"Ayah... Ibu... Tolong!"
Jian Li, seorang anak laki-laki terperosok mundur, menghindari ular yang ada di depannya. Padahal sang ular tidak berusaha menyakitinya karena kondisi ular hanya numpang lewat dan tak berniat jahat. Namun Jian Li pikir ular itu akan mematuknya, sehingga ia yang sangat takut, berinisiatif untuk mengambil kayu lalu ingin memukul ular tersebut.
Namun sebelum kayu itu sempat melayang, mata Jian Li terbelalak. Di hadapannya seorang gadis kecil dengan santai telah mengamankan ular tersebut.
"Beraninya dia?" batin Jian Li terpukau. Ling Xi ( nama gadis pemberani itu) membawa ular menjauh dari Jian Li. Ia melepaskan sang ular di tepi sungai.
"Hai ular, namaku Ling Xi. Kini kau aman, bebaslah." Ling Xi kecil melambaikan tangan, mengucapkan selamat tinggal. Sang ular memandang Ling Xi lekat-lekat, seakan mengerti sebelum akhirnya meliuk pergi di antara rerumputan.
Ling Xi kemudian berbalik, turut pergi dari sana, dan ia pun melewati eksistensi Jian Li yang sudah berdiri tidak sekacau tadi. Ling Xi berhenti sejenak ketika Jian Li memanggilnya. "Hei kau," Kata Jian Li karena dia tidak tahu nama Ling Xi.
Ling Xi berhenti, menoleh lalu senyum tipis. Tepat saat itu seorang pelayan menghampiri Ling Xi.
"Nona muda, bawahan ini diperintah untuk menjemput Anda. Tuan besar telah menanti kepulangan Anda di kediaman."
Ucapan sang pelayan membuat Ling Xi bergegas. Ia menoleh sekali lagi pada Jian Li, namun Ling Xi tidak sempat berucap sepatah kata pun. Ia melesat pergi meninggalkan Jian Li.
...____________...
Sebelas tahun tahun kemudian.
Seolah takdir alam semesta berkonspirasi, Ling Xi dan Jian Li yang sudah besar kini terikat dalam benang asmara. Jian Li, dengan keberanian hati seorang prajurit adalah yang pertama kali menyatakan perasaannya, meminta Ling Xi menjadi kekasihnya. Tanpa satu sama lain tahu bahwa mereka sesungguhnya pernah bertemu sewaktu masih kecil.
Perjumpaan mereka yang tidak terduga terjadi di sebuah pasar tradisional, tempat Ling Xi gemar menghabiskan waktu untuk menikmati keramaian rakyat biasa meski darah bangsawan mengalir dalam dirinya.
Di sanalah ia bertemu kembali dengan Jian Li. Sejak pertemuan itu, keakraban di antara mereka kian erat menumbuhkan benih-benih perasaan yang tidak terduga dalam hati Ling Xi. Maka, ketika Jian Li mengungkapkan keinginannya untuk menjadikan Ling Xi kekasih, Ling Xi pun menyambutnya dengan sukacita.
Ling Xi tidak jarang mengajak Jian Li bertandang ke kediamannya. Dari sana lah hubungan Jian Li dan keluarganya terajut. Jian Li pun tak asing lagi di meja makan keluarga Ling Xi, kerap terlibat dalam santap malam sehingga ia terlihat begitu akrab dan diterima hangat oleh ayahanda serta ibu tiri Ling Xi.
Selain itu, Jian Li juga mulai menunjukkan kedekatan dengan Xiu Ying, kakak tiri Ling Xi, putri dari ibu tirinya. Ayah Ling Xi memang menikah kembali setelah kepergian mendiang istrinya, mempersunting seorang wanita yang telah memiliki seorang putri, Xiu Ying, yang usianya lebih tua dari Ling Xi.
Namun, perlakuan Jian Li kepada Ling Xi dan Xiu Ying justru seperti terbalik.
Seiring waktu, kejanggalan dalam sikap Jian Li semakin nyata. Perilakunya terhadap Xiu Ying mulai menunjukkan nuansa yang berbeda. Jian Li terlihat lebih sering melirik Xiu Ying, senyumnya terkembang lebih lebar saat berinteraksi dengannya, bahkan tidak jarang ia mengulurkan bantuan kecil yang seharusnya menjadi tugas pelayan.
