NovelToon NovelToon

Pertukaran Jiwa: CEO Kejam Menjadi Istri Teraniaya

Bab 1

“Apa yang sedang kamu lakukan di kamarku?” teriak Rachel dengan suara penuh amarah, membuat suasana ruangan itu mendadak menegang.

Di hadapannya, berdiri seorang wanita berambut panjang bergelombang, tubuhnya membeku seperti tertangkap basah melakukan sesuatu yang terlarang. Hillary, sepupu dari suami Rachel, tersentak kaget.

Tangan Hillary masih menggenggam sesuatu sebelum buru-buru menyelipkannya ke dalam tumpukan kain di bagian bawah lemari pakaian. Gerak-geriknya mencurigakan, terlalu terburu-buru untuk bisa dianggap wajar.

Rachel memicingkan mata. Ia merasakan ada yang tidak beres. Suasana hatinya memburuk, dada bergemuruh seperti gendang perang dipukul bertalu-talu.

“Hillary, kamu sedang merencanakan sesuatu yang buruk, kan?” tuduh Rachel, seraya menarik lengan wanita itu agar menjauh dari lemari. Sentuhan dia sebenarnya ringan, hanya sebuah dorongan untuk membuat jarak, tapi reaksi yang muncul sungguh di luar dugaan.

“Aaaaa! Sakit!” jerit Hillary sekuat tenaga, seperti seorang aktris drama yang sedang bermain di panggung teater. Tubuhnya menjatuhkan diri ke lantai seolah habis dilempar keras, meski kenyataannya dia hanya menjatuhkan bokongnya dengan gaya berlebihan.

Rachel tertegun. Bibirnya terbuka tanpa suara. Ia tahu betul bahwa sentuhannya tadi tak cukup kuat untuk membuat orang kehilangan keseimbangan. Namun, Hillary sudah lebih dulu memainkan perannya dengan sempurna.

“Hillary!”

Suara tua yang dikenal Rachel membuatnya terkejut. "Grandma ...."

Nenek Hilda, wanita yang dulunya menyayanginya seperti cucu sendiri, kini berdiri di ambang pintu dengan tatapan panik. Ia segera melangkah cepat dan membungkuk membantu Hillary bangun. Tangan keriputnya menyentuh pundak wanita muda itu penuh kekhawatiran.

“Mana yang sakit?”

Rachel hanya bisa berdiri kaku. Dadanya terasa sesak. Kenangan masa lalu menyeruak—betapa hangatnya dulu pelukan nenek itu, betapa ia dulu dipanggil ‘Sayang’ dan selalu diberi perhatian. Namun, segalanya berubah sejak kejadian empat tahun lalu. Kini, ia seperti musuh yang layak dihukum tanpa pembelaan.

“Sekujur tubuhku sakit semua, Grandma,” ucap Hillary dengan tangisan palsu yang terdengar meyakinkan bagi siapa pun yang tidak tahu wataknya yang licik.

Beberapa pelayan tergopoh-gopoh memasuki kamar, wajah mereka bingung sekaligus waspada. Keributan di kamar dekat dapur sudah cukup membuat mereka berhenti dari aktivitas masing-masing. Mereka tahu, kamar itu bukan kamar biasa—itu adalah tempat beristirahat Nyonya Rumah Rachel Salvador. Kamar yang dulunya bekas gudang dapur, kini direnovasi menjadi ruangan kecil namun nyaman, walau masih terasing dari pusat rumah besar keluarga Salvador.

“Nyonya Besar Hilda, ada apa?” Anne, kepala pelayan yang terkenal galak namun patuh, muncul di ambang pintu.

“Anne, hukum Rachel karena sudah berbuat jahat kepada Hillary!” perintah Nenek Hilda, suaranya tegas dan penuh kemarahan yang entah sejak kapan tumbuh subur terhadap Rachel.

“Baik. Akan saya laksanakan!” jawab Anne tanpa tanya. Tangannya terampil merogoh saku celananya dan mengeluarkan cambuk kecil dari kulit yang biasa disimpan untuk mendisiplinkan pembantu.

Rachel melangkah mundur, wajahnya pucat. “Aku tidak melakukan apa-apa kepada Hillary. Dia yang su—AAAAA!” jeritnya tertahan saat cambuk pertama mendarat di lengannya.

Panas dan perih langsung menyebar seperti api menjilat kulit. Ia meringis, tapi sebelum sempat bicara, cambuk kedua menyusul.

“Beri dia dua puluh cambukan. Setelah itu kurung di dalam gudang dan keluarkan sebelum Aiden pulang,” kata Nenek Hilda dengan sorot mata membara. Amarahnya seperti tak bisa dibendung.

Hillary berdiri di sudut ruangan, berpura-pura sedih. Namun, tak bisa menyembunyikan senyum kecil yang terselip di sudut bibirnya. Senyum kemenangan. Dia berhasil lagi menyingkirkan Rachel dari panggung utama rumah ini. Hatinya dipenuhi dendam yang belum terbalaskan. Diam-diam dia menyukai sepupunya sendiri, Aiden.

