Apa kau orang bodoh?
Aku sudah sering mendengar lontaran itu diarahkan kepadaku. Mereka bilang ... aku adalah salah satu manusia yang telah jatuh dalam kebutaan terhadap cinta — hanya karena mereka tidak setuju dengan caranya mencintaiku.
Ivana Joevanca. Nama itu akan membawamu untuk melihat bagaimana aku hidup dengan perasaan yang telah mati rasa. Karena aku ... hanya sekedar raga yang bernafas untuk tetap hidup.
Menikahlah dengan seseorang yang tepat, maka kau akan merasakan indahnya dunia yang telah kau pilih. Namun — bagaimana jika kita aku tidak pernah diberikan kesempatan untuk memilih?
Pernikahanku diawali dengan pernikahan bisnis. Orang tuaku memperkenalkannya padaku untuk pertama kali — Calix Theodore yang kini telah menjadi suamiku selama empat tahun.
Bagaimana keadaan kami? Terlihat seperti pasangan normal lainnya. Kami sepakat untuk saling bertanggung jawab. Meski tidak ada cinta, kami tetap menjalani peran seperti suami istri yang bahagia — di depan semua orang.
_ Ivana Joevanca
...***...
Aku akan pulang larut.
Pesan masuk itu tidak mengubah ekspresi dari pemilik ponsel yang telah menunggu di meja makan sejak beberapa saat lalu.
"Julie, bagikan makanan pada semua orang," perintahnya seraya berdiri dari kursinya sendiri. "Calix tidak pulang," lanjutnya.
"Bagaimana dengan Anda, Nyonya? Anda belum makan apa pun." Julie terlihat khawatir.
"Aku sudah kenyang," jawab Ivy seadanya.
Beberapa pelayan yang menunggu di sisi meja hanya terdiam mendengar ucapan terakhirnya. Setelah wanita itu berlalu, barulah mereka berkumpul bersama.
"Nyonya belum makan apa pun, Julie. Haruskah kita beritahu tuan?" tanya salah satu pelayan.
"Jangan ikut campur. Aturannya masih sama, jangan sampai orang luar tahu," peringat Julie. Sebagai kepala pelayan yang mengatur mansion, sudah kewajibannya untuk menjaga nama baik pemilik rumah.
Nyonya sudah makan dan tidur, Tuan. Julie mengirim pesan dengan ponselnya.
Setelahnya, barulah ia menyusul sang nyonya yang berada di halaman belakang, tepatnya di area kolam renang. Julie tahu bahwa wanita itu sering berdiam diri di sana dengan kucing kesayangannya, Poppy.
Benar saja, Ivy tengah termenung sambil mengelus Poppy di pelukannya.
"Nyonya, saya membawakan cookies dan strawberry. Baru saja dibuat dan dibeli hari ini." Julie tersenyum sambil meletakkannya di meja kecil. Sang nyonya belum pernah menolak makanan kesukaannya itu.
"Aku mulai bosan, Julie. Apa aku keluar saja?" Wanita itu mengeluarkan suara tanpa bergeming, namun cukup membuat jantung Julie berdebar kencang tidak karuan.
"Nyonya ..." Julie belum menemukan kata-kata. "Saya akan meminta tuan pulang," ujar Julie akhirnya. Tangannya segera mengeluarkan ponsel, tetapi perkataan Ivy menghentikan tindakannya lagi.
"Mungkin aku bisa bekerja di butik atau membuka usaha. Aku cukup minta Calix dan dia akan menyiapkannya untukku." Ivy bergumam sendirian. Tidak peduli dengan reaksi Julie yang ketakutan di belakangnya.
"Maksud Anda ... Anda bukan ingin bercerai, Nyonya?" tanya Julie hati-hati.
Ivy menoleh padanya. "Memangnya bisa?"
“Tidak bisa!" jawab Julie cepat. "Abaikan pertanyaan saya barusan, Nyonya."