Ling Xi yang hatinya penuh cinta, tidak menyadari perubahan ini. Ia menganggap kedekatan Jian Li dengan Xiu Ying sebagai bentuk keramahan belaka, wajar karena mereka akan segera menjadi keluarga. Namun pelayan pribadinya bilang bahwa yang seperti kekasihnya Jian Li adalah Xiu Ying, bukan Ling Xi.
"Nona, ini kudapan dan teh penenangnya," ujar A Mei meletakkan nampan di atas meja. "Nona sudah belajar berjam-jam. Istirahat sejenak, ya."
Ling Xi mendongak, "Oh, A Mei! Terima kasih. Aku benar-benar tidak menyadari sudah berapa lama. Aku sedang asyik sekali. Materi ini sungguh menarik. Tapi sayangnya aku tidak dapat memahaminya." Ling Xi memang tidak pintar. Sebab itulah sang ayah kerap membandingkannya dengan Xiu Ying.
"Nona memang tekun. Bawahan ini senang melihat Nona begitu bersemangat. Ini pasti karena Nona teringat pesan Tuan Muda Jian Li, bukan?"
Wajah Ling Xi berseri. "Tepat sekali. Beberapa hari lalu, Jian Li bilang padaku, 'Ling Xi, kau harus terus belajar dan memperluas wawasanmu. Lihatlah Xiu Ying, dia begitu cerdas dan berpengetahuan luas. Wanita yang cerdas itu menarik.' Aku jadi semakin termotivasi. Aku ingin bisa pintar sepertinya."
Genggaman A Mei pada nampan mengerat sesaat, namun ia segera menormalkannya.
"Tentu, Nona. Bawahan ini setuju Nona harus terus belajar. Ilmu itu tidak ada habisnya."
Namun, A Mei tidak bisa menahan diri sepenuhnya. "Hanya saja, bawahan ini tidak bisa menahan diri untuk tidak mengatakan ini." Ia berlutut di samping Ling Xi.
"Meskipun Nona begitu bersemangat belajar dan ingin seperti Nona Xiu Ying, bawahan ini masih saja merasa ada yang janggal."
Ling Xi mengernyitkan dahi. "Apa maksudmu, A Mei?"
"Nona adalah kekasihnya Tuan Muda Jian Li, Tapi kenapa dia selalu saja membandingkan Nona dengan Nona Xiu Ying? Kenapa dia terus-menerus memuji kepintaran Nona Xiu Ying di depan Nona? Bawahan ini melihatnya, Nona. Cara Tuan Muda Jian Li memandang Nona Xiu Ying, cara dia berbicara dengannya Nona, sungguh-sungguh sungguh berbeda."
Mata Ling Xi sedikit meredup. "Tapi dia hanya ingin aku menjadi lebih baik, A Mei."
"Menjadi lebih baik itu bagus, Nona," sanggah A Mei, "tapi bukan dengan cara selalu membandingkan Nona dengan orang lain. Apalagi dengan seseorang yang hatinya selalu ia tuju. Jujur saja, Nona, kalau bawahan ini tidak tahu Nona adalah kekasihnya, bawahan ini akan mengira Nona Xiu Ying-lah kekasih Tuan Muda Jian Li. Caranya memperlakukan Nona Xiu Ying, melindungi dan memujinya, itu seperti perlakuan seorang kekasih. Sementara pada Nona, dia hanya memberi saran untuk belajar seperti orang lain."
A Mei tertunduk. "Bawahan ini sakit hati melihat Nona berusaha keras menjadi seperti orang lain demi mendapatkan perhatiannya. Nona sudah luar biasa apa adanya. Nona pantas dicintai karena diri Nona sendiri, bukan karena Nona bisa menjadi seperti Nona Xiu Ying. Rasanya bawahan ini ingin sekali berteriak padanya, menyadarkannya bahwa dia punya kekasih yang mencintainya, yang sedang berusaha menjadi apa yang dia inginkan, namun dia tidak pernah melihatnya."
Kali ini Ling Xi yang menunduk, "Aku... aku tidak tahu, A Mei. Aku hanya ingin dia melihatku."
Dan dari situlah Ling Xi lebih peka dengan sekitar. Ia melihat bagaimana Jian Li akan memastikan Xiu Ying sudah makan sebelum ia sendiri menyentuh hidangan, atau bagaimana ia lebih sigap menawarkan selendang pada Xiu Ying saat angin bertiup kencang, padahal Ling Xi juga ada di sana.