“Aku tidak bersalah,” desah Rachel lirih, tubuhnya semakin lemah karena pukulan yang terus mendera. “Aaaaa!”

“Rasakan ini!” Anne, tanpa rasa iba, terus mengayunkan cambuk. Suaranya membelah udara, diiringi suara rintihan Rachel yang mengiris hati siapa pun—kecuali orang-orang yang tak lagi memedulikannya.

Di tengah kekacauan itu, Hillary malah mulai membicarakan pesta. “Grandma, Minggu depan akan ada pesta dari keluarga Bone. Pastinya akan banyak orang dari kalangan atas yang datang,” ucapnya dengan suara dibuat manja, seperti anak kecil yang menginginkan hadiah.

“Sepertinya Aiden dapat kartu undangan itu,” balas Nenek Hilda sambil mengernyit, berusaha mengingat.

“Benarkah, Grandma?” Mata Hillary berbinar. Ia sudah membayangkan gaun mahal dan sorotan tamu-tamu elite saat ia berjalan menggandeng Aiden.

“Iya. Kamu lihat saja kartu undangannya di ruang kerja Aiden,” ucap Nenek Hilda, kini tersenyum lembut—senyum yang dulunya milik Rachel, tapi kini telah direbut Hillary sepenuhnya.

Sementara itu, di lantai atas gedung pencakar langit milik Salvador Group, ruang rapat tampak tegang. Cahaya lampu gantung yang terang memantul di meja kaca panjang, sementara layar presentasi menampilkan grafik ekonomi global yang terus menurun. Aiden duduk di ujung meja, tubuhnya tegap tapi wajahnya menyiratkan kelelahan yang tak tertutupi.

Suasana ruangan hening, hanya terdengar dengung pendingin ruangan dan detak jarum jam yang terasa lebih lambat dari biasanya. Para direksi tampak gelisah. Keadaan perekonomian global memang sedang tidak stabil. Daya beli masyarakat melemah, saham naik-turun tanpa arah pasti, dan perputaran uang kian tersendat. Masalah demi masalah seakan menumpuk di pundak Aiden.

“Kita harus membuat terobosan terbaru untuk menjaring konsumen dari masyarakat tingkat menengah ke atas lebih banyak, dengan meningkatkan usaha pariwisata milik kita,” ujar Richard, asisten sekaligus orang kepercayaan Aiden, sembari menunjuk layar presentasi. “Kehidupan yang penuh tekanan membuat mereka haus hiburan. Mereka butuh pelarian, dan kita bisa menyediakannya.”

Akan tetapi ada suara lain segera membantah. “Justru kita harus fokus menjaring lebih banyak orang-orang dari kalangan atas,” timpal Tomy—sepupu Aiden lainnya sama seperti Hillary—dengan nada tajam. “Kita ciptakan produk baru yang harganya fantastis. Mereka suka eksklusivitas.”

Suara-suara pro dan kontra mulai saling bersahutan. Beberapa mengangguk setuju pada Richard, lainnya mendukung Tomy. Ketegangan memuncak. Ruang rapat yang seharusnya menjadi tempat lahirnya solusi kini justru berubah menjadi arena perdebatan. Tak satu pun mau mengalah. Ego dan ambisi masing-masing mengunci nalar mereka.

Waktu terus berlalu. Tiga jam kemudian, rapat ditutup tanpa keputusan jelas. Kertas-kertas bertebaran di meja, suara-suara terdengar lelah, dan Aiden menghela napas berat sambil menyandarkan punggungnya ke kursi.

“Sudah malam. Apa kamu akan pulang ke rumah?” tanya Richard pelan, memecah keheningan yang menyergap.

Aiden melirik ke luar jendela. Langit Jakarta yang kelam memantulkan cahaya lampu kota, tapi hatinya tetap terasa suram. “Rasanya aku malas pulang ke rumah. Setiap hari selalu saja ada aduan dari Grandma dan Hillary soal kelakuan Rachel,” keluhnya, nadanya getir.

Richard menatap sahabatnya dengan prihatin. “Kalau kamu sudah tidak mencintainya, sebaiknya ceraikan saja,” ucapnya lirih. Ia tahu, kata-kata itu seperti menabur garam di luka yang belum sembuh. Tapi melihat Rachel terus disalahkan, hatinya tidak tega.

“Mudah sekali kamu bicara,” bentak Aiden, suaranya meninggi. “Apa kamu tahu konsekuensinya jika aku menceraikan Rachel?!”

Richard mengangguk pelan. “Aku bicara sebagai temanmu. Untuk apa mempertahankan hubungan yang tidak membuat kamu bahagia? Bukankah sekarang Sandra sudah kembali?”

