Matahari pagi menyelinap malu-malu ke arah dapur yang didominasi warna putih-cream tersebut, membuat suasana pagi terasa lebih tenang dan syahdu. Di dapur itulah Haura dengan senyum hangat serta mata penuh ketelitian sedang menghiasi bekal di lunch box. Sederhana sebenernya. Namun, sejak ia menikah tiga bulan yang lalu, membuat bekal lalu menghiasnya menjadi salah satu kegiatan favoritnya.
“Mau dihias bagaimanapun, rasa makanannya sama saja. Kalau tidak lauknya keasinan ya nasinya yang kelembekan.” Banyu-sang suami muncul sambil memasang jam tangannya.
Pria itu sudah berpenampilan rapi siap untuk pergi ke kantor.
Senyum Haura semakin sumringah menyadari kehadiran suaminya di ruang makan. Tidak adanya dinding pembatas antara dapur dan ruang makanan, membuat Haura leluasa memandangi suami tampannya itu.
“Hari ini aku buatin nasi daun jeruk dan ayam kalasan, Mas. Udah aku cicipin. Rasanya dijamin enak,” kata Haura dengan rasa bangga.
Banyu-sang suami hanya tersenyum sinis. Matanya menatap Haura dengan kesan meremehkan. “Lidah kamu sama lidah saya itu berbeda. Enak di kamu belum tentu enak di saya.” Banyu kemudian duduk di kursi makan, siap-siap untuk menikmati kopi hitam yang selalu terhidang di meja makan setiap pagi.
“Kali ini enggak, Mas. Aku jamin rasanya enak.” Haura masih memasang wajah yang begitu cerah.
“Ya terserah kamu. Asal jangan paksa saya untuk bawa masakan aneh kamu itu ke kantor.”
Bukan Haura namanya kalau langsung menyerah dengan beragam perkataan ketus dan penolakan Banyu. Wanita berambut hitam legam itu bahkan langsung membawa tas bekal yang sudah ia siapkan ke meja makan. Tepat di dekat Banyu.
Wanita itu hanya menampilkan cengiran khasnya saat tatapan tidak suka Banyu layangkan kepadanya. “Dibawa ya, Mas Airku. Kalau enggak dibawa aku laporin ke Mama Aliya,” ancam Haura membuat Banyu melotot kepadanya.
“Jangan macam-macam ya kamu,” desis Banyu menatap Haura tajam. “Kamu seharusnya bersikap dewasa. Bukannya selalu mengadu kepada Mama.”
Haura mengangkat bahu tidak peduli. Meskipun setiap kata yang keluar dari mulut Banyu itu pedas untuk di dengar, Haura akan berusaha mengabaikan itu. Lagipula ia sendiri tidak mengerti mengapa Banyuadjie Nugraha yang terkenal pendiam dan dingin itu ternyata sangat cerewet saat bersamanya. Sifatnya berbanding terbalik dengan Banyu yang ada di kantor.
“Baru masalah bekal saja Mas langsung takut aku ngadu ke Mama. Bagaimana kalau aku ngadu ke Mama terkait kita yang belum pernah-”
“Jangan pernah ungkit itu, Haura!” Mata Banyu semakin menyorot tajam sosok Haura yang masih berdiri di dekatnya. Lelaki itu kemudian berdiri dengan rahang mengetat. Mulutnya terkatup.
“Mati kau, Haura! Kau sudah membuat air yang tenang mengeluarkan riaknya.” Batin Haura.
“Kamu pergi sendiri. Saya ada kerjaan pagi ini.” Banyu segera meraih tas bekal berwarna hitam itu. “Jangan pernah mengungkit masalah itu lagi. Seharusnya kamu tahu itu adalah masalah kamar kita. Berhenti bersikap kekanak-kanakan.” Pria itu langsung pergi meninggalkan Haura yang masih terdiam menyaksikan punggung tegap pria itu.
Sesaat kemudian tubuhnya luruh begitu saja di kursi makan. Satu tangannya mengepal di atas meja sementara tangan yang lainnya memukul-mukul dada yang begitu mencekik dirinya. Rasa sesak dan sakit itu sangat menyiksa dirinya. Ia mencoba untuk menahan air mata yang memaksa untuk keluar.
Lalu ia segera mengangkat wajahnya, mengipas-ngipaskan matanya agar air mata itu tidak jadi keluar. “Ayo dong, Ra, kendalikan air matamu ini. Jangan sampai jebol. Sebentar lagi kamu harus ke kantor.” Sembari mengipas-ngipaskan tangannya ia juga mencoba mengatur napasnya.