Suatu sore, saat mereka bertiga berada di ruang belajar, Ling Xi mengamati Jian Li yang dengan asyik membahas tentang obat-obatan dan Alkimia bersama Xiu Ying. Bahkan Jian Li sempat membetulkan anak rambut Xiu Ying.
Apa benar yang dikatakan A Mei?
.
.
.
Bersambung.
Di kediaman keluarga Ling, Ling Xi diliputi kepanikan. Juan Li sang kekasih tiba-tiba datang berkunjung tanpa diundang. Padahal Ling Xi sedang ingin bermalas-malasan. Tanpa menunda, A Mei sang pelayan setianya segera membantunya mandi berendam di air kelopak bunga dan wewangian. Meski A Mei kurang setuju dengan hubungan mereka, ia tetap melayani Ling Xi dengan loyal sebab itu sudah menjadi tugasnya.
Kini Ling Xi tampil cantik dan harum. Sebelum menemui Juan Li, ia ingin menunjukkan lukisannya terlebih dahulu pada sang ayah yang kebetulan sedang berada di rumah. "Ayah, lihatlah, ini lukisan kota yang kubuat. Kalau Ayah ingin, akan kujelaskan detailnya," ujar Ling Xi.
Sang ayah menatap sekilas. Senyum miring tersungging di bibirnya melihat lukisan yang tampak seperti buatan amatir. Ia mengambil lukisan itu, membuat senyum Ling Xi merekah. Namun senyum itu seketika sirna saat sang ayah meletakkan lukisan itu begitu saja dan kembali sibuk, seakan-akan apa yang dibuat Ling Xi tidaklah penting.
"Ayah sepertinya sibuk," gumam Ling Xi.
"Ayah tidak ada waktu untuk melihat-lihat karyamu yang begini-begini saja," balas ayahnya. "Xi'er, di usiamu sekarang, jangan hanya bermain. Ini salah Ayah juga karena terlalu memanjakanmu saat kecil, hingga kau tidak bisa berpikir maju seperti sekarang."
Sebenarnya sang ayah adalah sosok yang baik, hanya saja ia jengah dengan Ling Xi yang tidak memiliki kemajuan membanggakan. Terlebih ada Xiu Ying, putri sambungnya yang selalu menjadi kebanggaan. Tanpa sadar sang ayah lebih menaruh perhatian pada Xiu Ying.
Saat Ling Xi hendak kembali berbicara, ibu tirinya menahan dengan lembut. "Xi'er, ayahmu hanya sedang banyak pekerjaan. Jika sudah senggang, Ibu akan bicara pelan-pelan padanya agar ia mau melihat karyamu. Bagi Ibu, ini sungguh mengagumkan."
"Mengagumkan?" tanya Ling Xi.
"Iya, sungguh mengagumkan," jawab sang ibu tiri lembut.
Sang ayah berdecak. "Jangan berlebihan. Apanya yang mengagumkan? Seharusnya kau didik Ling Xi agar bisa maju seperti Xiu Ying. Pujianmu hanya akan membuatnya besar kepala dan semakin malas."
Ibu tirinya berusaha menenangkan suaminya, namun sang ayah bergegas pergi meninggalkan Ling Xi dan istrinya tersebut.
"Aku permisi, mau menemui Jian Li di taman belakang." Ling Xi ikut berpamitan pada ibu tirinya setelah ayahnya pergi. Ibu tirinya mengangguk seraya tersenyum amat manis.
Setelah punggung Ling Xi hilang di balik pembatas, pelayan setia sang nyonya langsung bersuara, "Nyonya Luo, anda sungguh mengagumkan."
Luo menyahut, "Kau mengerti rupanya apa yang mengagumkan." Senyum miring terlukis di bibirnya saat ia menyerahkan gulungan lukisan milik Ling Xi pada pelayannya.
"Nyonya, lukisan ini mau diapakan?"
"Buang saja. Kau dengar sendiri tadi, suamiku tidak sudi melihatnya." Luo menepuk-nepuk telapak tangannya, seakan-akan baru saja memegang debu kotoran. Sandiwara menjadi ibu tiri yang penuh pengertian betapa mengagumkan.
Sementara pelayan pribadi Luo memegang lukisan Ling Xi tak jauh berbeda dengan sang majikan. Seperti sedang memegang kotoraan,
...****...
"Jian Li!" seru Ling Xi ketika langkahnya menginjak paviliun bambu di taman belakang.