Nama itu seperti petir di siang bolong bagi Aiden. Sorot matanya berubah, menatap tajam ke arah Richard. Sandra. Wanita yang dulu mencintainya, lalu pergi meninggalkan luka yang dalam demi karier gemilang sebagai model internasional.

Waktu itu, Aiden sedang berada di titik terendah. Perusahaan keluarganya sedang terguncang, dan Sandra memilih pergi. Kepergiannya menyisakan kehampaan yang membuat Aiden hancur. Dalam keputusasaan, dia mengalami kecelakaan hebat—sebuah tragedi yang mempertemukannya dengan Rachel.

Rachel yang sederhana, tulus, dan penuh kasih sayang membuat Aiden merasa hidup kembali. Mereka menikah, dan sempat merasakan bahagia … tapi semua itu tak bertahan lama karena sebuah insiden.

Setahun belakangan ini Sandra kembali hadir. Wanita itu datang lagi setelah lima tahun menghilang, membawa senyum lamanya yang menawan dan hasrat untuk kembali ke pelukan Aiden.

“Lihat, muka kamu sudah seperti zombi! Pulanglah, istirahat. Abaikan saja masalah di rumah,” saran Richard, suaranya lembut namun tegas.

Aiden mengangguk pelan. Tubuhnya memang lelah, dan pikirannya sudah tak bisa fokus. Dengan langkah lunglai, ia tinggalkan kantor dan menyusuri malam menuju rumah. Di balik kesuksesan dan kemewahan hidupnya, ada kekosongan yang tak bisa diisi oleh harta maupun jabatan.

Sesampainya di rumah megah keluarga Salvador, suasana mencekam justru menyambutnya. Aiden belum sempat membuka sepatu, tapi bisik-bisik para pelayan sudah terdengar menusuk telinga.

“Lagi-lagi Nyonya Rachel berbuat ulah. Kenapa Tuan Aiden tidak menceraikannya saja?”

“Iya. Kalau aku jadi Tuan, sudah aku usir Nyonya Rachel dan menikah dengan Nona Sandra. Dia lebih cantik dan berkelas.”

“Nyonya besar juga lebih suka Nona Sandra. Keluarga Brown sepadan dengan keluarga Salvador.”

Aiden tidak bereaksi dan wajahnya datar. Dia tahu para pelayan itu gemar membandingkan Rachel dan Sandra, seakan-akan Rachel hanya bayangan buram pengganti Sandra. Baginya, itu semua omong kosong.

Begitu masuk ke kamar, Aiden langsung melempar jas, dasi, dan jam tangan ke atas kasur. Dia menjatuhkan tubuh ke ranjang, memijat kening yang berdenyut. Tubuhnya menjerit minta istirahat, tapi pikirannya masih diselimuti kemelut permasalahan perusahaan.

Sesuatu menarik perhatiannya. Laci nakas di samping ranjang terbuka sedikit. Hatinya langsung waspada. Perlahan, dia bangkit dan membuka laci itu sepenuhnya.

“Ada orang yang masuk ke kamarku,” gumamnya muram. Napasnya mulai berat.

Flashdisk merah—benda kecil itu menyimpan dokumen penting, termasuk dokumen pribadi yang tidak bisa jatuh ke tangan sembarangan. Sekarang, benda itu lenyap.

Dengan langkah cepat dan mata menyala, Aiden turun ke lantai bawah. Amarahnya mendidih, siap meluap kapan saja.

“Siapa yang sudah berani masuk ke kamarku?!” teriaknya lantang, suaranya bergema ke seluruh ruangan rumah.

Para pelayan langsung berlarian ke ruang utama, wajah-wajah mereka dipenuhi ketakutan. Jarang-jarang Aiden marah besar, apalagi kepada orang lain selain Rachel.

“Ada apa, Aiden?” tanya Nenek Hilda, mendekat dengan kerutan khawatir di wajahnya.

“Ada yang mengambil barang milikku yang disimpan di kamar,” jawab Aiden dengan nada dingin, penuh kontrol, namun mata yang menyala merah menunjukkan kemarahan yang tak bisa disembunyikan.

“Sebaiknya kamu tanya Rachel,” seru Hillary cepat, wajahnya polos namun mulutnya seperti racun. “Tadi aku lihat dia masuk ke kamar kamu dengan terburu-buru.”

Semua mata langsung menoleh pada Rachel. Wanita itu berdiri di sisi ruangan, tatapannya membara karena tidak terima dituduh.

“Apa?! Aku tidak masuk ke sana!” bentak Rachel, nada suaranya tinggi dan jelas. Namun, tidak ada yang memperdulikannya. Suara wanita itu seolah hanya bergema di dinding kosong.

***

Assalammualaikum, bertemu kembali dengan karya terbaru aku. Semoga suka.

Bab 2

Aiden menatap tajam ke arah Rachel, sorot matanya tajam dan menusuk. Meski wanita itu adalah istrinya secara sah, itu tak berarti dia mendapat perlakuan istimewa. Di mata Aiden, jika bersalah, siapa pun wajib menerima konsekuensinya. Saat ini, amarah yang lama terpendam mulai membara lagi.