Beberapa menit kemudian, saat ia merasa sudah lebih lega, ia segera beranjak berdiri. Namun, matanya tiba-tiba melihat gelas kopi yang yang hanya Banyu minum sedikit tadi. Lelaki itu tidak pernah menyisakan kopi seperti ini sebelumnya. Haura tahu perkataaannya itu membuat hati Banyu menjadi buruk. Akan tetapi, fakta bahwa ia belum pernah disentuh Banyu dan cibiran pria itu yang mengatakan dirinya kekanak-kanakan membuat Haura sengaja membalas perkataan Banyu.
Tiba-tiba ponsel yang berada di saku apronnya bergetar. Haura segera meraih ponselnya itu. Sebuah pesan dari Ullya masuk.
Ra buruan datang. Tadi ada pesan dari Pak Daffa, katanya Pak Banyu minta laporan final Green House yang kemarin belum sempat kita selesaikan.
Belum sempat Haura membalas, Ullya kembali mengirimkan pesan padanya.
Katanya ditunggu jam 10 ini.
Mata Haura reflek melihat jam dinding yang terpajang manis di ruang makan. Tinggal lima belas menit lagi sebelum jam kantor dimulai. Haura menghela napasnya. Pertengkaran kecil tadi pagi membuat Haura rasanya malas untuk bekerja. Apalagi ia harus berhadapan lagi dengan Banyu nanti di kantor.
“Nasib… nasib. Dikira menikah dengan bos akan menyenangkan seperti di novel-novel atau drakor, ternyata aslinya tidak seindah itu.” Haura berjalan gontai menuju kamarnya. Membayangkan wajah kaku dan mata tajam Banyu membuat Haura seketika ingin menghilang dari bumi sejenak.
“Semangat! Semangat Haura. Buktikan ke Mas Air kalau kamu bisa diandalkan dan dibanggakan.” Tiba-tiba suntikan semangat itu memasuki dirinya. “Pak Banyu yang terhormat, I'm coming!”
...***...
Haura terus menunduk seolah lantai ruangan Banyu itu lebih menarik untuknya lihat. Ruangan yang rapi dengan aroma pinus itu seharusnya bisa menenangkan degup jantung Haura yang terus berirama tidak teratur sejak tadi. Air Conditioner yang membuat sejuk ruangan itu bahkan ikut serta membuat Haura panas dingin.
Di depannya Banyu memeriksa laporannya dari halaman per halaman dengan seksama. Sesekali Haura menatap Banyu yang raut wajahnya penuh keseriusan. Degup jantungnya semakin berdebar kencang. Jemarinya saling bertaut seakan sedang menyemangati satu sama lain.
“Kamu pikir rencana Green House ini hanya bercanda ya?” tanya Banyu dengan nada rendah. Namun, itulah yang membuat Haura semakin takut mengangkat wajahnya menatap Banyu langsung.
“Lihat saya, Haura.” Lagi, Banyu mengingatkan Haura dengan suara rendah tetapi begitu tegas. Pria itu kemudian menutup laporan Haura dengan kasar.
“Kamu tahu kata hi-jau dalam proyek baru ini bukan hanya sekedar pelengkap agar klien tertarik. Itu adalah komitmen kita, Haura. Seharusnya kamu tahu branding hijau yang yang kita tawarkan tidak sesederhana itu.”
Banyu melempar laporan itu ke hadapan Haura. “Mengapa zona resapan airnya kamu turunkan jadi 8%? Saya rasa kalau kamu tidak hanya sekedar ikut rapat tiga hari yang lalu, kamu seharusnya ingat bahwa RTH minimum di kawasan hijau yang menjadi syarat mutlak dari investor adalah 10% dari total lahan. Lalu kenapa sekarang jadi begini?”
Sorot tajam mata Banyu membuat Haura rasanya ingin kabur. Bukan karena ia enggan bertanggungjawab dengan laporan yang memang ia buat tanpa diperiksa itu, tetapi karena ia tidak sanggup berdiri di depan Banyu dalam keadaan yang kurang baik seperti ini. Sisa pertengkaran kecil mereka tadi saja masih menyisakan rasa sakit di hatinya, kini cara pria itu menatapnya seakan siap menerkam Haura hidup-hidup.
“Jawab saya, Haura! Jelaskan mengapa seperti ini? Laporan apa yang kamu buat? Atau kamu sebenarnya tidak bisa menangani proyek ini?”
“Maaf, Pak. Salah saya yang tidak mengingat itu saat rapat.”
Mata Banyu menatap Haura dengan penuh intimidasi. “Kalau kamu memang tidak bisa menangani proyek ini kamu bisa bilang sekarang, saya bisa menunjuk yang lain untuk menangani ini. Saya tidak mau kurang fokusnya kamu membuat proyek ini gagal total.”