Jian Li menoleh, menyambut sekenanya. "Ling Xi, duduklah di sini. Kudengar kau akan membawa kecapi?"
"Maaf sudah menunggu lama, kau datang tidak mengabarkan terlebih dahulu padaku." kata Ling Xi duduk di samping Jian Li.
"Tidak apa-apa." Jian Li kembali menatap ke arah Xiu Ying yang tengah memetik guqin di sisi kolam teratai. Melodi yang mengalir dari jemarinya sungguh merdu, bagai air terjun yang mengalir menuruni tebing. Orang yang melihatnya pasti terpukau.
Ling Xi melihat pandangan mata Jian Li begitu penuh kekaguman terhadap Xiu Ying. "Kak Xiu Ying memang hebat, bisa ini itu. Dan ia juga sangat cantik." Seru Ling Xi.
"Iya, sangat cantik...Tidak," potong Jian Li segera. "Ia memang hebat dan juga cantik. Aku datang ke sini karena ada yang mau aku sampaikan padamu. Untuk beberapa saat ke depan, aku akan sibuk. Ada kepentingan di keluargaku."
Belum sempat Ling Xi membalas, Xiu Ying yang telah selesai dengan musiknya bangkit dan berjalan menghampiri mereka.
"Adik-adikku, bagaimana jika kita bermain bersama?" tawar Xiu Ying dengan senyum cerah. "Kakak akan menari. Ling Xi, kau bisa memainkan kecapi yang kau bawa. Sedangkan Jian Li, kau menjadi penonton setia kami."
"Tapi Kak, aku hanya bisa memainkan lagu rakyat yang sederhana. Itu tidak sebanding dengan tarian Kakak yang elegan."
"Tidak masalah, aku akan mengikutimu."
Kekaguman Jian Li kian membesar melihat bagaimana Xiu Ying begitu mendukung Ling Xi, alih-alih meremehkan musik yang berbeda. Ling Xi mulai memetik dawai kecapinya. Alunan lagu rakyat yang sederhana namun penuh makna memenuhi taman.
Xiu Ying mulai menari. Gerakan-gerakannya mengalir lincah dan bersemangat mengikuti irama kecapi Ling Xi. Ia tidak lagi menari tarian istana yang anggun, tapi tarian bebas yang energik.
Pandangan Jian Li kembali terpaku pada Xiu Ying. Ling Xi melirik Jian Li, yang matanya tidak berkedip sedikit pun. Jari-jemari Ling Xi tetap memetik dawai, tapi alunan yang keluar kini sedikit sumbang karena suasana hatinya panas.
Jian Li tidak melihatku, ia hanya melihat Kak Xiu Ying. Gumam Ling Xi dalam hati.
Seandainya saja saat ini ia yang menari dan Xiu Ying yang memainkan musik, Ling Xi yakin seratus persen Jian Li tetap akan memandang Xiu Ying. Ling Xi terngiang-ngiang kembali perkataan A Mei padanya.
Jika perkataan A Mei benar, lalu mengapa Jian Li malah memilihku menjadi kekasihnya? Ini tidak bisa dibiarkan.
"Ling Xi, kenapa berhenti?" tanya Xiu Ying karena Ling Xi tiba-tiba berhenti memainkan kecapi.
Ling Xi tidak menjawab. Ia hanya menunduk sembari memegangi kepalanya. Lalu...
Bruk!
Ling Xi ambruk. Tubuhnya tergeletak lemas, sepertinya pingsan tak sadarkan diri. Xiu Ying dan Jian Li segera menghampirinya. Wajah Xiu Ying dipenuhi cemas, lalu ia meminta Jian Li untuk membopong Ling Xi ke kamarnya.
Saat Jian Li membopong tubuh Ling Xi, Xiu Ying mengikuti di belakang. Matanya menangkap sekilas kelopak mata Ling Xi yang terbuka, mengintip wajah Jian Li. Senyum tipis terukir di bibir Xiu Ying. Oh, ternyata dia hanya pura-pura, batinnya. Ia pun bersiap untuk memainkan perannya dalam sandiwara ini.
Ketika sampai di kamar, tubuh Ling Xi dibaringkan diatas tempat tidur. Jian Li mencoba membangunkannya dengan menepuk-nepuk pipi Ling Xi perlahan. "Ling Xi, bangunlah. Apa yang terjadi?" Suara Jian Li terdengar penuh kekhawatiran.
Melihat itu, Xiu Ying langsung berujar ke pelayan pribadi Ling Xi.