"Lalu kenapa kau bertanya," gumamnya lagi sambil mengambil sebiji strawberry.
Apa arti semua ini, huh? Dirinya tak lain hanya layaknya seorang putri yang tinggal di istana dan tidak bisa berkeliaran bebas, kecuali sang raja mengizinkan.
"Putri yang terkurung di kastel," gumamnya lagi.
Terdiam sesaat, sudut bibir Ivy terangkat kecil setelah ide kecil muncul di kepalanya. Wanita itu beranjak berdiri bersama Poppy dan meninggalkan Julie begitu saja.
...~o0o~...
Di depan meja rias kini menampilkan fitur lembut dengan bentuk wajah oval, mata yang besar dan ekspresif, dan bibir yang penuh. Kulitnya tampak halus dan cerah. Secara keseluruhan, Ivy memiliki fitur wajah yang menarik dan proporsional.
Namun, dibalik wajahnya yang menarik itu, ada ekspresi lain yang tidak bisa ia sembunyikan.
"Seharusnya beritahu aku jika dia tidak pulang, Julie!" Ivy menggerutu karena kesal.
"Maaf, Nyonya. Saya tidak ingin mengganggu tidur Anda. Tuan juga melarang saya melakukannya." Julie menjawab dengan tenang di dekatnya, sementara beberapa pelayan tetap sibuk menata rambut serta pakaian yang dikenakan Ivy.
"Tentu saja. Memang begitu sifatnya," cibir Ivy sedikit melunak. Ia cukup puas dengan hasil penampilannya pagi ini. Dress selutut berwarna putih dengan gaya rambut messy bun.
"Aku mau ke kantor," ucapnya langsung. Dirinya masih sibuk mematut penampilannya. Berputar-putar dan berpose layaknya di depan kamera. Ivy mengagumi kecantikan yang ia punya.
"Kantor? Saya pikir Anda akan pergi belanja —"
"Belanja, belanja, dan belanja. Wanita yang kalian sebut gila sepertiku juga akan bosan melakukannya setiap hari." Itu juga terpaksa ia lakukan karena tidak memiliki teman. Daripada terkurung di rumah mewah ini, lebih baik keluar menghabiskan uang, bukan?
Nyonya tahu?!
Para pelayan hanya menunduk diam di belakang Julie, sedangkan Julie sudah menatap mereka dengan tajam. Wanita yang hampir berkepala empat itu tidak akan memaklumi para pelayan yang hanya tahu bergosip tentang majikan mereka hingga sang nyonya pun mengetahuinya.
“Saya akan menghukum pelayan yang bergosip, Nyonya. Maafkan keteledoran saya.” Julie menundukkan kepalanya dengan patuh.
“Biarkan saja. Aku tidak mempermasalahkan hal sepele seperti itu,” katanya acuh.
Sepele? Jika itu tuan, jangankan wajah, bahkan nama tidak akan terdengar lagi di rumah ini.
“Lagi pula aku memang sedikit gila,” sambungnya.
Sebenarnya bukan hal baru jika sang nyonya juga mengatai dirinya sendiri. Wanita itu terlalu terus terang dan apa adanya. Alasan ia tidak memiliki teman juga karena sifatnya yang dinilai sombong dan tidak ramah. Namun, tetap saja sebagai kepala pelayan, Julie akan berlaku tegas sesuai perintah tuannya.
Padahal, jika menilai lebih dekat, Ivy tidak lebih dari sekedar wanita ceria yang sangat terbuka tanpa kepalsuan. Namun, tuan mereka sendiri tidak bisa melihat itu, melainkan melihatnya seperti gadis manja yang membutuhkan tumpukan materi.
"Saya akan kabari tuan —"
"Tidak perlu! Aku mau lihat-lihat perusahaan saja. Aku, kan, belum pernah ke sana. Aku harus melihat suamiku bekerja sesekali." Ivy mengedipkan sebelah matanya, kemudian menepuk-nepuk pundak Julie.