Air mata Haura rasanya ingin segera keluar. Namun, itu tidak mungkin ia lakukan saat sedang bersama Banyu.
Tiba-tiba terdengar suara pintu dibuka. Haura reflek menoleh ke belakang dan mendapati Hania sudah masuk ke ruangan Banyu. Masuknya Hania membuat suasana mencekam itu menjadi lebih lenggang. Seperti biasa, gaya anggun dan kalemnya Hania membuat suasana hati yang tadi emosi menjadi tenang.
“Ini laporan yang tadi Bapak minta. Sekalian saya lengkapkan dengan daftar biaya yang sudah saya koordinasikan dengan bagian keuangan.” Hania meletakkan laporan itu di meja Banyu lalu ia berdiri di samping Haura.
Banyu meraih dokumen tersebut. Pandangannya lalu tertuju kepada Haura yang masih menunduk. “Kamu bisa keluar, Haura. Saya tunggu revisinya sebelum jam makan siang.”
Haura mengangkat wajahnya. Keputusan Banyu membuat wanita itu bisa bernapas lega. “Iya. Akan segera saya revisi, Pak.” Haura dengan sigap lalu mengambil alih laporannya dari meja Banyu. Saat matanya bertubrukan dengan mata Hania, dua sudut bibirnya tersenyum ramah. “Duluan ya, Han.”
Hania tersenyum sembari mengangguk. Senyuman itu teramat menenangkan. Haura rasa kehadiran Hania yang disebut-sebut mampu menenangkan suasana itu benar adanya. Karena gadis berwajah teduh itu, kali ini ia bisa selamat dari amarah Banyu.
Baru saja ia keluar dari ruangan Banyu, Daffa-asisten Banyu tersenyum cerah padanya. Haura pun mengernyitkan dahi karena bingung.
“Terima kasih ya, Ra.”
“Terima kasih untuk apa?” tanya Haura heran.
Daffa kemudian mengeluarkan sesuatu yang sangat Haura kenali. Itu tas bekal miliknya yang kemarin dibawa Banyu. Namun, mengapa ada pada Daffa?
“Ini lunch box yang kemarin.” Daffa menyerahkan tas bekal tersebut kepada Haura.
Haura terdiam. Ia mencoba mencerna kemungkinan yang menghantamnya kuat. “Maksud kamu, setiap hari Pak Banyu selalu memberikan bekal yang saya siapkan itu untuk kamu, ya?” tanya Haura berharap Daffa akan menggeleng cepat.
Ia sangat berharap kemungkinan buruk itu segera ditepis Daffa. Meski kecil, setidaknya itu bisa membuatnya lega. Namun, pria di hadapannya justru menatapnya bingung. Rasanya Haura benar-benar ingin menghilang seketika.
"Apakah selama ini bekal yang aku siapkan memang selalu Daffa yang makan?" lirihnya dalam hati. Seketika hatinya berasa ditusuk dengan banyak jarum.
*
*
*
Karya baru untuk semangat baru. Terima kasih yang sudah mampir. Jangan lupa tinggalkan jejak kalian ya :)
Senandung indah menemani Haura di dapur. Tangannya dengan cekatan berpindah cepat ke pekerjaan yang satu ke yang lainnya. Setelah memastikan telur balado di tungku sebelahnya mulai matang, ia kemudian dengan cepat menggoreng ayam di tunggu lainnya.
Pagi ini masih sama dengan pagi sebelum-sebelumnya. Kebiasaan yang Haura rutinkan untuk memasak pagi-pagi itu membuatnya sudah sibuk di dapur sejak setelah subuh. Namun, ada yang berbeda kali ini. Jika biasanya ia hanya memasak untuk dirinya dan Banyu, maka sekarang ia memasak dalam jumlah yang cukup banyak.
Ponselnya yang berada di meja makan terus berdenting sejak tadi. Menandakan pesan whatsApp yang terus masuk. Namun, sedikit pun Haura tidak tergerak untuk mengecek apalagi membalas pesan-pesan tersebut. Hingga suara derap langkah kaki dari arah tangga mulai terdengar.
“Hp kamu terus berbunyi sejak tadi. Kamu chat siapa pagi-pagi begini?” Nada protes Banyu membuat Haura menoleh ke belakang-tepat pada Banyu yang duduk santai di ruang makan.
Haura tidak langsung menjawab. Matanya kemudian kembali fokus menggoreng ayam, memastikan ayam lengkuas yang ia siapkan sejak semalam bisa matang sempurna. “Itu chat grup, Mas. Makanya berisik begitu.”