"A Mei, tolong panggilkan tabib keluarga."
Ling Xi langsung menegang.
.
.
.
Bersambung.
"A Mei, tolong panggilkan tabib keluarga."
Ling Xi langsung menegang.
Jika tabib keluarga benar-benar datang, sandiwaranya pasti akan terbongkar. Di tengah kecemasannya, Ling Xi yang masih memejamkan mata mendengar suara A Mei. Pelayan setianya itu ternyata tidak langsung mengiyakan perintah Xiu Ying.
"Maaf, Nona Xiu Ying," ucap A Mei sambil membungkuk hormat. "Tabib keluarga sedang memeriksa pasien di luar kota. Biarlah bawahan ini yang mengurus Nona Ling Xi."
A Mei bergerak cepat mengambil sebotol kecil berisi ramuan yang biasa digunakan untuk menyadarkan orang pingsan. Kemudian ia mendekat dan mengusapkan ramuan itu ke Ling Xi. Dalam hatinya, Ling Xi sangat berterima kasih kepada A Mei yang langsung memahami situasinya. Ia berjanji akan memberikan hadiah, atau bahkan perlindungan jika A Mei sampai dihukum karena kebohongannya.
Tidak lama setelah A Mei berakting menyadarkan, Ling Xi perlahan-lahan membuka matanya. Namun justru karena kebohongan A Mei inilah, Jian Li langsung menyadari ada yang tidak beres. Ia merasa janggal karena A Mei mengatakan tabib sedang di luar kota, padahal Jian Li sempat berpapasan dengan tabib keluarga Ling di paviliunnya tadi.
Saat tersadar, Ling Xi langsung berbasa-basi mengucapkan terima kasih kepada Jian Li dan Xiu Ying karena telah membawanya ke kamar dan mengkhawatirkannya.
"Kalau begitu, aku permisi dulu," ucap Xiu Ying. Ia tersenyum tipis seraya berpamitan, "Aku tidak ingin mengganggu waktumu dengan Jian Li."
Setelah Xiu Ying pergi, semua pelayan juga turut keluar meninggalkan Jian Li dan Ling Xi berdua saja.
Suasana hening sejenak sebelum Jian Li membuka suara, "Kenapa kamu berpura-pura pingsan?"
Ling Xi terhenyak. Ia tidak berusaha menepis tuduhan itu, karena itu hanya akan membuatnya terlihat konyol. Ia tahu jika Jian Li sudah bertanya on point, pasti ia sudah memiliki bukti kuat.
"Ya, memang aku pura-pura. Dengan begitu, kau bisa fokus padaku seperti sekarang ini."
Manipulatif sekali, batin Jian Li.
"Aku sebenarnya datang hanya untuk menyampaikan pesanku tadi. Aku tidak sedang ingin memperhatikan siapa pun," balas Jian Li. Ia bangkit dari duduknya. "Sekarang pura-pura sakitmu sudah sembuh, jadi aku akan pulang."
Ketika Jian Li hendak berbalik, suara Ling Xi kembali terdengar, "Kapan kau akan pergi ke tempat orang tuamu?"
"Besok pagi."
Ling Xi mengangguk, dan Jian Li membalasnya dengan senyum tipis sebelum akhirnya benar-benar melangkah pergi.
Sementara itu, saat ini Xiu Ying merasa kesal sehingga ia memutuskan untuk menjauh dulu dari mereka agar tidak kelepasan. Bisa-bisa nanti image kelembutannya hilang. Dia akan membuat perhitungan kepada pelayan setia Ling Xi karena sudah berusaha menghalau dramanya.
"A Mei, apa saja yang sudah kamu siapkan?" tanya Ling Xi seraya membenahi hiasan rambut yang berkilauan. Pagi itu sinar matahari masih malu-malu mengintip dari balik awan, tetapi kesibukan di kediaman Ling sudah terasa.
A Mei segera menghampiri dengan sebuah keranjang anyaman di tangan. "Nona, bawahan ini sudah siapkan sesuai petunjuk. Ada buah persik dewa dari kebun utara, teh bunga seribu tahun dari Gunung Langit, serta acar plum dari kebun belakang."
Ling Xi menatap isi keranjang dengan saksama.
"Hmm, persik dewa itu memang paling baik. Manisnya bisa membuat siapa pun tersenyum. Teh bunga seribu tahun juga langka, cocok untuk orangtua Jian Li. Acar plum dari kebun belakang menambah kesan buatan sendiri." Ling Xi mengangguk puas.