"Kalian istirahat saja. Aku pergi!" Wanita itu tidak lupa memakai kacamata hitamnya.
"Hati-hati, Nyonya. Jangan meninggalkan sopir lagi," seru Julie, mengingat rekam jejak sang nyonya yang cukup membuat kerepotan.
Di sisi lain, pria yang dijuluki tuan, tidak lain dan tidak bukan yaitu Calix Theodore. Satu-satunya pewaris dari perusahaan Theodore Estates yang memiliki pengaruh besar di dunia. Perusahaan turun temurun yang mengelola banyak properti mewah, hotel, dan resort.
"Julie memberitahu jika nyonya akan ke sini, Tuan." Asisten pribadi dari Calix, Trevor Hill melaporkan.
"Apa yang akan dia keluhkan sekarang," gumam Calix hanya menarik nafas kecil. "Pergilah, tunggu dia di bawah."
"Sebenarnya — nyonya sudah di sini, Tuan."
"Apa?"
“Sepertinya Julie terlambat memberi kabar.”
...***...
Nyatanya tidak membutuhkan waktu lama untuk sampai di Theodore Estates. Melaju kencang di jalanan sangat mudah saat kau memiliki kebiasaan menjelajahi kota.
"Sopir itu terlalu lambat!" gumamnya tanpa rasa bersalah. Paling-paling ia hanya akan dimarahi sedikit setelah menurunkan sopirnya di pinggir jalan. Tentu saja setelah memberikan sejumlah uang untuk memesan taksi sendiri.
Theodore Estates, perusahaan besar pencakar langit yang berdiri megah di ibu kota, New York. Memang benar pernikahan telah berjalan selama empat tahun, namun menginjakkan kaki di tempat ini adalah pertama kali sepanjang pernikahannya. Apakah aneh? Tentu saja tidak mengherankan di dalam pernikahannya sendiri.
"Istrimu ini kehabisan tempat, Calix. Rasakan itu." Ivy tersenyum puas. Kakinya melangkah ringan menuju lift yang mengarah ke lantai tertinggi di gedung tersebut.
"Anda mau ke mana, Ms?" Seseorang menghentikan langkahnya yang riang. Ia baru saja keluar dari lift dan berjalan beberapa langkah, tapi ada cukup banyak pekerja di lantai CEO.
Sebenarnya, ia sudah tahu dari Trevor jika Calix memiliki beberapa sekretaris dan divisi khusus CEO. Tidak terlalu banyak juga sebenarnya. Mungkin ada sekitar 10 orang di lantai ini. Sekarang mereka semua bertatap muka dengannya.
"Aku ... ada urusan dengan Calix — maksudku pak CEO." Ivy meralat ucapannya.
Semua orang itu lantas berhenti menatapnya, lalu berkumpul satu sama lain, membentuk sebuah lingkaran. "Aku tidak dengar tuan mencari sekretaris lagi. Trevor memberitahu kalian?" bisik salah satu dari mereka, namun Ivy bisa mendengar semuanya.
"Tidak."
"Dia terlalu cantik! Bukan — dia terlihat seperti adikku. Mungkin dia akan segera dipecat." Mereka semakin bergerombol. Beberapa dari mereka mengintip untuk melihatnya, lalu ikut melingkar lagi.
"Dia seperti wanita konglomerat!"
"Kita belum mengenalnya. Buat dia nyaman!"
"Mungkin nasibnya baik. Sekretaris baru yang waktu itu dipecat karena menggoda tuan, kan? Tapi, dia seperti anak manis yang polos."
Aku? Polos? Ivy yang mendengarnya pun menyentuh pipinya untuk memastikan.
"Jangan tertipu dengan wajah!"
"Sttt, diam! Dia masih melihat." Semuanya spontan tegak kembali sambil menghadapnya.
"Aku Audriel, calon rekan kerjamu." Wanita bernama Audriel itu menjabat tangannya dengan ramah.
Rekan — kerja?
