.
"Kalau kamu mau silah perkenalkan Kania dengan pria itu. Dapat uangnya lalu pergi." kata Melli dengan nada santai.
Yuli menggeleng, menatap tajam.
“Ini bukan soal uang, Melli,” Yuli berhenti sejenak menahan emosinya.
“Ini tentang masa depanmu. Kalau kamu menikah dengan Tuan Bram, hidupmu dan hidup ibu tidak akan terlunta-lunta seperti sekarang. Ibu sudah lama merencanakan ini, agar kamu bisa jadi istri pria konglomerat. Dan sekaranglah saatnya.”
Mendengar kabar tuan Bram akan datang ke kota itu, Yuli tak ingin melewatkan kesempatan tapi justru Melli merusak dengan membawa orang lain.
"Kenapa bukan Anda saja yang menikah dengannya, mungkin dengan cara itu Anda bisa mendapatkan apa yang selama ini Anda cari dan tidak lagi mengorbankan Aku dalam ambisi Anda."
Melli menarik tangan Kania untuk meninggalkan tempat itu. Belum juga melangkah, sekelompok pria berjas masuk. Di depan mereka berdiri tuan Bram, pria paruh baya berambut putih dengan wibawa mengerikan. Tatapannya tajam seperti elang yang siap memangsa mangsanya
Semua mata tertuju padanya. Pria yang selama ini ditakuti, dan sangat jarang munculnya di depan umum.
"Dia harus jadi suamiku," bisik Kania, suaranya hampir tak terdengar.
Melli mencubit lengannya
"Jangan gila! Dia kejam, tak ada satu pun wanita yang berani mendekatinya. Ayo Pergi dari sini sebelum semuanya terlambat"
Yuli menghadang mereka dan menarik lengan Kania dengan paksa. Ia tidak rela membiarkan mereka pergi begitu saja tanpa mendapat sepeser pun dari jerih payahnya selama ini.
Terjadi tarik menarik antara Yuli dan Melli memperebutkan Kania. Kania meronta, menghempaskan tangan keduanya. Dengan sagat yakin Kania memutuskan untuk ikuti Yuli menemui tuan Bram.
Yuli tersenyum sinis pada Melli, menggenggam erat tangan Kania lalu membawanya pergi. Sepeninggalan mereka, Melli terdiam di sofa, menyesali segalanya. Ia tahu, sekali terjerat dengan tuan Bram, sulit untuk keluar. Neraka atau mati mental, itulah pilihan yang menanti.
Pintu ruangan terbuka. Seorang pengawal mempersilakan Yuli dan Kania masuk.
Di dalam, tuan Bram duduk di kursi berukir naga, wajahnya dingin membara seperti api neraka.
Seorang pria bertubuh besar berdiri di sampingnya, menjaga dengan tatapan tajam.
Tubuh Kania gemetar, seolah tak sanggup berdiri di hadapan pria itu.
Namun tekadnya sudah bulat. Jadi istri tuan Bram adalah jalan satu-satunya untuk membalas dendam pada Herman, Elizabeth, dan keluarga yang telah menghancurkan hidupnya.
Tuan Bram menyuruh mereka duduk dengan suara berat namun tetap berwibawa.
Dengan rasa takut, keduanya duduk.
Yuli mengangkat kepala, namun tak berani menatap mata tuan Bram.
Menjelaskan pada tuan Bram kalau perempuan yang ia bawa masih gadis dan belum pernah di jamah.
Tuan Bram memandang Kania yang menunduk ketakutan. Keringat membasahi pakaiannya.
"Angkat wajahmu," perintahnya.
Suaranya tajam, menembus keheningan, membuat tubuh Kania semakin gemetar karena takut.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!