“Di hp saya tapi tidak ada notifikasi apapun. Chat grup yang kamu maksud itu grup departemen, kan?”
“Iya. Mungkin itu karena Mas enggak masuk grup,” jawab Haura santai tanpa menghadap ke arah Banyu. Tangannya masih sibuk dengan ayam goreng yang sudah matang.
“Maksud kamu?” tanya Banyu.
Haura menghela napasnya. “Itu artinya kami punya grup yang enggak ada kamunya di situ.”
“Kenapa begitu? Kenapa saya tidak dimasukkan ke grup?”
Haura yang sudah selesai mengangkat ayam goreng tadi segera memindahkan ayam tersebut ke wadah bekal ukuran sedang. Matanya kemudian menatap Banyu dengan malas. Suaminya itu terlalu cerewet. Jika biasanya Haura akan menanggapi itu dengan cengiran khasnya, kali ini berbeda. Setelah kejadian kemarin Ia sangat malas menanggapi perkataan Banyu.
“Jarang ada atasan yang dimasukkan ke grup ghibah kantor, Mas. Kecuali kalau atasannya semenyenangkan Mas Sagara. Digibahin di depan orangnya langsung aja Mas Saga masih bisa tertawa. Beda sama Mas, diajak bergurau dikit aja nggak bisa.” Haura melipat tangannya dengan santai, mengabaikan raut Banyu yang berubah kaku.
“Kamu membandingkan saya dengan Saga?” tanya Banyu dengan suara meninggi.
Haura mengangkat bahunya acuh lalu melangkah menuju meja makan. “Terserah Mas mau anggap itu apa. Kenyataannya memang seperti itu.” Ia kemudian meraih ponselnya dan hendak berjalan meninggalkan tempat itu.
Banyu menahan lengan Haura dengan cepat membuat langkah Haura terhenti. Ketika netra tajam milik Banyu menatapnya tanpa berkedip, Haura justru menatap lelaki itu dengan malas.
“Kamu kenapa? Sejak semalam kamu berubah.”
Haura melepaskan tangan Banyu dari lengannya. Terlihat bekas kemerahan di lengannya yang memang tidak tertutup apapun. Detik kemudian perempuan bergigi gingsul itu terkekeh.
“Itu hanya perasaan Mas aja. Aku baik-baik aja kok.” Tanpa sadar meskipun Haura menampakkan wajah bahagia, kedua tangannya mengepal kuat di sisi tubuhnya. Mencoba menahan sesak yang sejak kemarin terus menekan kuat dadanya.
Wajah tegang Banyu berubah normal. “Jangan sampai pekerjaan membuat kamu stres. Saya tidak mau kamu jadi stres karena beban pekerjaan. Kalau ada yang tidak kamu pahami, kamu bisa bertanya pada Hania. Sahabat kamu itu bisa diandalkan dalam hal apapun.” Lelaki itu kemudian tersenyum tipis dan hanya ditanggapi Haura dengan anggukan.
Perhatian dari Banyu yang biasanya akan membuat senyumnya mengembang, kali ini tidak berarti apa-apa. Meskipun tiba-tiba tangan Banyu mengusap pelan puncak kepalanya, rasa sesak di dadanya tidak kunjung reda.
“Saya siap-siap ke kantor dulu. Oh iya, kamu tidak perlu menyiapkan bekal untuk saya. Siang ini saya ada janji dengan calon investor.” Setelah mengatakan itu Banyu langsung melangkah menuju kamar mereka yang berada di lantai atas.
Sedangkan Haura masih diam. Tanpa Banyu katakan seperti itu, hari ini ia memang tidak berencana untuk menyediakan bekal untuk Banyu.
...***...
“Kamu tadi kenapa tidak makan, Daf?” tanya Banyu saat mereka baru saja keluar dari mobil setelah rapat dengan calon investor proyek mereka.
Daffa tersenyum tipis. “Masih kenyang. Sarapan tadi makan banyak soalnya.”
Banyu mengernyit bingung. Ia tidak melihat Daffa keluar untuk mencari sarapan tadi pagi. Padahal kebiasaan sahabatnya itu begitu sampai kantor, ia akan keluar sebentar ke kedai dekat kantor membeli sarapan.
“Saya tidak melihat keluar tadi pagi. Bukannya tadi pagi kamu justru gabung sama anak-anak yang lain ya?”
“Nah itu dia. Aku kesana buat sarapan, Bro. Gilaaa! Istri kamu buat sarapan banyak banget. Mana enak lagi.”
Banyu menghentikan langkahnya tiba-tiba. “Maksud kamu? Tunggu-tunggu, ini maksud kamu gimana ya?” tanya Banyu menuntut penjelasan dari Daffa.