“Apa yang dikatakan oleh Nona Hillary itu benar, Tuan,” ucap Anne, kepala pelayan keluarga Salvador, dengan nada datar, tapi tegas. Tatapannya menusuk seperti belati. “Tadi, saya juga melihat Nyonya Rachel masuk ke dalam kamar. Tapi tidak lama kemudian keluar lagi. Dan itu … terlihat mencurigakan.”

Rachel menegang. Tubuhnya seolah lumpuh sesaat. Ia merasa seperti seekor rusa yang dikepung serigala di hutan yang tak memberinya ruang untuk lari.

“Bohong!” Rachel membentak, suaranya tercekat oleh rasa frustrasi yang menyesakkan. “Kalian semua sudah berbohong!”

Rachel menatap satu per satu wajah yang mengelilinginya—tak ada satu pun yang menunjukkan pembelaan. Hanya sorot tuduhan dan ketidakpercayaan yang terpancar.

“Memangnya apa yang hilang?” tanya Hillary dengan nada seolah-olah peduli, tapi senyum sinis di wajahnya mengkhianati maksud sebenarnya.

“Flashdisk berwarna merah,” jawab Aiden tanpa ragu. Suaranya datar, tapi dinginnya menembus tulang.

Mendengar itu, mata Hillary berbinar—seolah jebakan yang dirancangnya telah jatuh tepat sasaran.

“Bagaimana kalau kita geledah kamar Rachel untuk membuktikannya?” usul Hillary. Senyumnya miring, penuh ejekan. Sorot matanya seperti sedang menyaksikan mangsanya jatuh ke dalam perangkap.

Aiden tidak langsung menjawab. Ia menoleh kepada Rachel, menatap tajam dengan tatapan penuh kekecewaan. Diamnya berbicara banyak—antara percaya dan tidak percaya, tetapi amarahnya perlahan menguasai logika.

“Akan aku geledah kamar kamu,” ucapnya dingin.

“Biar aku bantu, Tuan,” kata Anne cepat. Lalu ia memberi aba-aba. “Kalian, bantu aku memeriksa kamar milik Nyonya Rachel!”

“Baik!” seru ketiga pelayan serempak. Mereka langsung mengikuti Anne menuju kamar Rachel, seperti pasukan yang hendak mengeksekusi titah raja.

Nenek Hilda yang sejak tadi duduk di kursi ukiran kayu mewah hanya menghela napas. Sorot matanya mengarah lurus ke wajah Rachel—wajah yang dulu pernah dipeluknya penuh kasih, kini dipandang dengan dingin.

“Jika kamu terbukti bersalah, maka akan dimasukkan ke dalam penjara,” ucap Nenek Hilda, datar namun tegas.

“Apa?” Rachel terperanjat. Tubuhnya gemetar. Kata ‘penjara’ bergema keras di kepalanya, lebih menakutkan daripada cambuk dan ejekan.

Aiden masih berdiri tanpa berkata sepatah kata. Namun, sorot matanya jelas menyiratkan bahwa kepercayaannya semakin menipis.

Berbeda dengan Hillary. Wanita itu justru tampak senang luar biasa, seakan menanti pertunjukan favoritnya mencapai klimaks.

“Benar sekali, Grandma,” ujar Hillary sok berwibawa. “Seorang pencuri itu seharusnya dimasukkan ke dalam penjara. Biar kapok dan tidak mengulangi lagi.”

“Aku tidak pernah mengambil barang milik orang lain, apalagi mencuri,” Rachel membalas tegas. Suaranya gemetar, tapi dia berusaha tetap kuat. Tidak di hadapan Hillary, tidak di hadapan Aiden.

Tak lama kemudian, langkah cepat terdengar dari tangga. Anne muncul tergopoh-gopoh, napasnya tersengal, tangannya menggenggam sesuatu.

“Tuan … Tuan!” serunya. Ia mengacungkan benda kecil di tangannya. “Apakah ini flashdisk yang Tuan cari?”

Aiden langsung menyambar benda itu dari tangan Anne. Tangannya sedikit gemetar saat mengenali benda pipih berwarna merah—benda yang menyimpan data penting perusahaan dan dokumen pribadi yang tak ternilai.

“Ya,” gumam Aiden pelan namun pasti. “Ini flashdisk yang aku cari.”

Rachel terpaku. Matanya membelalak. “Tidak … aku tidak pernah melihat benda itu sebelumnya,” ucap Rachel.

“Saya menemukannya di dalam lemari pakaian Nyonya, di bawah tumpukan baju,” jelas Anne dengan suara mantap.

Dunia Rachel seolah runtuh seketika. Ia merasa seolah ditarik masuk ke dalam lubang gelap yang tak berujung. Tak pernah sekalipun ia menyentuh flashdisk itu, apalagi menyembunyikannya.