A Mei menambahkan, "Apakah buah tangannya perlu ditambah dengan patung naga dan burung phoenix?"
"Bukankah itu lambang pasangan yang sempurna?" tanya Ling Xi.
"Benar itu adalah lambang harapan, Nona. Harapan agar Nona dan Tuan Jian Li bisa bersatu selamanya, seperti naga dan phoenix yang saling melengkapi."
Ling Xi menghela napas, "Kau ini, A Mei. Harapan memang indah, tapi terkadang kenyataan jauh berbeda. Patung ini mungkin terlalu berlebihan untuk saat ini. Apalagi aku belum pernah bertemu orangtua Jian Li. Seperti apa keluarganya, dan bagaimana chemistry diantara kami, aku masih belum tahu. Buah tangan ini saja akan aku titipkan pada Jian Li."
"Iya Nona, bawahan ini hanya bergurau." A Mei terkekeh ringan.
Ling Xi tersenyum, "Dasar kau ini. Ganti saja ide gilamu itu dengan lukisan bunga teratai milikku."
"Baik, Nona."
Mereka bergegas pergi menuju kediaman Jian Li.
...****...
Di tepi hutan yang berdekatan dengan kediaman Jian Li, Ling Xi melihat sosok pria yang dicarinya. Jian Li pernah berkata bahwa ia sedang berkelana dan menuntut ilmu, sehingga tempat tinggalnya terpisah dari orang tuanya.
Ling Xi berniat memanggilnya, namun entah mengapa perasaannya menahan. Biarlah kedatangannya menjadi kejutan tanpa kabar.
Ling Xi bersembunyi dan menunggu Jian Li melangkah ke kediaman laki-laki itu. Tapi justru yang terjadi, seorang pria datang menghampiri Jian Li. Pria itu tampak sangat menghormati Jian Li. Ling Xi lantas berpindah tempat agar dapat mendengar percakapan mereka lebih jelas.
"Tuan Muda Mahkota, Yang Mulia Kaisar sudah menanyakan kabar Anda. Beliau juga bertanya kapan Anda akan kembali ke Kerajaan Donghai?"
"Katakan saja aku sedang mempelajari ilmu dari negeri seberang. Aku akan kembali ketika waktunya tiba, tidak akan lama. Sepertinya Xiu Ying sudah dapat menerima kedekatanku."
"Baik, Tuan Muda Mahkota. Tadinya pengawal ini khawatir Anda akan jatuh cinta pada Nona Ling Xi karena Anda berpura-pura menjadikannya kekasih untuk bisa mendekati Nona Xiu Ying."
Jian Li tertawa. "Mana mungkin. Aku sama sekali tidak mencintai Ling Xi. Selain rumor bahwa ia malas dan tidak pintar itu benar, ia juga wanita manipulatif. Demi mendapat perhatianku, ia sampai pura-pura pingsan. Aku tidak mungkin bersama wanita seperti itu. Hanya Xiu Ying yang pantas menjadi permaisuriku kelak. Ling Xi hanyalah batu loncatan untukku demi mendapatkan Xiu Ying yang pintar, lembut, dan baik hati, tentunya tidak manipulatif seperti adiknya." Jian Li kembali tertawa, diikuti senyuman sang pengawal.
"Taktik ku mendekati Ling Xi lebih dulu ternyata berhasil membuatku lebih dekat dengan Xiu Ying. Akhirnya aku bisa menaklukkan wanita yang sulit di dekati. Setelah ini aku mengakhiri status hubunganku dengan Ling Xi, semoga saja ia mau mengerti." Lanjut Jian Li.
Hati Ling Xi terasa sakit mendengar ucapan-ucapan yang keluar dari mulut Jian Li. Tangannya terkepal, sementara rasa sakit menggerogoti dadanya. Ia melirik buah tangan yang ingin dia titipkan pada Jian Li untuk orangtua laki-laki tersebut di tangan para pelayannya, lalu menarik napas dalam-dalam.
"Nona, apakah kita kembali ke paviliun saja?" tanya A Mei khawatir.
"Tidak, A Mei. Aku harus menghadapinya."
Dengan mengusap air matanya, Ling Xi bertekad tetap menemui Jian Li, dimana laki-laki itu sudah beranjak pergi menuju kediaman.
.
.
.
Bersambung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!