Daffa memasukkan tangannya ke saku celana. “Haura itu dari sebelum subuh udah ngabarin untuk nggak usah bawa sarapan di grup. Katanya dia bakalan bawa nasi liwet lengkap sama lauknya. Khusus buat departemen kita, meskipun tadi Pak Sagara juga gabung,” ujar Daffa santai.
Daffa tidak menyadari bahwa hati Banyu sedang bergemuruh. Sekelebat ingatan tadi pagi muncul di benak Banyu. Ia sendiri heran mengapa Haura memasak secepat tadi. Ia juga sempat heran mengapa Haura memilih untuk berangkat naik taksi online dibandingkan berangkat bersamanya.
Lalu mengenai grup yang Daffa maksudkan. Ini hanya dia yang tidak dimasukkan ke grup? Matanya lalu menatap Daffa dengan penuh selidik.
“Grup? Grup yang tidak ada saya di sana?”
Raut santai Daffa berubah tegang. Sesaat kemudian ia tersenyum kaku sembari menepuk bahu Banyu. “Kayaknya sih… Iya.” Daffa lalu tersenyum menampilkan giginya yang rapi. “Itu wajar lagi, Bro. Banyak atasan yang digituin. Kalau ada kamu di grup, jadinya nggak seru buat mereka bergosip.”
“Lalu Saga? Kenapa ada dia?” Banyu mengingat sepupunya itu pasti juga tidak ada di grup sialan itu. Lantas bagaimana bisa sepupunya yang menyebalkan itu ikut sarapan bersama timnya?
“Itu karena Pak Sagara yang bantuin Haura bawa semua perintilan makanan itu ke ruangan. Ya sebagai ucapan terima kasihlah. Lagian kenapa kamu nggak berangkat bareng si Haura, sih? Kasihan dia bawain barang-barang banyak dan berat.
“Dia tidak ada bilang apapun.” Menahan gejolak hatinya yang rasanya mampu membuat kepalanya pecah, Banyu lalu melangkah cepat menuju ruangannya.
Siapapun yang melihatnya sekarang pasti akan tahu bahwa dirinya sedang tidak baik-baik saja. Raut wajahnya tegang, matanya begitu dingin dan tajam serta setiap perkataan yang keluar dari mulutnya akan begitu ketus. Langkah kakinya semakin cepat saat hendak memasuki lift. Pintu lift terbuka dan di sana, tampak Haura sedang bercengkerama dengan Ullya.
Di saat semua orang mengangguk sebagai tanda hormat kepadanya, termasuk Ullya yang langsung menyadari kehadiran dirinya di lift tersebut, Haura justru sebaliknya. Perempuan berstatus istrinya itu beralih fokus dengan layar ponselnya.
“Nah ini nih Ul drakor barunya. Gimana? Gantengkan pemainnya?” Haura menunjuk layar ponselnya kepada Ullya.
“Lebih ganteng Pak Sagara, Ra,” sahut Ullya enteng.
Haura berdecak kesal. “Emang susah kalau ngomong sama orang bucin.” Tiba-tiba Haura merangkul bahu Ullya. “Kalau kelakuan Pak Sagara tidak random, sebenarnya aku juga akan mengakui kalau Pak Sagara lebih ganteng dari ini aktor.”
“Gantengan mana sama Pak Banyu?” tanya Ullya sembari melirik Banyu yang menatap lurus ke depan.
Haura dan Ullya memang berbicara pelan. Namun, karena posisi Haura yang berada di sampingnya membuat Banyu bisa mendengar jelas obrolan random dua gadis tersebut. Jantung Banyu berdegup kencang, diam-diam ia juga menunggu jawaban Haura. Apalagi sejak dulu, istrinya itu tidak pernah menunjukkan bahwa ia tertarik dengan Banyu.
“Karena Pak Saga tadi pagi baik banget, jadi lebih ganteng Pak Saga deh,” jawab Haura sambil tertawa pelan.
Jawaban santai yang terdengar seperti gurauan itu membuat hati Banyu mencelos. Seharusnya ia sudah mempersiapkan hatinya, toh ia sendiri belum mencintai Haura. Anehnya mendengar Haura mengakui Sagara lebih tampan darinya ditambah dengan kenyataan dirinya adalah satu-satunya orang yang tidak Haura ajak untuk sarapan bersama membuat perasaan aneh di hati Banyu muncul.
Ting!
Pintu lift terbuka. Saat ia melihat Haura dan Ullya sudah mulai berjalan keluar, Banyu dengan cepat menyamai langkah mereka.