Aiden menatapnya penuh kemarahan. Tidak ada lagi kelembutan di mata itu, yang ada hanya kekecewaan yang menggelegak.

“Dasar tidak tahu diri! Aiden, kirim dia ke penjara!” seru Hillary dengan nada tinggi. Tangannya menunjuk lurus ke wajah Rachel, seperti sedang menuntut keadilan—padahal dialah dalangnya.

“Tidak! Aku tidak mencuri—” Rachel berteriak, tapi suaranya tertelan oleh ombak tuduhan yang datang dari segala arah.

“Bukankah tadi Nyonya Rachel mendorong Nona Hillary karena memergokinya?” tambah Anne tiba-tiba.

“Maksudmu?” Aiden menoleh cepat, alisnya mengernyit. Ia butuh penjelasan.

“Aiden,” sela Hillary cepat, suaranya mendayu penuh sandiwara. “Tadi aku didorong oleh Rachel saat aku memergoki dia keluar dari kamar kamu. Semua orang melihat itu.”

“Yang dikatakan Hillary itu benar,” sahut Nenek Hilda mantap, seakan sudah memutuskan segalanya.

Hati Aiden benar-benar terbakar. Tak tahan lagi, ia meraih pergelangan tangan Rachel dan menyeretnya ke tengah ruangan. “Semakin ke sini, kamu semakin berani berulah!” bentaknya. “Sekarang kamu harus mempertanggungjawabkan semua perbuatanmu!”

“Aiden, aku tidak mencuri!” Rachel berteriak histeris, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman suaminya. Tubuhnya menggeliat, tapi tangan Aiden mencengkeram kuat, seolah tak ingin ada celah untuk kabur.

“Aku tidak akan berbaik hati lagi padamu, Rachel,” ucap Aiden dengan dingin. “Kamu tidak tahu betapa berharganya isi dalam flashdisk itu.”

“Aku tidak tahu!” Rachel membalas dengan napas terengah. Air mata mulai jatuh, tapi bukan karena lemah—melainkan karena keputusasaan menghadapi fitnah yang terlalu sempurna. “Dan aku tidak pernah mengambilnya!”

“Tanyakan saja kepada semua orang yang ada di sini. Mereka semua lihat Rachel tadi siang diam-diam keluar dari kamar kamu,” ujar Hillary, mendekat sambil menatap Aiden dengan tatapan licik. “Mereka semua tahu siapa yang sebenarnya mencurigakan.”

Rachel berdiri sendirian di tengah lingkaran mata yang menuduh, mulut yang menyudutkan, dan hati-hati yang tidak lagi percaya padanya.

Dia pun sadar—tak seorang pun di rumah itu yang benar-benar berpihak kepadanya. Tidak lagi.

Semua orang memberikan kesaksian yang sama—menuduh Rachel tanpa ragu. Tidak ada satu pun yang membelanya. Mereka menuding dengan suara lantang, seolah tak sabar melihat wanita itu dikorbankan.

Aiden dengan sorot mata tajam yang tak lagi menyisakan keraguan, mempercayai semuanya. Baginya, kebenaran adalah suara mayoritas, bukan suara hati.

“Rachel, ikut aku sekarang juga,” ucap Aiden dingin, menggenggam pergelangan tangannya dengan kuat. Tidak ada kelembutan. Tidak ada kasih. Hanya amarah yang menggumpal, seperti bara api yang siap membakar habis segalanya.

Dia menyeret istrinya keluar rumah. Hujan lebat turun seperti ikut menangisi nasib wanita itu. Langit menggelegar, angin berhembus kencang, seolah semesta pun tahu malam ini adalah malam kehancuran bagi seseorang yang tak bersalah.

“Aiden! Aku bukan pencuri!” teriak Rachel dalam kepanikan dan keputusasaan. Suaranya tenggelam dalam deru hujan yang mengguyur deras. “Aku berani bersumpah dengan nyawaku sendiri. Jika aku berbohong, maka hari ini juga aku rela mati!”

Wajah Rachel basah, entah oleh air mata atau air hujan. Tubuhnya gemetar, bukan karena dingin semata, tetapi karena luka yang terus dibuka oleh pria yang dulu berjanji melindunginya.

Akan tetapi, tatapan Aiden tetap dingin seperti batu. Tidak ada empati, tidak ada keraguan. “Aku tidak butuh sumpahmu itu,” jawabnya tajam, bahkan tidak sudi menatap wajah Rachel yang menyedihkan.

Sejak keguguran empat tahun lalu, cinta Aiden padanya menguap begitu saja. Tatapan hangat yang dulu membuat Rachel merasa aman, kini telah berganti menjadi tatapan penuh benci dan hina. Tidak ada lagi pelukan. Tidak ada lagi pelipur lara. Yang tersisa hanya kesunyian dan tuduhan.