"Ah, halo, Audriel. Namaku Ivana, tapi panggil saja Ivy." Meski tidak paham dengan apa yang terjadi baru saja, Ivy tetap mengikuti arus.
"Namamu saja cantik," celetuk wanita yang lain.
Tentu saja! Aku dilahirkan untuk sempurna!
"Pria disebelahku adalah ketua divisi CEO, Daniel." Audriel mulai memperkenalkan mereka satu-persatu.
"Duduklah dulu untuk menghilangkan ketegangan."
Seharusnya sudah dari tadi, batin Ivy sambil tersenyum paksa. Meski begitu, ia menikmati suasana baru ini. Semuanya terlihat ramah dan unik. Bagaimana jika mereka semua menjadi temannya?
Kalau begitu, apa seperti ini rasanya memiliki teman? Sejak kecil ia tidak memiliki satu pun seseorang yang bisa disebut teman. Ibunya sangat membatasi pergaulannya. Meski sering kali ibunya membawa teman bermain untuknya, namun mereka tidak lebih dari sekedar formalitas sebagai relasi bisnis. Tidak ada yang benar-benar tulus.
"Apa kau sudah makan? Kami berpesta kecil dengan pizza dan soda. Ikutlah sebelum menemui CEO." Audriel menariknya ke meja yang dipenuhi makanan.
"Mungkin ini terakhir kali kita bertemu," sahut wanita lain lagi.
"Ya?" Ivy memastikan pendengarannya.
"Tutup mulutmu, Mia!" tegur Audriel sambil tertawa canggung.
"Maaf, kami terlalu sering berganti rekan, jadi bertahanlah lebih lama. Aku sudah menyukaimu," kata Audriel.
"Karena aku mirip adikmu?" tanya Ivy polos.
"Dia punya adik perempuan sepertimu, tapi bukan berarti dia tidak menyukaimu jika dia tidak punya. Dia memang mudah menyukai orang." Daniel turun tangan untuk menjelaskan.
"Kalau begitu aku akan mencoba bertahan!" Ivy berkata dengan semangat. Mari buat kesalahpahaman ini menjadi kenyataan!
...~o0o~...
"Permintaan tidak masuk akal apa itu?" Calix Theodore menatap dingin wanita di depannya.
Wanita itu baru saja dipaksa masuk setelah mengakhiri pesta kecilnya, lalu mengajukan permintaan yang tidak ada dalam kamusnya.
"Kau istri sah dari pemilik utama Theodore Estates dan kau baru saja mengajukan diri untuk menjadi sekretaris suamimu? Uang yang kuberikan masih tidak cukup?" tanya Calix lagi.
Wanita yang selalu dilayani kehidupannya itu tiba-tiba ingin bekerja? Ia telah terbiasa dengan keinginan mewah istrinya tersebut, tapi bagian ini, benar-benar di luar pemahaman Calix.
"Uangmu sangat cukup! Bahkan sangat banyak hingga membuatku bosan! Kau sering meninggalkanku sendirian. Bagaimana aku tidak bosan?" jawab Ivy sedikit ketus. Hanya sedikit karena wajah tampan itu mengalihkan kekesalannya. Padahal pria itu sedang marah, tapi ia tetap terpesona olehnya.
Fitur wajah yang tegas, hidung mancung, rahang yang kuat, dan alis yang tebal. Ada jambang tipis yang menambah kesan maskulin. Wajar jika ia terpesona, bukan?
"Pantas saja banyak yang menggodanya," gumam Ivy sangat pelan. "Toh raga itu milikku, meski hatinya tidak." Ivy cukup puas dengan kenyataan itu.
"Apa yang kau katakan?" Belum saatnya untuk bersantai.
Ivy melangkah maju dengan cepat. Ayo bujuk dia!
"Calix, bukankah bagus jika aku di sini. Mereka tidak tahu aku istrimu. Mungkin aku juga bisa membantu menemukan orang-orang curang yang merugikanmu." Tentu saja ia akan diremehkan sebagai karyawan baru dan tidak ada yang akan waspada terhadapnya.