Saat sudah dekat, Banyu segera berusaha menenangkan dirinya. Memasang wajah datar seperti biasa. Matanya lalu fokus kepada Haura yang masih bergurau dengan Ullya. Ia ingin mendengar penjelasan dari Haura langsung terkait beberapa hal yang mengganggu pikirannya.
Tanpa senyuman di wajah, dengan sorot tajam penuh intimidasi ia lalu berhenti tepat di depan Haura dan Ullya. “Kenapa kamu berubah, Haura? Sejak semalam kamu seperti mengabaikan saya.” batinnya bermonolog.
“Ada apa, Pak?” tanya Ullya. Sedangkan Haura hanya diam menatap dirinya dengan raut biasa saja.
Ia tidak suka Haura yang seperti mengabaikan dirinya. Biasanya Haura akan terlihat antusias saat berbicara dengannya, entah itu dengan topik random atau hanya sekedar menggoda Banyu saja.
“Haura, ke ruangan saya. Sekarang!”
*
*
*
Jangan lupa meninggalkan jejak ya, Gaes. Biar tambah semangat. :)
“Ini apa?”
Banyu menatap berkas yang diletakkan Haura di mejanya. Matanya kemudian beralih ke wanita berlesung pipi yang yang berdiri dan menatapnya dengan… datar.
“Laporan, Pak. Revisi finalnya.”
“Duduk kamu!” perintah Banyu tegas.
Tanpa berkata apapun, Haura kemudian duduk. Wajahnya masih sedatar tadi. Terlalu berbeda dengan raut wajahnya yang biasanya dihiasi dengan senyum atau tawa ceria.
Banyu duduk tegak menatap Haura dengan tajam. “Apa saya minta kamu untuk bawa laporan itu? Saya hanya minta kamu ke ruangan saya tanpa embel-embel apapun.“
“Biasanya Bapak memanggilkan memang hanya untuk urusan pekerjaan. Seingat saya, urusan saya ke Bapak langsung itu ya untuk laporan ini.” Tangan Haura terulur mengambil kembali laporan yang tidak disentuh Banyu tersebut. Kemudian ia pegang dengan erat di pangkuannya.
Banyu mengendurkan dasi yang sebenarnya tidak mencekik dirinya. Namun, reaksi Haura membuatnya terasa tercekik. Sejuk ruangannya tidak lantas membuat suasana hatinya yang memanas itu reda.
Banyu terdiam. Suasana pun menjadi hening. Banyu sangat berharap Haura akan mengeluarkan celetukannya seperti biasa. Namun, keduanya tetap sama-sama diam.
“Ini bukan urusan pekerjaan. Ini tentang hubungan kita,” kata Banyu akhirnya.
“Kalau soal itu biar nanti bicarakan di rumah.” Haura kemudian beranjak dari kursi. “Saya izin keluar, Pak.”
“Berhenti Haura. Kamu belum saya izinkan untuk keluar.” Banyu kemudian berdiri dan melangkah menghampiri Haura yang masih menghadap pintu. “Kamu kenapa? Hari ini kamu tampak berbeda.”
Haura berbalik menghadap Banyu. “Biarkan saya keluar, Pak. Saya tidak mau dibicarakan orang-orang kalau terlalu lama di sini,” kata Haura tanpa ragu.
Mulut Banyu terkatup rapat. Matanya masih mencari celah di mata cokelat milik Haura. Ia seperti melihat Haura yang berbeda dari biasanya. Tidak ada keluhan atau celetukan asbun Haura saat ia panggil ke ruangan. Biasanya ia akan menggerutu kesal atau menggoda Banyu dulu agar suasana tidak terlalu kaku.
Namun, yang dilihatnya sekarang adalah dirinya sendiri versi wanita. Datar.
“Apa kamu tidak sadar kalau sejak pagi sikap kamu jadi aneh?”
Haura menggeleng. “Hanya Bapak yang bilang begitu. Berarti bukan saya yang aneh, tapi Bapak.”
“Kenapa kamu tidak bilang kalau tadi menyiapkan sarapan untuk orang-orang departemen?” tanya Banyu. Netranya menatap lurus netra coklat wanita itu.
Beberapa detik mulut Haura mengatup rapat. Ia kemudian menghela napasnya. Seperti terdengar lelah. “Itu biar dibicarakan di rumah. Lagipula itu bukan urusan pekerjaan. Tidak etis jika dibicarakan di kantor.”
Banyu tersenyum miring. “Bisa kamu membicarakan masalah etis tidak etis di sini? Kamu bahkan mengajak Sagara untuk sarapan bersama. Ini departemen perencanaan tapi kamu tidak menginfokan apapun ke saya selaku ketua tim. Kamu justru mengajak Sagara yang tidak ada hubungannya dengan tim kita. Menurut kamu itu etis?!” Banyu menatap Haura penuh intimidasi. Nada bicaranya pun lebih tinggi dari biasanya.