Kala itu, Rachel kehilangan bayinya—dan Aiden kehilangan seluruh kepercayaannya padanya. Bukan karena bukti, tetapi karena bisikan orang-orang yang sejak awal tidak pernah menyukai Rachel.

Mobil melaju kencang menembus hujan. Wiper bekerja sekuat tenaga menyapu air dari kaca depan, namun pandangan tetap buram. Jalanan malam ini sunyi, hanya cahaya samar dari lampu jalan dan gelegar petir yang seolah mengikuti mereka.

Rachel duduk di kursi penumpang dengan tangan terkepal di pangkuan. Seluruh tubuhnya menegang. Perasaannya campur aduk—takut, marah, dan hancur. Tapi tak satu pun kata bisa menggambarkan betapa sakitnya saat orang yang paling kamu cintai percaya pada semua orang kecuali kamu sendiri. Lalu, seolah takdir turun tangan.

DUAR!

Kilatan petir menyambar papan reklame raksasa di atas jalan. Gambar promosi tempat wisata air panas itu tampak terdistorsi sesaat sebelum papan besi itu lepas dari pegangan dan melayang turun dengan kecepatan mematikan.

Rachel, yang lebih dulu melihatnya, menjerit sekuat tenaga. “Aiden, AWAS!”

Tanpa pikir panjang, dia meraih kemudi dan menginjak pedal gas dengan paksa. Tapi terlambat. Logam seberat itu jatuh hanya sepersekian detik kemudian, menghantam bagian belakang mobil mereka dengan dentuman mengerikan.

BRAKKK!

Mobil terguncang keras, terlempar sedikit ke depan. Kaca belakang pecah. Suara logam melengking saat menghantam aspal. Tubuh Rachel dan Aiden terpental, terbentur, dan bersimbah darah. Kilatan cahaya dari petir berikutnya memperlihatkan betapa rusaknya kendaraan itu—belakang mobil remuk total, tak berbentuk.

Jika Rachel tidak menginjak gas, bagian depan mobillah yang akan tertimpa. Lalu, keduanya pasti sudah tidak bernyawa.

Tapi malam belum selesai. Sirine ambulan dan polisi meraung bersahutan, memecah gelap dan derasnya hujan. Lampu merah biru berkedip di antara kabut malam yang mulai menipis.

“Korban di dalam mobil ada dua orang!”

“Cepat! Mereka mengeluarkan banyak darah!”

“Jangan sampai korban mati kehabisan darah. Hubungi rumah sakit terdekat!”

Suara-suara panik itu terdengar di antara kesadaran yang mulai memudar. Rachel, dalam setengah sadar, mendengar teriakan dan langkah tergesa para petugas. Bau bensin, darah, dan logam memenuhi hidungnya.

Sakit luar biasa menyerang seluruh tubuhnya. Namun, bukan itu yang paling menyakitkan. Yang paling menyakitkan adalah kenyataan bahwa dia hampir mati dalam keadaan dituduh, dibenci, dan dibuang oleh orang yang paling dia cinta.

Matanya perlahan tertutup, suara sirine memudar, dan kesadaran pun perlahan lenyap dalam sunyi yang menakutkan. “Sepertinya ini akhir hidupku.”

***

Bab 3

“Sakit …! Rasanya sekujur tubuhku hancur.” Pikiran itu bergaung di dalam kepala Aiden seperti gema di dalam ruangan kosong. Keningnya berkerut, alisnya berkedut, dan dada terasa seperti ditekan benda berat. Ia ingin mengangkat kelopak matanya, tapi beratnya luar biasa—seolah ada timah yang menggantung di setiap bulu mata.

Cahaya samar menembus kelopak mata yang setengah terbuka. Aroma menusuk khas disinfektan dan obat-obatan menyambut penciumannya. Napasnya lirih, tak teratur, seperti baru kembali dari dasar lautan.

“Bau obat… sepertinya aku berada di rumah sakit.” Ia mulai menyusun potongan-potongan pikirannya yang berserakan.

Lalu, satu ingatan menghantam dengan kecepatan luar biasa.

“Tunggu ...? Bukankah aku mengalami kecelakaan?!”

Secepat kilat, kedua matanya terbuka penuh. Sinar lampu putih menyilaukan membuat pandangannya sedikit buram, tapi sosok pertama yang ia lihat adalah seorang perawat perempuan dengan wajah sumringah berdiri di sisi ranjang.

"Syukurlah," gumamnya dalam hati. "Sepertinya aku selamat dari kecelakaan itu."

Ada kelegaan yang menghantam dadanya—sekaligus kebingungan. Jantungnya berdebar. Ia nyaris mati dan kini masih hidup. Akan tetapi, ada sesuatu yang tak beres, sesuatu yang aneh.

“Syukurlah … karena aku tidak boleh mati sebelum mengungkap kejadian itu.” Gumaman batinnya tegas, penuh tekad.