"Jujur saja, kau suka teman-teman barumu," datar Calix.
"Itu ..." Ivy tidak dapat menyangkalnya.
"Kantor bukan tempat untuk bermain. Kau tidak bisa datang dan keluar sesuka hatimu setelah bekerja hanya karena kau bosan," tekan Calix sekali lagi.
Ivy tidak menjawab lagi, namun matanya tak kalah tajam menatapnya. Seharusnya ia tahu jika tidak mudah membujuk pria tak berperasaan itu.
Trevor yang berdiri tak jauh dari Ivy akhirnya berdehem kecil untuk mencairkan suasana karena atmosfer dalam ruangan ini sudah cukup dingin.
"Begini, Nyonya ... bukan maksud tuan melarang Anda datang. Jika Nyonya ingin menemui teman-teman, Anda tinggal datang saja, tidak perlu bekerja," jelas Trevor. Dirinyalah yang paling waras di antara keduanya, jadi sudah sering ia menjadi penengah dalam situasi ini.
"Lalu, apa alasanku datang?" Ivy masih bernada ketus.
"Nyonya tinggal mengatakan jika Nyonya istri tuan."
"Tidak mau!" sanggah Ivy langsung. "Jika aku bilang begitu, mereka tidak akan mau berteman denganku. Mereka akan menunduk dan berkata, “Selamat pagi, Mrs. Theodore” dengan formal.”
Trevor kehabisan jawaban. Yang dikatakan sang nyonya ada benarnya juga.
Calix menghela nafas. Ia tidak mau membahas ini di jam kerja. Ada masalah perusahaan yang membuatnya harus lembur semalaman hingga hari ini dan itu cukup membuatnya lelah. Permintaan Ivy yang tidak masuk akal ini malah membuang-buang waktunya.
"Pulanglah dulu. Kita bicarakan di rumah."
"Seperti kau akan pulang saja," jawabnya menggerutu. Wanita itu berbalik, menyambar tasnya dan berjalan ke luar tanpa berpamitan.
"Wanita itu ..." Calix memijat keningnya lelah. "Aku sudah bersabar selama empat tahun ini."
"Maaf, Tuan ..." Trevor hendak bicara.
"Jangan mengatakan hal yang membuatku kesal." Calix memperingatinya lebih dulu.
-
-
-
-
"Kau tidak membuat suamimu kesal, kan?"
Setelah menghadapi pria tidak berperasaan, sekarang ia harus menghadapi dua wanita berkepala batu yang keras hati.
“Kalian memanggilku datang hanya untuk memastikan aku tidak membuat sumber keuangan kalian kesal?”
“Ivy!” tegur sang ayah.
"Aku sudah bersikap baik," jawab Ivy langsung, seadanya.
"Bagaimana denganmu? Sudah empat tahun, tapi kau belum hamil juga?" Carol Joevanca, sang nenek kini angkat suara. "Kau yakin dia tidak mandul, Larissa?"
Larissa Joevanca, ibu kandung Ivy meletakkan cangkir tehnya. "Tidak, Bu. Aku sudah memeriksa semuanya dan dia normal."
"Lalu, kenapa? Kau tidak mengonsumsi pil kontrasepsi, kan, Ivana?" cerca sang nenek lagi.
"Grandma ..." Ivy menatap sang nenek intens. "Jika aku melakukannya, mom pasti sudah mengetahuinya dari hasil pemeriksaanku setiap bulan."
Carol tidak mendebatnya lagi. Pemeriksaan yang dilakukan setiap bulannya pada Ivy memang mengatakan begitu. Lagi pula, Ivy tidak mungkin berani berbohong.
“Kenapa hanya memeriksaku? Masalah tidak datang dari pihak wanita saja. Laki – laki juga bisa punya masalah kesehatan. Memangnya ini zaman kuno,” gerutu Ivy seraya bersedekap dada.