“Itu karena Pak Sagara sudah bersedia membantu saya membawakan semua makanan itu. Menurut Pak Banyu kalau saya tidak menawarkan apa-apa ke beliau apakah itu etis?”
“Sialan!” rutuk Banyu dalam hati. Secepat itu Haura membalas perkataannya.
“Itu bukan masalah besar, Pak. Lagipula bukannya Pak Banyu tidak suka sarapan berat, ya?” lanjut Haura menyudutkan Banyu membuat lelaki itu tercengang dengan sikapnya.
“Kamu membuat saya malu karena harus mengetahui itu dari Daffa. Apakah saya tidak kamu anggap sebagai suami kamu?” tanya Banyu pelan. Sorot matanya menampakkan kekecewaan.
“Biar itu kita bicarakan di rumah. Saya tidak nyaman dengan perilaku tidak profesional anda.” Haura melangkah keluar tanpa menunggu jawaban Banyu.
Banyu diam menatap Haura yang menghilang dari balik pintu. Ia sebenarnya sangat ingin menahan Haura agar tetap berada di ruangannya. Namun, gengsinya membuatnya hanya bisa menatap kepergian perempuan itu.
***
Gimana Ra? Udah ada tanda-tandanya?
Pesan singkat dari Mama Aliya itu hanya dibaca Haura lewat notifikasi pop-up whatsApp . Tanpa ada niat untuk ia buka apalagi untuk membalasnya. Bukan karena ia membenci sang ibu mertua, melainkan ia sangat merasa bersalah kepada ibu mertuanya itu. Wanita yang sudah ia anggap ibunya itu sangat baik kepadanya. Mana bisa Haura terus membohongi wanita selembut itu?
Pernikahan dirinya dan Banyu sudah berjalan tiga bulan. Wajar jika beberapa kenalan mereka apalagi keluarga menanyakan hal itu. Haura tidak menyangka ditanyakan perihal kehamilan ternyata lebih menyedihkan daripada ditanyakan perihal kapan menikah. Sebenarnya jika alasan mengapa dirinya belum kunjung hamil karena kesehatan dirinya atau Banyu, Haura masih bisa menerima. Namun, ini kasusnya berbeda.
Selama tiga bulan pernikahan ini ia belum pernah disentuh Banyu. Mereka memang tidur satu ranjang. Namun, jika diungkit perihal nafkah batin yang sebenarnya adalah haknya, Banyu selalu menghindar tanpa alasan yang jelas.
Berbagai kemungkinan muncul di kepala Haura. Entah itu memang Banyu yang masih terlalu canggung padanya atau Banyu memang tidak tertarik pada wanita.
“Haura!” seru Banyu yang langsung mematikan kompor. “Kamu kenapa? Jangan melamun begitu. Bahaya.“ Nada cemas itu menyentak Haura.
Pergerakan sigap Banyu yang baru pulang kerja itu tidak luput dari mata Haura. “Maaf, Mas. Aku nggak konsen,” lirih Haura penuh sesal. Apalagi saat matanya melihat beberapa keju aroma yang ia goreng sudah gosong.
Banyu mengangkat cemilan gosong itu kemudian memindahkannya ke piring yang sudah dialasi tisu dapur sebelumnya. Matanya kemudian menyipit menatap Haura.
“Kenapa? Kamu tidak biasanya seperti ini.” tanya Banyu pelan. Matanya menelisik wajah Haura yang terlihat seperti menyimpan suatu beban.
Haura diam sejenak. Lalu ia menatap Banyu seksama. “Mama menanyakan hal itu lagi, Mas.”
Banyu diam. Entah apa yang ada di pikiran lelaki itu sungguh Haura tidak bisa menebaknya. Raut wajahnya selalu datar dan susah ditebak. Namun, Haura yakin Banyu tahu pertanyaan apa yang ditanyakan mamanya itu.
“Saya akan beritahu mama untuk berhenti menanyakan hal itu.” Lelaki yang masih memakai kemeja kerjanya itu kemudian melangkah pergi.
“Jangan begitu, Mas.” Haura menyusul lelaki itu. “Jangan pernah kamu melakukan itu pada Mama Aliya.”
Berhasil. Banyu berhenti kemudian berbalik menghadap Haura. Saat berhadapan dengan jarak dekat itulah Haura bisa melihat sorot mata Banyu yang tampak lelah. Lelaki itu baru saja pulang kerja. Haura bahkan lupa menyambutnya.