Perawat di hadapannya tersenyum makin lebar. “Nyonya, akhirnya Anda sadar!”

Perempuan itu buru-buru menekan tombol nurse bell dan berbicara ke interkom, “Dokter, Nyonya Salvador sudah siuman!”

Aiden membeku. "Nyonya?" dahinya berkerut. Ia perlahan menoleh ke kanan dan kiri. Namun ruangan itu hanya berisi satu tempat tidur. Yaitu, hanya ada dirinya.

Kamar itu luas dan elegan. Dindingnya bersih, lantainya berkilau, serta peralatan medis modern tertata rapi. Tanda bahwa ini adalah ruangan VVIP—jenis ruangan yang memang layak untuk pewaris keluarga Salvador. Namun, tidak ada pasien lain di sana.

"Apa perawat itu sudah gila memanggilku Nyonya? Rumah sakit apa ini tidak bisa membedakan pria dan wanita?" pikir Aiden penuh kesal. Ia mencoba membuka mulut, namun otot rahangnya seperti membeku. Tak satu pun kata keluar. Tenggorokannya perih, seakan disiram pasir dan api sekaligus.

Beberapa menit kemudian, pintu ruangan terbuka. Seorang dokter laki-laki melangkah masuk, diikuti oleh seorang perawat lainnya. Mereka langsung menghampiri tempat tidur dan mulai melakukan pemeriksaan menyeluruh dengan penuh ketelitian.

“Tekanan darah stabil, pupil normal,” ucap si perawat.

“Sirkulasi darah juga baik. Ini luar biasa. Suatu keajaiban bisa selamat dari kecelakaan maut itu … meski sempat koma selama seminggu,” ujar dokter dengan nada puas, seakan bangga dengan keberhasilan tim medisnya.

Aiden hanya bisa memandangi mereka dengan tatapan kosong. Kata demi kata terdengar seperti suara-suara dari lorong jauh—aneh, asing, tidak masuk akal.

"Kecelakaan maut ...? Berarti ada korban yang meninggal," pikir Aiden ngeri. Napasnya memburu. "Apa ... Rachel yang meninggal?"

Ingatan akan kejadian seminggu lalu menyeruak—kilat menyambar, papan reklame jatuh, suara dentuman yang memekakkan, dan teriakan Rachel yang menggema seperti gema neraka.

Jantung Aiden mencelos. Jika Rachel benar-benar meninggal, maka semua tuduhannya ... amarahnya tak pernah sempat ia tarik kembali.

Akan tetapi, di tengah kepanikan itu, satu hal mengganjal lebih kuat dari segalanya. Kenapa semua orang memanggilnya “Nyonya Salvador”?

Aiden berusaha mengangkat tangannya, tapi tubuhnya terasa asing. Ia melirik ke bawah—tangan itu bukan miliknya. Kulitnya lebih halus, lebih kecil … kuku-kukunya dirawat, bahkan dicat merah muda pucat.

"Apa ini ... tangan wanita?!" pikirnya ngeri.

Napasnya tercekat. Tenggorokannya seperti dicekik bayangan yang tak kasat mata. Ia mencoba bangkit, tapi tubuh itu terasa rapuh, sakit, dan lemah.

Di saat pikirannya kacau balau, satu kenyataan menghantam keras seperti badai. Ia masih hidup. Namun, bukan lagi di dalam tubuhnya sendiri.

Sementara itu, di ruang rawat lainnya, Rachel merasa sekujur tubuhnya remuk. Tubuh yang penuh memar perlahan menggeliat kecil. Kelopak matanya bergetar, lalu terbuka perlahan seperti tirai yang disibak paksa. Cahaya lampu putih menyilaukan membuat matanya menyipit, dan rasa sakit langsung menyerang sekujur tubuhnya seperti badai yang datang tanpa peringatan.

"Sakit ... Oh Tuhan, rasanya tubuhku seperti habis dihantam truk berkali-kali."

Detak jantungnya berdetak tak beraturan. Udara yang ia hirup terasa asing. Berat. Dingin. Namun, napasnya tetap berembus dan itu berarti satu hal—ia masih hidup.

"Rupanya aku selamat dari kecelakaan itu," batinnya pelan. "Tapi … bagaimana dengan Aiden? Apa dia juga selamat?"

Belum sempat mencari tahu, tiba-tiba lengan seseorang melingkari tubuhnya. Tubuh itu memeluk erat, seolah sedang memeluk sesuatu yang sangat berharga.

"Aidenv...! Akhirnya kamu membuka mata!" suara itu terdengar lega, sekaligus mengguncang ketenangannya.

Rachel membeku. Matanya membelalak. Jantungnya mencelos. "Sandra?!"

Wanita yang selama ini menjadi duri dalam kehidupannya—mantan kekasih Aiden yang selalu mengejek dan merendahkannya—kini sedang memeluknya penuh kehangatan.

"Apa-apaan ini?! Kenapa Sandra memanggilku Aiden?" batin Rachel.