"Sudahlah, Bu. Ini hanya masalah waktu saja." Philip, sang ayah menengahi.
"Kalau begitu hanya masalah waktu saja hingga dia diceraikan," cibir Carol.
Lihat? Kalian mengabaikan ucapanku, kan! Mana berani mereka meragukan pria kaya itu, apalagi mengatainya mandul!
Ivy hanya menatap lurus ke depan. Bukan hal baru baginya mendengar keluarga ini begitu meremehkannya. Memang benar ia dimanjakan, namun tidak pernah ia melihat kasih sayang sebagai keluarga.
Keluarga ini telah menduduki posisi lima besar dari keluarga terkaya di kota sejak lama. Wajar jika mereka mencukupi segala kebutuhan anak dan cucu mereka meskipun hal tersebut dilakukan untuk sekedar menjaga reputasi nama baik keluarga dan harga diri mereka.
Sama halnya seperti seseorang yang mendirikan sekolah dan memberi bantuan meskipun ia meremehkan mereka sebagai orang miskin.
"Ibu, aku akan bicara dengan Catherine soal itu," sahut Larissa.
"Jika begitu kami tinggal bercerai saja, Grandma. Kalian juga tidak perlu memungutku kembali." Ivy berkata sambil berdiri dari kursinya. "Aku pulang sekarang. Calix sudah perjalanan pulang ke rumah."
"Lihat anak itu. Tidak pernah sopan pada neneknya!" Carol menghardik geram.
Ivy hanya mengabaikannya. Lebih baik cepat-cepat pergi dari sini daripada mendengarkan keluarga yang bisa menjatuhkan mentalnya.
"Kita ke mana setelah ini, Nyonya?" tanya Sopir setelah membuka pintu mobilnya. Jangan tanya kenapa sopir ini di sini, orang itu ternyata mengikutinya ke perusahaan.
"Pulang."
Baru saja ia akan masuk ke mobil, seseorang datang memanggil namanya. Seorang wanita muda dengan perut besar berjalan cepat mendekatinya.
"Ivy, mungkin lebih baik kau menjaga sikap dengan Grandma."
Gwen Willow, putri dari pengusaha properti yang kini telah menjadi menantu dari keluarga Joevanca. Wanita itu telah menikah dengan kakak laki-lakinya, Alec Joevanca dan kini telah mengandung selama tujuh bulan setelah satu tahun pernikahan mereka.
"Kau tahu? Aku bersyukur kau hamil. Jika tidak, keluarga itu mungkin akan sibuk mendepakmu dari rumah, tapi lebih baik jika tidak."
"Maksudmu?"
“Kau tahu jelas maksudku, Gwen. Kau akan bahagia jika tidak tinggal di sini," jawab Ivy seadanya. "Aku tahu Alec tidak begitu baik padamu." Ucapan Ivy cukup membuat Gwen terdiam.
"Aku tahu kau takut, tapi cobalah untuk tidak terlalu patuh — demi kebaikanmu sendiri. Aku berkata begini karena kita mirip," pesan Ivy sebelum masuk ke mobilnya.
Selama perjalanan pulang, Ivy hanya menatap ke luar jendela.
Hanya masalah waktu saja.
Iya, memang benar ini hanyalah masalah waktu sampai — nasibnya berubah di masa depan. Sampai kapan pernikahannya bertahan, nenek yang menuntutnya sempurna, dan orang tua yang melihatnya seperti pajangan indah bernilai tinggi.
"Aku punya banyak uang, tapi uang itu bukan milikku," gumamnya kecil. "Jika Calix menceraikanku, Grandma pasti akan mengusirku, lalu aku akan jadi miskin." Pikirannya berlarian.
"Anda bilang sesuatu, Nyonya?"
"Tidak."
Aku harus mengumpulkan uang! Pikiran konyol itu muncul di benaknya.
...~o0o~...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!