“Jika itu yang membuat kamu tidak nyaman hingga membuat kamu mengabaikan saya hari ini, saya akan memberitahu mama untuk berhenti bertanya tentang kehamilan.” Banyu mencengkram bahu Haura. Ia menatap Haura dengan begitu lekat. “Kepala saya sudah sangat pusing dengan pekerjaan. Saya mohon padamu, jangan menambah beban pikiran saya dengan memperlakukan saya seperti ini. Saya benci diabaikan, Haura.”
Netra Haura menatap lurus netra hitam pekat milik Banyu. Rasanya ia ingin membenturkan kepala Banyu ke dinding agar lelaki itu segera sadar. Mengapa lelaki itu tampak sangat tersakiti? Bukankah semua masalah ini berasal darinya?
“Aku tidak pernah mengabaikan Mas. Aku hanya memperlakukan Mas sama seperti Mas memperlakukan aku.”
“Saya tidak pernah mengabaikan kamu. Saya penuhi semua hakmu. Apapun yang kamu mau selalu saya turuti. Salah saya di mana?” tanya Banyu menuntut. “Kamu bahkan mengabaikan saya tadi siang. Kamu berlaku manis di hadapan Sagara bahkan mengatakan bahwa dia lebih baik dari saya. Sedangkan saat saya ingin bicara berdua denganmu, wajahmu sangat terlihat datar. Seolah-olah kamu tidak ingin bicara pada saya.”
Rasanya Haura tidak percaya Banyu akan mengatakan hal itu padanya. Haura berusaha melepaskan cengkraman Banyu di lengannya. Namun kekuatannya jelas tidak sebanding dengan kekuatan Banyu. Usahanya sia-sia. Semakin kuat perlawanannya, semakin kuat pula pertahanan Banyu.
“Jangan banyak bicara, Mas. Semua perkataanmu itu terdengar saat lucu. Hak ku Mas bilang? Mas bahkan belum pernah menyentuhku. Apa aku sehina itu sehingga Mas tidak pernah memenuhi nafkah batinku, hah?!” balas Haura sengit. Matanya menatap Banyu tidak kalah tajam. Dadanya kembali sesak seakan ingin mencekiknya. Sekuat tenaga ia mengepalkan tangannya, agar air matanya tidak keluar di hadapan lelaki itu.
Perlahan cengkraman Banyu melemah. Lelaki itu mundur beberapa langkah membuat Haura tersenyum miris. Apa yang sebenarnya ada di pikiran suaminya itu?
“Apa yang sebenarnya membuat Mas enggan menyentuhku? Mas bahkan selalu menghindar jika aku membicarakan hal itu. Apapun jawaban Mas, aku akan berusaha ikhlas. Setidaknya Mas bicara. Jangan diam seolah-olah hubungan kita itu normal seperti pasangan suami istri yang lain.”
Banyu mengangkat wajahnya. Tanpa bicara apapun, ia segera meraih jas yang ia letakkan di kursi makan lalu melangkah pergi. Lagi, ia meninggalkan Haura begitu saja. Tanpa adanya penjelasan.
Tubuh Haura luruh seketika. Akhirnya air mata yang sekuat tenaga ia tahan itu keluar juga. Tangisannya begitu menyayat hati. Berulang kali ia memukul dadanya agar sesak itu segera menghilang. Ia tidak percaya bahwa takdirnya akan menyedihkan seperti ini.
“Mengapa kamu sejahat ini padaku, Mas? Apa salahku? Mengapa kamu memperlakukanku sehina ini?” lirih Haura dalam kesendiriannya. Tubuhnya dipeluk heningnya malam. Tanpa pelukan hangat yang menenangkan.
Tiba-tiba saat matanya sedikit buram karena air mata yang tersisa, sebuah benda tertangkap netranya. Perlahan dengan sisa tenaga, ia kemudian berdiri. Mendekat ke arah benda yang terjatuh di bawah kursi makan.
Sebuah kotak perhiasan ukuran kecil. Tangan Haura terulur untuk mengambilnya. Tentu saja ini bukan barangnya. Merasa penasaran, Haura kemudian membukanya. Mata Haura membulat. Di dalam kotak itu, sesuatu yang indah terpatri di sana.
Sebuah kalung indah yang berinisial H. Sesuatu yang Haura yakini jatuh dari jas milik Banyu yang tersampir di kursi makan tadi. Lalu tanpa permisi, sebuah pertanyaan muncul di benak Haura.
“Ini dari Mas Banyu untuk siapa? Untuk Haura atau… H yang lain?”
*
*
*
Mohon dukungannya ya. Jangan lupa meninggalkan jejak ya Gaes :)
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!