"Aku ketakutan setengah mati selama seminggu ini, Aiden," lanjut Sandra dengan suara bergetar, air matanya mengalir membasahi bahu Rachel. "Kamu nggak sadar-sadar. Aku takut kamu nggak akan pernah bangun lagi."

Rachel buru-buru mengurai pelukan itu. Sentuhan Sandra membuat kulitnya bergidik. Bukan karena jijik, tapi karena ... salah tempat. Ada sesuatu yang sangat, sangat salah di sini.

“Apa maksudmu—” Rachel merasa suara yang ke luar dari mulut bukan suara miliknya. Nada bariton berat dan rendah yang keluar dari tenggorokannya membuatnya terdiam seketika. Ia bahkan bisa merasakan getaran suara itu dari dada—bukan dari tenggorokan seperti biasanya.

"Suaraku berubah ...?!"

Panik merayap naik ke tulang belakang. Ia melirik ke tangannya—besar, kokoh, penuh urat dan kekar. "Apa ... kenapa tanganku juga berubah?!"

“Sandra,” suara itu lirih, penuh keraguan, “kenapa aku begini?”

Sandra hanya menggeleng sambil tersenyum tipis. “Kamu mengalami kecelakaan, Aiden. Tapi kamu beruntung masih hidup. Seminggu kamu koma. Aku selalu di sini, menunggu kamu sadar.”

Nama itu kembali terucap. "Aiden." Nama yang seharusnya bukan untuknya.

Rachel menatap ke sekeliling ruangan. Matanya terpaku pada kaca jendela besar di sisi kiri. Cahaya redup dari luar memantulkan siluet dirinya. Pantulan di kaca itu ... "Aiden?!"

Rachel tertegun. Nafasnya tercekat. Perlahan, ia berdiri dengan tubuh yang masih limbung. Kakinya terasa lebih panjang, lebih berat. Ia melangkah ke depan kaca, nyaris terhuyung, namun tak mengalihkan pandangan dari bayangan yang terpampang di sana.

"Itu ... bukan aku. Itu Aiden." Namun ia tahu, dia sendirilah yang sedang berdiri di sana. Dalam tubuh Aiden.

Tangannya terangkat, dan bayangan itu mengikuti. Ia menyentuh dadanya, dan merasa betapa bidang dan kerasnya dada itu. Ia mengamati wajah Aiden—yang kini menjadi cerminan dirinya sendiri.

"Kenapa aku berubah menjadi Aiden ...?!" jerit hatinya. Tapi tak satu pun kata yang keluar dari mulutnya. Hanya hembusan napas berat dan gemetar.

Panik, bingung, dan tak percaya. Semuanya berdesakan sekaligus di dada yang bukan miliknya.

Dengan sisa tenaga, Rachel berjalan ke luar ruangan. Langkahnya berat, tapi didorong oleh rasa ingin tahu yang tak tertahankan.

“Tuan Salvador, Anda sudah siuman. Nyonya juga baru saja sadar diri dari koma,” ucap seorang perawat yang melintas, dengan nada bahagia.

Rachel langsung menoleh, matanya tajam menyambar ke arah yang ditunjuk perawat itu. "Nyonya...? Itu ... pasti aku!"

Ia berjalan cepat, menahan nyeri di sekujur tubuh, lalu membuka pintu ruang rawat yang dimaksud. Matanya membelalak.

Di sana, tubuhnya—tubuh Rachel yang sesungguhnya—terbaring di atas ranjang pasien. Wanita itu baru saja selesai diperiksa oleh dokte dan kini tengah memandangi ke arah pintu … ke arahnya.

Detik itu juga, dua pasang mata bertemu. Keduanya saling menatap.

“Tuan Salvador, akhirnya Anda juga siuman. Kalian memang memiliki takdir yang sama. Selamat dari maut dan kini sadar dari koma pun di waktu bersamaan,” kata sang dokter, tak sadar betapa anehnya situasi yang sedang ia saksikan.

Rachel—yang kini dalam tubuh Aiden—nyaris kehilangan keseimbangan. Sementara itu, Aiden—yang kini dalam tubuh Rachel—menatap dengan mata membelalak. Tubuhnya sendiri berdiri di hadapannya.

"Kenapa tubuhku ada di sana?" pikir Aiden. Tenggorokannya tercekat. Kata-kata tak bisa ia ucapkan.

Rachel pun terpaku. Matanya tak bisa lepas dari tubuhnya sendiri. Wajahnya sendiri.

"Bagaimana bisa ...?"

Lalu keduanya tersadar dalam waktu yang sama. Mata mereka saling mengabarkan satu hal yang tak terucap.

"Jiwa kita tertukar!"

Pasangan suami-istri itu merasa dunia seperti berhenti berputar. Kenyataan baru telah dimulai—dan itu lebih menakutkan daripada kematian yang baru saja mereka lewati.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!